35 · Final // END
[Pulang jam berapa, Dek?] –sent
[Belum tau. Kayaknya sore banget, atau bahkan malem. Kakak makan duluan aja.]
Dibacanya sekilas balasan pesan itu, pada ponsel pintar.
Tami Sal Aditya kemudian menatap pantulan wajah di kaca. Perempuan itu menggeram. Betapa dia benci wajah itu—yang berpoles gincu, berdempul tebal, bersulam alis dan berlapis bulu mata artifisial.
Ini bukan dia. Bukan, ini bukan Tami yang dididik oleh Ayah dan Bunda.
Ini adalah Tami yang berbeda.
Setelah puas mematut dan mengutuk diri, Tami beranjak meraih arloji Rolex berlapis emas putih yang merupakan 'hadiah' dari orang yang hendak ditemuinya sore itu. Orang yang paling dia benci sedunia.
Mengenakan arloji itu, membuat sang sulung Aditya merasa mual. Tami buru-buru menyemprotkan parfum pada ceruk lehernya.
Perempuan itu lantas menarik laci riasnya, mengeluarkan sebuah pistol Glock 19 dengan kaliber 9 milimeter. Tami sedikit bersyukur karena adiknya, Pluto, tidak kepo dan meng-unboxing paket yang berisi barang ilegal tersebut sebelum sampai ke tangannya.
Pluto yang pendiam dan bisa dipercaya, hanya meletakkan kotak paket itu di meja ruang tamu.
Tami lantas meraba, merasakan pistol itu di telapak tangannya. Rasanya dingin dan berat, terlepas dari bentuknya yang mungil dan compact—tak lebih dari 18,7 sentimeter.
Dengan gerakan mulus, perempuan itu menyimpan senjata api tersebut ke dalam tas tangannya.
Tak berselang lama, sebuah mobil Mercedes-Benz hitam menepi di depan rumah keluarga Aditya, membunyikan klakson.
Tami menghela napas. Perempuan itu melangkah keluar.
"Hai Tam, cantik sekali kamu hari ini," sambutan itu mengudara ketika Tami membuka pintu depan mobil.
Perempuan itu duduk di samping kursi kemudi, mencondongkan badan dan membiarkan lelaki di balik roda kemudi mengecup ujung bibirnya.
Tami bergidik dan menahan napas, berusaha menggenggam nyawanya untuk tidak mati berdiri saat itu juga.
Tahan Tam, tahan... kalo lo mati sekarang, siapa yang bakal ngebunuh bajingan ini? rapal Tami dalam hati.
"Hai juga, Om Theo. Thanks. Kita langsung berangkat?" Tami menutupi rasa jijik dengan senyuman manis. Theo membalas dengan anggukan. Dan meluncurlah Mercedes-Benz hitam itu membelah lalu lintas sore.
🌑
Pluto dan Charon masih mengenakan seragam sekolah mereka, menandakan dua remaja itu belum sempat pulang selepas mereka hengkang dari Dufan, satu jam yang lalu.
Kini motor Pluto berhenti di sebuah bangunan, rumah megah, dengan plang nama 'Law Firm Tjahyadewa and Sons' menghiasi pagarnya.
Pluto turun pertama, diikuti Charon yang setia mengekor di belakangnya.
Gadis itu memasang muka paling serius yang dia bisa.
"Pokoknya Ocha mau ikut!!"
"Ocha nggak mau pulang. Ayo kita ke tempatnya Kak Melvin, Kak. Ocha mau tanggung jawab."
"Nggak, Ocha nggak mau turun! Pokoknya Ocha mau ikut Kak Pluto ke tempatnya Kak Melvin!"
Kalimat-kalimat itu kukuh dimulutkan Charon beberapa saat sebelum akhirnya Pluto menyerah, menuruti apa maunya gadis itu: bertanggung jawab.
Pluto juga pasrah ketika Charon melucuti kejujuran dari mulutnya, mengenai tragedi yang merenggut nyawa kedua orang tuanya.
Lucu sekali, kalau Pluto mengingat. Charon berusaha untuk tampak kuat, padahal suaranya bergetar dan matanya berkaca-kaca. Belum lagi belasan kata 'maaf' yang dimulutkan gadis itu, seakan-akan dia yang berdosa. Pluto jadi tak tega.
Maka begitulan, cowok itu membagi lukanya dengan Charon Theodora, anak gadis dari tersangka pembunuh orang tuanya.
"Di sini tempatnya, Kak?" tanya Charon sambil meletakkan helm-nya di salah satu kaca spion motor Pluto. Kakak kelasnya itu mengangguk.
"Lo yakin mau ikut?" Lagi, dia meyakinkan Charon—dan diri sendiri, bahwa mereka sedang melakukan langkah yang tepat, bersama-sama. Dan lagi-lagi, Charon mengangguk.
"Ayo!" Gadis itu melangkah terlebih dahulu memasuki pekarangan luas bertabur rumput jepang, membuat Pluto buru-buru menyusul.
Sesampainya di pintu masuk, Pluto mengetuk. Tok-tok-tok.
Tak ada jawaban. Cowok itu mencoba lagi.
Tok, tok—pintu terbuka.
"Ya? Cari siapa?" Seorang cowok menyambut mereka, usianya mungkin beberapa tahun di atas Pluto dan Charon, usia kuliahan. Wajahnya enak dipandang, sayang dia nggak senyum.
"Em... Kak Melvin-nya ada?" tanya Pluto dengan nada sungkan.
"Oh. Masuk." Si cowok ganteng-tapi-dingin itu mempersilakan Pluto dan Charon ke dalam ruang tamu.
"Siapa, Key? Ada tamu ya? Klien kah?—eh... loh?!"
Sesosok lelaki familar melangkah masuk dari bagian dalam rumah. Bukan, bukan Kak Melvin. Dialah Kak Jevin, si sulung Tjahyadewa yang juga merupakan kuasa hukum kasus kecelakaan Ayah dan Bunda Pluto, dulu.
"Kamu... Pluto, kan?" Jevin langsung menyerbu anak bungsu alamarhum koleganya itu dengan jabatan tangan.
"Halo, Kak Jevin. Udah lama nggak ketemu. Terakhir..."
"Pas di pemakaman mendiang orang tua kamu, dan beberapa minggu setelahnya, ngurus masalah hukum kasus itu. Iya. Apa kabar, Pluto?" Jevin menyelesaikan kalimat Pluto, dan mempersilahkannya duduk.
"Gue tinggal ya, Bang Je," pamit si cowok-ganteng-tapi-cuek-bebek yang tadi membukakan pintu untuk Pluto dan Charon.
Jevin mengangguk ke arahnya.
"Baik kok, Kak... itu barusan, siapa Kak?" tanya Pluto penasaran. Dia belum pernah melihat anggota keluarga Tjahyadewa yang lain, selain Jevin—si sulung, beserta istrinya, Jesslyn, serta adiknya yang menjadi cinta pertama Kak Tami, Melvin.
"Itu Kevin, si bungsu. Emang gitu anaknya, pendiem. Eh, tapi ini kamu ada acara apa nih, Pluto, mampir kemari? Ada masalah yang perlu dibantu kah?" Jevin menjawab dengan mata awas. Pluto buru-buru menegakkan duduknya.
"Emmm... sebenernya... kita mau cari Kak Melvin, Kak."
"Melvin?" ulang Jevin. Seumur-umur, dia paham kalau Melvin dan Tami, kakak dari Pluto itu, memang dekat. Tapi itu nggak berlaku bagi adik Tami tersebut. Pluto dan Melvin bagaikan minyak dan air. Nggak akur.
"Iya. Ini ada sangkut-pautnya sama Kak Tami." Pluto berusaha menjelaskan sesingkat mungkin, yang berhadiahkan sebuah anggukan dari Jevin.
"Si Melvin lagi ngurus dokumen klien di luar, mungkin bentar lagi balik. Lo nggak papa nunggu kan?" ucap Jevin sambil mulai menyuguhkan air mineral gelasan di atas meja.
"Nggak papa kok. Ini kita pas juga, ketemu Kak Jevin. Ada beberapa hal yang mau kita tanyain tentang kasus Ayah sama Bunda..." Pluto bisa melihat dengan jelas gerakan tangan Melvin terhenti. Tanpa membuang tempo, Pluto melanjutkan.
"Kak, ini, kenalin... temen aku, namanya Charon."
Pandangan Jevin kini telah tertuju pada sosok yang duduk di sisi Pluto. Charon.
"Hai," ujarnya ramah.
"Halo, Kak," ujar gadis itu tak kalah ramah. Senyum Jevin pun tersemat akibat gelagat manis gadis itu.
"Kak," sela Pluto. "Charon ini... anaknya Theo Gumanjar. Kakak tau nama itu?"
Jevin membeku seketika. Telinganya baru saja mendengar tersangka penyebab meninggalnya kolega sekaligus Pengacara paling berbakat yang dia kenal, Fajar—ayah dari Pluto.
Dan barusan, Pluto bilang bahwa gadis ini adalah anaknya? Anak dari Theo Gumanjar?
Jevin mengarahkan matanya pada sosok Charon yang duduk sambil memainkan ujung rok seragamnya.
Bagaimana mungkin?
"Kak... apa benar, kalau papa Ocha itu tersangka yang nyebabin orang tuanya Kak Pluto meninggal?" tanya gadis itu, Polos.
Jevin hanya memandang dengan pandangan sayu. "Itu..." lirihnya, "Benar."
Wajah Charon langsung pucat pasi. Pluto membatu selama beberapa detik.
"Kenapa Kak Melvin nggak pernah bilang... identitas tersangka kasus ayah dan bunda dari dulu-dulu?" Pluto bertanya dengan nada mengambang.
"Sorry, Pluto. ini memang permintaan almarhumah ayah kamu, untuk merahasiakan identitas siapapun yang terlibat dalam kasus kematiannya. Mau itu pembunuhan kek, kecelakaan, atau bahkan terorisme. Itu semua sengaja pak fajar lakukan untuk melindungi kamu dan kakakmu," jabar Jevin. Pluto menunduk, mencoba mengerti.
"Lalu kalau begitu... kenapa Pak Theo bisa bebas, Kak?" tanya Pluto.
"Apa?!" balas Jevin dengan mata terbelalak. "Dia bebas?"
"Loh, Kak Jevin nggak tau?" Pluto memandangi si sulung Tjahyadewa itu dengan pandangan miring. Jevin menggeleng pasti.
Tepat pada saat itu, Melvin tiba dengan senyum terurai, membuka pintu depan.
"Loh, ada yang apa ini rame-rame? Ada adik ipar dan bawa calon ipar juga?" tanya Melvin dengan nada yang ceria. Pluto menekuk wajahnya seketika.
Jevin memandang adiknya lurus-lurus dengan tatapan tajam.
"Kita disini lagi bahas kasusnya Tami, Mel. Apa yang udah lo lakuin di belakang punggung gue?" ucap Jevin dingin, membuat senyum di wajah Melvin lenyap seketika.
"Oh, emm..."
"Melvin, what did you do?" tanya Jevin dengan nada mengancam.
Dan begitulah, semua kebenaran tentang Tami keluar perlahan-lahan dari mulut Melvin.
Mengenai apa yang telah Tami rencanakan—perempuan itu sengaja menjadikan diirnya sebagai umpan. Menjadi sugar baby yang telah sukses perhatian pak Theo hingga sedemikian rupa.
Tami juga yang ternyata mencabut gugatan hukum Pak Theo, membuatnya bisa bebas setelah diproses selama enam bulan lamanya.
Charon dan Pluto berkelut dengan pikirannya masing-masing, masih tak mengerti bagaimana sebuah dendam bisa membuat seorang brilian seperti Tami Sal Aditya menjadi begini... keji.
"Kita tahu sendiri kan, dari awal Tami itu ingin membalas dendam menggunakan tangannya sendiri, dan nggak puas sama sistem jeruji besi. Dia bener-bener gelap mata, pengen bikin Pak Theo menderita." Melvin melonggarkan dasinya.
"Lo tau rencana si Tami ini apa, Melvin? Dia bakal ngapain?" tanya Jevin tanpa membuang tempo. Melvin menggaruk belakang kepalanya dengan gerakan rikuh.
"Tami pengen... balas dendam, yang fair. Mata dibalas mata, nyawa dibalas nyawa..."
"HAH?! Jadi maksut lo, si Tami ini ngerencanain pembunuhan?!" Jevin terlunjak dari duduknya
Melvin mengangguk dengan kaku. "Gue udah mati-matian cegah dia, Je... cuma lo tau sendirilah, Tami batu nya kayak apa."
"Kapan? Gimana, di mana? Kita harus nyegah sebelum dia ngelancarin aksinya!"
"Katanya pas tanggal ulang tahunnya Pak Theo," jawab Melvin.
"Dan itu... kapan?" Jevin bertanya yang dibalas dengan Melvin yang mengangkat bahu.
"Ulang tahun Papa?" ulang Charon. Gadis itu akhirnya membuka suara.
"Nah, iya! Kamu tau itu kapan, Cha?" tanya Jevin bersemangat. Charon menganggukkan kepala.
"Itu hari ini, Kak... tanggal 20 Juni."
Hening mengambang selama beberapa detik, sebelum Jevin mengeluarkan ponsel pintarnya, menghubungi kenalannya di kepolisian untuk segera bergerak.
"Lokasinya dimana kira-kira ya, si Tami ini?" tanya Jevin pada udara kosong.
Kali ini, Pluto yang membuka suara. "Kak... kayaknya aku tau."
Dan Pluto pun menyodorkan ponselnya, menampakkan percakapan terakhir dengan Tami, yang menanyakan kapan Pluto akan pulang ke rumah.
"Di rumah kalian?" tanya Jevin dengan alis terangkat.
Pluto mengangguk, yakin.
🌑
Tami menyicip wine merah yang menyaru dengan warna bibirnya, pekat. Perempuan itu sedang menikmati panorama sky view pada restoran lantai atas sebuah gedung hote mewah.
Appetizer disajikan dengan cantik, dan mahal. Belakangan ini, Tami selalu makan dan melakukan apa-apa yang cantik, lagi mahal. Pesona perempuan itu dipampang dengan gamblang dan tanpa cela, semua demi menggaet pria dewasa yang sedang duduk di hadapannya ini. Dan tentu saja, semua berhasil sesuai rencana.
"Ini untuk kamu, Tami." Theo menyerahkan sekotak bungkusan mungil, dengan lapisan kain bludru yang lembut.
Sambil tersenyum, Tami membuka kotak tersebut. Di dalamnya, terdapat sebuah kalung dengan liontin berlian yang berkilauan.
"Kamu yang ulang tahun, kok malah kamu yang ngasi kado, sih?" ujar Tami tak terima.
Theo tersenyum tipis. "Itu bisa aja jadi cincin, kalau kamu mau..."
"A-apa?" Belum genap Tami menyelesaikan kalimatnya, Theo sudah keburu menggenggam tangan perempuan itu.
Tami menahan napas. Tiap kali kulit mereka bersentuhan, perempuan itu selalu menahan perasaan jijik yang menggelora di perutnya.
"Kamu telah membuka mata saya, bahwa hidup bisa jadi lebih baik. Sejak hadirnya kamu, saya jadi bersemangat untuk memulai kehidupan yang baru, Tami. I want to start a new life. Apa kamu... mau, hadir dalam hidup saya, seterusnya?"
Bacot! maki Tami dalam hati. Perempuan itu lantas menyuguhkan senyuman paling manisnya.
"Ya, Theo... aku mau. Aku mau sekali!" Dalam hati, Tami bersorak sorai akan keberhasilannya membuat Theo bertekuk lutut.
Theo tersenyum puas sambil menggenggam tangan Tami, lalu membawa jemari wanita itu untuk dikecupnya.
"Kalau begitu, habis ini kita pulang, ya?" ajak Tami sambil menarik tangannya lepas.
"Pulang? kamu sudah mau pulang?" Theo bertanya, tak mengerti.
"Iya. Aku ingin kamu mampir ke rumahku, Theo. Mari kita mulai awal yang baru, yang jujur tanpa kepura-puraan."
Mendengarnya, Theo mengangguk setuju. Lelaki itu sudah lama mempersiapkan diri untuk mengajak Tami berhubungan serius—bukan hanya sekedar menjadi sugar baby, atau teman di kala sepi. Theo bisa melihat Tami adalah wanita yang brilian. Lelaki itu jatuh hati, sungguhan.
Setelah hengkang dari restoran sky view mewah tersebut, Mercedes-Benz milik Theo kembali membelah jalanan selatan Jakarta. Mereka berhenti di depan rumah Tami.
"Siap?" tanya perempuan itu sambil membuka seat belt-nya. Theo mengangguk.
"Rasanya seperti kembali muda, ketemu calon mertua."
Tami terkekeh sambil turun mendahului.
Dengan percaya diri, Tami melenggang masuk, dimana Theo mengikuti tak jauh di belakangnya. Setelah mereka berdua masuk, Tami mengunci pintu rumah dengan satu gerakan mulus.
Theo tidak sadar, karena dia memandangi interior rumah Tami dengan pandangan berkeliling.
"Sini," ajak perempuan itu. Dia berhenti di depan sebuah foto keluarga, berbingkai kayu di ruang tamu.
"Itu orang tua aku," tunjuk Tami ke arah foto keluarga tersebut. Theo mengangkat satu alisnya, tanda tak mengerti.
"Mereka sudah meninggal," lanjut Tami kemudian, yang dengan sukses telah membuat air muka Theo surut warnanya.
"Aku turut berduka cita," ucap lelaki itu tulus.
"You should be." Tami mengitari Theo yang berdiri kaku, membuat lelaki itu semakin tak mengerti.
"Mereka meninggal dalam kecelakaan, di Tol Cipularang. Enam bulan yang lalu." Tami menjelaskan sambil merogoh sesuatu di dalam tas tangannya.
Kini Theo benar-benar membatu. "I—itu... kamu..."
"Ya, Theo. Aku adalah anak dari orang yang kau bunuh." Tami mengikis jarak dengan Theo, menempelkan ujung pelatuk besi pada diafragma lelaki itu.
Theo mundur selangkah, membuatnya terdesak di pintu masuk yang terkunci.
"Apa kamu menyesal, Theo? Apa kamu merasa bersalah?" tanya Tami dengan nada miring. Pistolnya masih teracung, membuat Theo gugup setengah mati. Lelaki itu lantas mengangguk pasrah.
"Maafkan aku, itu semua hanyalah kecelakaan..." cicitnya putus asa.
"Oh, ya-ya, tentu saja. Sebentar lagi juga akan terjadi 'kecelakaan', ketika peluru timah ini menembus tubuhmu."
Tami membuka lock pada pistolnya, siap menembak. Pada detik itu juga, pintu masuk di belakang Theo tergedor.
DOKK-DOK-DOK... DUAKK!!
Seseorang berusaha mendobrak pintu dari luar.
Tami yang terkejut luar biasa, menjadi lengah dalam sepersekian detik, memberikan kesempatan Theo untuk menerjang perempuan itu. Pistol lepas dari tangannya.
"Papa! Papa... apa papa di dalam??" Suara Charon terdengar dari balik pintu. Mata Theo membulat, tak menyangka anak gadisnya bisa berada di tempat ini.
"Ocha!" panggilnya, nemun sedetik kemudian Tami menendang diafragma lelaku itu, membuatnya tersungkur.
Buru-buru Tami memungut pistol dari lantai. "Selamat tinggal, Theo!" desisnya.
DUAKK! Pintu terbuka, bersamaan dengan itu, Pluto menerjang masuk.
"Kak! Jangan!"
DOR!
Letusan timah melesat, tidak tepat sasaran. Peluru pertama itu menghantam tembok di belakang Theo.
"Apa-apaan kamu, Pluto? Lepas!" Tami berusaha melepaskan diri dari adiknya, yang kini bergulat merebut senjata api tersebut.
"Nggak bisa kayak gini, Kak! Dia mati pun, Kakak nggak akan hidup tenang. Please dengerin, Kak!" pinta Pluto dengan nada putus asa, sementara Tami mencuri momentum, mengarahkan telunjuknya pada pelatuk api. Tujuannya satu: Theo yang merunduk terseok hendak melarikan diri.
DOR!
Kali ini, timah panas tepat mengenai punggung kiri Theo, menembus jantungnya. Lelaki itu ambruk seketika.
"Papa!" teriak Charon yang langsung menyerbu lelaki itu, terduduk dan memangku kepala papanya yang terkulai lemas.
"O... cha... maafin... Papa..."
Kalimat itu terembus susah payah seiring napas Theo menguap. Charon bergetar, menangis sesenggukan.
Pluto yang masih bergulat dengan Tami, akhirnya bsia menguasai kakaknya itu. Tami melepaskan genggamannya pada pistol, sebelum jatuh terduduk dengan napas memburu.
Pluto menggenggam pistol itu tinggi-tinggi, jauh dari jangkauan Tami.
"Angkat tangan! Jatuhkan senjata!"
Tiba-tiba, suara lantang personel kepolisian menyerbu masuk ke dalam rumah keluarga Aditya. Pluto dengan panik menjatuhkan senjatanya dan mengangkat tangan.
Belasan pointer merah menyerbu tubuh Pluto, siap melesatkan peluru dari unit bersenjata. Cowok itu pasrah.
Dia jadi tersangka.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top