34 · Bianglala
a / n
Soundtrack untuk bab ini :
♪ Tulus — Cahaya
[Swipe »]
.
Semampuku kau akrab dengan senyum dan tawa
Semampuku tak lagi perlu kau takut cinta
Bila aku pegang kendali penuh pada cahaya
Aku pastikan jalanmu terang
🌑
Charon merasa sangat beruntung hari ini.
Dia bisa sarapan sushi legendaris buatan tangan Kak Gala, bisa membolos sekolah untuk pertama kalinya dibawah titah Kak Arta, dan bisa di-support habis-habisan oleh Pluto sedemikian rupa.
Yang terakhir ini, entah kenapa membuat dada Charon berdegup lebih intens.
"... gue pengen ketika nanti di masa depan lo keinget hari ini... lo nggak nginget rasanya di-bully dan ditindas abis sama Lala doang. Gue pengen lo inget, kalau hari ini tuh ada bagian menyenangkanya juga."
"... sumpah, gue nggak peduli kalopun berita itu bener... mau lo anaknya siapa kek, habis ngapain aja kek. Buat gue, lo ya lo. Charon."
Sekelebat lintasan kalimat yang diucapkan Pluto pagi tadi membuat pipi Charon terasa hangat. Gadis itu lantas menggenggam ujung seragam Pluto, yang saat ini sedang membonceng dirinya.
Motor mereka melaju melewati Kota Tua, Jakarta Utara, dan memelan di daerah Ancol.
"Kak... ini?" Charon terperangah ketika melepas helm-nya. Perjalanan 45 menit itu telah membawa mereka ke destinasi taman impian jaya.
"Yok," ajak Pluto.
"Kita masuk ke situ? Ke Dufan? Seriusan, Kak?" tanya Charon, masih tak percaya.
"Iya, ayok."
Kali ini Pluto mengulurkan telapak tangannya. Dengan dada berdebar, Charon menyambut uluran itu. Tergenggamlah tangan mereka.
Charon kini bisa merasakan kegembiraan mengaliri darahnya, bentuk excitement yang nyata.
Namun demikian, Charon tidak bisa membohongi dirinya kalau dia merasa ada sesuatu yang masih mengganjal. Semenjak pergi meninggalkan KK Sushiya, Pluto tampak lebih... diam.
Anehnya lagi, setiap Charon menatap cowok itu—dan Pluto sadar dirinya sedang diperhatikan oleh Charon, sang kakak kelas lantas menyuguhkan wajah yang tersenyum. Kelihatan sekali kalau dipaksa.
Kak Pluto nggak pandai make topeng mah, pikir Charon.
Untungnya, suasana di loket pembelian tiket sedang sepi. Ah, iya. Ini kan weekdays, hari aktif. Jam-jam masuk sekolah pula. Beruntung banget Charon dan Pluto memilih momen yang tepat seperti sekarang ini. Coba saja kalau ramai... ah, Charon nggak mau membayangkan.
Semoga sepi terus sampai nanti. Semoga Kak Pluto nggak apa-apa, pinta Charon dalam hati, mengingat penyakit agoraphobia yang diam-diam dijelajahnya lebih dalam—entah kenapa gadis itu sepeduli itu dengan keadaan mental Pluto.
Sesekali, Charon menoleh utuk melirik wajah Pluto, dan tiap kali, tertekuklah air muka cowok itu, seperti ada sesuatu di pikirannya—yang langsung diluruskan dalam satu senyum ke arah Charon saat Pluto sadar dirinya sedang diperhatikan. Lagi, cowok itu memasang topeng amatirnya.
"Kak... kalau nggak mood jalan, nggak usah dipaksa jalan-jalan juga nggak papa kok. Kita pulang aja," ajak Charon ketika mereka berdiri di depan loket. Pluto sibuk mengeluarkan dompet.
"Heh? Kenapa? Gue nggak kenapa-kenapa kok. Udah sampe sini lagian, apa nggak sayang? Eh—iya Mbak, tiketnya dua ya." Pluto mengalihkan perhatiannya pada petugas loket, membeli dua tiket masuk sekaligus.
Charon memperhatikan dengan perasaan gamang. Mau senang, tapi ngerasa banget ada something wrong. Firasatnya mengatakan ini semua nggak bakal berujung menyenangkan.
Setelah mengantongi dua lembar tiket masuk Dufan, Pluto menggiring Charon dengan perangai yang (sok) semangat, berusaha memancing senyum gadis itu.
"Ayo, Cha. Happy dong! Kata kakak gue, Disneyland itu tempat paling bahagia sedunia. Nah berhubung kita nggak mungkin ke Disney, ke Dufan aja gapapa lah ya? Sama-sama theme park juga kan?" Pluto menyuguhkan senyum yang dipaksakan, membuat Charon merasa bersalah.
"Kak..." panggil gadis itu, kini mereka sedang berjalan beriringan melewati gerbang masuk Dufan.
Paving batu merah dengan jejeran jalan setapak kuning membimbing mereka, bagai memasuki dunia magis Oz. Follow the yellow brick road, katanya.
Pluto terus berjalan tanpa mendengar lirih panggilan Charon, membuat gadis itu akhirnya menarik genggaman tangan mereka.
"Jangan dipaksain ya, Kak... kalau nanti capek, kita menepi aja, oke?"
Pluto terenyuh mendengar perkataan Charon barusan. Kalimat yang keluar dari mulut gadis itu membawa ingatan Pluto tergiring pada suatu sore, saat dia dan keluarganya makan bersama.
"... kalau Adek mulai ngerasa overwhelm, kita langsung melipir dan istirahat. Adek percaya sama kita 'kan?"
Suara Bunda menggema di tempurung otak Pluto. Cowok itu menghentikan langkahnya.
"Kak?" panggil Charon. Pluto berkedip seketika.
"I--iya? Kenapa, Cha?"
"Kakak nggak apa-apa?"
Pluto mengangguk sebagai jawaban. "Nggak papa kok. Eh, kita kemana dulu ya, enaknya? Cha, lo mau naik apa dulu nih?" Pluto menggocek percakapan dengan lihai.
Cowok itu mulai sibuk menunjuk-nunjuk dan menawarkan berbagai wahana. Taman bermain itu serasa milik mereka berdua.
"Jangan yang serem-serem ya, Kak." Charon berusaha mengikuti langkah Pluto.
"Naik itu aja gimana, mau?" Pluto menunjuk ontang-anting yang sepi pengunjung. Tak ada antrian sama sekali di pintu masuk wahana kursi terbang tersebut.
"Boleh deh." Charon tidak dapat membohongi dirinya sendiri, kalau gadis itu masih merasa lumayan excited walaupun bercampur sedikit perasaan guilty.
Dibawa ke taman bermain, manusia mana coba yang nggak bakal seneng? batin Charon membela diri.
Lagipula... mungkin Kak Pluto memang butuh ini, butuh happy-happy dan butuh dihibur. Ocha harus bisa bikin Kak Pluto seneng juga!
Beberapa menit kemudian, Charon dan Pluto telah duduk manis di kursi layang wahana ontang-anting. Mereka adalah salah-dua dari segelintir orang yang menaiki wahana tersebut— yang jumlahnya bisa dihitung jari. Taman impian ini benar-benar sepi.
Mendung yang menaungi langit utara Jakarta itu membuat sengatan matahari tidak terlalu menyiksa. Sejuk.
Charon tak bisa menahan tawanya ketika ontang-anting mulai berputar, naik, dah melintir. Pluto yang memperhatikan Charon, diam-diam tersenyum pula. Kali ini, senyuman itu tak dibuat-buat.
Pada menit itu, selama kurang-lebih 45 detik Pluto dan Charon melawan gravitasi, mereka merasakan satu momen genap yang meleburkan segala lara.
Pada setengah menit itu, semuanya mendadak baik-baik saja. Tak ada luka, tak ada kecemasan dan kecurigaan. Yang ada hanya senyum, tawa, dan tarikan magis antara Pluto dan Charon.
Momen itu melebur terlalu cepat. Tau-tau, ontang-anting sudah turun saja. Atraksi selesai, Pluto dan Charon berjalan keluar.
"Seru ya?" celetuk Pluto sambil melangkah santai. Tampaknya cowok itu sekarang sudah lebih rileks.
"Iya, Kak. Makasih ya Kak, udah ngajak Ocha ke sini..." ucap Charon sambil menyuguhkan senyum sungguh-sungguh. Manis.
Pluto terkesima sepersekian detik tanpa tersadar, hanyut dalam wajah Charon yang entah sejak kapan jadi lebih menggemaskan dari biasanya. Perlahan, Pluto mengangkat jemarinya. Bagaikan disetir secara auto-pilot, cowok itu mengusap pucuk kepala Charon dengan lembut.
"Sama-sama," gumamnya.
Chaton melongo. Jantungnya berdenyut lepas.
"Eh-hm. Kita mau naik apa lagi nih, Cha?" Pluto berdeham sambil mulai mengalihkan pembicaraan. Rupanya cowok itu tersadar bahwa dia baru saja melakukan satu hal yang langka—skinship dengan orang lain, terlebih lagi lawan jenis.
Charon melayangkan pandangannya, kemana saja asal bukan mata Pluto.
"Kalo... naik itu, mau Kak?" Charon menunjuk bianglala raksasa. Pluto menengadah mengikuti arah tunjukan Charon.
"Boleh," jawabnya.
Dua remaja itu lantas berjalan beriringan menuju loket masuk atraksi kincir ria. Wahana masih sepi saat mereka tiba di depan besi pembatas antrian.
Namun itu nggak bertahan lama. Entah dari mana, tiba-tiba muncul gerombolan pengunjung, sepertinya rombongan sekolah, dengan anak-anak dan orang tua yang berbaur dengan riuh. Mereka menunjuk-nunjuk bianglala dengan penuh minat.
Seketika itu, Pluto dan Charon terdesak maju memasuki liukan besi pembatas. Suasana gaduh memekakkan telinga.
"Cha—"
"Kak!"
Pluto dan Charon hampir terdorong dan terpisah, jika saja tangan mungil Charon tidak sigap menarik lengan seragam Pluto, mengambil kesempatan membuka pagar yang tak terkunci, menyelamatkannya dari kerumunan.
Charon menarik Pluto menjauh dari loket masuk wahana bianglala, menjauh juga dari kerumunan rombongan yang semakin tampak ramai, membludak.
Gadis itu bisa merasakan tubuh Pluto yang gemetaran, kaku, sehingga membuat Charon memperhatikan air muka kakak kelasnya itu. Wajah Pluto tampak pias, napasnya memburu. Pandangan cowok itu tak lagi awas. Ia telah ditelan kepanikan di dalam kepalanya.
"Kak... Kak Pluto," panggil Charon dengan nada putus asa. Pluto tidak merespons. Cowok itu masih hilang digalang panic attack.
"Kak... lihat... lihat Ocha. Lihat di sekeliling Kakak, ada apa?" Charon memohon dalam hatinya, semoga cara ini berhasil.
Sedetik Pluto berkedip. Matanya kembali ke bumi, melirik keadaan sekitar.
"Pager... besi... permen kapas." Pluto mulai mengabsen benda-benda di sekitarnya.
Charon ingin menjerit, lega.
"Iya! Iya Kak, bener. Sekarang... kita di mana? Kakak tau? Kak Pluto tau sekarang lagi di sini sama siapa?" Charon masih berusaha menarik fokus perhatian Pluto kepadanya.
"Gue... di Dufan. Sama..." gumam Pluto sambil mulai sadar. Tubuhnya mulai tenang, dan jemarinya kini terangkat pelan, menyentuh pipi Charon. "Lo, Charon..."
Charon hampir saja tak bisa menahan air mata yang hendak pecah. Gadis itu hanya mengangguk-angguk, riang.
"Iya, Kak. Ini Ocha. Kakak di sini sama Ocha!" Gadis itu menggenggam jemari Pluto yang membelai wajahnya, merasakan kehangatan tangan cowok itu perlahan menjalari tangannya sendiri.
"Cha..." panggil Pluto. "Lo... tau dari mana, ini..."
"Bundanya Kakak," jawab Charon lugas. "Ocha baca jurnal bundanya Kak Pluto. Ocha juga belajar tentang agoraphobia, tentang anxiety, panic attack, dan..."
Gadis itu menghentikan kalimatnya sendiri. Pluto masih diam, mendengarkan.
"Ocha juga tau, Kak... kalau bundanya Kakak itu, udah..." Charon menunduk.
"Nggak papa, Cha." Pluto berkata dengan nada rendah. "Makasih, ya."
Charon mengangguk pelan. "Kak... Ocha mau nanya sesuatu." Gadis itu kini tidak lagi dapat berpura-pura. Hatinya tak mampu menahan rasa bersalah dan asumsi begitu kuat yang dari semalam disimpannya rapat.
"Pas Ocha baca artikel dan berita tentang bundanya Kakak... Ocha baca, ada berita... kalau orang tua Kakak itu meninggal karena kecelakaan di Tol Cipularang..."
Pluto menahan napas. "Cha..."
"Kak... Kak Pluto tau, apa penyebab papa Ocha bisa masuk penjara?" tanya gadis itu dengan mata yang sudah mulai berkaca. Tuhan, maafin Ocha. Ocha nggak tau. Ocha nggak nyangka.
"... Papa nabrak orang waktu mengemudi di jalan tol, Kak. Dan—"
"Stop, Cha." Pluto menggenggam wajah gadis itu, menuntun mata mereka untuk bertemu. "Nggak usah dilanjutin," ucap cowok itu dengan tegas.
"Kak, tapi... gimana kalau..." Air mata Charon mulai meleleh. Gadis itu menahan isaknya.
"Cha, udah. Nggak pa-pa. Gue kan udah bilang, gue nggak peduli."
Tangis Charon pecah, gadis itu tersedu-sedu. "Maaf, Kak... maafin Ocha... maafin papa Ocha... hnng... hu-hu."
Pluto refleks memeluk tubuh mungil Charon, membungkam tangis gadis itu dalam dadanya.
"Sssstt, udah-udah. Cha, udah... nggak papa." Cowok itu membelai rambut pendek Charon, membiarkan gadis itu puas menumpahkan tangis sampai reda.
Tanpa sepengetahuan Charon, saat ini ekspresi wajah Pluto diam-diam mengeras seiring sebuah kesimpulan mulai terpatri dalam benaknya.
Semua gelagat aneh kakaknya, pertemuannya dengan Charon, nampaknya merupakan tanda-tanda dan petunjuk yang diberikan semesta, yang telah membawa cowok itu sampai pada titik ini.
Disini, dimana Pluto memeluk seorang Charon Theodora yang masih bergetar akibat tamparan realita.
Nggak, putus Pluto dalam diam. Gue nggak akan nyerah sama yang namanya takdir. Dan gue juga tau ini semua belum selesai.
Pluto mengeratkan pelukannya pada Charon yang masih terisak.
Gue harus ngelakuin sesuatu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top