31 · Milky Way

Rasa itu menjalar lagi. Perasaan yang sudah setengah tahun lebih tidak menghampiri Charon.

Kerongkongan tercekat, lidah kelu, perut kaku, serta lutut yang melemas.

Perasaan itu hanya muncul setiap kali Charon melihat papanya. Otak Charon serasa mati.

"Ocha!" panggil Pak Theo.

Nggak. Charon menggeleng.

Nggak, nggak, nggak. Ocha nggak mau ketemu Papa. Harusnya bukan Papa yang nolongin Ocha. Nggak...

"Cha..." Pak Theo maju selangkah. Charon mundur selangkah.

"Kamu ngapain disini?" tanya Pak Theo sambil meneliti tubuh anak gadisnya dari atas ke bawah, sebelum sedetik kemudian merenggut pergelangan tangan Charon dengan sigap.

"Ayo," ucapnya.

"Ng—nggak mau, Pa!" Charon berusaha berontak, tapi jelas tenaganya kalah tanding.

Gadis itu terseret cengkeraman tangan papanya ke luar gudang. Charon benar-benar merasa hopeless sekarang.

Kalau boleh jujur, dia lebih memilih terus terkurung di dalam gudang pengap tadi saja, dari pada harus berurusan dengan papanya.

BUGGHH!

Tangan Charon bebas. Pak Theo tersungur, memegang sisi wajahnya yang baru saja terhantam.

"Kak Pluto!" Charon tidak mempercayai matanya. Pluto berdiri di situ, dengan tangan terkepal, napas memburu.

"Ocha! Kamu nggak papa??" terdengar suara Riva yang datang berlari dari belakang Pluto, Gillian menyusul tepat di sebelahnya.

"Ri-Riva..." Charon berlari ke dalam rengkuhan Riva, mulai menangis sesenggukan, membasahi kerudung temannya itu.

Riva bisa merasakan tubuh Charron gemetar. Gadis itu sungguh-sungguh ketakutan.

Gillian bersiaga di dekat Pluto, memperhatikan Pak Theo yang bangkit dari atas tanah. Gillian memasang kuda-kuda, siap menyerang juga.

Melihat dua remaja SMA mengepalkan tangan, siap menghantam, membuat Pak Theo sadar bahwa bukan ide bagus untuk melawan. Diangkatnya kedua lengan ke atas udara, menyerah.

"Saya cuma mau bicara," ucap Pak Theo jelas.

Ditatapnya anak gadisnya, Charon, yang masih terisak dalam pelukan Riva.

"Cha... Papa cuma mau bicara sama kamu." Pak Theo mengulangi kalimatnya.

🌑

Pluto nggak menyangka dia bisa berada di posisi ini sekarang.

Di tempat yang selalu disebut-sebut Kipli, yang juga selalu ditolaknya untuk dikunjungi, bersama seseorang yang harusnya dia hindari. Harusnya, Charon hindari.

Pak Theo Gumanjar—papa Charon.

Bukan keinginan Pluto untuk berada di sini, kafe Milky Way.

Bukan juga keinginan dia untuk duduk menemani Charon, berbicara dengan papanya.

Ini semua karena gadis itu yang mau.

"Cha... Papa cuma mau bicara sama kamu." Terngiang kata-kata yang diucapkan Pak Theo tadi. Nadanya terdengar putus asa, membuat Pluto merasa (sedikit) bersalah karena telah meninju wajahnya.

Charon yang masih terguncang, tampak tak sanggup menjawab.

"Maaf, Pak. Tapi saya nggak bisa ngebiarin Charon dibawa sama Bapak." Pluto tidak ingat dia mendapat keberanian dari mana, tapi entah kenapa tadi bisa-bisanya dia menjawab demikian. Berani.

"Saya mohon, sebentar saja..." Kali ini Pak Theo memohon, lurus ke arah Charon. Gadis itu sudah lebih tenang setelah ditepuk-tepuk pundaknya oleh Riva.

"Pa... Papa mau ngomong... apa?" ucap Charon terbata. Pluto segera menghampiri gadis itu.

"Cha, jangan Cha."

"Nggak papa, Kak... Ocha juga mau... denger Papa mau ngomong apa."

Pluto menghela napas.

"Oke. Tapi gue ikut. Gue nggak bisa ngebiarin lo sendirian. Paham?"

Charon tersenyum lemah. "Ocha memang mau ngajak Kak Pluto juga, kok... hari ini kan kita... harusnya pulang bareng."

Dan di sinilah mereka. Kafe susu-susu dekat SMA Magella yang tempo hari digembar-gemborkan oleh Kipli. Pluto sengaja mengarahkan mereka ke tempat umum yang ramai.

Charon duduk di sebelahnya, sementara Pak Theo duduk di seberang mereka. Riva dan Gillian sudah pulang—ini Charon yang minta.

"Papa minta maaf, kalau bikin kamu takut atau terkejut, Cha." Pak Theo memulai sambil menyeruput kapucino miliknya.

Charon ragu-ragu meneguk hazelnut milkshake dari gelasnya, sementara Pluto mengindahkan susu moka pesanannya.

"Bapak... yang pakai mobil hitam plat D, yang sering menunggu di sekitar sekolah, ya?" tebak Pluto saat Charon tak menjawab kalimat papanya.

Pak Theo mengangguk. "Benar, itu mobil saya. Kamu ini...?"

"Saya Pluto, Pak," jawab Pluto.

"Apa hubunganmu dengan anak saya? Apa kamu berpacaran dengan Ocha?" tembak Pak Theo langsung.

Pluto membeku. Dia benar-benar nggak menyangka akan ditanyai seperti itu oleh orang yang menjadi momok selama ini.

"Err, i—itu..."

"Iya, Pa. Pluto ini pacar Ocha," serobot Charon tiba-tiba. Nadanya tegas.

Pluto tidak menyadari saat gadis itu diam-diam mencengkeram lengan pendek seragamnya, mengumpulkan keberanian.

Pak Theo memperlihatkan air muka kaku. Lantas, pria itu memandangi Pluto dari atas ke bawah, seakan menilai cowok itu dalam benaknya.

Diam-diam, Pluto juga balik menilai Pak Theo. Lelaki paruh baya dengan kemeja yang dilipat lengannya—tampak masih gagah dengan lekukan otot bisep yang menyembul kekar, terlepas helaian uban menyembul di rambutnya. Pluto juga sadar hidungnya mirip dengan hidung Charon.

Kalau boleh jujur, Pluto bisa sekali menilai Pak Theo sebagai lelaki yang tampan, kalau saja posisinya tidak sebegini rumit dan menegangkan.

"Benar itu, Pluto?" tanya Pak Theo tiba-tiba.

Cowok itu tersentak kaget. Apa tadi? Pacar?

Pluto mengangguk buru-buru. "Benar, Pak."

"Oke." Pak Theo kembali bersandar pada kursinya.

Hening sejenak, saat Pak Theo kembali sibuk dengan cangkirnya dan Charon diam-diam melepas genggamannya pada seragam Pluto. Gadis itu lantas memilin-milin jemarinya sendiri.

"Kamu nggak apa-apa, Ocha? Kenapa tadi bisa kekuncian di gudang?" ucap Pak Theo sambil menyelidik raut muka Charon.

"I-itu tadi... Ocha... lagi main petak umpet, Pa. Sama temen-temen Ocha, sama Riva dan Gillian. Tadi pintunya tiba-tiba macet, terus Ocha kejebak deh... m-makasih ya Pa, udah nolongin Ocha tadi."

Pluto yang mendengarkan hanya bisa diam. Dia menyimpulkan Charon tak mau papanya terlibat, agar semuanya nggak makin rumit.

Pak Theo mengangguk mendengar penjelasan itu.

"Lain kali hati-hati kalau bermain. Seperti anak kecil saja kamu, Cha."

Charon mengangguk kaku. Tampak gadis itu menghela napas.

"Papa..." lirih Charon. "Kenapa tadi... bisa ke gudang itu?"

Pak Theo memutar-mutar cangkir kapucino sambil mulai menjelaskan, "Papa sengaja ingin menemui kamu, Cha. Papa tunggu kamu sedari bel pulang sekolah, tapi kamu tidak keluar-keluar. Jadilah Papa cari-cari, dan mendengar kamu gedor-gedor pintu dari dalam gudang."

"Oooh..." gumam Charon. "Terus Papa.. tau dari mana, kalo Ocha sekolah di Magella?"

Pak Theo meletakkan cangkir kapucinonya.

"Dari teman kamu."

Charon mengerutkan kening. "Temen Ocha yang mana?"

"Yang biasa mengantar kamu pulang itu. Anaknya Kepala Yayasan SMA Magella."

"Lala?" simpul Charon, terkejut.

Pak Theo mengangguk. "Ya, yang namanya entah-siapa-Leilani itu."

Pluto dapat melihat wajah Charon mengeras. Napasnya terhela, pasrah.

"Oke... Papa mau ngomong apa sama Ocha?" ucap Charon setelah berhasil menata emosinya.

"Ocha, apa kamu... benci sama Papa?" tanya Pak Theo hati-hati. Charon menunduk.

"Papa udah jahat sama Mama," gumam Charon lirih.

Pak Theo mendesah kasar.

"Papa ini nggak mau ada urusan lagi sama mamamu itu, Cha. Sudah selesai kita. Yang Papa tanyakan itu kamu, Charon."

Si anak gadis makin tunduk. Hatinya hancur mendengar ucapan papanya secara langsung. Ternyata talak itu berjalan dua arah—terkonfirmasi oleh papanya, mengukuhkan nasip Charon sebagai anak broken home.

"Apa kamu bahagia sekarang, Cha, hidup luntang-luntung bersama mamamu itu?" Pak Theo melanjutkan.

"..." Charon bungkam.

"Begini, Cha. Papa itu sudah mendapatkan kembali pekerjaan lama Papa—di sini, di Cokro Group kantor pusat Jakarta. Papa lebih bisa membiayai hidup kamu, memberi kamu fasilitas apa saja yang kamu mau..."

Charon masih menunduk, gadis itu tetap bungkam.

"Ocha, dengarkan Papa, Nak. Selama Papa menghabiskan waktu di... ekhmm—berpikir, Papa mulai mengevaluasi semuanya. Setelah akhirnya Papa... bebas, Papa memutuskan untuk menata ulang hidup Papa. Start a new life."

Charon mulai menaikkan wajahnya, sedikit. Gadis itu meneliti air muka Pak Theo, mencari kesungguhan di sana.

"Apa Ocha... nggak mau, jadi bagian dari hidup Papa yang baru ini, hmm?" tanya Pak Theo dengan nada yang dilembut-lembutkan.

Kini Charon menatap papanya lurus-lurus.

"Pa..." Gadis itu mulai membuka suara. "Belakangan ini Ocha belajar... untuk nggak mudah percaya sama kata-kata yang kelihatannya manis dan baik di depan. Ocha belajar... kalau... sikap itu lebih bisa dipercaya dibandingkan kata-kata."

Air muka Pak Theo mengeras.

"Pa, apa... Papa bisa ngejamin kalau Papa nggak akan nyakitin Ocha sama kayak Papa nyakitin Mama dulu? Bukannya Ocha nggak percaya sama kata-kata Papa barusan, Ocha yakin niat Papa sama Ocha baik, cuma... sikap sama perlakuan Papa selama ini yang... bikin Ocha..."

Charon menunduk kembali, menggigit bibir. Tampaknya gadis ini mulai menahan tangisnya, lagi.

"Cha," lirih Pluto. Disentuhnya punggung tangan gadis itu dengan telunjuknya, hati-hati. Diluar dugaan, Charon membalikkan telapak tangannya dan perlahan menggenggam jari telunjuk Pluto. Gadis itu butuh kekuatan.

Setelah menelan napas, Charon melanjutkan.

"Pa, maaf Ocha nggak bisa ngasih jawaban sekarang. Ocha nggak bisa ngambil keputusan sendiri tanpa... ngomong dulu sama Mama. Ocha tau rasanya... ketika orang yang sayang, ngambil keputusan besar secara tiba-tiba, tanpa ngomong sama Ocha dulu. Rasanya ngga enak."

Pak Theo memperhatikan kalimat Charon, lantas mengangguk kaku. Sepertinya dia paham kalau putrinya itu butuh waktu.

"Nggak Papa sangka anak Papa sudah sedewasa ini. Baiklah, kalau begitu. Kamu pikirkan dulu tawaran Papa baik-baik, Ocha."

Dan begitulah, pertemuan mereka berakhir dengan Pak Theo, Charon dan Pluto berjalan keluar dari kafe Milky Way. Sekilas Pak Theo memperhatikan Pluto yang menyerahkan helm kepada Charon—memandang motor cowok itu selama beberapa detik. Charon sibuk mengenakan helm sambil berkaca di spion motor.

"Pluto, kamu..."

Panggilan itu membuat Pluto menoleh sigap. "Iya?" jawabnya.

"Kamu sepertinya bisa menjaga Charon dengan baik. Saya titip anak saya itu, ya?" gumam Pak Theo lirih, setengah berbisik agar Charon tidak mendengar, sambil menepuk lengan Pluto dua kali.

"I—iya, Pak..."

🌑

Pluto menghentikan motornya di depan gedung apartemen Kak Arta. Charon turun dari boncengannya, dan menyerahkan helm itu pada Pluto. Sepanjang perjalanan pulang tadi, gadis itu bungkam.

"Cha, lo beneran nggak apa-apa?" tanya Pluto, memastikan.

Charon memandang Pluto dengan mata yang lelah.

"Kak... mau duduk di situ bentar, nggak? Ocha pingin cerita," ucap gadis itu sambil menunjuk trotoar pembatas parkiran. Pluto mengangguk.

Charon menceritakan semua. 

Tentang Lala yang "minta maaf", tentang Lala yang mengunci Charon di gudang, tentang semua yang dikatakan Lala, sampai akhirnya Charon meminta maaf pada Pluto karena tidak muncul di rooftop saat istirahat sekolah.

"Ngapain minta maaf, Cha. Lo kan nggak salah. Orang tadi lo lagi diculik gitu." Pluto berusaha mencairkan suasana dengan menyeletuk bercanda. Charon hanya tersenyum lemah.

"Yah... Ocha ngerasa nggak enak aja kalau Kak Pluto harus nungguin lama, padahal Ocha yang nggak dateng-dateng. Tadi, Kak Pluto nggak nunggu lama-lama, kan, di rooftop? Kak Pluto masih sempet ke kantin, kan? Balik ke kelas juga?"

Pluto tersenyum, lalu mengangguk. "Iya, nggak nunggu lama kok."

Charon tertawa lega. Gadis itu jadi ingat sesuatu.

"O iya, Kak... yang mau Kakak omongin tentang Lala itu..."

"Ah, masih penting emangnya?" sela Pluto. "Kan udah jelas kelihatan dia gimana. Dia bukan temen lo, Cha. Yang namanya temen itu nggak bakal ngebahayain temennya sendiri. Mulai sekarang, lo harus bener-bener lepas dari Lala, Cha. Nggak sehat."

"Ocha tau kok, Kak... Ocha sadar, Lala emang bangs—aawwh!"

Pluto menyentil dahi Charon tepat sebelum gadis itu (lagi-lagi) mengatakan kata terlarang.

"Udah gue bilang, jangan ngomong jelek gitu!"

"Iya, iya, Kak... ampun." Charon mengelus dahinya yang cecenutan.

"Terus itu, Kak Pluto tadi mau ngomong apa, sih?" Rupanya gadis itu masih penasaran.

Pluto menghela napas, kalah. "Sebenernya udah nggak relevan lagi sih, tapi yaudah... gini, lo tau kan kalo Lala itu... ehm, apa ya, posesif?"

Charon mengangguk. "Tau banget."

"Tau sebabnya kenapa?"

Charon menggeleng.

"Oke, bentar... gue jelasin dari awal dulu. Jadi, lo tau kan Lala itu selalu... ngedapetin apa yang dia mau?"

"Iya, Gill juga bilang gitu," sambut Charon.

"Nah. Dua tahun yang lalu, waktu dia baru masuk kelas satu... dia nggak ngedapetin apa yang dia mau."

"Apa itu, Kak?"

Pluto membuang muka. "Gue."

"Hahhh???" Charon mengerjapkan matanya. "J-jadi... Lala pernah suka sama Kakak? Pernah nyatain cinta??"

Pelan, Pluto mengangguk. "Waktu itu pas lagi OSPEK, dan Lala ditantang buat nembak kakak kelas. Dan apesnya, gue lewat di situ."

Charon mendengarkan sambil memeluk lututnya. "Lala nembak Kakak? Dia beneran suka sama Kakak?"

"M-hm," jawab Pluto. "Mamanya Lala itu teryata klien Bunda gue. Dari situ kayaknya dia pernah lihat gue, terus suka. Kayaknya loh ya, gue nggak mau kege-eran."

Charon mengangguk. "Klien? Bundanya Kak Pluto?  Memangnya bunda Kakak kerjanya apa?" tanya gadis itu, penasaran.

"Psikolog," jawab Pluto pendek. Charon hanya ber 'ooohh' pelan sambil mengangguk-angguk. Sekelebat ingatan kata-kata menghasut oleh Lala entah kenapa lewat di ingatannya.

"Dia itu punya penyakit jiwa. Nggak normal." Charon menggeleng. Sekarang bukan saat yang tepat untuk menanyakan hal itu.

Pluto menghela napas sebelum melanjutkan, "Waktu itu gue belom tau, Cha, kalau ternyata... Lala itu bela-belain masuk Magella biar bisa satu sekolah sama gue. Dia sampe rela nggak satu sekolah sama temen-temen gengnya, anak-anak elit SMA Andromeda, padahal mereka udah barengan dari SMP..."

"... yang jelas waktu itu, pas Lala nembak, gue langsung tolak dia. Gue masih waras buat nggak nerima cewek random yang tiba-tiba nembak. Setelah itu, Lala terus mepetin. Selalu, dan selalu gue tolak, sampai akhirnya pas naik kelas dua ini si Lala berhenti ngejar-ngejar, dan jatohnya malah musuhin gue..."

"Entah karena keberanian Lala itu apa gimana, makin kesini makin banyak cewek-cewek random yang nembak gue juga, nyatain perasaan. Katanya mereka udah lama mendem, tapi gak berani ngomong. Terinspirasi Lala kali ya, mereka?"

Charon tertawa tipis, ingatannya kembali ke hari pertama menginjakkan kaki di Magella. Waktu itu, Pluto sedang menolak seorang cewek. Charon lupa namanya siapa.

"Tapi," ucap Pluto. "Yang fatal adalah... sifat posesifnya Lala itu, Cha. Dia itu anaknya teritorial—ngerasa memiliki apa yang sebenernya bukan milik dia. Termasuk gue, dimana Lala bakal ngejadiin cewek-cewek yang berani nembak gue itu sebagai... target."

"Untuk di-bully?" tanya Charon. Pluto mengangguk pelan, mengonfirmasi segala perkataan Lala yang tadinya nggak masuk akal bagi Charon; belagu, ngelunjak dan bikin muak.

"Makanya gue benci banget kalo ada cewek yang tiba-tiba nembak ato ngedeketin gue, Cha. Di mata mereka, mungkin kalau berhasil jadi pacar gue, mereka bakal gue lindungin dari Lala. Cih, boro-boro. Males amat, mending mah gue rebahan aja Cha..."

Charon tertawa ringan mendengarnya. "Kak Pluto males pacaran?" simpul Charon.

"Banget," jawab Pluto.

"Kalo gitu tadi Ocha minta maaf ya... udah ngaku-ngaku jadi pacar Kak Pluto di depan Papa. Ocha nggak mau debat, soalnya. Kalau Papa tau Kakak cuma kakak kelas Ocha, pasti Papa bakal nuduh Kak Pluto terlalu ikut campur, terus ujung-ujungnya diusir..."

Pluto akhirnya menatap Charon sambil tersenyum. "Iya, gue ngerti kok." 

Cowok itu menghela napas.

"Tadinya gue mau ngomongin masalah ini sama lo di rooftop—hati-hati sama Lala, karena lo bisa aja jadi 'target' dia... eh taunya gue keduluan. Sori ya, Cha."

Giliran Charon yang tersenyum, sambil menatap Pluto. "Nggak apa-apa, Kak. Ocha ngerti kok."

Pluto terkekeh, melirik sekilas pada gedung apartemen Kak Arta.

"Lo mau ngapain selanjutnya, Cha?" tanya Pluto dengan mata masih menatap gedung.

"Ocha... pulang, terus ngomong sama Mama sama Kak Arta."

Pluto mengangguk mendengarnya.

"Yaudah gih, sono. Besok kalo mau bareng ke sekolah, gue jemput lagi."

"Iya, Kak. Ocha mau."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top