26 · Ikut
Atmosfer dalam mobil terasa sedikit berat. Rikuh. Awkward.
Mama Riris mengemudi dengan pandangan lurus, sementara Charon nunduk menatap pot dalam genggaman—bermonolog dalam kepalanya bersama Yono.
Pasalnya, setelah 'berbicara' malam kemarin, Mama Riris dan Charon tidak sempat mencairkan suasana ataupun melakukan gencatan senjata. Kalau bukan karena terpaksa, Charon sudah pasti akan minta Kak Arta yang menjemputnya. Cuma kan sekarang Kak Arta kerjanya kantoran, jadi nggak bisa pergi seenaknya. Huft.
Sejujurnya, Charon masih sedih mamanya hendak bercerai, dan tampaknya Mama Riris juga ikut sedih karena tidak menyangka anak gadisnya akan seterpuruk ini. Dia pikir dia dan Charon ada pada halaman yang sama. Tapi ternyata itu hanya asumsinya saja.
"Cha..." panggil Mama Riris. Charon langsung menoleh kaku.
"I-iya, Ma?"
"Mama minta maaf, ya?" lirih Mama Riris sambil terus memandang jalan. Charon tersenyum tipis.
Diam-diam, gadis itu sebenarnya juga memikirkan posisi mamanya. Seumur hidup, Charon tidak pernah melihat Mama Riris bekerja sekeras ini—jarang di rumah, sibuk dengan entah apa, pulang larut malam dengan raut wajah lelah, dan... Charon tau itu semua semata-mata tujuannya hanya satu: untuk kebaikannya.
Dan entah kenapa pula, Charon merasakan mamanya sedikit beda. Mamanya jadi lebih... independen.
"Ocha udah maafin Mama dari kemarin-kemarin, kok."
Kini giliran Mama Riris tersenyum.
Rupanya kalau senyum, Mama Riris dan Charon memiliki tarikan bibir yang hampir sama. Ah, buah jatuh tidak jauh-jauh rupanya.
"Ocha, mau ikut Mama, nggak?" ucap Mama Riris sambil tampak menimbang sesuatu.
"Ke mana, Ma?"
"Lunch meeting."
"Hahhh??" Charon tidak mengerti.
Mendengar anak gadisnya seterkejut itu, Mama Riris sontak tertawa.
"Maksudnya, ikut lunch-nya aja kamu, Cha. Biar Mama yang meeting. Soalnya Mama pikir-pikir, belakangan ini Mama jarang sekali di rumah. Jarang ada waktu buat kamu. Jadi, kenapa nggak Mama luangin sedikit waktu, walaupun nyuri-nyuri, untuk bisa quality time sama anak Mama yang cantik ini. Gimana? Ocha mau?"
Senyum Charon mengembang semakin lebar.
"Mau, Ma! Ocha mauuuu! Ikut, ikut, ikut!"
🌑
Charon turun dari mobil, mengikuti mamanya.
Mereka tiba di salah satu jejeran bangunan pertokoan elit, dekat mall megah yang berdiri di sudut jalan.
Mama Riris membuka pintu kaca yang membawa mereka masuk ke sebuah restoran terbuka, lengkap dengan hiruk-pikuk manusia-manusia di dalamnya.
Charon sedikit memutar balik kilasan kata Mama Riris saat mereka baru tiba di parkiran tadi.
"Cha, inget ya, ini klien Mama yang sangat penting. Dia tuh adiknya bosnya Kak Arta, jadi kamu harus jaga sikap, oke?"
"Oke, Ma! Tenang aja, Ocha nggak akan malu-maluin Mama kok. Tapi Ocha nanti boleh beli jajan kan, Ma?"
Charon tersenyum mengingat desahan gemas mamanya tadi. Mereka kini duduk di sebuah meja, dan Charon langsung saja menyahut buku menu sementara Mama Riris sibuk mengetikkan sesuatu pada ponselnya.
"Ma, Ocha mau kentang goreng!" putus Charon seketika.
"Iya-iya tapi sabar dulu atuh, kita tunggu klien Mama dulu. Kamu duduknya bisa tenang nggak, Cha? Jangan goyang-goyang gitu ah kakinya."
Charon kembali sibuk menelusuri buku menu. Wah, ada smoothie! Ada milkshake juga, Ocha mauuu! Oh, ada kue nggak ya? Ocha mau kue cokelat...
"Bu Riris, ya?" Tiba-tiba saja ada satu suara menyapa. Charon mendongakkan muka, begitu pula dengan mamanya.
Mereka sedikit terkesima akan kehadiran klien penting "adiknya bosnya Kak Arta" ini yang ternyata masih sangat muda—perempuan cantik berambut pendek yang dikuncir kuda, mengenakan tank top dengan balutan kardigan rajut, serta celana jeans dan tas tangan yang terlihat mahal.
Dari riasan wajahnya dan caranya tersenyum percaya diri, tampak sekali nona muda ini bukan perempuan sembarangan.
"Oh, iya, benar. Mbak ini... Mbak Gita, ya?" sambut Mama Riris seraya menjabat tangan perempuan itu.
"Iya, betul. Nama saya Brigita Cokro, panggil aja Gita. Sudah lama ya, nunggunya?"
"Engga kok Mbak, baru saja kami sampai. Oh iya, ini Ocha, anak saya. Nggak papa kan saya bawa dia juga? Habis jemput sekolah, soalnya."
Brigita—Gita, tersenyum manis ke arah Charon. "Ini anak Ibu? Wahhh, cantik ya? Hai Ocha, salam kenal. Kamu laper nggak, Ocha? Kita pesan makan yuk," ucap Gita sambil meraih buku menu yang tergeletak di atas meja.
Pembawaan Gita yang ramah membuat Charon tersenyum lebar sambil memekik, "Ocha mau kentang goreng Kak!"
Gita tertawa. "Wah, boleh-boleh. Mau nyoba croissant sandwich-nya nggak? Enak looh. Eh, apa kamu harus makan nasi ya? Bu Riris, anaknya nggak papa kan saya tawari makanan aneh-aneh? Mumpung masih muda, harus banyak coba-coba, hehe."
Mama Riris tersenyum kaku. Dia nggak menyangka kalau kliennya yang satu ini begitu beda. Tidak uptight dan formal seperti klien-klien yang lainnya. Untunglah, tepat pada hari dia membawa Charon, dapatnya malah klien unik seperti Gita ini.
"Ini ngomong-ngomong nggak papa kan Bu, saya ngajaknya meeting sambil nongkrong di tempat kayak gini? Suntuk soalnya kalo harus bahas beginian di ruangan tertutup." Gita memulai percakapan serius setelah pesanan mereka tiba.
Mama Riris mengangguk.
"Nggak apa-apa, Mbak Gita. Jadi ini, bisa kita mulai ya?"
"Mmmh—ya, ya, silahkan," jawab Gita sambil mengigit croissant sandwich-nya. Perempuan itu makan dengan lahap.
"Jadi untuk properti yang Mbak Gita cari itu... semacam kondominium, ya?"
"Iya, benar."
"Oke. Untuk lokasinya, di bagian... Jakarta Barat?"
"Hmm-mh." Gita masih asyik mengunyah.
"Dan fasilitas yang Mbak cari itu, kira-kira..." Mama Riris menunggu sampai kliennya itu menelan makanan. "Mau yang bagaimana?"
"Kalau bisa ada gym sama kolam renang ya, Bu. Saya juga mau yang tempatnya remote tapi bisa diakses mudah pakai mobil—nggak mau yang pakirnya ribet. Oh iya, ngomong-ngomong parkiran, saya butuh space agak lebar untuk lahan parkir, soalnya ada kemungkinan saya bawa lebih dari satu mobil di sana. Mungkin tiga atau empat, lalu..." Gita meneguk es americano dari gelasnya.
"... yang paling penting, saya mau yang gedungnya baru. Ba-ru. Fresh. Masih sepi. No tetangga berisik, no keluarga baru dengan bayi atau anak-anak kecil yang hectic. Dan biasanya, gedung baru itu lebih aman serta minim problem. Yang terpenting, tempatnya harus sepi. Bisa?"
Mama Riris mencatat setiap kata-kata Gita dengan telaten.
"Iya, Mbak. Saya usahakan. Jadi butuh kondo yang gedungnya baru, residen terbatas, lahan parkir luas, sama fasilitas lengkap ya, Mbak?"
"Nah, betul!"
"Untuk budget-nya, Mbak Gita mau range harga berapa?"
"Terserah," jawab Gita ringan.
"Eh?" Mama Riris tampak tak mengerti.
"Nggak ada batasan budget, Bu. Cari aja yang paling oke, berapapun harganya, nanti kalau cocok kita langsung deal. Gimana?"
"O... oke-oke, bisa... lalu, kalau boleh tau, butuh untuk kapan ya, Mbak Gita? Biar saya bisa prioritaskan deadline-nya."
Gita tampak berpikir sejenak.
"Hmmmm... minggu depan, bisa?"
"M-minggu depan??" ulang Mama Riris tergagu.
"Iya. Eh atau maksimal satu bulan, deh. Saya butuh tempat tenang untuk ngerjain Tesis saya."
"Sebulan... mungkin bisa, Mbak." Mama Riris bernapas lega.
"Tesis itu apa, Kak?" tanya Charon tiba-tiba ikut nimbrung. Gadis itu asyik mengunyah kentang goreng dan sesekali menyeruput choco milkshake dari gelasnya.
"Tesis itu tugas akhir untuk kuliah Magister strata dua, Ocha. Kayak pe-er di sekolah kamu, tapi susahhhhhhhhhh banget!" Gita menjawab sambil menyomot satu kentang goreng dari piring Charon. Gadis itu tampak tidak keberatan.
"Susahnya gimana, Kak?"
"Sssttt, Ocha!" Mama Riris mendesis memperingatkan. Anak gadisnya ini kelewat polos untuk memposisikan diri.
Diluar dugaan, Gita malah tertawa melihat kepolosan Charon.
"Hahaha... susah deh pokoknya! Kamu harus mikir keras, baca referensi berpuluh-puluh lembar, penelitian, sampai akhirnya kamu nemuin teori baru yang kamu dapetin dari case yang kamu teliti itu, dan itu semua bakal diujikan dan disidangkan. Hayo, susah kan?" Gita tampak terhibur melihat wajah manis Charon yang kebingungan.
"Ocha nggak paham, Kak," jawab Charon lugu, dan itu malah membuat Gita semakin terbahak.
"Aduuhhh, maaf ya, Mbak Gita. Anak saya ini memang—"
"Udah, Bu Riris. Nggak papa. Saya senang kok ditanya-tanya sama anak Ibu. Saya doakan nanti Ocha jadi pinter dan sukses, bisa ngerasain kuliah Magister juga, ya?" ujar Gita sambil tersenyum ke arah Charon.
"Ocha nggak mau, Kak. Susah!"
"HAHAHAHAHA!!" Gita terbahak lagi.
🌑
"BAHAHAHAHAA!" Kini giliran Kak Arta yang terbahak-bahak.
Mama Riris baru saja menceritakan pada Kak Arta perihal kejadian siang tadi. Mereka sedang duduk santai di ruang tengah unit apartemen Kak Arta.
"Untungnya si Gita orangnya easy going, Ta. Bayangkan kalo kaku, gimana responnya? Duhh, bisa-bisa habis muka aku gara-gara Ocha..." Mama Riris menggeleng-gelengkan kepala.
"Humpphh, hahah..." Kak Arta masih menyelesaikan tawanya. "Ya tapi bukan salah Ocha juga sih Mbak, nanya-nanya. Untung ya, klien Mbak itu humble orangnya. Sultan pula, cari kondo eksklusif kan dia?"
"Iya. Dan butuhnya cepet, bulan depan aku harus dapat. Dia butuh ketenangan untuk garap Tesis, katanya."
Mata Kak Arta membulat seketika. "Tesis? Jadi dia masih kuliah?? Dan dia udah bisa beli kondo?!"
Mama Riris mengangguk mengiyakan. "Betul. Dia adik bos kamu 'kan? Yang punya perusahaan Pandora? Wajar dong kalau dia mampu beli kondo."
Kak Arta menggeleng tak habis pikir. "Ya tapi kondo itu dibeli loh Mbak, bukan disewa. Beli. Apa lagi di Jakbar, per meter bisa puluhan juta itu, Mbak!"
"Yahh untuk investasi properti mungkin, Ta? Dia kan Sarjana Ekonomi, pasti udah punya perhitungan."
Kak Arta lantas mengangguk-angguk. "Hmmm, iya kali ya? Otak aku aja yang nggak sampai kesana. Kelamaan jadi orang misqueen ya gini, ga kepikiran buang-buang uang buat beli properti seenteng beli nasi goreng, hehe."
"Ck, ada-ada saja kamu Ta. Eh iya, kamu pernah bilang, bos kamu itu keluarga Cokro kan, ya? Tapi dia nggak ada sangkut-pautnya sama eksistensi Cokro Group, kan? Perusahaan tempat... mantan Papa Charon bekerja?"
Kak Arta menggeleng buru-buru. "Mbak, Cokro Group itu masih dipimpin sama generasi ke-tiga mereka, yaitu orang tua dan paman-pamannya Mas Tian—bos ku. Sementara Mas Tian sama adiknya, Gita yang tadi siang Mbak temui itu, adalah generasi ke-empat mereka yang belum ada urusan apa-apa sama perusahaan keluarganya."
"Yakin kamu, Ta?" Mama Riris masih tampak skeptis.
Kak Arta kini mengangguk. "Mbak, sini kukasih tau. Persoalan Mas Tian, Mbak bisa pegang kata-kataku deh, dia sendiri pingin lepas dari perusahaan warisan keluarganya. Dia clear, Mbak, nggak ada andil sama masalah internal Cokro Group. Dan untuk adiknya, si Gita itu sendiri kan masih kuliah toh? Aku juga yakin banget dia nggak tau apa-apa sama masalah Pak Theo. Nanti kalau Mbak masih ragu, aku tanyakan langsung ke bos-ku, Mas Tian, ya?"
Mama Riris akhirnya mengangguk juga. Wajar jika dia curiga, dia hanya ingin memastikan keamanan dirinya dan Charon.
"Udah, Mbak. Percaya aja sama aku." Kak Arta menggenggam tangan Mama Riris, menenangkan. "Keluarga Cokro itu sebenarnya orangnya baik-baik banget, Mbak. Cuma perusahaan warisannya saja yang sudah mulai tercemar sama orang-orang haus kuasa seperti... ehm..."
"Mantan suamiku. Iya, Ta. Aku tau. Oke, mungkin aku yang terlalu skeptis, menganggap semua orang itu bejat. Aku percaya kamu, Ta. Kalau kamu bilang mereka orang baik, aku percaya."
Momen itu terputus sebab tepat saat itu juga, interkom di sisi pintu masuk apartemen berbunyi, membuat Kak Arta sontak bangun dan berjalan ke sana.
"Siapa, Ta?" tanya Mama Riris setengah berteriak.
"Security bawah, Mbak!" jawab Kak Arta sambil lanjut berbicara lewat interkom tersebut.
Tak berapa lama kemudian, Kak Arta kembali ke ruang tengah untuk mengambil jaket dan ponselnya.
"Ada apa, ta?" tanya Mama Riris.
"Ada tamu yang nyariin aku, Mbak. Aku turun sebentar ke bawah ya."
"Hati-hati, Ta." Mama Riris berkata sambil mengangguk, sementara Charon melepas kepergian Kak Arta dengan pandangan sekilas.
"Ocha, kamu nggak ada pe-er, Nak?" tanya Mama Riris mengalihkan perhatian.
"Oh iya! Ocha ada tugas, Ma!" jawab Charon yang langsung mulai sibuk membongkar tas sekolahnya.
Sementara itu, di lantai dasar gedung apartemen...
"Ada yang nyari saya, Pak?" tanya Kak Arta pada petugas security yang berjaga di pintu lobby.
"Itu, Mbak. Ada anak laki-laki yang nyari Mbak, katanya nggak punya nomor handphone Mbak Arta jadi dia nggak bisa menghubungi. Dia hanya tau Mbak tinggal di sini."
Kak Arta mengikuti arah tunjukan Pak Security itu. Matanya langsung terbelalak.
"Oh, iya-iya. Makasih, Pak," ucap Kak Arta sambil bergegas menuju tamu yang menunggunya.
"Hey. Kamu nyari aku, Pluto?" sambut Kak Arta ke arah Pluto yang membelakanginya.
"Kak Arta..." ucap Pluto. "Ini." Cowok itu menyerahkan secarik kertas, yang langsung diraih oleh jemari Kak Arta.
D-7530-VW.
🌑
a / n
Visualisasi Kak Gita, alias Brigita Cokro.
Kalau ada pembaca setiaku yang udah baca "Cooking Space" sama "Baby Daddy", mungkin familiar sama cameo yang satu ini, Nona Muda Cokro yang sukanya sesuka-suka hati~
BTW dari sini kayaknya kalian bisa tau ya, timeline-nya cerita ini sebenernya took place sebelum "Cooking Space", karena disini Gita masih mau ngerjain Tesis, sementara di sono dia udah mau wisuda.
Itu juga ngejelasin kenapa si Gita ini bisa ada di Jakarta sekarang—dia lagi proses research untuk Tesisnya cyin~
Woke oke sori maap, cuma mau kasih note dikit biar keseluruhan cerita yang aku tulis itu kronologis dan canon, alias timeline atau jalan waktunya jelas, he-he-he :b
See you next part <3
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top