24 · Cerita
"Ini, saya diusir sama Ocha, Bu! Katanya karena kemarin saya nggak dapat kelompok, jadi sekarang nggak boleh gabung sama kelompoknya."
Charon membeku, setengah tak percaya akan kata-kata Lala.
Padahal Ocha baru dateng, kenapa langsung dituduh-tuduh??
"Bohong, Bu!" Gillian langsung membalas kontra. Cowok itu tampak geram dan menahan emosi sedari tadi, sementara Riva sontak menarik-narik lengan seragam Gillian, menenangkan.
Charon sering melihat Gillian adu mulut dengan Riva, bertengkar karena hal-hal trivial—remeh. Tapi kali ini beda.
Emosi Gillian tidak main-main. Charon bisa melihat jelas amarah yang terpampang di mata cowok itu, yang biasanya teduh dan jenaka, kini menatap Lala dengan tajam.
"Ada apa dengan kalian ini?" Nada suara Bu Siska mulai meninggi.
"Salah Ocha duluan, Bu!" tunjuk Lala.
"EH, elo apa-apaan sih dateng-dateng bikin rusuh. Enggak, Bu! Ini Lala duluan yang mulai!" Gillian tak mau kalah.
"Lu yang apa-apaan, sok ikut campur aja!" sembur Lala ke arah Gillian.
"Hey, sudah-sudah! Kalian ini sudah SMA, kenapa masih bertengkar seperti anak SD saja? Sekarang jelaskan, dimana letak masalahnya..." Bu Siska menengahi dengan bijak.
"Jadi ini semua salah Ocha, Bu," Lala memulai.
"HEH! ELO YANG CARI MASALAH!!" Gillian membela.
"KALIAN!" Bu Siska mulai habis kesabaran.
Tampak jelas sekali Lala ingin menyalah-nyalahkan Charon, namun Gillian sekuat tenaga mem-block tiap kalimat Lala dengan barbarnya.
"Begini saja..." Bu Siska mulai memijit pangkal hidungnya yang berkacamata. Tampak sekali dia mulai dibikin pusing sama duo murid yang saling berteriak ini. "Kenapa nggak kalian gabung saja kelompoknya?"
"Saya nggak sudi sekelompok sama uler kayak dia Bu!" Gillian menunjuk hidung Lala dengan emosi. "Di awal aja dia udah cari masalah, apa lagi pas jalan praktikumnya??"
"Heh, gua juga kaga sudi ya, sekelompok ama blasteran mi kriting kayak lu! Nggak mau, Bu! Saya juga nggak mau sekelompok sama Gillian—sama Charon juga, nggak mau!!"
Lah, kenapa Ocha kena juga? batin Charon mencelus.
"Ya sudah!" Bu Siska menegaskan. "Lala, kamu satu kelompok sama Riva. Dan Gillian, kamu sama Charon silahkan menempati meja kosong di pojok sana. Untuk bahan penelitiannya, kalian bagi dua. Bisa diterima?"
Keempat murid itu mengangguk mendengar instruksi Bu Siska. Guru Biologi yang terkesan kalem, tapi kalau ada konflik bisa tegas juga—walaupun jarang sekali Bu Siska menaikkan volume suaranya, sehingga sekali kejadian, murid-murid akan otomatis bungkam.
Momen langka adalah membuat Bu Siska naik pitam. Dan hari itu, Lala dan Gillian telah berhasil melakukannya.
Setelah Bu Siska kembali ke depan kelas, Charon menyodorkan pot tanaman Adam Hawa dan beberapa butir bawang merah, dimana Lala segera memetik satu daun ungu dengan asal-asalan, dan mengambil sebutir bawang merah yang paling besar.
Riva membagi dua tempe dan ketela pohonnya, dan Gillian menuangkan sebagian air kolam renang ke dalam gelas kaca.
"Emang itu beneran bisa di pake ya, Gill, airnya?" bisik Riva melihat air bening itu.
"Kalo ngga bisa ya gue minta ke anak-anak lah," jawab Gillian pendek. Sepertinya mood cowok itu langsung anjlok sejak berinteraksi dengan Lala barusan.
"Ayo, Cha," ajak Gillian kemudian. Charon mengikuti.
🌑
Praktikum Biologi itu berjalan dengan lancar—terlepas cekcok Lala dan Gillian pada awal jam pelajaran.
Charon merasa tak enak hati, sebab Gillian yang biasanya berisik dan sering cari masalah, kini tampak lebih diam. Apa dia juga marah pada Charon?
KRIIIINNGGG...
Bel mengakhiri pelajaran berbunyi, meloloskan SMA Magella memasuki jam istirahat.
"Gue cabut, Cha." Gillian bergumam sambil melangkah pergi. Charon buru-buru menyusul.
"Gill, tunggu..."
Dan kini mereka pun berjalan beriringan. Charon semakin merasa tak enak, sebab mereka meninggalkan Riva bersama Lala—rekan sekelompoknya di laboratorium itu.
"Gill, Ocha mau—"
"Nggak perlu minta maaf, Cha," potong Gillian. "Gue nggak marah sama lo."
Charon bernapas setengah lega. "Iya, tapi tetep aja... Gill jadi berantem sama Lala gara-gara Ocha. Maaf ya, Gill?"
Cowok itu terkekeh. Kini mereka berjalan melewati lorong utama lantai dua SMA Magella, dimana jendela besar berjejer menyuguhkan pandangan lapangan basket.
"Dibilangin gausah minta maap juga, ni bocah..."
"Hehe, maaf ya, Gill."
"Tuh kan, lagi!"
"Hahahaha..."
Akhirnya mood Gillian cair juga. Charon bisa benar-benar merasa lega.
"Tapi Gill, kalo boleh tau, kenapa tadi Gill ngegas banget sama Lala? Kayaknya tadi Gill marah banget sama Lala... "
Gillian memelankan langkahnya, cowok itu mengembus napas sekilas.
"Gue emang nggak pernah suka sama tuh uler," gumamnya.
"Kenapa gitu?" Charon bertanya polos.
Dia juga penasaran, kenapa Lala bisa segitu tidak disukainya?
"Dari awal, dia emang udah cari gara-gara. Elo tau Cha, pas awal tahun ajaran ini, seharusnya Riva yang jadi ketua kelas—Riva tuh anaknya super cerdas, rajin, pinter ngomong, supel juga, dan dah gitu nggak sombong. Riva juga cewek yang bertanggung jawab, pas banget ngejabat jadi ketua kelas. Makanya pas di awal kita voting buat ngisi jabatan itu, Riva menang telak..."
Charon mengerutkan kening. Hampir semua yang dikatakan Gillian adalah benar. Riva memang secerdas itu, bisa mengingat hal-hal detail sekalipun, dia juga sosok pemimpin yang baik. Tapi kenyataannya, kalau Riva yang menang voting untuk jadi ketua kelas waktu itu, kenapa sekarang malah Lala yang jadi...
"Oh!" Charon mulai paham situasinya.
"Malah Lala yang ngejabat jadi ketua kelas ya, Gill?" lanjut Charon.
Gillian mengangguk. "Bener. Elo tau lah dia anak siapa. Ada 'titipan' untuk ngasih jabatan ketua kelas ke Lala, jadi keputusannya mutlak, ngalahin persetujuan anak-anak. Wali kelas kita juga udah usahain, tapi malah mentok. Yaudahlah dipikir, dari pada bikin konflik macem-macem, iyain aja, toh cuma jabatan ketua kelas kan."
Charon mencerna fakta itu. "Jadi... Gill nggak suka sama Lala karena dia ngerebut jabatan ketua kelas yang seharusnya diisi Riva, ya?" simpul Charon.
"Nggak cuma itu aja, Cha," jawab Gillian. "Lala itu anaknya emang gitu, entitled, suka maksa, semua kemauannya harus dituruti, nggak peduli apa efeknya ke orang lain. Nggak cuma jabatan. Apa aja—semuanya, semau hati dia. Elo pasti tau lah apa yang gue maksud. Egonya udah mendarah daging."
Charon mengangguk pelan. Lagi, dia merasa apa yang dikatakan Gillian ada benarnya.
"Dan..." Gillian tiba-tiba melanjutkan. "Tahun depan Riva udah ada rencana untuk jadi ketua OSIS. Tapi, gue denger Lala bakal nyalonin diri juga."
Kini otak Charon menjadi 'klik' seketika.
"Gitu..." gumam Charon kemudian.
Gillian mengangguk sebelum melanjutkan.
"Makanya gue ama Riva selalu jaga jarak sama dia. Aneh aja kenapa tadi tiba-tiba dia gabung di meja kita. Eh ternyata mau cari gara-gara."
Charon tersenyum kecut. "Iya, Gill. Kayaknya Lala sekarang jadi benci sama Ocha."
Gillian menoleh ke arah Charon seketika itu. "Gimana-gimana??"
Dan Charon pun menceritakan semuanya pada Gillian. Jam Istirahat itu mereka lewati untuk duduk bersama di bawah pohon rindang dekat kantin, berbagi beban dan kendala yang disebabkan oleh Lala.
"Pantesan!" ucap Gillian akhirnya.
"Si uler itu udah ngincer elo dari awal, Cha," simpulnya.
Charon memiringkan kepala. "Ngincer Ocha?"
"Iya! Elo kan polos banget tuh, gampang banget buat dia. Masa lo nggak lihat pola nya sih? Lala bakal baik ke elo kalo lo nurut, dan bakal musuhin lo kalo lo nggak nurutin apa mau dia. Buat apa coba? Ya buat dimanfaatin habis-habisan. Elo bener-bener dijadiin babu sama Lala! Dan lagi, tadi lo bilang, Kak Pluto?"
Sebutan nama itu membuat dada Charon berdegup seketika. Aneh.
"Itu juga! Pantes aja..." Gillian membelai-belai dagunya yang mancung, tampak berpikir.
Charon kembali bingung. "Memangnya kenapa sama Kak Pluto, Gill?"
Gerakan Gillian terhenti seketika. "Elo nggak tau?" balas Gillian.
Charon menggeleng.
"Ck. Pantes aja. Elo polos dan bener-bener nggak tau apa-apa."
"Kasi tau, Gill," pinta Charon.
"Nggak ah," jawab Gillian tegas.
"Loh, kenapaaa???"
"Elo tanya sendiri gih sama Kak Pluto."
"Yah, Gill, kok gitu..." protes Charon tak terima.
"Gue nggak mau ada urusan sama dia juga. Udah pusing gua mikirin Riva sama Lala. Maslah elo, Lala, sama Kak Pluto, gue angkat tangan."
Charon berdecak. Gillian ini, kalo mau ngebantu kok tanggung banget.
"Ya udah Gill, makasih," ucap Charon sarkas, dan itu membuat Gillian tertawa.
"Hahahaha! Bisa pedes juga ternyata mulu lo, Cha!"
Charon ikut tertawa, sekaligus memperhatikan Gillian tanpa sadar.
Melihat tawa Gillian yang menarik wajahnya menjadi padu, alisnya yang tebal naik-turun seiring gelak tawa, bibirnya yang berlekuk indah, dan dagunya yang berbelah, ditambah rambut Gillian yang ikal kecokelatan serta struktur tulang wajah yang kelihatan banget impor luar negeri, membuat Charon mau tak mau bertanya-tanya, cowok ini lumayan cakep, kayaknya ada keturunan Indo nya?
"Gill," panggil Charon. Gadis ini ngak pintar dalam memanajemen kekepoan.
"Hem," balas Gillian.
"Wajah Gill estetik... Gill ada keturunan luar kah?"
Gillian sontak ngakak mendengar nada lugu Charon. "BAHAHAH! Estetik amat! Tapi iya, bokap gue dari Prancis, nyokap asli Kuningan."
Charon mengangguk paham. Blasteran Prancis-Kuningan? Ohhh pantes.
"Kalo elo, Cha? Wajah lo ada manis-manisnya, keturunan gula ya?"
"Pffhhh—hahahahah!"
"Hahahaaa."
"Engga ada, Gill. Ocha anaknya mama-papa aja, dua-duanya asli Indonesia. Mamanya Ocha asal Cileunyi, Papa dari Garut."
Kini giliran Gillian yang mengangguk-angguk.
"Eh tapi Gill," celetuk Charon tiba-tiba. "Ngomong-ngomong manis, wajahnya Riva juga manis ya? Kayak berbi dipakein kerudung gitu."
Gillian terkekeh. "Ya jelas itu! Riva cewek paling manis se-Magella raya!"
Mendengar Gillian yang memuji dengan gamblang, mata Charon jadi berbinar dengan semangat.
"Gill, kamu... naksir Riva, ya???"
Gillian semakin tergelak. "Iya, Cha," jawabnya pasti.
"WAHHHH!!! Riva udah tau? Gillian udah nembak Riva belum???" tanya Charon bertubi-tubi.
"Hahaha! Cha, Cha... gue sama Riva itu udah pacaran dari kelas satu."
Charon sontak melongo. "Ohya?!"
"HAHAHAHA. Iya!"
"Wah pantes... kalian akrab banget. Berantem terus, tapi kelihatan banget kalo sayang."
Gillian melemparkan senyum penuh makna. Baru kali ini Charon melihat senyum Gillian yang sungguh-sungguh. Charon bisa kalau Gillian sesayang itu dengan Riva.
"Maaf ya Gill, kalian jadi nggak bisa sekelompok pas praktikum, Gill malah kejebak sama Ocha," ucap Charon setelah beberapa saat.
"Nggak papa, Cha. Yang ginian tuh bukan masalah besar buat gue sama Riva, palingan praktikum kelarnya seminggu doang. Yang penting tuh yang jangka panjang, Riva kalo bisa gol jadi OSIS sih, bakal asoy geboy. Dia kan mau masuk Universitas Negeri yang bagus—portofolio aktif organisasi bakal ngebantu banget."
Charon mengangguk setuju.
"Riva emang pantes jadi pemimpin, Gill. Riva pinter, baik, dan keren banget anaknya!" puji Charon tulus.
Gillian tersenyum bangga. "Iyalah keren, pacar gue gitu."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top