21 · Cacing
"Lah, Charon??"
"K-Kak Pluto????"
Mereka berdua sama-sama terkejut. Pluto yang hampir jantungan, dan Charon yang tertangkap basah.
"Itu, lo..." Pluto menunjuk tangan Charon.
"Kak, maaf kak! Ocha nggak ada niat nyuri, Ocha bukan maling, sumpah, bener! Maaf Kak, maafin Ocha... ini, Ocha balikin."
Charon buru-buru menyerahkan daun ungu yang sudah dipetiknya ke dalam tangan Pluto. Cowok itu membeku seketika.
"Lo—"
"Kak, maafin Ocha, Kak. Sumpah, Ocha nggak ada niat jahat."
"Ini—"
"I-itu tadinya mau buat bahan praktikum Biologi kelompok Ocha, Kak. Ocha salah karena tadi nggak minta izin dulu sama Kakak, Ocha nggak tau ini rumah Kakak. Tadi Ocha udah permisi-permisi, tapi nggak ada yang jawab."
Pluto menghela napas karena gadis itu ngerap tanpa henti. Ternyata benar, seorang Charon sebenarnya begitu aktif dan ekspresif. Kenapa di sekolah dia jadi diam sekali?
"Charon." Satu panggilan nama oleh Pluto membuat gadis itu bungkam seketika.
"Y-ya Kak..."
Pluto memandang bergantian antara wajah polos Charon dan selembar daun ungu di telapak tangannya. Dua-duanya tampak layu dan kuyu, seperti pasrah dijagal nasib.
"Lo beneran kemari cuma buat nyari bahan praktikum?"
"Iya Kak..."
"Lo tau ini rumah gue?"
Charon buru-buru menggeleng. "Engga, Kak! Ocha nggak tau kalau ini rumah Kakak."
"Oh, oke."
Gadis itu tampak tak mengerti.
"Oke? M... maksud Kakak?"
"Tunggu sini," ucap Pluto setelah menancapkan daun ungu yang dikembalikan oleh Charon tadi ke atas tanah.
Pluto lantas berbalik memasuki rumah. Cowok itu nggak yakin sama pikirannya sendiri, tapi di kepalanya telah terkurasi dua kesimpulan;
Satu, Charon tidak dengan sengaja mendatangi rumah Pluto, semua hanya kebetulan belaka, dan dua, Charon sedang butuh bantuan sekarang.
Sementara itu di taman depan rumah, Charon berdiri termangu.
Gadis itu menimbang-nimbang, apakah harus beneran nunggu, atau kabur aja?
Ah, tapi kan instruksinya jelas: tunggu sini. Dan juga, Charon adalah anak yang patuh.
Jadi begitulah, Charon memutuskan untuk menunggu saja. Dilayangkannya pandangan pada desain eksterior rumah ini.
Jadi ini rumah Kak Pluto, ya? Nggak begitu jauh dari minimarket depan, pantesan waktu itu bisa papasan.
Bangunannya megah, rumah dengan gaya modern yang luas, dengan pagar tinggi dan gerbang kayu yang tak kalah tinggi. Untung saja tadi gerbangnya setengah terbuka, jadi Charon bisa melihat taman ini, dan bisa menemukan tanaman Adam Hawa yang menjadi incarannya.
Ngomong-ngomong taman, Charon memperhatikan beberapa tumbuhan gantung dan pot-pot yang mulai tumbuh menjalar, tampak lama tidak dirawat. Rumput jepang yang hijau tumbuh panjang, bagaikan spons di sudut-sudut taman.
Pandangan Charon beralih ke teras luar, ada kursi, meja, lampu taman, dan di sebelagnya ada gerbang kayu mini menuju taman belakang.
Charon berniat mengintip gerbang itu, tapi Pluto keburu kembali keluar dengan menggenggam sebuah sekop gardening kecil dan pot bunga mini.
Tanpa banyak bicara, Pluto berjongkok di depan tanaman Adam Hawa. Cowok itu menyekop tanah di bawah salah satu tanaman ungu tersebut.
"Kak Pluto ngapain?" tanya Charon dengan polosnya.
"Lo butuh ini kan?" balas Pluto.
"Iya sih, tapi kan Ocha cuma butuh sedikit."
"Lo nggak mikir daunnya bakal mati kalo lo potek begitu? Buat dibawa ke sekolah kan? Butuh buat kapan sih?"
"Besok... ohh, gitu ya? Maaf ya Kak, Ocha nggak ada niat bunuh daunnya..."
Pluto menanggapi dengan lepasan tawa mendengar kalimat Charon barusan.
Charon akhirnya berjongkok di sebelah Pluto, memperhatikan kakak kelasnya itu menyekop tanah dan menggali akar.
"Maaf ngerepotin ya, Kak," gumam Charon di balik punggung Pluto.
"Hmmm," jawab Pluto selewat, "Gak usah minta maaf terus."
Beberapa detik dilalui dengan hening. Pluto tampak fokus menggali tanah di sekitar akar tanaman, sementara Charon sok sibuk memperhatikan.
Oh jadi akarnya begitu? Oh jadi dempet gitu?
"Kakak sering berkebun, ya?" tanya Charon memecah hening.
"Bukan, tapi Bunda gue yang hobi berkebun." Pluto menjawab sambil memunggungi gadis itu.
Charon berasa ngobrol sama punggung.
"Ooohh..."
"Kata Bunda gue, tumbuhan itu perpanjangan napas planet ini. Mereka yang nandain kalo Bumi itu hidup."
Ucapan itu lebih seperti gumaman, tapi Charon masih bisa mendengar dengan jelas.
"Wah... keren. Bunda-nya Kak Pluto kayaknya paham banget ya, sama tumbuhan?"
"Iya. Dia juga paham manusia, planet, bintang, alam semesta."
Charon terperangah. "Keren bangettt! Jadi Bunda-nya Kakak yang ngasi nama Kakak 'Pluto'? Kenapa? Ocha mau tanyaa! Bunda-nya Kak Pluto ada di rumah? Ocha mau ketemu!"
Gerakan Pluto terhenti tiba-tiba.
"Nggak ada," ucapnya dingin.
Charon otomatis bungkam. "O-oh... oke. Maaf."
Gadis itu sadar dirinya telah terlalu excited berbicara dengan punggung Pluto. Mungkin Charon membuat Pluto takut. Mungkin permintaan Charon untuk bertemu Bunda-nya Pluto terkesan terlalu lancang. Apapun itu, gadis itu kini diam seribu bahasa. Takut salah lagi kalau bicara.
"Ngomong-ngomong... apa kabar, Cha?" tanya Pluto tiba-tiba, memutus kereta pikiran Charon.
"Eh—emm, baik, Kak..."
Sudah tiga minggu Charon dan Pluto tidak saling sapa. Penyebabnya jelas, karena Charon takut sama Lala. Takut Lala marah.
Tapi entah kenapa, hari ini keberanian Charon terkumpul secara ajaib, sehingga dia bisa membalas obrolan Pluto dengan sebegini ringan.
Mungkin karena Charon mulai sadar kalau dia sebenarnya bisa berbicara dengan siapa saja, kalau nggak ada Lala.
Dan sekarang nggak ada Lala. Ocha berharap bisa gini terus, nggak harus tertekan karena Lala.
"Lo tadi masuk sekolah, Cha?" lanjut Pluto.
"Masuk kok, Kak."
"Nggak bareng Lala?"
Ah, sentilan nama itu membuat Charon tersenyum. Baru aja dipikirin.
"Engga, Lala nggak masuk sekolah karenga ngga mood, katanya."
Pluto tertawa tipis. "Oh, gitu ya."
"Iya," jawab Charon.
Pluto mengangkat sekop di tangan kanannya lalu menunjuk ke arah pot kecil yang diletakkan tak jauh dari sana.
"Cha, tolong ambilin itu, pot. Udah kecabut nih."
"Iya, Kak." Charon segera meraih pot kecil itu, yang sepertinya berdiameter 10 senti, dengan warna hitam dan berbahan plastik biasa.
Pluto dengan sigap memasukkan kerikil di dasar pot itu, lalu dengan sekopnya menyendok tanah dan memasukkannya menyusul si kerikil.
"Cacing!" pekik Charon ketika melihat cacing tanah yang ikut terserok pada sekop Pluto.
"Lo takut cacing?" tanya Pluto sambil mengambil cacing itu menggunakan jarinya, jempol dan telunjuk, siap untuk membuang si cacing itu.
"Engga, Ocha malah suka! Ocha suka binatang kecil-kecil, Kak. Biasanya Ocha mainan sama belalang, congcorang, siput, kumbang koksi, undur-undur..."
Gadis itu terus mengoceh sambil menadahkan telapak tangannya di depan Pluto, mengisyaratkan kakak kelasnya itu untuk menyerahkan si cacing kepadanya.
Pluto kagum sekaligus terheran-heran akan keunikan manusia di hadapannya itu, demikian dia tetap meletakkan si cacing di atas telapak tangan Charon.
Mata Charon berbinar melihat hewan invertebrata itu, menggeliat dan meliuk di atas garis tangannya.
Sementara Pluto mulai kembali sibuk memposisikan tanaman Adam Hawa ke dalam pot, Charon malah asyik bermonolog dengan si cacing.
"Hai cacing, aku Ocha... kamu mau jadi temen Ocha kan? Mulai sekarang, kamu ikut Ocha pulang ya, oke cacing? Emmm... ngga enak manggilnya cacin aja. Ocha bakal manggil kamu... Yono! Iya. Nama kamu Yono."
Pluto tertawa tipis sambil menyerahkan tumbuhan Adam Hawa yang sudah duduk manis di dalam pot kecil. "Nih," ucapnya.
Charon menerima pot itu dengan tangan kanan yang bebas, sementara tangan kirinya sibuk menggenggam si Yono yang berusaha kabur.
"Makasih banget ya Kak. Ocha seneng banget hari ini ketemu Kakak. Udah dibantuin dapet tugas praktikum, Ocha dapet temen baru juga..."
Pluto menaikkan satu alis. "Temen baru? Si cacing?"
Charon mengangguk dengan semangat. "Bukan cacing, Kak. Nama dia Yono!" ralat Charon sambil menaruh Yono ke dalam pot, yang segera mengubur diri di dalam tanah gembur.
"Oh, baguslah kalo lo punya temen baru. Biar nggak sama Lala doang temenannya," komentar Pluto.
Charon terdiam sebentar.
"Emangnya... salah ya, Kak, kalau temen Ocha cuma Lala aja?" Charon bertanya hati-hati, berusaha mengkonfirmasi konflik hati.
Pluto mengangkat bahu. "Menurut lo? Lo seneng nggak temenan sama dia? Happy nggak?"
Lagi-lagi, Charon terdiam.
"Cha, dimana-mana kalo temen yang bener tuh, selalu bantu temennya, bikin suasana bahagia, bukannya makin was-was dan uring-uringan, kelimpungan buat jaga perasaan. Itumah bukan temenan, tapi penyanderaan."
Charon menunduk. "Gitu ya..."
Melihat adik kelasnya mendadak murung, Pluto jadi sedikit merasa bersalah.
"Ehmm, tapi balik lagi ke lo nya sih, Cha. Kalo emang masih butuh dan happy temenan sama Lala, ya silahkan aja."
Charon mengangguk lesu.
Setelah menimbang-nimbang, Pluto akhirnya memberanikan diri menanyakan sesuatu.
"Cha, lo..." Pluto menarik napas. "Nggak papa nih ngobrol sama gue?"
Charon tersenyum pahit. "Harusnya sih nggak boleh ya?"
Kini giliran Pluto yang tersenyum. Cowok itu mengembuskan tawa tipis.
"Ya udah sih gak usah dipikirin. Ntar kalo di sekolah jangan bilang-bilang ke Lala aja kalo lo ada ketemu gue. Jaga jarak lagi aja kita kayak kemarin-kemarin, biar lo nggak kena masalah."
Charon terdiam, hatinya mencelus.
Entah mendapat keberanian dari mana, Charon mengeluarkan satu kata yang lolos tanpa diproses kepala.
"Nggak mau, Kak."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top