20 · Daun

Pertemuan Charon dengan duo Riva-Gillian sedikit banyak telah membuka matanya bahwa lingkaran pertemanan di SMA Magella sebenarnya terbuka lebar, jika saja tidak kepentok oleh sikap posesif Lala yang kemana-mana harus berdua.

Mengenai sikap Lala tersebut, Charon tidak mau terlalu ambil pusing dulu. Dia sekarang sudah lumayan pusing ketika baru memasuki unit apartemen dan langsung teringat akan tugasnya.

Praktikum Biologi yang akan dilaksanakan besok menuntut anggota kelompok membawa bahan penelitian yang aneh-aneh; daun rhoeo discolor, gabus ketela pohon, bawang merah, tempe, air kolam, dan air sawah.

Untungnya Riva sebagai ketua kelompok telah sigap membagi tugas : Charon membawa daun rhoeo discolor dan bawang merah, Riva ketela pohon dan tempe, sementara Gillian disuruh nyari air kolam dan air sawah.

"Cha, mandi dulu gih, terus makan," perintah Mama Riris yang sedang mengenakan blazer kerjanya, bersiap pergi lagi.

Tadi siang, karena Lala nggak masuk, Charon terpaksa meng-SMS mamanya untuk minta dijemput.

Mama Riris otomatis harus mengundur rapat-entah-apanya karena Charon, dan sekarang sudah harus pergi lagi. Charon merasa sedikit bersalah karena mengganggu kesibukan mamanya, tapi mau gimana lagi? Charon nggak hafal rute kendaraan umum dari SMA Magella menuju kompleks apartemen Kak Arta.

"Iya, Ma," jawab Charon seraya mengambil handuk.

"Oh iya Ma, kita punya bawang merah, nggak?" tanya Charon yang hendak berjalan memasuki kamar mandi.

"Ada tuh, di rak. Buat apa?"

"Buat praktikum Biologi besok."

"Oh. Ya udah, ambil aja. Mama berangkat dulu ya." Mama Riris hendak membuka pintu.

"Eh iya, Ma, tunggu!" cegah Charon.

"Kenapa lagi, Cha?"

Charon menelan ludah. "Emmm... Ocha boleh minta uang nggak, Ma? Buat bayar jas lab sekolah..."

"Oke. Berapa?" Mama Riris siap mengeluarkan dompet panjang dari dalam tas.

"Em... empat ratus ribu, Ma..."

"APAA??? EMPAT RATUS?!?!"

🌑

Charon mendesah. Gadis itu sedang rebahan di atas kasur lipat ruangan tengah apartemen, ditemani Macican yang mendengkur di sebelah bantal sofa.

Setelah sukses memalak mamanya untuk membayar 'hutang' pada Gillian, kini Charon sibuk mainan hape. Koneksi Wi-Fi unit apartemen ini menyentuh ponsel Charon, memberikannya akses pada dunia maya.

Charon nge-chat Lala, menanyakan kenapa hari ini tidak masuk sekolah, yang dibalas dengan kalimat pendek, 'nggak mood gua'.

Enak ya jadi anak Ketua Yayasan, gak mood sekolah aja bisa bolos sebebasnya, simpul Charon sambil menutup ponselnya.

Charon mengurungkan niat untuk melanjutkan pembicaraan dengan Lala, terlebih lagi membahas sikap Lala belakangan ini, kenapa Lala posesif banget, sampe nggak ngasih kesempatan Ocha buat punya teman lain?

Ah sudahlah, kalau Lala memang lagi nggak mood, sebaiknya nggak usah diganggu. Bisa-bisa Charon malah jadi samsak pelampiasan emosinya. Skip deh.

Ditengah kebimbangan, Charon ingat kalau masih ada satu benda lagi yang harus dia bawa untuk praktikum besok. Pencarian pada search engine menunjukkan tumbuhan yang harus Charon cari.

Daun rhoeo discolor, juga dikenal dengan nama tanaman hias Adam Hawa, memiliki bentuk daun yang lancip dengan warna ungu-hijau dan garis-garis putih.

Katanya tanaman ini mengandung senyawa flavonoid, yang merupakan zat warna merah, ungu, biru dan sebagian zat warna kuning yang ditemukan pada tumbuhan-tumbuhan. Katanya juga, tumbuhan ini berasal dari Meksiko.

Charon menggaruk kepala.

Kenapa namanya Adam Hawa? Memangnya tumbuhan ini sudah ada dari jaman nabi Adam?

Terus kalo berasal dari Meksiko, gimana bisa sampe sini? Apa tumbuhan ini bisa travelling naik pesawat?

Dan yang paling penting... di mana Ocha bisa nemuin tumbuhan ini?

🌑

Charon berjalan sambil menoleh kanan-kiri. Dia sudah mengitari kompleks gedung apartemen ini tiga kali. Nggak ada tuh tanaman Adam Hawa dengan daun ungu-hijau-strip-putih.

Charon menyebrangi jalan, ada sungai, jembatan, minimarket, tapi nggak banyak tumbuhan.

Charon memutuskan untuk berjalan terus, mengikuti belokan, masuk ke perumahan.

Beberapa abang-abang opang (ojek pangkalan) ber-suit-suit saat Charon lewat depan pos. Gadis itu berusaha cuek, mendunduk, dan terus jalan.

Padahal Ocha udah pake hoodie kedodoran, masih aja digodain. Huft! Charon menggerutu sambil mengenakan tudung kepala pada hoodie-nya, menalikan tali kain di bawah dagu.

Kini Charon tiba di dalam perumahan dengan bulevar lurus berpaving, pohon palem berbaris memisahkan jalan di tengah, di atas rumput gajah. Tampak sekali ini perumahan mewah.

Charon jadi bersemangat. Selain mentari Jakarta yang sudah mulai jinak, suasana di perumahan ini membuat mata Charon jadi adem. Anggap aja lagi jalan jalan sore, pikirnya.

Gadis itu lantas mulai mencari di pinggir jalan, di tengah jalan, di bawah pohon palem, dan di 'kebun' liar pada tanah kosong.

Nggak ada daun ungu Adam Hawa.

Ck. Gimana nih. Kalo pake daun kelor aja, bisa nggak ya? Charon menimbang-nimbang sambil memandangi pohon kelor liar di tanah kosong itu.

Yaudah deh, daripada nggak sama sekali, putus Charon akhirnya, seraya memetik beberapa lembar daun kelor dan memasukkannya ke dalam saku hoodie.

Charon berniat pulang karena adzan magrib sudah berkumandang. Langit Jakarta mulai padam, tapi matahari masih mengintip sayup-sayup. Ditengah langkah kakinya yang diburu-buru, mata Charon menangkap sesuatu.

"Daun ungu!" pekiknya riang.

Tapi senyum di wajah Charon menguap secepat senyum itu timbul.

Daun rhoeo discolor itu tampaknya berada di dalam taman semi-indoor rumah orang—dengan garasi berbatu kerikil putih, serta gerbang yang setengah terbuka. Tak tampak ada mobil di sana, tapi lampu halaman dan lampu teras menyala, kuning keemasan.

Charon menguatkan niat. "Permisi..." ucapnya lantang. Tak ada jawaban.

"Pak, Bu, Oom, Tante... permisi..." ulang Charon.

Masih nihil. Tak ada tanda-tanda kehidupan.

Gadis itu lantas celingukan, melongokkan kepala ke dalam pintu gerbang. Pintu depan rumah itu tertutup rapat.

Pokoknya Ocha udah permisi deh barusan, putus Gadis itu dengan nekat, lalu melangkahkan kaki memasuki halaman rumah asing tersebut.

Perhatian Charon terfokus pada tanaman ungu lancip-lancip itu, Adam Hawa. Sekali saja Charon mencocokkan dengan gambar yang dia unduh di hape, gadis itu auto yakin kalau ini tanaman yang sama. Bingo!

Ini demi praktikum, demi nilai Ocha, Gill, sama Riva! Demi persahabatan baru!

Charon berjongkok dan siap memanen daun Adam Hawa tersebut, saat tiba-tiba...

"Woy! Ngapain disana?! Maling taneman!" Suara itu membuat Charon berjengit.

🌑

Pluto menekan tombol pada remote berkali-kali, menggonta-ganti channel televisi tanpa benar-benar menontonnya.

Kak Tami pergi sampai malam, itu yang tertulis pada catatan pesan di meja makan. Untungnya sang kakak sudah meninggalkan hidangan sop sayur dan perkedel kentang untuk Pluto.

Dasar bucin, ngebucin hampir tiap hari, batin Pluto setelah membaca pesan kakaknya.

Jari Pluto berhenti menekan saat layar televisi menunjukkan sebuah tayangan kartun beruang yang waktu itu ditonton Kak Tami. We Bare Bears. Mendadak Pluto jadi ingat sesuatu, dan buru-buru mencari sesuatu tersebut di kamarnya.

Bener!

Pluto menggenggam kertas binder bertuliskan 'Makasih, Kak Pluto' yang merupakan hadiah "perpisahan" dari Charon.

Ternyata gambar kartun beruang di kertas itu sama dengan kartun di-TV yang ditonton kakaknya.

Entah kenapa Pluto tersenyum mengetahui fakta ini. Kebetulan saja, mungkin, dua perempuan itu sama-sama suka satu seri kartun yang sama. Ah, nggak penting.

Tapi Pluto jadi penasaran. Seharian tadi, cowok itu nggak berpapasan sama sekali dengan Charon di sekolah. Saat melewati kelas Charon pun, ruang kelas tampak kosong melompong. Mungkin Charon dan teman sekelasnya sedang hijrah ke laboratorium, pikir Pluto. Biasanya kan anak MIPA gitu, nomaden.

Selain itu, Pluto juga nggak menemui adanya mobil Lala di parkiran VIP SMA Magella. Terus Charon pulang sama siapa ya?

Pluto menggaruk kepalanya sendiri, nggak paham sama pikirannya yang ngelantur kemana-mana. Udahlah.

"... misi..."

Sayup-sayup terdengar suara memanggil dari luar rumah, suara cewek. Pluto menajamkan telinganya seiring berjalan turun ke lantai satu.

"Pak, Bu, Oom, Tante... permisi..."

Lagi, suara panggilan itu terdengar. Pluto meragu seketika.

Dia benci sekali menerima tamu. Dia benci ketemu orang baru.

Biasanya kalau ada orang permisa-permisi, cowok itu awto ngumpet di dalem kamar sampai mereka ngilang sendiri. Kadang juga ada Kak Tami yang nanggepin mereka.

Tapi bukan Pluto. Cowok itu nggak suka, dan nggak mau berurusan sama tamu.

Gue diemin aja sampe pergi deh, Pluto memutuskan untuk mengandalkan taktik klasiknya.

Dan benar saja, suara panggilan permisi-permisi itu hilang tak berbunyi.

Demi memastikan, Pluto mengintip dari balik jendela ruang tamu yang tertutup gorden.

Betapa terkejutnya Pluto ketika dia mendapati seseorang yang sedang jongkok di depan tanaman daun ungu kesayangan mendiang Bunda-nya. Orang itu memakai hoodie dengan tudung terpasang, mencurigakan. Tangan orang itu terulur, memetik daun.

Jantung Pluto mencelus. Tanaman di taman rumah mereka semuanya adalah hasil peninggalan Bunda, yang dulunya hampir tiap pagi menyiangi dan menyirami dengan telaten. Bisa-bisanya ada orang asing yang seenaknya masuk ke halaman rumahnya, memetik tanaman hasil jerih payah Bunda?!

Sambil mengumpulkan keberanian, Pluto melangkah menuju balkon depan rumah, dan langsung menegur orang itu.

"Woy! Ngapain disana?! Maling taneman!"

Orang itu berbalik, dengan mata bulat dan terkejut sambil memulutkan permintaan maaf.

"Bukan! Ma-maaf!"

"Lah, Charon??" Pluto tak bisa menahan keterkejutannya melihat siapa yang menjadi maling tanaman itu.

"K-Kak Pluto????" Gadis itu memulutkan nama Pluto dengan nada tak percaya. Tangannya yang berdosa sedang menggenggam potongan daun ungu tanaman Bunda.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top