15 · Ulang Tahun

Charon seperti berjalan di atas awan. Kakinya serasa tak menapaki lantai marmer gedung SMA Magella. Tau-tau, dia sudah sampai di kelasnya saja.

"Kok lama Cha? Dari mana?" Suara Lala menyapa Charon yang baru saja duduk di kursinya.

"Dari WC, La... mules tadi, perut Ocha." Mendengar itu, Lala mengangguk tak curiga.

Tak butuh waktu lama bagi Charon untuk hanyut dalam daydream-nya. Kali ini, wajah Pluto memenuhi pikirannya. Alis Charon bertaut.

"Kalo lo mau nyatakan cinta, gue jawab tegas : nggak."

Kalimat defensif, sedikit narsistik, dan banyak damage-nya. Entah kenapa Charon merasa sedikit tidak terima.

Ocha kan nggak mau nyatakan cinta sama Kak Pluto! Kenapa harus sakit hati? runtuk gadis itu, meyakinkan diri sendiri. Siapa juga yang suka sama dia? lanjutnya.

Tapi satu gemaan kalimat cowok itu kembali membuat pertahanan Charon runtuh seketika.

"Gue nggak akan ganggu kehidupan lo lagi."

Charon mengubur wajahnya dalam lipatan tangan, di atas meja. Iya, kan Ocha yang minta... batinnya.

Udah bener begini. Ini adalah pilihan yang paling baik, simpulnya kemudian.

Tanpa Charon sadari, ia telah berkali-kali menghela napas berat sedari tadi.

🌑

Pluto Sol Aditya termenung di rooftop SMA Magella hingga langit senja sudah menjingga.

Banyak pikiran yang merundungi kepalanya sedari tadi, hingga tidak sadar kalau perutnya belum diisi. Gemuruh lambung yang berbuyi 'kruuuyukkk' menyadarkan Pluto kalau dia nggak bisa terus-terusan disini. Dia harus pulang.

Pintu ruang kelas XII IPS 4 telah ditutup. Terkunci. Tas Pluto masih ada di dalam sana.

Dengan bodo amat, Pluto melangkahkan kaki ke arah parkiran, dimana motornya sudah menunggu—sendirian.

Besok gue gak perlu bawa tas ke sekolah deh, batinnya simpel.

Ketika tiba di halaman rumah, Pluto melihat Kak Tami sedang duduk di teras, tampak menunggu seseorang.

Kakaknya itu berdandan agak... beda. Rambutnya mengikal gantung, kali ini dipadu dengan cocktail dress satin berwarna biru tua. Wajah Kak Tami berpulas make-up yang sedikit tebal, dengan warna bibir burgundy gelap—elegan.

"Dari mana aja, Plut?" sambut Kak Tami.

"Mo kemana, kak?" balas Pluto.

"Keluar. Kamu sendiri? Kok baru pulang?"

"Dari luar."

Ambigu. Dua kakak beradik ini memberikan jawaban yang sama-sama tidak memuaskan satu sama lain.

Berusaha tak ambil pusing, Pluto melepas sepatu sembarangan sambil beranjak masuk rumah.

"Tas kamu kok nggak ada, Plut?? Kamu nggak habis tawuran kan? Hey, dengerin dong kalo orang lagi ngomong..."

Pluto berbalik, menatap kakaknya dengan pandangan miring.

"Aku? Tawuran? Kakak bisa bayangin??"

Kak Tami terdiam sejenak. "Eh iya ya... nggak mungkin, ya?" ucapnya kemudian. Boro-boro gabung sama kerumunan orang, naik busway aja dia bisa klepek-klepek kena anxiety.

Pluto menggeleng asal sambil melanjutkan langkahnya.

Tami Sal Aditya memandangi sosok adiknya yang berjalan gontai. Ada apa dengan Pluto? pikirnya.

Sebenarnya Tami ingin masuk menyusul Pluto, mendudukkannya dan menanyakan apa yang terjadi. Sebab, sudah biasa dia melihat wajah adiknya ditekuk-tekuk bak origami, tapi yang barusan tadi rasanya agak... beda.

Entah mengapa intuisi kakak plus perempuan seorang Tami mengatakan adiknya sedang tidak baik-baik saja.

Tapi Tami mengurungkan niatnya. Bukan waktunya untuk bersusah-susah membujuk dan menebak gelagat sang adik, membantu dan memperbaiki apa yang salah pada diri Pluto. Well, at least nggak sekarang—mungkin nanti. Sebab, Tami punya satu fokus yang lebih penting saat ini.

TIN!

Klakson mobil mengagetkan Tami seketika. "Bentar!" pekiknya.

"PLUUUT, KAKAK JALAN DULU YA!!" Tami menjerit ke dalam rumah, menunggu sahutan adiknya.

"WOOYYY, PLUT—"

"YAA!" Sahutan teriakan terdengar dari lantai dua. Tami tersenyum lega.

Setelah 'berpamitan' dengan gaya Tarzan di tengah hutan, Tami berjalan menuju mobil Pajero Sport yang menunggu dengan mesin menyala. Wajah tampan Melvin Tjahyadewa tampak menyembul dari kaca jendela yang diturunkan.

Sementara itu, Pluto memperhatikan dari balik jendela kamarnya, lantai dua.

Jadi Kak Tami dandan se-wah itu untuk kencan sama Kak Melvin? Niat amat, batin Pluto.

Pajero Sport yang dikemudikan Kak Melvin menderu pergi, membuat Pluto menyingkir dari hadapan jendela. Perutnya lapar.

Setelah berganti kaos oblong dan celana pendek, Pluto menjelajahi isi dapurnya. Ternyata Kak Tami meninggalkan rice cooker yang terisi nasi! Ada nugget dan telur mata sapi yang sudah menunggu di bawah tudung saji.

Kak Tami masak? Tumben amat.

🌑

Entah itu efek perut yang sudah terisi, atau suasana tenang yang nggak menuntut atensi, kini Pluto terbaring di atas kasurnya dengan kepala yang lebih jernih. Pikiran cowok itu bisa lancar merangkai kronologi yang tadinya nggak bisa dia pahami.

"Tujuan Kakak cerita ini tuh... sebenernya untuk minta tolong sama kamu.
... Tolong jaga Ocha."

"Maaf, Kak. Tapi bisa nggak, kita nggak usah nyapa lagi?"

Permintaan dua orang yang kontradiktif membuat pening kening Pluto. Bohong kalau dibilang hatinya tidak sedikit tercenut ketika mendengar permintaan Charon—entah kenapa.

Tapi kalau dipikir-pikir lagi, toh ini sudah benar. Jalan terbaik untuk menjaga seorang Charon adalah dengan memberi jarak dengannya.

Pluto sudah mengambil keputusan. Dia akan terus mengawasi Charon, dari jauh.

Dengan begitu, Lala nggak akan rese' memperlakukan Charon semena-mena, terus gue juga bisa lebih leluasa mastiin dia aman dari papanya, simpul Pluto dengan tenang.

Pluto memejamkan mata sejenak, menikmati sayup-sayup suara adzan magrib dari masjid perumahan. Seiring mata hari tenggelam di ufuk pandang, kesadaran Pluto juga perlahan-lahan tersungkur ke level alpha. Cowok itu ketiduran.

🌑

"Selamat ulang tahun, kami ucapkan..."

"Selamat panjang umur, kita 'kan doakan..."

Suara-suara orang dewasa berbaur dengan anak-anak seumuran dengannya. Lilin angka 8 menyala di tengah kue tart berwarna putih—rasa blueberry dan vanilla. Guratan ucapan selamat dengan nama 'Pluto' terukir di atas kue itu, ditulis dengan krim warna biru.

Pluto tidak tersenyum. Dia juga tidak tertawa. Dadanya bergemuruh, keningnya berpeluh.

Bocah yang sah berusia delapan tahun hari itu bisa merasakan lututnya lemas. Badut, balon, confetti, pita-pita dan kado, serta tepuk tangan menghentak-hentak.

Semuanya terjadi secara bersamaan; warna-warna vibran yang mencolok, bunyi-bunyian yang memekakan telinga, serta perhatian seluruh orang di ruangan itu yang tertuju padanya.

Pluto nggak bisa. Panca indranya mengakumulasi itu semua dengan cara yang tidak benar—menakutkan. Bocah itu mulai merasa napasnya pendek, putus-putus, dan kepalanya berdentum. Semua sensasi yang diterimanya bagai bergaung di dalam tempurung kepala, memantul dan menggema, tak keluar dari sana. Akumulasi, lagi, lagi, dan lagi. Pluto nggak bisa.

Dan secepat ketika semua sensasi itu mengklimaks, si bocah berulang tahun merasa tangannya ditarik. Hentakan tepuk tangan dan nyanyian Selamat Ulang tahun mereda. Pluto tiba-tiba sudah berada di sudut ruangan, bersama Bunda.

"Dek... Adek, liat Bunda. Liat. Adek ada di mana?" Suara Bunda menggema, bagai sensasi yang menariknya dari dalam kepala.

"Di... di rumah..." Bocah itu menjawab lirih.

"Oke, bagus. Ada apa? Dek, buka mata. Liat, liat di sekeliling Adek... Adek liat apa?"

"Ada... Bunda. Ada... balon, meja, kue... Om Badut."

"Bagus, anak pintar. Sekarang, sebut nama Adek, coba."

"N-nama... nama Adek Pluto Sol Aditya. Adek... anaknya Bunda."

Bersamaan dengan itu, semuanya kembali normal. Tak ada gema, tak ada ketakutan. Yang ada, hanya Bunda.

"Iya, Pluto anak Bunda! Anak Bunda yang pintar!" puji Bunda sambil memeluk Pluto kecil dengan sunggu-sungguh. "Adek udah nggak apa-apa?" tanya Bunda kemudian. Bocah itu hanya mengangguk.

Ruang dan waktu bagai diolor. Kini malam hari. Pluto menggenggam selimut kesayangannya dan berdiri di depan pintu kamar Ayah dan Bunda. Pluto malam itu nggak mau tidur sendiri.

Sayup-sayup terdengar suara Ayah dan Bunda dari dalam, merembes dari pintu yang sedikit terbuka.

"Maafkan Ayah, Bun. Ayah hanya ingin menyenangkan Pluto, seperti layaknya anak-anak biasa yang senang dirayakan acara ulang tahunnya..."

"Tapi Ayah tau kan, si Adek itu punya anxiety dari dulu-dulu? Dia nggak bisa content kalau ada keramaian ekstrim, ini memang sudah nature-nya si Adek, ada di ujung spektrum introversi. Masa Mas nggak paham sih?"

"Iya, Bun. Maaf, maaf... Ayah nggak tau kalau efeknya sampai separah itu. Ayah hanya mengira Pluto itu anak yang pendiam dan penyendiri..."

Terdengar suara Bunda mendesah kasar. "Ayah ini bagaimana, masa tidak peka sama anak sendiri..."

Suara Ayah terdengar kalah. "Jadi, kita harus bagaimana, Bun? Apa diagnosismu?"

Bunda tertawa pelan. "Dasar! Kok ngomongnya kayak aku ini dokter aja..."

"Lho kan memang, kamu dokter jiwa."

"Hhhhhh..." Bunda tak mau mendebat.

"Aku belum tau, Mas. Dia anakku, bukan pasienku. Yang jelas, si Adek punya anxiety disorder yang bisa ke-trigger dalam keadaan ekstrim. Tadi itu, dia kena panick attack yang—aku curiganya—karena overwhelmed sama perayaan pas potong kue. Untungnya tadi aku langsung bisa grounding dia. Tapi tetap saja... aku khawatir kalau ini 'tuh simptom dari OCD, atau PTSD, atau bahkan—"

"Iya, iya. Aku paham. Jangan overthingking dulu, Bun. Sekarang kita pikirkan sama-sama solusinya giman—"

Pluto membuka pintu kamar, matanya nyalang menahan tangis.

"Adek sakit apa, Bun?" tanya bocah itu, polos.

"Loh, Adek kok belum tidur?" Bunda menyeka ujung matanya yang sedikit berkaca.

"Apa Adek harus disuntik biar sembuh? Harus operasi??" Kini tangis si bungsu hampir pecah.

"Dek..." Bunda berkata lembut. "Sini deh," panggilnya.

Pluto kecil berjalan ke dalam pelukan Bunda.

"Adek bisa sembuh kan, Bun?" tanyanya dengan mata memohon.

Bunda mengelus rambut si bungsu dengan sayang. "Dek... sini cerita sama Bunda, tadi Adek ngerasa apa aja?" tanya Bunda lembut.

Dan si kecil pun meringkuk dalam peluk, menumpahkan patah-patah kalimat akan sensasi asing yang dirasakannya siang tadi.

Di penghujung malam, Pluto kecil terbaring di tengah Ayah dan Bundanya. Bunda mengelus kening Pluto, tepat di antara alis tebalnya.

"Dek... Adek bakal baik-baik saja, percaya sama Bunda. Adek akan tetap bisa bersekolah seperti biasa, main sama teman-teman seperti biasa. Kalau nanti Adek mulai ngerasa sesuatu yang aneh, Adek bisa cerita sama Bunda, ya?"

Pluto mengangguk.

"Makasih, Bun..." ucap Pluto kecil dengan mata memejam. "... makasih Bunda udah jadi Bunda-nya Adek."

Air mata merembes, setetes, dari kelopak yang terpejam. Pluto bisa merasakan cairan hangat yang menjalar sampai ke pelipisnya.

Mata Pluto membuka. Kamarnya gelap gulita. Dia terbangun.

Tiba-tiba saja, dadanya penuh sesak. Saat ini, dia merasa sangat rindu Bundanya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top