13 · Labirin

a / n

Soundtrack untuk bab ini :
Tulus — Labirin

.

.

Kucari tau tentangmu
Tanggal dan tahun lahirmu
Kupelajari rasi bintang menebak pribadimu


Tokoh kartun favoritmu
Dan warna kegemaranmu
Kutelusuri di titik mana kita kan bertemu


🌑

Charon merasa diawasi.

Terlepas dari akun asing tanpa nama yang meneror media sosialnya, menanyakan dalam pesan spam berulang yang sama :

Cha, kamu di mana?
Cha, kamu di mana?
Cha, kamu di mana?

Balas!
Balas!
Balas!
Balas!
Balas!

Membuat Charon menyerah—dia menutup akun sosial medianya pada hari ke-8 pesan-pesan itu berdatangan, merelakan kontak yang sudah minimalis dengan teman-teman lamanya di Bandung menjadi putus secara total.

Papa, kenapa Papa nggak biarkan Ocha dan Mama hidup tenang aja? ratap gadis itu diam-diam.

Charon juga merasa selalu diawasi oleh Lala. Setiap gerak-gerik, langkah, dan pandangan mata—semua harus sesuai keinginan Lala. 

Demikian, itu semua ia rasa setimpal. Lala tak pernah absen mengantarnya pulang dengan aman, menjadi 'tameng' dari ancaman asing yang menguntit mereka pada awal hari pertama. Tebengan Lala menyelamatkan Charon dari kemungkinan 'dijemput' papanya. 

Charon butuh Lala.

Di sisi lain, Charon juga merasa eksistensinya menguap, tubuhnya bukan miliknya lagi. 

Satu-satunya bentuk abstrak dari kebebasan adalah pikirannya sendiri. Itulah mengapa Charon sering menghabiskan waktu untuk melamun, berimajinasi, mengandai, dan bermimpi di siang bolong. Daydreaming.

"Cha! Temenin gua ke kantin." Lala mengucap perintah saat pandangan Charon sedang bertamasya ke luar jendela kaca. 

Oh... ada rooftop di atas gedung sebelah sana?

"Cha!" panggil Lala yang tak mendapat respon.

"Eh—sori La. Kenapa?"

"Kantin. Ayo."

"Oh... iya..."

Selama perjalanan ke kantin, Charon melamunkan satu orang lagi yang sepertinya memperhatikannya. Pluto.

Charon selalu merasa pandangan cowok itu sangat kentara. Setiap mereka berpapasan di parkiran, atau saat upacara hari Senin, atau ketika Charon terburu keluar perpus—membawa buku-buku bahan tugas untuk Lala. Charon selalu merasa lekatan mata Pluto mampir di tubuhnya terlalu lama.

Semakin dijauhi, kenapa kamu malah semakin terasa dekat, Pluto? batin Charon.

Sialnya, tepat saat Charon dan Lala baru saja melangkah memasuki kantin, Charon menangkap sosok cowok itu. Membungkuk memilih jejeran softdrink di lemari pendingin.

"Duduk situ yuk, Cha," ajak Lala, menunjuk kursi pojok yang sarat privasi. Charon beringsut mengikuti.

"Gua mau pesan bakmi, es lemon, sama siomay ya Cha. Gak pake lama!" Lala memerintah seraya mengueluarkan iPhone dari sakunya, mulai men-scroll ponsel pintar tersebut dengan acuh.

Charon berjalan menjauh dari meja mereka, sambil mengingat-ingat pesanan Lala.

Bakmi, es lemon, siomay.
Bakmi, es lemon, siomay.
Bakmi, es lemon, siomay.

"Beli apa, Neng?" tanya Bu Kantin yang sigap melayani.

"Bakmi..." Pluto tiba-tiba berdiri di sisinya.

"... es siomay, lemon..." Mulut Charon belepotan. "EHHH—anu, salah Bu... bakmi, es lemon, siomay."

Bu Kantin mengangguk seraya menahan tawa.

"Lo ngga mesen makan?" gumam Pluto lirih, tepat di belakang Charon.

"S-sama mie instan goreng satu, Bu..." lanjut Charon yang hampir melupakan makan siangnya sendiri.

Charon berusaha mengabaikan Pluto saat menunggu pesanannya siap. Sesekali diliriknya kursi tempat Lala duduk, masih asyik dengan ponsel pintarnya. Charon menghela napas.

Bisa kiamat mini di SMA Magella kalau Lala sampe tau dia berada di radius seperempat meter dari Pluto.

Ketika pesanan Charon telah siap, tersaji di atas nampan—bakmi, mie goreng instan, siomay dan teh lemon—tiba-tiba lengan Pluto menahan nampan tersebut dari jangkauan Charon.

"Gemes juga gue lama-lama liat lo dijadiin babu sama si Princess," gumam Pluto seraya sigap menuang bersendok-sendok garam ke dalam bakmi pesanan Lala.

"K-kak... ngapain..." Charon berbisik ngeri, bergantian melihat posisi Lala yang masih sibuk bermain hape, dan Pluto yang sekarang mengaduk bakmi tersebut dengan luwes.

"Dah, bawa gih. Met makan." Pluto kemudian berlalu begitu saja.

Charon menelan ludah. Dia nggak tau apa yang baru saja terjadi, tapi gadis itu tetap berjalan dengan langkah tenang kembali ke meja mereka.

Mati-matian Charon menahan ekspresi wajahnya, bersikap sewajarnya.

"Ini pesenan kamu, La." Charon meletakkan mangkuk bakmi bersebelahan dengan siomay dan es lemon ke hadapan Lala.

Cewek itu tanpa curiga meraih mangkuk pesanannya, menggenggam sendok-garpu, dan siap melahap.

"Bentar." Lala menghentikan gerakannya. Jantung Charon serasa mau loncat dari dada.

"Biasanya bakmi kantin ini hambar banget..." ucap Lala sambil meraih mangkuk kecil berisi garam. Dengan hati-hati, Lala menambah seujung sendok garam ke dalam bakmi-nya. 

Charon hampir melepas tawa, namun segera ia sembunyikan dengan batuk pura-pura. Ohok.

"Nah, ini baru sip." Lala kemudian menggulung segarpu bakmi, dan dengan lancar memasukkan kedalam mulut.

Charon nggak tahan. Dia mengalihkan perhatian dengan menyuap banyak-banyak mie goreng pesanannya, agar tidak tertawa.

Satu detik... dua detik...

"OHOK! HUEKKK!!" Lala melepeh bakmi dalam mulutnya ke telapak tangan, buru-buru menyerbu tempat sampah dan wastafel. 

Setibanya kembali ke meja, Lala menguras mulut dengan tegukan es lemon.

"Kenapa, La?" tanya Charon dengan mulut setengah penuh.

"Bangsat! Asin!!!" Lala merutuk sambil menandaskan setengah isi gelas.

"Lu pesennya gimana sih Cha?!" semprot Lala setelah habis satu gelas minumnya. Charon menelan kunyahannya dengan tabah, mempersiapkan hati dan telinga untuk semburan kemarahan Lala.

"Asin? Masa sih??" ucap Charon dengan nada tanpa dosa.

"Coba aja!" Lala menyodorkan mangkuk bakmi jahanam.

Tanpa ragu, Charon menggarpu segulung bakmi, berbumbu penasaran dan excitement, dengan kedok sempurna menutup prank tanpa rencana. Charon lalu memasukkan gulungan bakmi ke dalam mulut.

Huekkk! Rasanya kayak ngunyah pasir pantai!

Charon segera berlari menuju tempat sampah dan wastafel.

Racun, tapi worth banget! pekik Charon dalam hati, puas, seraya berkumur dengan air keran.

Tanpa gadis itu sadari, sepasang mata tak putus mengamati tingkah lakunya dari sudut lain ruang kantin. 

Pluto, tertawa tanpa suara melihat kepolosan seorang Charon Theodora.

'Ngapain juga lo makan, Cha...'

🌑

Matahari sudah terlewat tinggi, mata pelajaran terakhir di kelas XI MIPA 1 adalah Pendidikan Agama.

Charon sibuk berkutat dengan selembar kertas binder bergambar Ice Bear dari kartun We Bare Bears kesukaannya. Tangan Charon mengukir satu tulisan yang digurat dengan bolpoin gel, mengindahkan Pak Ahmad yang sedang berceramah di depan kelas. 

Batinnya telah terpupuk dengan semangat dan kesungguhan, dibumbui sedikit adrenalin dan debaran aneh di jantungnya. 

Setelah selesai, Charon melipat kertas lucu tersebut dan memasukkannya kedalam saku rok seragam.

"Pak, Ocha ijin ke kamar mandi." Charon mengacungkan tangan, yang langsung dipersilahkan oleh Pak Ahmad. Lala melirik sekilas dengan acuh.

Langkah kaki membawa Charon menyusuri ruas lain gedung SMA Magella. Kelas-kelas IPS berjajar di sana. Charon menuju lantai tiga, dimana barisan kelas dua belas berada.

XII IPS 4 ramai dan riuh, terdapat beberapa siswa cowok yang duduk nongkrong di lorong depan kelas. Charon curiga kelas tersebut sedang jamkos, nggak ada guru.

Menelan ragu dan malu, Charon menghampiri seorang siswa cowok dengan kepala botak. Dia tampak asik tertawa dengan teman-temannya.

"Permisi... Kak..." Charon berkata lirih. 

Beberapa detik eksistensinya terabaikan, tenggelam dalam tawa kakak-kakak kelasnya tersebut. Hingga salah seorang kakak kelas melihat Charon masih berdiri di dekat si botak, dan mencolek si botak yang masih terbahak.

"Eh... hehehe. Ya? Cari sapa?" tanya si botak, suaranya lantang tanpa beban.

"Kak Pluto nya... ada?"

Tawa di wajah kakak botak sedikit reda.

"Sapa, Pli?" tanya teman sebelah si botak.

"Ck, diem ah lo kepo." Kipli mengibas tangan ke arah temannya. "Lo, sini-sini..." Kipli menarik Charon ke sudut lain lorong, dekat tong sampah.

"Lo cari sapa barusan? Pluto? Pluto Sol Aditya?" Si botak Kipli memusatkan perhatiannya pada adik kelas tersebut.

Charon mengangguk.

"Lo salah satu fangirl-nya?" tembak Kipli langsung. Charon tampak berpikir sejenak, lalu menggeleng.

"Oke. Gue kaga pernah liat lo dimari. Anak baru?"

"Iya, Kak."

"Kelas?"

"S-sebelas MIPA satu."

"Nama?"

"Ocha, Kak..."

"Keperluan?"

"Hah...?"

"Ada perlu apa lo nyari si Bos?"

Bos? Kak Pluto Bos mafia kah? Eh... memangnya ada ya, mafia yang masih SMA? Charon sempat-sempatnya bertanya-tanya, sebelum akhirnya menjawab pertanyaan si kakak kelas botak.

"Anu, itu... Ocha cuma mau bilang makasih, Kak." Charon menjawab polos.

"Hmmm..." Kipli memandangi Charon dari atas ke bawah.

Buru-buru, Charon mengeluarkan lipatan kertas dari saku rok nya.

"K-kalau Kak Pluto nya nggak ada... Ocha nitip ini aja... boleh, Kak?" Charon menyuguhkan kertas itu ke hadapan Kipli. Kakak kelas itu mengelus dagunya dengan bibir dicondongkan, mirip ikan louhan.

"Nggak mau ah," jawab Kipli ringan. Charon menurunkan tangannya, kekecewaan tampak tersirat di matanya.

"Bos Pluto juga nggak ada di kelas, jadi lo percuma nyariin kemari," lanjut Kipli. Charon mengangguk pasrah.

"Yaudah kalo gitu, makasih..." Gadis itu hendak berbalik untuk melangkah pergi.

"Tapi..." Suara Kipli membuat Charon membalikkan badan lagi.

"Dia ada di rooftop, naik aja tuh di tangga sebelah. Lo temuin orangnya langsung." Kipli menunjuk tangga di sudut lorong dengan dagunya, untuk kemudian berjalan meninggalkan Charon dengan gaya sok cool.

"Makasih, Kak!" ucap Charon sungguh-sungguh. Kipli mengacungkan satu jempolnya ke udara, memunggungi Charon, berjalan terus ke arah kelasnya.

Jadi dia anaknya, Bos? Manis juga. Gudlak lah! Semoga yang kali ini beda, Bos. Semoga jadi ampe sejadi-jadinya, batin Kipli sambil tersenyum jenaka.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top