12 · Tolong

Suasana di sekolah yang mendadak menyebalkan membuat Pluto lebih bersemangat pulang. Terlebih lagi, sikap Kak Tami yang sudah mulai kembali ceria lagi seperti sedia kala, membuat si bungsu sedikit banyak kembali merasakan... cinta.

Ah, begitu deh intinya. Pluto bahkan bisa bercanda dan tertawa lagi dengan kakaknya. Entah sudah berapa lama dia tidak mengalami momen itu.

Suasana di rumah jadi lebih menyenangkan.

"Nonton apa sih Kak?" tanya Pluto yang bergabung dengan Kak Tami di ruang TV.

Layar datar menampilkan gambar kartun unyu, tiga beruang bersaudara yang sedang selfie di depan rumah gua mereka.

"Ini, nonton Bare Bears, lucu deh. Eh, kamu ngapain ikutan nimbrung? Kan kamu nggak suka kartun?" Kak Tami memandangi Pluto yang menumpuk bantal di sisi sofa, lantas menyandarkan diri dengan nyaman.

"Emang nggak," jawab Pluto cuek.

"Lah, trus? Emm, kamu mau nonton TV? Mau Kakak ganti channel-nya?" tawar Kak Tami sambil siaga meraih remote kontrol.

"Udah, Kakak nonton aja si, santai. Kayak penjajah aja aku dateng-dateng ngambil TV Kakak."

Tami melongo seketika. Sejak kapan adiknya ini berubah jadi baik?

"Plut... kamu sakit?" Kak Tami sontak menyibak poni yang menutupi dahi adiknya, menempelkan punggung tangan disana.

"Nggak panas tuh... kamu... OOOHH, KAMU LAGI SUKA SAMA CEWEK YA?!" tembak Tami langsung.

Pluto sontak mendelik dan menepis tangan kakaknya.

"Wah, iya nih, bener nih! Nggak salah lagi. Bentar-bentar, Kakak sujud syukur dulu... MAKASIH YA ALLAHHH, AKHIRNYA SI PLUT-PLUT MERASAKAN CINTA JUGA...."

Pluto berdecak risih. "Engga ada! Kakak lebay deh."

Kak Tami terkikik bahagia. "Bodo amat. Sekarang Kakak bisa ceng-cengin kamu, yuhuuuy~" Si sulung mengacak rambut adiknya asal. Kak Tami begitu bersemangat karena akhirnya bisa menistai adiknya sendiri, menggodanya tanpa henti.

Pluto mendengkus tertawa. "Kakak tuh yang bucin terus sama Kak Melvin!"

"Ya trus? Meskipun bucin, tapi kan nggak denial. Kalo suka ya bilang suka, nggak usah bilang engga..."

"Bucin!"

"Heh, dah mulai jadi adek durhaka ya?"

Pluto tertawa lepas, begitu juga Kak Tami. Mereka menghabiskan dua episode seri kartun beruang itu dengan canda dan derai tawa. Pluto sedikit mengakui, kalau momen menyenangkan ini lumayan langka. Cowok itu sepenuhnya berusaha menyimpan tiap menit petang itu dalam memori jangka panjang.

"Plut, laper gak?" tanya Kak Tami saat layar TV menampilkan ending credit episode ke-tiga.

"Lumayan," jawab Pluto.

"Cari makan yuk."

"Delivery?"

"Yeelah deliv mulu. Keluar yuk sekali-kali. Jarang-jarang nih. Mau ya?" tawar Kak Tami dengan mata berkilat, semangat.

"Makan di luar?" ulang Pluto.

"Iya. Mau ya?"

Pluto tampak berpikir sebentar. Dia paling enggan keluar rumah kalau tidak harus banget.

"Iya deh..."putus Pluto akhirnya. Dia ingin membuat kakaknya senang.

"Yess! Tunggu sini, Kakak siap-siap bentar."

Lima belas menit kemudian, Kak Tami keluar kamar dengan dandanan effortless namun cantik—kardigan rajut berpadu dengan rambut curling-an salon yang diurai lepas. Sementara Pluto, hanya mengenakan celana jogger katun dan jaket hoodie abu tua.

"Deuh simpel amat. Dandan yang serius kek sekali-kali..." komentar Kak Tami atas penampilan Pluto, sambil menggandol lengan adiknya yang tingginya sudah menyalip selisih 8 senti.

"Males, ribet." Pluto menjawab cuek.

"Untung cakep lu... coba burik, dah gue coret dari KK," gumam Kak Tami selewat, luput dari pendengaran Pluto.

Sekilas dilihat dari jauh, Pluto dan Tami terlihat bagai dua sejoli. Untungnya mereka kakak-adik, mereka muhrim bund.

"Jalan aja yuk." Pluto menuntun kakaknya keluar dari pintu gerbang rumah.

"Ehh, loh, Plut? Kaga ngeluarin motor?" Kak Tami protes ketika mereka terus berjalan kaki meninggalkan halaman.

"Udah, makan nasi goreng depan komplek aja."

"Yaelah Plut, Plut... Kakak udah dandan cakep-cakep, diajak makan nasgor doang. Hadehh..."

🌑

Rentetan omelan Kak Tami rupanya luruh juga ditelan sendok demi sendokan nasi goreng depan komplek perumahan mereka, tepat di depan minimarket.

"Laper apa doyan, Kak?" tanya Pluto, setengah kagum.

"Duwa-duwangah (dua-duanya)," jawab Kak Tami dengan mulut penuh.

Pluto tertawa pelan memperhatikan tingkah laku kakaknya, sambil menyendok piring nasi gorengnya sendiri.

"Hngg—ohokk!" Kak Tami terbatuk sedikit sambil menepuk-nepuk dadanya.

"Keselek, Kak? Bang—ada minum, ngga?" Pluto sigap memanggil Abang Nasgor.

"Enggak ada, Bang. Habis," jawab Abang Nasgor sambil menggeleng. Pluto berdecak kesal.

"Udah, nggak papa kok Plut. Kecepetan tadi Kakak makannya." Tami berkata sambil menghirup napas.

"Tunggu sini Kak, aku beliin air di minimarket." Sang adik bangkit meninggalkan kakaknya yang mengangguk, setuju.

Pluto dengan gesit menyisir rak-rak air mineral, mengambil sebotol 600 ML air putih dengan merek random.

Setibanya di meja kasir, Pluto menyerahkan sebotol air itu bersamaan dengan seseorang menaruh keranjang belanjaan.

"EH, sori—loh, Pluto ya?"

Cowok itu menoleh ke arah pemilik keranjang belanja. "Kak... Arta?"

Pluto sedikit terkejut akan pertemuannya dengan 'kakak' Charon tersebut. Pikirannya melayang membayangkan wajah Charon yang tersenyum. Dia ngehindarin gue, apa gue harus ngehindarin kakaknya juga? Pluto mempertimbangkan dalam hati.

"Iya! Hai. Ketemu lagi kita disini, Pluto. Terakhir itu... dua mingguan yang lalu ya?"

Pluto mengangguk sambil buru-buru menyodorkan air botolnya ke arah Pramuniaga, yang langsung meng-scan dengan sigap. Cowok itu sekaligus merogoh uang pecahan sepuluh ribu dari kantung celananya.

"Kamu keliatannya buru-buru amat, nggak ada waktu bentar buat ngobrol, ya?" tanya Kak Arta yang peka menangkap gelagat Pluto. Cowok itu membeku saat sedang menerima kembalian dan struk-nya.

"Engg..."

"Bentarrrr aja. Nggak bisa ya? Penting. Ini menyangkut Ocha..."

Mendengar nama gadis itu disebut, pertahanan Pluto sedikit runtuh. Sekilas ia melirik ke luar pintu kaca—melihat Kak Tami yang tampak baik-baik saja, sibuk melahap nasi gorengnya kembali.

"Ya udah," putus cowok itu, diam-diam menuruti keinginan hati yang sedari kemarin ia kesampingkan.

Kak Arta menghela napas sambil merelakan keranjang belanjanya di-scan oleh Pramusaji. Matanya lurus memandang Pluto.

"Kamu... tau nggak, ada apa di sekolah Ocha? Belakangan ini dia jadi murung, diem, dan puncaknya tadi pas ditanyain mamanya kenapa, dia bilang nggak apa-apa. Padahal Kakak bisa liat banget, dia tuh ada apa-apa. Apa lagi, pas kemarin Ocha cerita kalo Lala ternyata nyuruh dia ngerjain pe-er sekolah. Kamu tau, Pluto?"

Pluto terpekur mendengarkan. Oh, ternyata karena pe-er toh, Lala bikin gue minta maaf ke Ocha tempo hari?

"Kak..."

"Pasti ada sesuatu, kan? Ada yang nggak bener sama pertemanan Ocha dan Lala. Iya 'kan?" potong Kak Arta dengan sigap, setengah berbisik, seraya membayar belanjaannya.

"Iya," jawab Pluto pendek.

"Nah! I knew it. Bocah SMA naik mobil sport emang nggak bisa dipercaya!" desis Kak Arta.

"Ocha sekarang... gimana, Kak?" Pluto bertanya ragu-ragu. Kak Arta memandangi wajah Pluto dengan sungguh-sungguh, seakan membaca riak emosi cowok itu yang tak tampak di permukaan.

"Dia nggak baik-baik aja, Pluto."

Si bungsu Aditya bisa merasakan punggungnya menegang saat mendengar kalimat tersebut.

"Maksud Kakak?" selidik Pluto.

Kak Arta lantas menoleh kanan-kiri, menyapu pandang.

"Kita ngobrol sambil duduk di situ, yuk?" ajak Kak Arta seketika. Pluto yang digerus rasa penasaran, akhirnya ikut dengan sukarela.

"Jadi... ck, duh. Aku nggak tau sebenernya boleh cerita ke kamu apa nggak, Pluto, tapi... yah, demi kebaikan Ocha. Oke-oke. Ehmm... jadi, kamu tau nggak, alasan Ocha dan mamanya pindah dari Bandung?"

Pluto menggeleng perlahan. Ingatannya kembali pada momen Lala menunjukkan foto lebam di tangan Charon, senyum Charon yang terpasang kukuh bak topeng, dan kalimat Charon saat cowok itu menghampiri kelas Charon untuk minta maaf.

"Semua orang membawa luka, Pluto. Mungkin punyaku kelihatan fisiknya, tapi aku tau luka yang lebih sakit itu yang nggak kelihatan."

Ada apa sebenernya dengan lu, Charon? Batin Pluto tak tertahan.

"Ocha..." Kak Arta membuka mulut, mulai berkata lirih. Pluto memperhatikan dengan atensi berlebih. "... dan mamanya itu, minggat dari rumah mereka di Bandung, karena ada masalah."

Pluto mengerutkan kening. "Ocha bermasalah?" simpulnya prematur.

"Bukan, bukan Ocha-nya. Tapi... papanya. Jadi... papa si Ocha itu orang yang abusive, Pluto. Keluarga mereka toksik. Kakak kenal mamanya Ocha itu dari forum anti kekerasan di Internet, satu tahun lalu. Sejak saat itu, Kakak selalu berusaha bantu mamanya Ocha untuk keluar dari keadaan pernikahannya yang nggak sehat. Ck, harusnya Kakak nggak cerita ini..." Kak Arta tampak merutuki keputusan impulsifnya sendiri. Sesekali dilihatnya wajah Pluto yang tampak serius mencerna.

Pantes aja, simpul Pluto. Kini dia seperti memahami seorang Charon beberapa lapis lebih dalam.

"Tapi, Pluto..." Kak Arta kembali membuka suara.

"Tujuan Kakak cerita ini tuh... sebenernya untuk minta tolong sama kamu."

Pluto membalas tatapan lurus Kak Arta. "Iya, Kak?"

"Tolong jaga Ocha..."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top