11 · Normal

Hari-hari dilalui Charon dengan hati-hati.

Hati-hati akan menyinggung emosi Lala, yang ternyata kalau terlanjur pundung (ngambek) bisa menguras uang jajannya (walaupun ini ide Charon sendiri sih, nyogok pake jajan).

Hati-hati mengiyakan permintaan Lala, yang ternyata kalau ditilik lagi, lumayan me-riweuh-kan juga.

Cha, bantu tugas ini dong. Cha, temenin kantin ya. Cha, jagain pintu WC ya. Cha, bawain tas gue. Cha, catetin itu yang di papan dong. Cha, Cha, Cha...

Charon sebisa mungkin menuruti, dan sehati-hati mungkin merangkai kata jika ingin menolak.

Kehati-hatian Charon juga berkisar pada eksistensi Pluto. Benar kata Lala, kalau Charon beramah-tamah pada cowok itu, dia akan dapat masalah. Masalahnya, masalah tersebut sumbernya dari Lala.

Pernah sekali, Charon tidak sengaja memandangi Pluto yang lewat depan kelas meraka pada jam istirahat—tak lebih dari 5 detik, dan yang terjadi selanjutnya adalah Lala tidak menyapa Charon sepanjang sisa hari itu.

Kalau mau Lala tetap berbaik hati menyapanya dan menjadi temannya, Charon harus menjaga mata, sikap, dan bahkan pikiran juga kayaknya Lala bisa baca.

Gadis itu hanya bisa berharap semuanya akan kembali normal seperti sedia kala—Lala, akan kembali normal seperti sedia kala.

Tapi hati kecil Charon mau tak mau berandai, jika ke-normal-an Lala adalah yang seperti ini, bagaimana?

Posesif, sensitif, demanding, dan egois.

Charon menggelengkan kepala, mengusir prasangka itu jauh-jauh. Dia teman kamu, Cha. Kamu harus selalu ada dalam susah maupun senang. Itu yang dinamakan teman sejati 'kan?

🌑

Pluto memang cuek, tapi bukan berarti dia tidak peka.

Dia tau persis dari cara Charon membuang muka tempo hari, kalau Lala berulah lagi. Amira Leilani, remaja putri Ketua Yayasan SMA Magella, yang keinginan hatinya 100% harus terwujud menjadi realita. Lala bisa melakukan apa saja, termasuk menjauhkan Charon dari Pluto—terlepas apapun motifnya.

Dengan power dan obsesi yang meloloskannya mendapatkan apa saja, Lala menjadi sosok hantu yang membuat Pluto ingin cepat-cepat lulus dan hengkang dari SMA Magella.

Pluto menghela napas. Bikin ribet aja.

Sepintas ia melihat gerombolan anak ekskul Tata Boga, menjajakan makanan ringan hasil praktik mereka. Pluto teringat cake pops cokelat yang tempo hari ia berikan pada Charon. Punya dia udah dimakan belum, ya? Pluto bertanya-tanya.

Cake pops miliknya sendiri telah aman bersemedi pada lapisan paling belakang freezer lemari pendingin di rumahnya. Pluto nggak terlalu suka makanan manis.

Mengingat interaksi singkatnya dengan Charon, di parkiran ketika gadis itu dengan polosnya memungut roti, di kantin saat Charon dengan luwesnya mengingat nama Pluto, ruang kelas kosong ketika Charon menyuguhkan pemahaman tentang luka, dan di kursi minimarket bersama Charon dan Kak Arta—mereminisi bagaimana rasanya makan bersama, larut dalam ocehan tanpa arah.

Momen-momen pendek yang berkesan, membuat Pluto tanpa sadar merundung sendiri. Merutuki si tuan putri Leilani yang mengkudeta interaksi Charon dengannya.

"Ey Bos... Milky Way yuk?" Kipli kembali melipir di meja Pluto, tepat 20 detik setelah bel pulang berbunyi.

Rasanya seperti dejavu.

"Ng—"

"Nggak boleh nggak! Kali ini sama gue aja, not with anak-anak. Yuk ah Bos, ngedate yuk kita..." Kipli menarik lengan seragam Pluto dengan gaya manja, membuat si dingin Pluto mau tak mau tertawa.

"Pa'an sih, Pli."

"Ayolaaahh. Gue tau lo kemarin ogah karena kita rame-rame 'kan? Mereka mulutnya juga pada julid, wajar lah kalo lo males. Nah, kali ini kan sama gue doang. Mau dong ya? Yuk ah yuk?"

Pluto menggeleng kuat-kuat.

"Jan belagak homo deh." Pluto memperingati. Kipli melepas rangkulannya dengan setengah hati.

"Yaudah, kalo gitu gue belagak preman aja, gimana? Gue bakal maksa Bos untuk ikut ke Milky Way sekarang juga!"

Pluto menaikkan sebelah alisnya. "Lo? Preman? Emang bisa?"

Kipli menggeleng sambil nyengir kuda sebagai balasannya.

"Lagian kenapa sih, Pli? Kok lo maksa banget gue buat ke kafe susu-susu itu..."

"Lo lagi dirundung masalah kan, Bos?" Kipli balik bertanya.

"Hah?" Kok dia bisa tau?

"Muke lo dah ditekuk-tekuk macem onigiri begitu—"

"Origami."

"Ya, oni-oni lah. Same-same. Intinya, gue bisa liat kalo lo lagi ada masalah. Dan ini masalahnya beda. Kayaknya..." Kipli mencondongkan badan, menggapai telinga Pluto untuk membisikkan, "... ini masalah cinta. Pasti si Princess berulah lagi 'kan?"

Pluto dengan sigap mendorong wajah Kipli. "Pli sumpah, napas lo bau jengkol!"

Kipli sontak membaui napasnya sendiri dengan telapak tangan. "Hohhh... eh iya. Hehe, maap Bos."

Pluto kembali menggelengkan kepala. "Skip dulu, Pli. Besok-besok aja deh, kapan-kapan..."

"Kapan?" sanggah Kipli.

"Heh?"

"Kapan mau nyusu bareng gue di Milky Way? Nunggu sampe masalah lo udah runyam?"

Si badut ini punya turunan dukun ato apa ya? Cenayang amat, pikir Pluto.

"Yah pokoknya jangan sekarang lah," tolak Pluto, lagi.

"Okeh. Jus so yu know, Bos. I'll be there for yu." Kipli menepuk dadanya dua kali, lantas memberi hormat ke arah Pluto sebelum berbalik pergi.

Dasar badut sinting, batin Pluto sambil terkekeh.

Cowok itu melepas kepergian Kipli, si humoris sengklek yang sudah mengorbit di hidupnya semenjak bertemu di tempat les bimbel ketika mereka kelas 6 SD.

Kipli adalah satu dari segelintir orang yang tau tentang kehidupan Pluto, luar-dalam. Kipli juga yang—terlepas dari sifat blak-blakannya—tau batas wajar bagi seorang Pluto yang menutup diri sedemikian rupa. Kipli tidak pernah memaksa. Dia hanya selalu ada, siap menghibur siapa saja.

Pluto adalah siswa XII IPS 4 yang terakhir keluar dari kelas. Seperti di-prank oleh semesta, dia harus berpapasan dengan Charon yang membawa kardus berisi kertas karton, mengekori Lala di belakangnya.

Pandangan mereka bersirobok setengah detik, namun Charon segera mengalihkan matanya. Gadis itu melangkah terburu-buru hingga hampir terantuk sepatunya sendiri.

Pluto tanpa sadar mengembuskan tawa.

Melihat Charon yang diperhatikan Pluto, Lala menyalak dari sisi mobilnya.

"Cha, ayo cepetan!"

Pluto merasa denyutan ganjil di hatinya—tak dapat ia pahami betul itu apa, namun mendadak cowok itu tersadar akan sesuatu.

Mungkin dengan dia ngejaga jarak dari gue, itu bikin dia lebih aman. It's for the best.

🌑

Mobil sport merah yang dikemudikan Lala berhenti tepat di depan komplek apartemen Charon.

"Makasih ya La, udah nganter Ocha." Gadis itu memulutkan ucapan terima kasih yang tak pernah absen ia mantrakan setiap hari.

Mama Riris mengajari Charon untuk selalu berterima kasih atas kebaikan orang lain—seberapa kecil dan seringnya itu.

"Thanks juga tadi udah bawain kertas kartonnya. Tugas kliping Bahasa Indo kurang koran-koran aja kan? Lu ada kan Cha? Sekalian kumpulin ya, gunting, sama siapin lem."

Charon mengangguk kaku. "Terus kamu yang ngapainnya nanti, La?"

"Gua yang nempel lah."

Charon bungkam sesaat, sebelum akhirnya bergumam, "Ya udah... Ocha pulang ya, La."

Gadis itu keluar dari Audi sport dengan pikiran buncah. Itu tadi nggak adil, simpul Charon setengah hati.

Sesampainya di unit, Charon disambut dengan hiruk-pikuk yang heboh.

"CHAAA!! KABAR BAGUS! KAKAK DITERIMAA!!" pekik girang suara Kak Arta membahana di unit apartemen mereka. Charon baru saja melepas kaus kaki sekolahnya.

"Diterima apa kak? Kak Arta habis nembak cowok?" polos Charon.

"Yeuu si bocah. Cinta-cintaan mulu. Lamaran kerja, Cha, Kerja! Kakak sekarang resmi jadi tim marketing PT. Pandora Khatulistiwa! Perusahaan e-commerce yang Kakak ceritain kemarin! Ternyata itu usaha startup punya anak pertama pewaris utama keluarga Cokro, tapi nggak masuk anak perusahaan Cokro Group. Nahloh! Gimana? Keren kan??" Kak Arta ngerap dengan semangat. Charon hanya garuk-garuk kepala.

"O gitu... selamat ya Kak," ucap gadis itu akhirnya.

"Itu tandanya, Mama bakal lebih sibuk mulai sekarang, Cha. Pulang bisa jadi lebih malem, dan bisa jarang ada di rumah. Ocha nanti uang jajannya Mama tambahin buat sekalian cari makan sendiri, ya?" Mama Riris berkata sambil melipat cucian baju kering.

Charon memandang Mama Riris tak terima. "Kok gitu Maaaa?"

"Yah, kan sekarang Kak Arta udah sibuk di kantor barunya. Nggak ada waktu lagi buat ngurus klien di Ursa Major. Dan juga..."

"Klien Kakak dipegang sama mama kamu semua, Chaaa! Biar chuan mengalir, ya kan Mbak?" Kak Arta menyahuti dengan semangat. Mama Riris terkekeh pelan sambil menggelengkan kepala.

"Bukan Cuma itu, Cha. Rumah lama kita di Bandung sudah mulai ada yang nego, mau dibeli. Itu berkat bantuan kolega Ursa Major cabang Bandung yang udah bantu promosi—bilangin makasih ke mereka ya, Ta—" Mama Riris berkata ke arah Kak Arta singkat.

"Intinya, Ocha mulai sekarang harus belajar mandiri sedikit, ya?"

Charon terdiam, tidak menjawab secara langsung.

"Rumah lama kita dijual, Ma? Terus kita tinggal di mana?" tanya Charon akhirnya.

Mama Riris dan Kak Arta saling berbagi pandang selama satu detik.

"Cha..." Mama Riris memulai. "Kita cari rumah baru di sini, di Jakarta. Mama udah mulai paham kerja di properti, bisa bangun karir di sini. Kamu juga dua tahun lagi udah kuliah, jadi..."

Mama Riris tak melanjutkan kalimatnya, melihat anak gadisnya menunduk layu.

"Cha? Kenapa, sayang?"

"Mama... kenapa nggak bilang sama Ocha kalo kita pindah permanen kesini?"

Mama Riris menghela napas panjang. "Maaf, Cha. Harusnya Mama diskusiin ke kamu juga masalah ini. Kenapa, sayang? Kamu keberatan ya, kalau kita tinggal di Jakarta?"

Charon menggeleng.

"Kamu kan disini sudah mulai bergaul sama teman baru. Ada Lala juga yang nemenin kamu di sekolah baru, ya kan?" Pertanyaan Mama Riris itu membuat Charon terpekur.

"Cha... apa kamu ada masalah di sekolah, sayang? Ada masalah sama Lala?" tanya Mama Riris penuh selidik. Kak Arta juga turut memperhatikan Charon yang tampak menggigit bibir.

"Nggak kok, Ma... semuanya baik-baik aja."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top