08 · Teman?
Hari sudah malam. Charon duduk menghadap meja makan dekat dapur apartemen Kak Arta. Gadis itu sedang berkutat dengan buku-buku yang terbuka, sementara si kucing Macican tiduran di atas meja disampingnya.
Pe-er Biologi yang diberikan Bu Siska sebenernya nggak susah-susah amat. Semua jawaban ada di halaman depan buku paket, dan Charon tinggal membaca dan memahami untuk bisa menjabarkan jawabannya.
Charon menghela napas. Dipandanginya sekilas satu batang cake pops yang menyembul dari balik kotak pensil yang setengah terbuka. Kudapan itu berbentuk lolipop dengan bola cokelat bertabur sprinkles di atasnya, terbungkus plastik transparan dan berpita lucu.
Charon menyimpan cake pops itu dalam kotak pensilnya, tak tega memakan pemberian Pluto itu, entah kenapa.
Sebenarnya, Charon masih bingung dengan keadaannya saat ini.
Untuk apa Lala sampai repot-repot membuat Pluto minta maaf kepadanya? Apakah Lala sepeduli itu terhadap Charon? Berarti Lala sahabat yang baik dong. Tapi, kalau memang Lala beneran baik, kenapa dia menyuruh Charon untuk mengerjakan pe-er miliknya?
Ditegah kebimbangannya, Charon mendapati Kak Arta bergabung dengannya di meja makan. Sahabat online Mama Riris itu membuka laptop, dan mulai mengarahkan tetikus di layarnya.
"Kak Arta ngapain? Kerja ya?" tanya Charon yang penasaran.
"Hmmm... bukan. Kakak lagi bikin CV, mau ngelamar di perusahaan e-commerce yang lagi oprec. Nggak bagus prospek di Ursa Major untuk karir Kakak yang berkelanjutan Cha, ngga tetap soalnya. Jam kerja bebas, gaji dari insentif penjualan doang. Skip deh, butuh kepastian nih."
Charon menggaruk kepalanya, tak mengerti.
"Ocha pusing, Kak, nggak paham. Ocha lanjut ngerjain pe-er Biologi aja deh," putus gadis itu kemudian. Kak Arta tertawa ringan melihat kepolosan Charon.
"Hehe, semangat ya," ucap Kak Arta.
Lima belas menit kemudian, pe-er Biologi itu selesai juga. Charon merenggangkan badan, memutar pinggang, dan mengelus si kucing Macican.
Sekilas gadis itu melirik layar laptop di hadapan Kak Arta.
Curriculum Vitae. Nama... pengalaman... pekerjaan. Hmmm, nggak paham. Kayaknya sibuk banget ya jadi orang dewasa, simpul Charon dalam hati.
Gadis itu lantas kembali memusatkan perhatiannya pada buku.
Charon tersadar akan sesuatu. Buku Charon baru, kosong melompong, sementara buku Lala sudah berisi sebagian materi selama setengah semester ini. Charon sadar masih banyak materi pelajaran yang ketinggalan, Charon perlu belajar banyak.
Akhirnya, Charon memutuskan untuk menyalin catatan Lala.
Makasih udah dipinjemin buku catatanmu ya La, batin Charon bersyukur. Walaupun harus mengerjakan pe-er tanpa sukarela, tapi Charon berusaha mencari sisi baik dari sikap Lala.
"Cha, udah jam sembilan ini, nggak bobok kamu?" tanya Mama Riris yang sedang menggelar kasur lipat di ruang TV.
"Mama duluan aja, Ocha masih ada tugas sekolah," jawab Charon dari meja makan.
"Oke, jangan malem-malem ya." Terdengar suara Mama Riris yang menyahuti.
Charon menyalin beberapa lembar materi pelajaran Biologi. Untungnya, tulisan tangan Lala rapi dan mudah dibaca.
"Cha," panggil Kak Arta tiba-tiba, setengah berbisik.
"Hm?"
"Suntuk ga?"
Charon menghadap kak Arta dari tempat duduknya. "Kenapa Kak?"
"Ngopi yuk," ajak Kak Arta.
Charon bingung dengan ajakan Kak Arta tersebut. Belum sempat menanyakan maksudnya, Kak Arta sudah melanjutkan.
"Deket-deket sini aja. Kakak suntuk nih bikin portofolio dari tadi. Temenin aja deh, yuk?"
Charon melirik sejenak ke arah ruang tengah. Mama Riris tampak sudah terlelap di atas kasur lipatnya.
"Kemana sih, Kak?" tanya Charon kemudian.
"Minimarket depan komplek, bentar aja kok. Disitu ada yang jual kopi, nanti kamu Kakak traktir cokelat deh, mau ya?"
Mata Charon berbinar mendengar tawaran itu. "Mau mau."
Perjalanan menuju minimarket depan komplek apartemen Kak Arta tidak memakan waktu lama.
Langit Jakarta cerah, walaupun agak kelabu tertutup polusi. Tapi bulan terlihat utuh walau harus nampang sendiri tanpa gemerlap bintang. Charon menikmati acara jalan-jalan bersama sahabat mamanya itu di malam hari.
Minimarket ibu kota memang paling komplit. Terdapat water dispenser berisi air panas yang siap digunakan untuk menyeduh minuman instan, lengkap dengan gelas kertas dan tutupnya.
Charon memilih cokelat panas, sementara Kak Arta sigap menyobek sachetan white coffee. Kak Arta juga membelikan Charon sebatang cokelat wafer. Charon merasa beruntung banget hari ini, dikasih cokelat sama orang yang nggak diduga—dua kali.
Charon dan Kak Arta duduk di kursi besi yang dilengkapi meja besi panjang, menghadap ke luar dari dalam jendela minimarket.
Kak Arta mulai menikmati white coffee-nya, sementara Charon meniup isi gelas kertasnya yang masih terlalu panas untuk dihidu.
"Kakak sering ngopi di sini?" tanya Charon sambil membuka bungkusan wafer cokelat.
"Iya. Cuman males kalo sendirian. Sering digodain abang-abang ojek pangkalan di seberang jalan. Hadeh."
Charon berpikir sejenak. "Oh, itu digodain ya? Ocha kemarin pas lewat situ juga dipanggil-panggil, disuit-suitin. Malah Ocha ajak ngobrol abang-abangnya. Kirain mereka beneran mau ngobrol sama Ocha."
Kak Arta terbahak seketika. "Hahahaa. Aduh Cha, jangan polos-polos dong kamu kalo jadi anak. Bahaya! Bisa-bisa diculik om-om loh!"
Charon ikut tersenyum. "Ocha nggak tau Kak. Hehee..."
Mereka lantas melanjutkan obrolan. Tampak sekali Kak Arta mengajak Charon 'ngopi' hanya karena butuh teman bicara. Kak Arta adalah tipe orang yang cerewet dan ekstrover, jadi wajar saja dia akan merasa suntuk kalau berdiam diri lama-lama.
Kak Arta menanyai Charon tentang sekolahnya. Setelah menimbang-nimbang sebentar, akhirnya Charon rasa nggak ada salahnya untuk menceritakan tentang Lala, dan kejanggalan sikapnya serta permintaan untuk mengerjakan pe-er miliknya.
"Dia mah cuma mau manfaatin kamu, Cha. Keliatan banget itu," simpul Kak Arta setelah Charon selesai bercerita.
"Masa sih Kak? Tapi dia kan teman Ocha. Dia baik udah nemenin Ocha tiap hari, dan bantuin Ocha juga pas waktu itu..."
Kak Arta mendesah. "Kalo namanya temen beneran, nggak akan bikin kamu ngelakuin hal yang nggak kamu mau, Cha. Memangnya kamu mau ngerjain pe-er Lala itu—sampai satu semester?"
Charon menggeleng.
"Nah ya udah. Berarti ada yang salah sama pertemanan kalian."
Charon tampak merenungi ucapan Kak Arta. "Sekarang Ocha harus gimana, Kak?"
"Ngomong langsung, yang tegas. Bilang kalo Ocha nggak mau. Lagian pe-er kan harusnya dikerjakan sendiri, bukan malah nyuruh orang lain."
"Iya sih..."
Kak Arta menyesap kopinya. "Terus, si cowok kakak kelas kamu yang galak itu, gimana? Siapa dah namanya?"
"Ooh. Itu, namanya..."
Pandangan mata Charon teralih ke arah meja kasir, mengikuti seorang pemuda berjaket hoodie yang membawa mie instan cup.
"... Pluto??" panggil Charon.
Kak Arta menoleh ke arah pandangan Charon. Disana, cowok yang dipanggil itu balas menatap ke arah mereka. Dia tampak kaget.
"Itu orangnya, Cha?" bisik Kak Arta.
"Iya." Charon balas berbisik.
"Ganteng," komentar Kak Arta sungguh-sungguh. Charon menautkan alis, tak sempat berkata-kata sebab sosok Pluto sedang berjalan ke arah mereka.
Eh, enggak. Bukan ke arah mereka. Pluto berjalan ke arah water dispenser yang terletak di antara meja kasir dan tempat duduk Charon serta Kak Arta.
Pluto tampak sibuk mengisi cup mie-nya dengan air panas dari dispenser.
"Kamu tadi manggil dia kan, Cha? Kok dicuekin?" tanya Kak Arta, heran.
"Iya..." Charon berkata lirih.
"Sapa lagi, gih. Samperin sana," usul Kak Arta. Charon tampak ragu. Dia mulai paham sikap Pluto yang nggak suka diganggu.
Tapi kalau boleh jujur, Charon juga sedikit kesal. Panggilannya tadi tidak digubris oleh Pluto.
Dan juga, Charon penasaran. Kok Pluto bisa ada disini?
Lalu, tiba-tiba Charon teringat sesuatu.
"Bentar ya Kak." Charon bangkit dari kursinya. Gadis itu berjalan ke arah Pluto.
Merasakan Charon berdiri didekatnya, Pluto mendongakkan wajah dari atas cup mie.
"Apa?" ucap cowok itu, dingin.
"Mmmm... makasih," lirih Charon.
Alis Pluto bertaut. "Buat?"
"Cake pops yang kamu kasih, tadi."
"Oh." Pluto mulai membalikkan badan.
"Tunggu, Plut—ehh, Kak Pluto!" panggil Charon. Cowok itu membeku sejenak.
"Kakak kenapa bisa disini? Kakak tinggal di dekat sini?" Charon langsung menyerbu dengan pertanyaan.
"Apa kata lo barusan?" Pluto memiringkan kepala. "Kakak?"
Charon tergagu. "I--iya... Kak Pluto kan kelas dua belas. Lebih tua dari Ocha."
Pluto terkekeh sekilas. "Biasanya juga lo lemes manggil nama gue. Kenapa tiba-tiba pake embel-embel 'kak'? Gak usah deh. Geli dengernya."
Charon tersenyum. "Iya, Kak."
Pluto menggeram.
"Hey. Berdiri aja kalian, awas kena varises loh. Gabung duduk disitu yuk?" Kak Arta tiba-tiba sudah berada di belakang Charon, menawarkan sekaligus menunjuk kursi mereka.
Pluto tampak melirik ke arah kursi disana.
"Eehh... Kak Pluto, kenalin, ini Kak Arta. Ocha kesini bareng dia. Apartemen kami disitu tuh, gedungnya kelihatan dari sini."
Kak Arta mengulurkan tangan tanpa ragu. Pluto tampak rikuh, tapi akhirnya menjabat tangan Kak Arta juga.
"Pluto," ucapnya pendek.
"Mau gabung sama kita? Kamu satu SMA sama Ocha kan?" tanya Kak Arta.
Pluto mengangguk. "Iya."
Mereka bertiga lantas duduk bersama. Kak Arta rupanya paham dan bisa membaca situasi, bahwasanya Pluto bukan tipe yang banyak bicara. Kak Arta tidak menekan Pluto dengan pertanyaan beruntun.
Kak Arta sempat berkata bahwa dia sengaja mengajak Pluto bergabung, sebab kalau makan itu akan lebih asyik jika ada temannya. Charon mengangguk setuju, sementara Pluto nggak protes. Dia khusyuk melahap mie didalam cup-nya. Kelihatannya Pluto sedang lapar.
Sejauh ini, Charon lihat Kak Arta jadi lebih 'jinak' di depan cowok ganteng.
Charon tersenyum, lega. Entah kenapa pertemuannya dengan Pluto malam ini membuat Charon merasa... senang.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top