07 · Hutang
Lala terlihat agak diam dan tidak banyak bicara sepanjang perjalanan mengantar Charon pulang. Charon jadi bertanya-tanya, apa dia melakukan kesalahan?
"Sampe nih, di sini kan?"
Itu adalah sepotong kalimat panjang pertama yang dilontarkan Lala pada Charon, selain 'iya', 'nggak', dan 'oh'.
Charon melongokkan kepala keluar jendela. Mereka telah tiba di depan komplek gedung apartemen Kak Arta.
"Iya, Lala. Makasih ya," ucap Charon seraya melepas seat belt-nya.
Saat hendak membuka pintu, Charon berbalik kearah Lala.
"La?" panggilnya.
"Hm."
"Ocha ada salah ya sama Lala? Lala diem terus dari tadi... Ocha salah apa, La? Maafin Ocha ya?"
Lala tampak memaksakan senyumnya. "Gua cuma gak mood aja Cha, lagi dapet. Sori yak."
"Oooh..." Charon mengangguk paham.
"Kalo ada yang Ocha bisa lakuin buat bikin mood Lala enakan, Ocha mau bantu," tawar Charon tanpa pertimbangan. Lala tampak berpikir sejenak.
"Ada sih sebenernya," ucap Lala kemudian. Cewek itu lantas meraih tas punggungnya dari kursi belakang, dan mengeluarkan buku tulis untuk diserahkan pada Charon.
"Apa ini Lala?" tanya Charon polos.
"Lu punya hutang, Cha. Kerjain pe-er Biologi gua."
Charon berkedip sesaat. "Ooohh..." ucap Charon kemudian. "Berarti tadi Pluto ke kelas kita itu... karena Lala?"
Lala tersenyum manis tanpa menjawab. Charon menerima buku catatan Biologi Lala.
"Kerjain yang bener ya Cha, pe-er nya," ucap Lala ringan.
Charon mengangguk sambil beranjak keluar mobil. Saat hendak menutup pintu mobil sport Lala, Charon kepikiran sesuatu.
"Lala," panggil Charon.
"Hm?"
"Makasih ya udah bikin Pluto minta maaf ke Ocha."
Mendengar itu, Lala mengangguk kaku. Charon lantas menutup pintu mobil dan mundur selangkah, melambaikan tangan pada kendaraan sahabatnya yang menderu menembus jalanan raya.
🌑
Motor yang dikendarai Pluto meluncur lancar memasuki komplek perumahannya. Terdapat sebuah mobil Pajero Sport yang terparkir di depan kediamannya. Pluto melepas helm sambil memandang miring kendaraan tersebut.
Ngapain lagi dia kesini...
"Assalamualaikum." Pluto menggumamkan salam ketika masuk rumah, tidak berharap ada balasan.
"Waalaikumsalam, dah pulang Dek?" Tami membalas dari ruang tamu. Ternyata kakaknya itu tidak sendiri.
Seorang pemuda duduk di samping Kak Tami. Rapi, necis, dengan potongan rambut garapan barber seperempat juta, lengkap dengan jas dan kemeja serta celana senada.
"Oh, ada Kak Melvin." Pluto mengindahkan kehadiran lelaki yang dipanggil Melvin itu.
"Hai," balas Melvin.
Dialah Melvin Tjahyadewa, seorang PPAT dari firma hukum Tjahyadewa and Sons, anak ke-dua dari tiga bersaudara.
Pluto memperhatikan keadaan sekilas.
Kakaknya, Tami, tampak lebih 'hidup' dengan muka yang sedikit bersinar. Baju yang biasanya hanya piyama, kini berganti menjadi mini dress katun berkain ringan. Rambut Tami yang biasanya acak-acakan, kini tersisir rapi dan tergerai melingkar.
Luar biasa memang efek cinta.
Pluto kenal Melvin sebagai cowok yang ditaksir Kak Tami semasa SMA, cinta pertama sekaligus cinta monyet akut kakak perempuannya itu.
Selepas meninggalnya kedua orang tua Pluto dan Tami, keluarga Tjahyadewa telah banyak membantu Pluto dan Tami. Mereka berbaik hati menjadi kuasa hukum yang mengusut kasus kecelakaan maut enam bulan lalu.
Pluto sangat berterima kasih kepada anak pertama Tjahyadewa yang bekerja sebagai Notaris, Jevin Tjahyadewa, yang membantu mengurus semua keperluan pembagian warisan, surat wasiat, dan surat kematian Ayah serta Bunda Pluto.
Lengkap juga bantuan yang diterima Pluto sekeluarga, dengan peran istri Kak Jevin, Kak Jesslyn Hutapea, pengacara handal pemegang kasus yang—meskipun pada waktu itu sedang hamil muda—telah sukses menjebloskan tersangka kecelakaan maut kedalam penjara.
Keluarga Tjahyadewa telah meminjamkan kebaikan budi yang benar-benar Pluto syukuri.
Tapi kebaikan keluarga Tjahyadewa tampaknya sedikit melenceng dari batas hukum. Kak Melvin, sang arjuna penakluk hati wanita—termasuk hati Kak Tami juga, jadi lebih perhatian dan bersikap baik kepada kakak Pluto yang satu itu.
Awalnya Pluto cuek-cuek saja.
Namun lama kelamaan, berembus kabar dan desas-desus mengenai sepak terjang Kak Melvin di luar sana. Melvin si playboy, fuccboy, ladies' boy, dan boy-boy lainnya yang Pluto nggak paham artinya apa. Pluto mau nggak mau jadi khawatir.
Khawatir kakaknya yang sudah rapuh itu harus menjadi semakin terpuruk karena hatinya yang terancam remuk. Pluto sudah cukup melihat kakaknya hancur.
Tapi disisi lain, Pluto juga nggak bisa memungkiri kalau dadanya terasa lega setiap kali Tami terlihat lebih 'hidup' ketika ada Melvin didekatnya. Dilema.
"Mau ngapain kesini?" tanya Pluto dengan nada datar.
"Jutek banget sih. Emangnya nggak boleh Melvin kesini?" Tami menyalak. Pluto memutar mata.
Kakaknya ini kalau sudah hidup, kadang bisa terlalu hidup. Kini dilema itu bertransformasi menjadi sebuah paradoks. Antara mau kasihan, sayang, dan kesal.
"Kita mau jalan keluar, Pluto. Sengaja nunggu kamu balik dulu biar rumahnya nggak kosong," Melvin menyahut dengan sabar.
"Oh." Hanya itu respon Pluto sebelum beranjak meninggalkan ruang tamu.
Tujuannya adalah kamarnya. Sanctuary-nya. Sangkarnya.
Si bungsu itu tidak mau pusing-pusing memikirkan nasib percintaan kakaknya. Kalau mau patah ya patah, silahkan. Toh sekarang, kehadiran Kak Melvin sedikit banyak membantu Kak Tami untuk menjadi lebih hidup. Bagi Pluto, itu sudah cukup. Masalah kalau-kalau kakaknya dipermainkan, biar Pluto yang menghantam belakangan.
Pluto langsung merebahkan diri di kasur tanpa mengganti seragam yang dikenakannya. Dilemparnya tas sekolah ke sembarang arah. Pluto lelah. Matanya capek.
Anak itu bisa merasakan tubuhnya mengecil. Mungil. Terpangku dalam satu pelukan seorang wanita. Bunda.
"Kalo Pluto, bulannya ada berapa Bun?" tanya Pluto kecil sambil membolak-balikkan lembaran buku 'Beyond The Milky Way'.
Bunda tersenyum sambil mengelus rambut lebat bocah lelakinya, sayang.
"Ada lima. Namanya Styx, Kerberos, Nix, Hydra, dan... Charon."
"Ini yang paling gede apa Bun?"
"Itu Charon. Bulannya Pluto yang paling besar. Kadang sampe disebut kembar, dan dianggap dua planet mini yang saling muterin satu sama lain."
"Oooo... kok bisa muter?"
"Ditarik gravitasi. Jadi mereka kayak dansa gitu, berdua."
"Hehe. Lucu ya Bun."
"Iya, lucu ya."
Ibu dan anak itu terkikik di hadapan lembaran buku, terhibur dengan 'kelucuan' gambar batu luar angkasa.
"... hehehe..." Pluto terkekeh dalam tidurnya. Beberapa detik kemudian, alis cowok itu bertaut. Dia bangun.
Oh. Mimpi.
Pluto menggosok matanya dengan punggung tangan. Gelap. Kamarnya gelap gulita.
Cowok yang masih berseragam putih-abu itu kemudian terduduk, mengumpulkan kesadaran. Pluto bangkit dari kasurnya dan mencari-cari tombol saklar.
Gedebuk... klik.
Lampu menyala benderang. Pluto sempat tersandung sesuatu. Ternyata itu tas sekolahnya yang berserakan di lantai.
Dengan malas, cowok itu meraih tasnya yang setengah terbuka. Sebuah benda menyembul dari dalam tas itu.
Cake pops berbentuk lolipop cokelat.
Pluto jadi ingat. Tadi saat jam pelajaran terakhir, kelas kosong. Pluto yang sibuk menyalin tugas mata pelajaran Sejarah harus sedikit terganggu karena ada adik kelas yang menjajakan makanan untuk dijual.
Ternyata mereka anak-anak ekskul Tata Boga.
Pluto mengenali satu di antara mereka. Karen XI IPS 2. Gadis yang kapan hari ditolaknya.
Adik-adik kelas itu tampak semangat menjajakan cake pops dan muffin cokelat di kelas Pluto. Entah kesurupan malaikat apa, Pluto memanggil mereka.
Karen yang membawa keranjang makanan tampak rikuh. Dia takut jajanannya bernasib sama seperti roti meses yang hendak diberikan untuk Pluto waktu itu—berakhir berserakan di atas lantai.
Tapi ternyata nggak. Pluto malah membeli cake pops yang dijual Karen dan kawan-kawan.
"Berapa?" tanya Pluto.
"Li--lima ribu satu, Kak. Kalau beli tiga, sepuluh ribu," jawab Karen ragu.
"Nih." Pluto memberi selembar ungu sepuluh ribuan.
"Beli tiga, Kak?"
"Terserah."
Karen saling pandang dengan teman-temannya. Bingung. Akhirnya, adik kelas anak-anak Tata Boga itu memberikan tiga batang cake pops pada Pluto.
Setelah mengucapkan terima kasih, mereka buru-buru pergi.
"Pada takut ama situ mereka, Bos." Kipli, salah satu cowok anak kelas Pluto menyeletuk.
Zaenul Qhifri—atau yang biasa dipanggil Kipli, adalah badut kelas XII IPS 4. Dia remaja dengan kepala botak, hobi ngelawak, dan kerap memanggil siapapun dengan sebutan 'bos'—bahkan guru-guru sekalipun.
Kipli membuka buku catatan, siap menyalin tugas Sejarah yang sedang digeluti Pluto.
"Emangnya muka gue seserem itu ya?" gumam Pluto, lebih kepada dirinya sendiri.
"Serem ya? Hmm... muka Bos ganteng sih. Cuman nggak pernah senyum. Terus sering cuek, sering bentak-bentak orang juga. Bukan serem jatohnya, tapi ngintimidasi kali ya? Susah bayangin Bos jadi baik."
"Oya?"
"Iya."
"Nih, kalo gitu." Pluto menyodorkan satu cake pops kearah Kipli.
"Eh? Buat ane, Bos?"
"Iya."
"Lah, kenawhy?"
"Buat buktiin kalo gue bisa baik juga. Nih, tugasnya sekalian. Lo mau nyontek kan?"
Kipli tersenyum sumringah. "Emeyzing! Si Bos galak sekarang bisa jadi baek. Lagi jatuh cinta ya Bos?"
Plak.
Pluto menabok ubun-ubun Kipli dengan buku paket Sejarah.
"Berisik. Dah, makan aja nih cokelat. Kerjain tuh tugas lo. Dan jangan ganggu gue."
Pluto lantas bangkit, meringkus dua batang sisa cake pops yang ia beli barusan. Kipli nyengir gaje sambil menuruti perintah Pluto.
Pluto tersenyum mengingat kejadian itu, siang tadi. Satu cake pops digenggamnya saat ini, sementara satu lagi telah diberikannya pada Charon.
Ah. Charon.
Kenapa nama dia harus Charon, ya? batin Pluto.
Kenapa juga tadi dia bilang gitu. Masalah 'luka'. Enteng juga dia nilai gue 'baik' dan 'punya hati'. Dia kelihatannya polos banget, terlalu naif. Bisa gitu ya ada bocah sepolos itu idup.
Belum sempat berpikir lebih dalam, perhatian Pluto telah terbelah. Perutnya berkeruyuk. Lapar.
Setelah mengobok-obok kabinet dan kulkas untuk mencari makanan, Pluto tidak menemukan apapun. Pluto berinisiatif menanyakan pada Kak Tami, namun kakaknya itu nggak ada di rumah. Belum pulang.
Nggak ada pilihan lain. Pluto harus keluar untuk cari makan.
.
.
.
a / n
Bonus ah, si Kipli :D
.
.
.
Betewe disini ada yang baca work-ku yang judulnya 'Dunia Kevin' nggak?
Pasti kenal sama nama-nama member keluarga Tjahyadewa deh :D
Notaris dan Pengacara kondang di ibukota cuy~ cihuy.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top