00 · Momentum
Langit sore selatan Jakarta menaungi kediaman keluarga Aditya. Sang Ayah—Pak Fajar, berjalan memasuki rumah sambil mengucap salam. Pria yang berprofesi sebagai pengacara itu baru saja menunaikan tugasnya di Pengadilan Negeri.
"Assalamualaikum penghuni rumah..." Tak ada jawaban.
Pak Fajar melonggarkan dasinya dan menaruh tas koper sembarangan di atas meja makan.
"Udah pulang, Yah? Ehh, itu! Tas-tas! Ga boleh di atas meja!" Suara wanita menyambut dari arah dapur, memasuki ruang makan sambil membawa sepiring besar ikan gurame goreng. Sang first lady—Bu Ertha—telah tiba.
"Ayah ngelanggar peraturan tuh, Bun! Siap-siap aja suruh beliin kita tiket ke Disneyland!" Gadis muda dengan mata bundar bergabung, membawa sayur bening di mangkok besar. Dia adalah si sulung keluarga Aditya, Tamara—Kak Tami.
"Aduhh ampun, kenapa Ayah malah dikeroyok begini nih? Hahaha." Pak Fajar tertawa sambil buru-buru menyingkirkan tas kopernya. Sang istri mengecup pipi suaminya sekilas.
"Panggil adik kamu gih, Tam. Udah siap nih makannya," pinta sang Bunda seraya mulai menata piring.
"Siap ibu negara!" Tami memberi hormat sebelum berlari menaiki tangga.
Tok-tok-tok.
"Pluto... kamu di dalem?" Suara Tami mengiringi ketukan di pintu kamar adik laki-lakinya, Pluto. Tak ada jawaban dari dalam.
"Plut? Oy, Kakak masuk ya..."
Cklek.
Nihil. Pluto nggak ada di kamarnya.
Tami menggeram sebentar sebelum menutup pintu kamar sang adik. Langkah kaki membawa si sulung Tami kembali ke lantai bawah, berbelok ke arah depan, melewati ruang tamu, dan membuka sebuah pintu berukir kayu jati.
"Hoi!" sentak Tami, mengagetkan sesosok remaja laki-laki yang sedang asyik memperhatikan ayunan pendulum Newton di atas meja. Pluto berdecak kesal.
"Apa-apaan sih kak," protesnya. "Ketok dulu napa."
"Emangnya ini kamar kamu? Ini kan kantor Bunda," celetuk Tami sambil mengitari ruangan.
Tami benar. Ruangan ini adalah kantor khusus yang kerap digunakan Bu Ertha menerima pasien-pasiennya. Bunda dua bersaudara itu merupakan Psikolog klinis yang membuka praktik di rumah. Ukiran nama besi terbaca di atas meja, 'Ertha Maria Aditya, M.Psi.' Di tengah dinding belakang kursi, terdapat sebuah cross—salib kayu yang tersemat, tanda keimanan terhadap Kristus.
Ornamen lain yang menghiasi ruangan ini memberi kesan layaknya planetarium mini. Terdapat lampu kristal yang berlapiskan kaca oranye tergantung di langit-langit, bak matahari, yang dikelilingi planet-planet kecil disekitarnya. Bagian atas ruangan juga dicat biru gelap, bercampur ungu dan tosca, berbintik putih, melukiskan Bima Sakti. Tampak sekali, Bunda adalah seseorang yang tergila-gila astronomi.
Ini adalah tempat favorit Pluto di rumah. Bukan hanya karena tata ruangnya yang unik, modem internet yang membuat jaringan Wifi ngebut lancar, atau AC yang menyamankan sejuk suhu ruangan. Pluto biasa menghabiskan waktu berjam-jam membaca komik sambil tiduran di sofa 'pasien', atau menjelajah internet di komputer Bunda yang tidak di-password.
Selain itu, hal yang membuat Pluto tak jemu berlama-lama di ruangan ini adalah perasaan yang tak kasat mata; ketenangan, kenyamanan, dan rasa aman. Kenyataan bahwa ada orang-orang asing yang mempunyai kondisi seperti dirinya—berbeda, datang ke tempat ini demi pergi dengan perasaan lebih baik, membuat Pluto merasa betah. Pluto merasa dirinya tidak sendirian. This room is a safe place.
Sudah terlampau hafal bagi keluarganya, jika Pluto tidak ada di kamar, pasti ada di kantor Bunda.
"Hoi, malah bengong!" tegur Tami.
"Kakak berisik ah," gumam Pluto sambil menarik satu bola pendulum, untuk kemudian melepaskannya. Bola itu meluncur dengan mulus, melancarkan hukum momentum.
"Yeu, adek durhaka... dah yok ah, Ayah udah pulang, diajak makan tuh," ucapTami sambil berhenti di depan rak buku Bunda.
Barisan buku ilmu psikologi dan PPDGJ - III (Paduan Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa) tertata rapi. Tami nggak habis pikir memandang buku-buku tebal itu. Bisa gila beneran gue kalo baca tuh buku, pikir Tami.
"... Kak? Hoi, malah bengong. Katanya makan? Ayo." Kini suara Pluto yang menyadarkan Tami. Ternyata si bungsu sudah berdiri di ambang pintu.
"Eh, iya." Tami buru-buru menyusul.
_____
Bunda, Pluto dan Tami duduk mengitari meja dengan hidangan hangat tersaji. Ayah datang belakangan dengan wajah berhias tetesan air wudhu.
"Sorry, habis magriban dulu barusan, kalian lama sih," ucap Ayah sambil duduk di salah satu kursi.
Bunda telah sigap menyendokkan nasi di piring untuknya.
"Kita buka do'a ya?" ucap Bunda setelah selesai dengan kegiatannya.
"Bismillahirrohmanirrohim," gumam Ayah.
"Ya Allah Bapa, dalam nama Tuhan Yesus dan Roh Kudus, kami memanjatkan syukur atas limpahan berkat yang kau berikan hari ini..." Bunda memulai dengan khidmat.
Sementara Tami dan Pluto turut bungkam, sunyi menikmati syahdu berpadunya dua iman berbeda dalam keluarga mereka.
Ya, keluarga Aditya merupakan famili dengan multi religi. Pak Fajar adalah lelaki muslim yang menikahi Bu Ertha, seorang kristian yang taat.
Tami dan Pluto sudah terbiasa. Dua kakak-beradik ini telah dididik sejak dini untuk menghargai perbedaan, hidup damai dalam kesinambungan. Tuhan kita itu satu, cara beribadah saja yang beda. Lagipula, cinta itu hak segala makhluk, begitu kata Ayah dan Bunda.
"Amin."
"Amiiinnn."
Selesai berdoa, mereka mulai menyendok hidangan masing-masing.
"Ayah gimana tadi kasusnya, Yah? Menang?" Tami memulai diskusi sambil menyuapkan sendoknya.
"Woya harus menang dong! Masa Ayah biarkan kakek-kakek pemulung usia 60 tahun dihukum kurung, hanya karena memetik seperempat kilogram biji kopi perusahaan besar. Gak bisa begitu!" jawab Ayah berapi-api.
"Nahh bagus gitu Yah! Tami bangga jadi anak Ayah! Hukum itu gaboleh tumpul ke atas, tajam ke bawah! Sikat aja Yahh!!" Butiran nasi mulai terbang dari mulut Tami.
"Heh, ditelan dulu dong Kak... Kakak sendiri gimana? Nggak minat daftar kuliah? Udah dua tahun berturut-turut loh Kakak ngambil gap year," tegur Bunda.
"Belom ada bidang yang Tami minat nih, Bun," kilah sang sulung sambil meneguk air putih.
"Alah apaan. Barusan bahas hukum keliatan minat. Suruh ambil jurusan hukum aja Yah, Bun," celetuk Pluto ditengah kunyahannya.
"Bener juga tuh, Tam. Kamu ngga minat ambil hukum? Nanti bisa ayah rekomendasikan internship di firma temen ayah, Tjahyadewa and Sons," sahut Pak Fajar bersemangat.
"Wah, Yah! Kesenengan tuh Kak Tami masuk firma-nya Om Tjahyadewa! Kak Tami kan naksir sama anak nomor dua-nya itu, dari SMA malah! Siapa deh namanya... Kak Martin? Malvin, Melvin..."
"SSSTTTT Pluto!!" Tami mendelik kearah adiknya. Pluto terkekeh puas.
"Jangan ngambil jurusan karena cinta-cintaan juga dong, Dek. Kakak harus nentuin minat yang bener-bener dia suka," ucap Bunda menegaskan.
"Iya, iya..." Pluto tunduk.
"Tapi nggak sepenuhnya salah sih, Bun. Tami ini kayaknya cocok kalo masuk di jurusan hukum. Dia punya moral compass yang kuat. Tau mana benar-salah, tegas, dan jago ngomong juga," ucap Ayah menunjuk-nunjuk putri sulungnya dengan garpu.
"Iya, ya? Menurut kamu gimana, Kak?" komentar Bunda sambil mengarahkan pandangan kearah Tami.
Si sulung memanyunkan bibir.
"Disneyland dulu... baru Tami mau daftar," tawarnya.
Ayah dan Bunda saling pandang sebelum kemudian terkekeh bersamaan.
"Masuk jurusan ekonomi aja kali ya, Yah? Jago bargaining nih si Kakak," ucap Bunda.
"Hahaha. Memangnya kenapa harus Disneyland sih, Tami? Dari kemarin minta kesitu terus," tanya Ayah sambil meneguk cangkirnya.
"Katanya Disneyland itu tempat paling bahagia sedunia, Yah! Tami mau ajak Pluto juga, biar ga merengut gitu mukanya... kayak origami, ditekuk tiap hari. Biar sembuh juga anxiety dia, soalnya Tami ada baca kalo fobia itu harus dihadapi langsung biar sembuh. Yakan Bun?" jawab Tami.
"Apaan sih Kak... Kak Tami harusnya malu jadi anak Bunda kalo ngira keadaan aku bisa 'disembuhkan'. Ini tuh bukan flu, bukan penyakit yang wuushh bisa hilang gitu. Kondisi aku ini permanen, seumur hidup. Sama kayak Kakak, Kak Tami cerewetnya bisa disembuhin gak? Nggak 'kan? Cuma bisa di-represi, ditekan, dikendalikan. Harusnya Kakak aware sama ini," jelas Pluto sambil melanjutkan makannya.
"Ampun-ampun dehh, kan aku cuma mau ngajak liburan, malah diceramahin." Tami menggerundel sambil lanjut mengunyah.
"Sudah, sudah... anak-anak Bunda jangan pada berantem dong. Dan iya, Tami, jangan perlakukan adik kamu seperti pesakitan. Dia juga manusia seperti kita. Kamu juga, Pluto. Nggak perlu terlalu defensif sama kebaikan kakak kamu, ya? Niat Kak Tami baik kok," tutur Bunda sabar sambil menyendok besar sedaging ikan, lalu menaruhnya masing-masing di piring Pluto dan Tami.
"Makan lagi, yang banyak. Berantem bikin kalian laper 'kan?" ucap Bunda kemudian.
Tawa Tami dan Pluto luluh. "Iya, Bun," jawab mereka bersamaan.
Ayah tampak tersenyum dari sudut meja. Betapa dia bersyukur diberi istri tanggap yang sigap menangani keadaan putra bungsunya. Dan betapa bahagianya dia memiliki putri sulung yang aktif dan peduli, membuat suasana rumah menjadi hidup.
"Jadi gimana, Disneyland?" celetuk Ayah tiba-tiba. Mata Tami membundar.
"Serius, Yah?!" pekik Tami.
"Jangan, Yah!" Pluto menggeram.
"Loh, kenapa Pluto? Nggak mau?" tanya Ayah.
"Itu..." Pluto menggantung jawabannya sambil mulai mengaduk nasi di piringnya. Selera makannya telah menguap entah kemana.
"Kamu takut ke-trigger lagi, Dek?" tanya Bunda lembut. Pluto mengangguk samar.
Bunda lantas meraih satu tangan Pluto yang lepas, menggenggam punggung tangan putranya, menenangkan.
"Tenang aja, Dek. Kan Bunda udah ajarin teknik grounding, dan kita juga pasti support Adek. Kalau Adek mulai ngerasa overwhelm, kita langsung mlipir dan istirahat. Adek percaya sama kita 'kan?"
Pluto tampak berpikir sejenak.
"Iya deh, Bun. Lagian kayaknya liburan ke taman bermain seru juga," ucap Pluto disuguhi senyum. Remaja itu tampak mulai memahami bagaimana Kak Tami bisa se-excited itu mengajak ke Disneyland.
"ASYIIIKKK!!!" Tami melunjak dari kursinya.
"Eeett, tapi..." Ayah membuka suara. Gerakan Tami terhenti.
"Tunggu Ayah sama Bunda selesai Seminar Ilmiah Nasional dulu di Bandung dulu, oke??"
"OKEEE!" Tami kembali memekik.
Pluto terkekeh. Ternyata meloloskan kebaikan keluarga bisa sebegini menyenangkannya. Pluto juga yakin, dia berada di tangan yang aman. Selama ada Bunda, Ayah dan Kak Tami, Pluto selalu aman.
🌑
Bandung, hampir tengah malam.
Lemari jam berlapis ornamen emas tampak gagah berdiri di tengah ruangan berperabot mewah. Wallpaper pada dinding mengukirkan motif bunga mawar. Sofa-kursi berlengan dengan bantalan empuk tertata rapi mengelilingi ruangan. TV layar datar super lebar tampak legam, hitam.
Ditengah keheningan itu, wanita paruh baya sedang mondar-mandir berjalan mengitari ruangan yang temaram karena lampu yang padam. Pandangannya sesekali melirik pintu ganda ruang tamu. Berharap benda itu segera terbuka. Wanita itu menunggu sesuatu—seseorang.
Getaran pada ponsel tipis mengusik kegelisahannya. Wanita itu membuka layar dalam genggamannya, memperhatikan pesan berisi gambar yang terpajang di sana.
Lagi. Ini sudah yang ke-lima kali malam ini. Nomor asing mengirimkan foto-foto suaminya sedang terbahak di ceruk leher perempuan muda.
"Bajingan!" desisnya.
Teror. Rasanya seperti direbus hidup-hidup. Beberapa detik setelah layar padam, ponsel itu bergetar kembali.
Ada panggilan masuk.
Kali ini raut wajah si wanita menjadi sedikit cerah. Ada titik harapan disana, di kontak bernamakan 'Arta L'.
Klik. "Halo, Ta?" jawab wanita itu.
"Mbak... maaf aku ketiduran. Tadi miss call ya, ada apa?" suara di ujung sana terdengar mengantuk.
"Ah, enggak, ini aku... tadi, itu... ada nomor asing yang ngirimin foto... lagi," lirihnya.
"Astaga. Lagi, Mbak? Terus mbak sekarang dimana? Mbak mau ngapain?"
"Aku di rumah, Ta. Suamiku belum pulang. Aku lagi nunggu. Rencananya... aku mau konfrontasi dia langsung. Ini semua harus selesai malam ini, Ta."
"Mbak... coba dipikir dulu. Mbak yakin bisa hadapi dia? Apa keputusan Mbak sudah tepat?"
"Arta..."
"Ah, maaf Mbak, aku bukannya maksud mau nyetir atau apa. Coba dipikir ulang. Aku cuma ingin make sure Mbak punya amunisi yang kuat. Nggak berjuang sendiri."
"Iya, Ta. Bener kata kamu. Tapi keputusanku sudah bulat."
Terdengar desahan napas dari seberang sana. "Ocha gimana, mbak? Aman dia?"
Wanita itu terpekur. "Kayaknya udah tidur. Nggak pa-pa, Ta. Aku yakin aku bisa handle ini semua."
"Aku jauh disini cuma bisa bantu do'a, Mbak. Mbak nyalakan GPS, ya? Share lokasi ke aku. Dalam beberapa jam kalau Mbak nggak ada kabar, aku bakal ngirim—"
"Nggak usahlah, Ta. Percaya aja sama aku. Aku kabari kamu lagi secepatnya."
"Iya, Mbak..."
"Makasih ya, Ta. Aku nggak tau bakal jadi apa kalau nggak ada kamu. Ku tutup dulu, oke? Kamu lanjut istirahatnya." —klik.
Helaan napas keluar dari paru-paru sang wanita. Aku harus kuat, batinnya. Wanita itu menggigit bibirnya, mengungkulkan niat.
Setelah beberapa saat, ia melangkahkan kaki ke lantai dua. Menengok ke dalam pintu kamar yang setengah terbuka.
Tampak gadis remaja sedang duduk di meja belajarnya, berhadapan dengan buku. Lampu belajar menyala menerangi pandangannya. Rambut pendek si gadis dihadang bando bulu merah muda. Piyama bergambar We Bare Bears membungkus tubuh mungilnya.
"Nggak bobok, Cha?" bisik wanita itu, membuat si gadis berjengit kaget.
"Mama," ucapnya sambil menoleh kearah pintu. "Sebentar lagi, Ma... besok Ocha ada ulangan Fisika."
Wanita yang dipanggil Mama itu tersenyum.
"Percuma atuh kamu belajar kalo nggak tidur. Nanti kesiangan kamu teh gimana?"
"Iya, ya?" si gadis tertawa.
"Mama sendiri kok ngga bobok? Nungguin Papa pulang, ya?"
Pertanyaan anak gadisnya membuat senyum wanita itu terhapus seketika.
"I--iya, Cha. Udah, Ocha tidur aja ya. Besok pagi Mama bangunin, katanya tadi ada ulangan 'kan?"
Gadis yang dipanggil Ocha itu mengangguk. Dengan patuh, ia menutup buku paket dan catatannya. Nama tersemat di-name tag cover buku itu tertulis 'Charon Theodora'.
Purnama telah utuh, bundar, dan terang—tampak samar dari jendela yang tertutup gorden putih. Charon kini berbungkus selimut, ditemani sang Mama di tepi kasur.
"Night-night Mama sayang," ucap Charon.
"Night-night anak sayang..." sang Mama memberikan kecupan di kening.
Tenang. Melihat dan berada di dekat Charon, wanita itu merasa tenang. Ya. Charon anakku, dia duniaku. Akan kulakukan apapun untuknya, batin wanita itu.
Sepeninggal dari kamar anak semata wayang, wanita itu kembali ke lantai bawah. Bersamaan dengan itu, pintu utama terbuka. Tampak tubuh kekar lelaki dewasa dengan kemeja yang lepas sebagian kancingnya. Wanita itu melangkah cepat.
"Dari mana saja kamu?" desisnya langsung.
"Hnnng... kerja." Suara itu berat, jawaban itu rancu. Nada menyeret dan bau alkohol yang menguar dari mulut lelaki itu jelas menandakan satu: dia mabuk.
"Bullshit. Udahlah, Theo. Cukup. Aku udah nggak bisa kayak gini lagi, tiap malam was-was nunggu kamu balik, memikirkan kamu melakukan entah apa dengan siapa. Sudah berbulan-bulan kamu begini, Theo! Ngaku aja sekarang, kamu buka meja lagi di Princess Lounge, iya?! Uang siapa, Theo??"
"Berisik kamu Ris!" Lelaki bernama Theo itu berdiri tegak, melangkah gontai kearah istrinya.
"Uang, uang! Heh, denger ya, aku yang kerja, aku yang pegang uang! Gak usah kau bahas-bahas masalah ini. Kau mau ngatur uang? Kerja sendiri!" celoteh Theo sambil mendekatkan jarak. Istrinya mundur selangkah.
"Theo, kamu nggak berpikiran lurus. Ingat, ini rumahku, rumah warisan keluargaku. Kamu itu cuma tamu disini!" tegas wanita itu.
"Tamu? Heh, aku ini suamimu! Bapak dari anakmu! Kau ini bodoh apa gimana, Riris? Hah?" Theo menunjuk kening Riris dengan jarinya. Wanita itu memejamkan mata, menahan emosi.
"..."
"Harusnya kau bersyukur, Riris—nona muda pewaris tahta. Kau dapat suami pekerja keras seperti aku, bersyukur kau harusnya! BERSYUKUR!!!" nada suara Theo mulai meninggi. Kata-katanya telah bertransformasi dalam bentakan. Jemari Theo kini telah mencekal rahang Riris.
"Sinting!" desis Riris sambil menyingkirkan tangan Theo.
"Apa kau bilang??" Tangan kekar Theo dengan cepat mencekal leher istrinya.
"OHOK—Th--Theo! Lepas!"
"Sinting? YA! AKU MEMANG SINTING HIDUP SAMA KAU! KAU MAU SOK BERKUASA, HANYA KARENA PEWARIS SAH ASET YANG KITA TINGGALI INI, IYA?? AKU YANG JADI PEMIMPIN DISINI. AKU TULANG PUNGGUNG KELUARGA! MAU APA KAU, HAH??"
"Okhh--"
Brakk.
Tubuh Riris terbanting, menabrak belakang punggung sofa. Theo yang baru saja membanting tubuh istrinya tampak berdiri disana, geram.
"Lain kali, kau harus belajar untuk hormati suamimu! Cih." Theo berlalu dengan langkah gontai menuju kamar. Namun baru beberapa langkah diambilnya, terasa sebuah lemparan benda tumpul mengenai punggungnya.
Dugg.
Riris melemparkan ponsel yang ia genggam. "Kamu lihat disitu, Theo. Ada bukti kamu main belakang dan menghamburkan uang tabungan kita. Lupakah kamu kalau uang itu untuk biaya kuliah Charon? Bajingan. Dengar ya, aku hanya akan bilang ini sekali saja: aku akan menceraikanmu."
Theo membeku, ia memungut ponsel di lantai dan menggeser layarnya. Air mukanya tampak semakin keruh.
"Bedebah!" umpatnya sambil melempar ponsel itu. Benda tersebut menghantam dinding dan retak seketika. Padam.
"Theo!" pekik Riris.
"Kau ini makin hari makin ngelunjak saja ya?! Apa kau bilang? Cerai? HAH! GAK USAH NGARANG!! KAU DAN CHARON MASIH BUTUH AKU!!" Theo menghardik istrinya sambil menjambak rambut sebahu Riris. Wanita itu meringis menahan sakit.
"Kamu iblis, Theo! Kamu nggak pantas disebut bapak. Charon lebih baik tidak punya bapak dari pada harus hidup lebih lama dengan kamu!"
PLAKK!
Tamparan telak menghantam mulut Riris yang berani. Wanita itu bergetar. Amarah, benci, dan sakit menjadi satu. Kenapa bisa begini? Kenapa aku bisa menikahi iblis ini?
"Benar kubilang, kau makin ngelunjak! Entah dari mana kau dapat keberanian ngomong bedebah gini sekarang. Kau butuh diberi pelajaran, Riris," ucap Theo seraya menyeret istrinya. Riris menjerit tertahan karena rambutnya yang terjambak, sakit.
"Lepas!" desisnya. Theo acuh.
Beberapa meter beranjak dari ruang tamu, mendadak lampu menyala. Tubuh gadis berbalut piyama beruang berdiri di ambang tangga. Matanya tampak merah, berkaca dan terluka.
"Ocha." Theo melepas jambakannya pada rambut Riris. Langkahnya gontai menuju si anak gadis.
"Sini kamu!" panggilnya. Ocha menggeleng kuat-kuat dan langsung berlari menghindar, menuju Riris yang tersungkur di lantai dan memeluknya.
"Papa jahat! Ocha benci Papa! Hik-hik..." Gadis itu mulai menangis dalam pelukan Mamanya.
"Kau dengar itu, Theo? Bahkan darah dagingmu juga tak menginginkanmu lagi disini. Kau hanya menjadi sampah di rumah ini," desis Riris. "Pergi kamu dari rumah kami, Theo! Atau aku akan telepon polisi sekarang juga!"
BRAKK!
Theo menggebrak meja dengan marah sambil menghentakkan langkah, keluar rumah. Suara deru mesin mobil terdengar beberapa detik kemudian.
🌑
Sepasang suami istri itu tampak terbahak sesekali, duduk berdampingan di kursi depan dan kemudi mobil. Barisan kendaraan yang hendak memasuki Tol Cipularang dari arah Bandung itu berjejer rapi, memanjang.
"Terus Ayah sama Bunda bawain kita oleh-oleh apa dong?" Terdengar suara gadis muda yang di-loudspeaker pada ponsel yang digenggam Bu Ertha.
"Bunda bawain Baso Aci instan sama Seblak juga nih," jawab Bu Ertha mengabsen cinderamata dari kota kembang.
"Iiihh Pluto nggak mau! Rasanya aneh!" suara remaja lelaki menyahut agak jauh. Bu Ertha dan Pak Fajar tertawa mendengarnya.
"Ya udah Kak Tami aja yang makan," tawar Bu Ertha.
"Kalo dari seminar-nya, nggak bawa oleh-oleh?" tanya Pluto dari seberang sana.
"Ada nih pamflet sama print-out materi, mau?" sahut Pak Fajar dari balik roda kemudi. Mereka tertawa mendengarnya.
"Yahhh kirain bawain buku kek, apa..." keluh Pluto dari sana.
"Tenang dek, Bunda juga beliin buku kok buat kamu. Kebetulan ada bazar buku di ITB tempat Bunda ngisi tadi. Eh iya, Kakak? Bunda tadi juga dapet info pendaftaran kuliah loh, barangkali Kakak minat masuk ITB..."
"Disneyland duluuu!!" sahut Tami. Mereka kembali tertawa.
"Eh, udah-udah. Kalian tidur gih, istirahat. Udah malem banget ini. Kita lanjut perjalanan dulu, nanti in-shaa Allah Ayah sama Bunda sampai sebelum subuh. Kalian mau subuhan sama Ayah 'kan?" tawar Pak Fajar sambil mengulurkan kartu E-Toll.
"Iya Yaah, hati-hati di jalaaann!!" pekik Tami dari ujung sana.
"Dadah Ayah, Bunda," sahut Pluto.
"Dadah anak-anak..." jawab Bunda sebelum menutup panggilan, seiring Pak Fajar yang menginjak pedal gas, melajukan mobil mereka.
Tol Cipularang tidak sepenuhnya lengang. Dini hari merupakan waktu aktif truk-truk pembawa barang untuk beroperasi. Sesekali juga tampak mobil pribadi yang berpapasan, berdampingan.
Pak Fajar dan Bu Ertha mendengarkan lantunan lagu lama, Fly me to the Moon yang dinyanyikan oleh Frank Sinatra. Lagu favorit Bunda itu diulang-ulang dalam single loop, membuat suaminya terlampau hafal dengan lirik dan baitnya.
Itulah cinta. Jika dilakukan dengan hati, walaupun berulang kali, tetap indah dirasa.
Mereka berdiskusi ringan ditengah alunan nada, membahas rencana liburan yang terus dituntut oleh si sulung Tami.
"Disneyland Jepang aja kali ya, Yah? Bunda juga mau ke Universitas di Tokyo buat ngunjungin kolega sekalian. Katanya habis lahiran dia," ucap Bu Ertha.
"Aduh Bun, liburan ya liburan lah, ga usah pake acara kunjung-kunjungan. Pasti bete itu anak dua kalau kita ajak berkunjung segala. Lagian apa nggak kemahalan, Bun? Disney Singapore aja lah... sebentar lagi Pluto lulus SMA 'kan? Tami juga bakal masuk kuliah... apa nggak kejut listrik nanti biayanya kalo kita jadi ke Jepang? Bisa-bisa bocor tabungan masa depan anak-anak," Pak Fajar mengajukan pertimbangan.
"Ah iya ya? Yaudah kalo gitu kita ajak ke Trans Studio atau Dufan ajalah, Yah. Boros juga ya kalau harus keluar negeri?"
"HAHAHAH malah melorot standar si Bunda..."
"Heheheh, ya gimana. EEHH Yah!! AWAS!!!"
CKRIIITTT---BRUAKKKK!!!
Mobil dengan kecepatan tinggi tiba-tiba muncul entah dari mana, menabrak sisi kendaraan pasangan Aditya dengan kencang. Mobil yang dikemudikan sang Ayah terbanting ke samping, langsung disambut dengan tronton 16 roda yang menghantam.
Semuanya terjadi dalam sepersekian detik. Suara remukan besi, pecahan kaca, dan klakson berkesinambungan dalam sebuah tragedi mematikan. Kecelakaan itu beruntun, bagaikan momentum maut yang meruntut, diikuti belasan kendaraan yang melaju setelahnya.
Fly me to the moon
Let me play among the stars
Let me see what spring is like on
A-Jupiter and Mars ...
Lantunan lirih suara Frank Sinatra mengudara dari unit mobil yang ringsek, terbalik. Empat roda mengadah ke langit. Kilatan warna biru-merah mulai berputar, benderang. Sirene berbunyi, kencang.
"Yak, ini kita sudah dapat, Pak, penyebab kecelakaan beruntun di-kilometer 6 Tol Cipularang, adalah pria berusia 42 tahun, dengan identitas... KTP, bernama Theo Gumanjar. Kadar alkohol dalam darah... 0.11. Iya, Pak. Mengemudi sambil mabuk. Iya. Ya, siap. Amankan."
Polisi dengan walkie-talkie mengangguk sambil memperhatikan keadaan. Pria yang disebut sebagai penyebab tragedi ini sedang dibekuk oleh beberapa rekannya. Tampak setengah sadar.
Polisi tadi menggelengkan kepala.
"Bagaimana laporan korban jiwa?" tanyanya pada seorang petugas forensik yang sedang menutup kantung jenazah berwarna oranye.
"Sepasang suami-istri, domisili asal Jakarta, Pak," jawab petugas tadi.
Sekilas mereka melihat miris kearah kantung jenazah yang sedikit terbuka. Dengan hati-hati, petugas forensik tadi menarik resleting pada kantung tersebut, menutup wajah dingin Ertha Maria Aditya—ibunda Tami dan Pluto, yang tak lagi bernyawa.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top