33 · Pandora

Pandora HQ, sebuah gedung tiga tingkat yang berfungsi sebagai kantor utama 'CV Kurnia Pandora'—perusahaan pemasok bahan produksi mitra usaha f&b (food and beverages)—yang tampak berdiri megah di tengah ramainya hiruk-pikuk ibu kota.

Di ruang meeting utama lantai pertama, berkumpul beberapa orang mengitari meja kaca berbentuk oval. Di muka ruangan, berdiri gagah Bastian Cokro—yang biasa dipanggil akrab 'Mas Tian', CEO perusahaan ini.

"Jadi, untuk launch-nya 'Pandora's Box' sudah fix ya, akan kita langsungkan pada kuartal 2. Nisa, any updates? Problem? Atau yang lain, ada masalah yang perlu disampaikan lagi?" Mas Tian bertanya pada asisten pribadinya, Nisa, yang sibuk membolak-balik catatan pada notes kecil.

"Mas!" Satu tangan teracung.

"Ya, Aura? Ada kabar apa dari divisi finance?" tanya Mas Tian sigap.

Aura, financial manager yang baru saja menurunkan tangannya, lantas berucap, "Mas, kita kayaknya butuh jasa financial advisor deh. Bakal keteteran nih tim kita kalau harus ngurus kerangka pendanaan proyek 'Pandora's Box' juga. Kita satu tim cuma bertiga loh, Mas. Belom lagi harus ngurus penggajian karyawan sekantor. Nggak akan sanggup."

Mas Tian mengangguk paham.

"Financial advisor, ya? Gimana kalau minta tolong sama adik saya saja, kebetulan dia lagi ada di Jakarta nih. Nisa, tolong segera kamu kontak Gita, suruh temui saya hari ini, di sini." Sang CEO menginstruksikan perintah.

"Siap, Mas!" Nisa bergegas mengeluarkan gawai, mengetik pesan.

"Oke, anything else?" Mas Tian kembali bertanya.

"Mas, untuk desain logo..." Satu cowok dengan rambut gondrong membuka suara. Dialah Wira, desainer grafis perusahaan Pandora.

"Oh iya, Wira, gimana-gimana, sudah revisi?" Mas Tian merespons dengan mata berbinar.

"Sudah, Mas. Nisa, tolong itu..." Wira menunjuk laptop yang terletak di hadapan Nisa. Sang asisten dengan sigap mengoperasikannya, menampilkan gambar logo yang terpancar melalui proyektor ke depan ruangan.

"Wuih, yang ini oke nih, Wira," puji Mas Tian sungguh-sungguh.

"Itu saya sekaligus bikin dua versi, hitam sama putih, biar mudah menyesuaikan sama background platform mana yang bakal kita pakai untuk promosi nanti." Wira dengan runtut menjelaskan, sementara Mas Tian mengangguk mendengarkan.

"Oke, kalau begitu—"

DRRRTTT—DRTTT...
Ay, ay, ay~ I'm your little butterfly~ Green, black and blue, make the colours in the sky~

Riuh bunyi ringtone itu membuat suasana kondusif ruangan meeting menjadi pecah seketika. Mas Tian menahan kalimatnya. Sementara Nisa, sang asisten, mati-matian menahan tawa.

Tersangka pemilik ponsel rupanya sedang mengobok-obok tas tangan dengan panik. Dialah Arta Larasati, assistant market analyst sekaligus pegawai baru di perusahaan itu—Kak Arta.

"Maaf, maaf semua, sorry," cicit Kak Arta sambil buru-buru menekan tombol merah. Reject. Dia lantas mengutuk dirinya sendiri yang lupa mengatur ponsel dalam mode silent.

"Oke, bisa kita lanjut ya?" Mas Tian berbalik ke papan, menunjuk layar proyektor dengan laser pointer. "Logo untuk produk 'Pandora's Box' sudah direvisi sama tim desain, jadi untuk final—"

DDDRRTTTT... Ay, ay, ay~ I'm your little butterfly~

Lagi, ucapan sang CEO muda terpotong seketika.

Di sudut meja, Kak Arta masih mengutak-atik gawai dengan putus asa. Rupanya sebelum sempat di­-silent, sudah ada panggilan masuk lagi yang memaksa membunyikan ponselnya.

"Angkat saja, Ta, barangkali penting," ucap Mas Tian akhirnya.

Kak Arta, dengan wajah memerah, mohon diri keluar ruangan.

Dengan terburu-buru, Kak Arta menggeser layar ponsel yang masih mengedipkan panggilan masuk. Ternyata dari Pluto.

"Halo, Pluto? Ada apa? Sori nih Kakak lagi meeting, jadi nggak bisa telepon lama-lam..."

Ocehan Kak Arta tertelan seketika. Raut wajahnya mengeras seraya mendengarkan penjelasan Pluto di seberang sana. Sobat Mama Riris itu mulai terlihat geram.

Detik berikutnya, perempuan itu tak dapat menahan teriakannya.

"HAH?! DIA NEMPEL APA DI PAPAN PENGUMUMAN?!"

Kak Arta menghentak-hentakkan kaki sambil mulai berjalan mondar-mandir di sudut lobby kantornya. Ponsel masih menempel setia di sisi wajahnya.

"Bajigur, udah makin kurang ajar aja tu bocah sultan! Oke, Pluto, dengerin... Kakak bakal ngurus ini sama mamanya Ocha, sementara kamu di sana harus bawa Ocha keluar dari sekolah. Lagi injury time begini dia pasti bakal kena bully, pasti itu!"

"..."

"Nah, iya. Iya. Jangan sampe Ocha ketemu Lala! Udah, masalah itu biar Kakak yang ngurus. Kamu antar dia aja, ya? Hm, oke? Oke... Pluto, makasih ya udah ngabarin. You did the right thing. Titip Ocha ya."

🌑

Pluto menutup panggilan itu dengan air muka datar. Tujuannya jelas satu: menggiring Charon keluar dari Magella.

"Ayo, Cha," ajak Pluto sambil mengulurkan tangan ke arah Charon. Gadis itu duduk sambil menekuk lutut.

Mereka berdua sedang berada di sudut parkiran, menjauh dari keramaian, menghindari kegemparan dan kerusuhan yang diakibatkan oleh hoax tempelan Lala.

"Kita mau ke mana, Kak? Kan sebentar lagi masuk..." lirih Charon sambil memainkan ujung rok seragamnya.

"Ayo aja, Cha. Lo jangan masuk kelas dulu, ya? Soalnya pasti ntar di-bully parah gara-gara berita ini. Gue diminta buat bawa lo pergi sama Kak Arta."

Charon tampak berpikir sejenak, sebelum akhirnya meraih uluran tangan Pluto.

"Kakak mau nganter Ocha pulang?" tanya Charon.

"Nggak, kita nggak pulang. Kita bakal pergi ke tempat paling bahagia sedunia." Pluto menjawab pasti sambil menyerahkan helm kepada Charon.

"Kenapa?" tanya gadis itu.

"Hm?" Pluto memiringkan kepala tanda tak mengerti.

"Kenapa Kakak mau repot-repot bawa Ocha ke... tempat paling bahagia sedunia? Kenapa Kak Pluto mau nurutin perintah Kak Arta? Kenapa—"

"Cha," potong Pluto. "Gue tau rasanya ketika pas lagi ada masalah berat, dan harus ngelaluinnya sendirian tanpa punya siapa-siapa. Itu tuh rasanya nggak enak banget..."

Charon tunduk sambil mengencangkan lock pada helm-nya.

"Dan juga," lanjut Pluto. "Gue pengen ketika nanti di masa depan lo keinget hari ini... lo nggak nginget rasanya di-bully dan ditindas abis sama Lala. Gue pengen lo nginget juga, kalau hari ini tuh ada bagian menyenangkannya. Gue cuma... nggak mau lo punya kenangan buruk di SMA Magella. Itu aja."

Charon terenyuh akan kata-kata itu. Hatinya semakin kalut.

"Tapi... apa yang ditulis Lala di papan pengumuman, itu... apa nggak ngeganggu Kakak? Apa nggak bikin Kakak ilfil sama Ocha, kalau misalnya, yang tertulis di situ itu..."

"Gue nggak peduli, Cha." Pluto berkata dengan nada tegas.

"Sumpah, gue nggak peduli kalopun berita itu bener. Gue kenal lo yang begini, yang polos, baik, murah senyum, rada lemot juga kadang... ya udah, itu. Mau lo anaknya siapa kek, habis ngapain aja kek. Buat gue, lo ya lo. Charon."

Mendengar itu, Charon merasa dadanya kosong. Plong. Yang gadis itu tau, menit berikutnya ia telah naik ke atas jok motor Pluto, yang kemudian meluncur bebas keluar gerbang sekolah.

Makasih, Kak Pluto... batin Charon sambil setengah mati menahan haru. Makasih udah lahir ke dunia ini, dan mau ketemu sama Ocha. Makasih...

Dua remaja yang masih berseragam SMA itupun membelah jalanan ibu kota. Charon duduk diam tanpa banyak bicara, sementara Pluto fokus menyetir kendaraan roda duanya.

Sepuluh menit berkendara, laju motor mereka memelan. Macet menahan gerak kendaraan itu. Lalu lintas padat merambat ketika mereka tiba di daerah Slipi Kemanggisan.

"Masih jauh ya, Kak?" tanya Charon yang sedari tadi hemat kata.

"Mmm... lumayan. Kenapa?" balas Pluto.

"Oohh. Nggak papa, kok." Charon menggumam pelan, namun sedetik kemudian...

Kruyyuukk~

Perut gadis itu berbunyi. Pluto tersenyum maklum di balik helm-nya.

"Lo belum sarapan, Cha?" tanya cowok itu, melirik wajah Charon dari kaca spion-nya. Charon menggeleng pasrah.

Pluto lantas mengarahkan motor keluar jalan utama, berbelok ke kiri, meninggalkan kemacetan yang menguras emosi.

Motor Pluto berhenti di depan sebuah kedai mini. Papan kayu di atas pintu masuk bertuliskan 'KK Sushiya', dengan tagline tersemat di bawahnya: 'Sushi premium persembahan Keluarga Krisna'.

"Lo bisa makan sushi, kan? Kita makan di sini dulu ya, sekalian nungguin macet reda," ucap Pluto sambil melepaskan helm-nya.

Charon mengangguk pelan.

"Ini resto sushi langganan Ayah-Bunda gue, dulu gue sekeluarga sering banget makan di sini. Enak soalnya." Pluto menjelaskan sambil menuntun Charon melangkah masuk.

"Irasshaimase (selamat datang)!" sambut seorang koki di balik konter meja sushi.

Koki tersebut mengenakan seragam serupa atasan kimono putih. Rambutnya minimalis—menjurus botak, dengan mata runcing yang tajam menyambut kedatangan Pluto dan Charon.

"Aduh, Kak... Ocha nggak bisa bahasa Jepang," bisik Charon sambil menjinjit, berusaha menggapai telinga Pluto.

Pluto sontak menahan tawa.

"Nggak, Cha, nggak papa kok, santai aja." Pluto berjalan mendekati konter sushi, dimana sang koki tampak sibuk menuangkan minuman ke dalam gelas.

"Hai, Bang Gal," sapa Pluto ke arah koki tersebut, membuat si koki mengangkat wajah sambil memicingkan mata.

Charon duduk di sebelah Pluto, mengikuti cowok itu dengan setia.

"Mmmm? Siapa ya? Lo... oh! Lo anaknya Pak Fajar, kan? Adeknya Tami! Siapa deh nama lo... ada planet-planetnya gitu. Uranus? Merkurius?" Sang koki berkepala botak tampak mengingat-ingat sambil menunjuk wajah Pluto.

"Pluto, Bang."

"Nah, iya! Weh, dah lama banget nggak kesini. 'Pa kabar?"

Wajah koki yang tadinya kaku, kini mencair dalam senyuman ramah. Charon yang tadi sedikit terintimidasi, sekarang bisa bernapas lega. Ternyata koki sushi ini orang Indonesia.

"Baik," ucap Pluto sambil tertawa tipis.

"Kalian saling kenal?" tanya Charon berbasa-basi, gadis itu menyibukkan diri dengan membolak-balik buku menu.

"Kenal dong, kan langganan. Oh iya, Bang Gala, ini temen gue, Charon—dipanggilnya Ocha." Pluto memperkenalkan Charon pada koki sushi itu, yang disebut bernama Gala.

"Halo, Kak Gala..." Charon menyuguhkan senyum manisnya. Gala balas tersenyum.

"Oohh, hai Ocha. Lo mau minum ocha nggak, Cha? Nih, ocha gratis buat Ocha." Gala menyuguhkan sebuah gelas keramik berisi cairan kehijauan. Teh hijau Jepang, ocha.

Pluto menahan tawa sementara Charon terkikik geli.

"Kak Gala bisa aja bercandanya," ucap Charon sambil menerima gelas itu.

"Jangan mau dibegoin, Cha. Di sini ini tuh teh ocha-nya complimentary, alias emang gratis dan bebas refill kalo mau." Pluto menjelaskan sambil menerima gelas ocha-nya sendiri.

Gala nyengir tanpa rasa bersalah, sementara Charon masih berusaha meredakan tawanya.

"Kalian lucu ya. Ocha kira tadi pas masuk, Kak Gala ini bakal judes orangnya. Ternyata bisa lawak juga," celetuk Charon sambil meneguk ocha-nya.

"Ho-oh emang, mukanya Bang Gala ini kalo belom kenal emang gitu, keliatan galak banget, jutek!" celetuk Pluto, yang dijawab dengan anggukan kepala Charon.

"Iya, sama kayak Kak Pluto. Kesan pertamanya dingin banget, tapi pas udah kenal ternyata orangnya baik." Charon berucap sambil sedikit tersipu.

"Cieee, kecil-kecil dah pada bucin aja lo-lo pada. Udah woy, mau pesen apa nih jadinya?" Gala berseru dari balik konter.

"Yang paket-paket macem-macem itu masih ada nggak, Bang?" tanya Pluto, membuat Charon segera membolak-balikkan buku menu. Paket-paket apa?

"Ada kok, ada. Kalian makannya berdua doang kan? Tuh, ada yang paket mini, isi tujuh macem sushi, dua porsi total 14 pieces. Kalo yang mega, sepuluh macem sushi, 20 pieces." Gala menjelaskan sambil menunjuk menu paket yang barusan disebutkan. Charon membaca dengan teliti.

"Kayaknya makan tujuh piece aja Ocha udah kenyang deh, Kak..." putus Charon sambil meletakkan menu.

"Mau yang itu?" tanya Gala.

Charon menoleh pada Pluto, menunggu persetujuan. Cowok itu menganggukkan kepala.

"Iya, mau yang itu Kak," jawab Charon kemudian.

Pagi menjelang siang itu, Charon dan Pluto menghabiskan waktu mengisi perut di depan meja kerja Gala, menyantap sushi buatannya.

"Yang ini namanya ito katsuo, ikan tuna yang asalnya dari Kagoshima." Gala menyodorkan sushi ke-empat yang segera disambut oleh Charon dan Pluto. Setelah itu, sang koki kembali sibuk menyiapkan piece berikutnya.

"Enak, Cha?" tanya Pluto, memandangi Charon yang sibuk mengunyah dengan mata memejam.

"Hmm-mh, eny-hak." Charon menjawab dengan mulut penuh.

"Di sini ya gini cara makannya, Cha. Daging ikan dipotong langsung, dikepalin sushi sama kokinya langsung, terus dikasiin buat kita makan langsung. Jadi kita bisa sambil ngobrol sama kokinya juga, makanya gue sekeluarga bisa akrab gini sama Bang Gala."

Charon mengangguk-angguk mendengar penjelasan Pluto. Seru juga ternyata, makan di Sushiya.

"Nah yang ini kinmedai, daging kepiting. Coba deh, favorit nih." Gala menyajikan piring saji kecil berisi sepasang sushi dengan serpihan daging putih di atasnya.

"Makasih, Kak!" Charon menerima piring kecil itu.

"Terus kalo ini bafun uni," lanjut Gala sambil meletakkan piring lain, berisi sepasang sushi yang di sisinya dilapisi lembaran tipis rumput laut, dan di atasnya terdapat sesuatu-entah-apa yang bulat-bulat berwarna oranye.

"Makasih Kak Gala!" ucap Charon.

"Lo tiap gue ngasih piece bilang makasih terus. Udah lima kali loh lo bilang makasih-nya," komentar Gala sambil menggelengkan kepala.

"Habis sushi-nya enak, seger! Ini Kak Gala bikin sendiri? Motong sendiri? Kok nggak ada bau amis sih? Kok bisa??" Charon mencecar sang koki dengan pertanyaan, sedetik sebelum memasukkan sushi daging kepiting ke dalam mulut.

"Waduh, panjang kali lebar kalo dijelasin. Anggep aja gue punya tangan ajaib dah!" elak Gala yang sibuk menyiapkan sesuatu dengan hati-hati.

Charon tersenyum mendengarnya.

"Nah yang terakhir ini pencuci mulut, namanya uni, alias daging bulu babi." Gala menyodorkan sepasang piece terakhir, berupa sushi dengan daging pipih berwarna oranye cerah.

"Apaaa?? Bulu babi? Ihh, Kak Gala, emangnya babi punya bulu? Ocha nggak mau makan ah, haram jugaan!" Charon mengelak sambil memandang miring piring saji yang kini diterima oleh Pluto.

"Bukan babi darat, Cha. Ituloh, yang di laut, yang bulet-bulet warna item ada durinya. Landak laut, nama lainnya. Tau kan?" Pluto berusaha menjelaskan.

"Landak laut? Itu bukannya beracun ya, Kak?"

"Yang beracun itu durinya doang, Ocha. Kalo dagingnya kaga. Enak malah, coba deh," bujuk Gala dengan nada meyakinkan. Charon masih ragu-ragu.

"Kalo lo nggak mau, gue makan semua nih!" Pluto berucap sambil melahap uni sushi bagiannya. Cowok itu sengaja memejamkan mata dengan ekspresi menikmati yang hiperbola.

"Mmhh, enak buanget! Rugi lo seumur hidup nggak nyobain. Bener nih nggak mau? Jatah lo gue makan ya?" Pluto bersiap mengambil uni sushi bagian Charon, namun gadis itu buru-buru mencegah.

"Stop, Kak! Iya deh mau, sini-sini!" Charon itu meringsak menyerbu uni sushi jatahnya.

Dengan sekali lahap, Charon menggayang uni tersebut. Beberapa detik kemudian, gadis itu mengunyah, dan memberikan ekspresi mengawang yang kentara.

"Gimana, enak?" Gala bertanya sambil memperhatikan raut muka Charon sungguh-sungguh. Pluto melakukan hal yang sama.

Gadis itu menelan sushi terakhirnya sambil menarik napas.

"E... nak..."

"Nah! Apa gue bilang. Tangan ajaib kaga pernah gagal!" Gala berujar jemawa, membuat Pluto tertawa ringan.

Sementara Charon masih berada di nirwana, menikmati lelehan sensasi uni yang asin, segar, dan sedikit legit dengan tekstur buttery yang lumer di mulut, Gala malah semakin tertawa puas melihat ekspresi wajah Charon.

"Nah, nah... dah nge-fly dan ni anak. Untung aja kalian sempet mampir kemari kan, jadi bisa makan enak. Bulan depan gue udah resign soalnya, say goodbye to KK Sushiya dah." Gala berujar sambil tersenyum puas.

"Lah, kok resign Bang?" Pluto bertanya dengan nada tak terima.

"Eh, Kak Gala mau ke mana?? Padahal Ocha baru mau ngajak Mama sama Kak Riris ke sini!" Giliran Charon yang tersadar, langsung protes seketika.

"Gue mau bertapa di Gili Ketapang," tutur Gala santai.

"Gili-ke-apa?" ulang Charon dengan polosnya.

"Yaelah Bang Gal... ngapain sih bertapa segala, mo jadi biksu?" ujar Pluto sambil mendesah pasrah.

Walaupun baru mengenal Gala, Charon mau tak mau merasa sedikit kehilangan. Baru ketemu kok udah dipangkas perpisahan. Sedih.

"Ya udahlah, yang penting sekarang kalian dah mampir toh? Pas bener tuh, kemarin-kemarin si Tami yang mampir kemari, sama cowoknya." Gala berucap ringan sambil mulai memberesi piring-piring saji yang telah kosong. Pluto terenyuh seketika mendengar nama kakaknya disebut.

"Kak Tami... ke sini?" ulang Pluto setengah tak percaya.

Gala mengangguk ringan.

"Sama cowok? Kak Melvin, maksudnya?" cecar Pluto menuntut penjelasan.

Gala mengangkat bahu. "Nggak tauk, pokoknya cowok. Eh bukan cowok deh, lakik! Soalnya udah rada tua gitu, bapak-bapak, setelan kantoran, pake kacamata."

Pluto termenung seketika. Bapak-bapak? Kok...

"Anjay julid amat gue yak? Ha-ha. Bodo ah, pokoknya gue liatnya begitu. Sori ya Plut, bukanna mau nge-judge selera kakak lo. Pacaran sama lakik yang udah mateng oke juga kok." Gala menyadari ceplosan mulutnya yang tak tersaring, membuat Pluto mengangguk kaku.

"Santai aja, Bang." Pluto menormalkan nada suaranya, namun entah mengapa Charon bisa menangkap kejanggalan pada raut wajahnya.

"Kak Pluto, kenapa?" bisik Charon saat Gala sibuk di depan bak cuci piring.

"Nggak, Cha... nggak papa," gumam Pluto. "Kita cabut, yuk?" ajaknya kemudian, membuat Charon mengangguk dalam diam.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top