29 · Berangkat

Charon diburu waktu. Gadis itu memasukkan buku-buku pelajaran yang semalam lupa dia siapkan.

"Makanya Cha, kalo nyiapin buku tuh semalem habis belajar, bukan sekarang pas mau berangkat!" Kak Arta sempat-sempatnya menceramahi Charon.

Untung Mama Riris sudah pergi selepas subuh tadi. Charon bersyukur pagi ini dia ngga kena marah dua kali.

"Kak, aduh... maaf ya, gara-gara Ocha bangun kesiangan, Kakak jadi telat ke kantornya..." Charon memulutkan permintaan maaf sambil memakai kaus kaki. Kak Arta menuangkan makanan dry food untuk si kucing Macican sebelum mengambil kunci mobil.

"Udah-udah Cha, buruan ayo. Kita ke bawah!" Kak Arta berkata dari ambang pintu, bersamaan dengan Charon yang bangkit dan setengah berlari, kelimpungan menyusul langkah Kak Arta.

"Hosh... hosh... Kak, tunggu! Aduh, pagi-pagi Ocha udah olahraga aja..." Charon mengeluh ketika tiba tepat di depan pintu elevator. Kak Arta sedang mengatur napas sambil menekan-nekan tombol lift dengan barbar. Tek-tek-tek-tek.

Ding! Pintu elevator terbuka. Charon dan Kak Arta masuk.

"Cha, denger. Kakak punya solusi anti-telat untuk kita berdua. Tapi kamu harus nurut, ya?" ucap Kak Arta dengan nada serius.

Charon menatap sahabat mamanya itu dengan pandangan bertanya-tanya. "Rencana apa, Kak?"

"Udah kamu nurut aja."

"Tapi..."

Ding.

Pintu terbuka. Mereka tiba di lantai dasar.

Kak Arta langsung menggandol lengan Charon dan membawanya melintasi lobi. Kak Arta menunjuk ke arah parkiran begitu mereka keluar dari pintu ganda.

"Itu rencana kita! Kamu berangkat sama..."

"Kak Pluto?!" Charon setengah tercekat melihat Pluto sudah siaga dengan motornya.

"T-tapi Kak..." Charon mulai meracau.

"Ucah, nggak ada waktu. Sana gih, berangkat. Kakak ada meeting setengah jam lagi, dan gak akan nutut kalau harus lewat sekolah kamu dulu. Udah, Cha, nurut aja, ya? Please..."

"I-iya deh Kak..." Charon menyerah. Entah karena lari-larian barusan, atau karena permintaan Kak Arta yang tiba-tiba, tapi dada Charon berdegup dengan tidak normal.

Terlebih lagi ketika dia melihat Pluto membuka kaca helm teropongnya. Dengan satu tangan, cowok itu menyerahkan sebuah helm cadangan ke arah Charon.

"Pake, biar aman," ucap Pluto tanpa basa-basi.

"Iya, Kak..." Charon menurut, sebelum akhirnya memberanikan diri naik ke jok belakang motor Pluto.

Ini pertama kalinya Charon naik motor gede. Motor laki. Motor tinggi. Ah, apapun namanya, Charon nggak tau. Rasanya aneh, asing, dan... mendebarkan.

Charon bisa mencium aroma sabun mandi yang menguar dari punggung Plurto. Deg. Eh, lah kenapa kok Charon malah jadi deg-degan beneran?

"Udah?" tanya Pluto sambil menoleh sedikit, mencoba menggapain pendengaran Charon.

"Udah, Kak," jawab Charon sambil membenarkan posisi duduknya. Tinggi amat, Ocha nggak bakal salto kan? batin gadis itu, menelan ragu.

Itulah kereta pikiran terakhir yang terlintas di benak seorang Charon Theodora, sebelum deru motor Pluto membawanya menembus lalu lintas pagi, memulai hari.

🌑

Pluto heran.

Dia sudah melewati jalan ini sekurang-kurangnya 780 kali. Rute dari rumah menuju sekolah.

Bedanya, kali ini perjalanan terasa... melambat. Eh, apa waktu yang jadi lambat? Semuanya serba slo-mo. Nggak semua sih, contohnya jantung Pluto, yang bukannya melambat tapi malah adu cepat dengan deru laju busway di sisi jalan.

Tapi ada yang beda juga, rasanya. Kenapa semuanya jadi terasa... ringan?

Ah, iya. Pluto sadar untuk pertama kali sejak semalam tadi, sekarang ia benar-benar bisa bernapas, lega, ringan, seakan tanpa beban. Ajaib. Kesurupan kah cowok itu?

Kenapa ya, kira-kira? Apa karena dia sekarang—

TINNN!!

Bunyi klakson membuyarkan lamunan kilat Pluto. Cowok itu kembali berkonsentrasi. Fokus ke jalan.

Hari ini dia tidak bermotor sendiri. Dia membonceng anak orang. Ah, iya. Dia membonceng Charon, gadis yang saat ini terlihat memejamkan mata dari balik pantulan kaca spion.

Lucu amat, batin Pluto seketika. Dia tanpa sadar mulai memperhatikan gadis itu.

Charon, yang seperti menahan napas dibalik helm-nya. Charon, yang menggenggam ujung seragam Pluto yang tidak dikancing—berkibar bagai bendera putih terkibas angin. Dan Charon, yang kelihatannya duduk begitu kaku.

"Kenapa tegang gitu, Cha? Nggak pernah naik motor, ya?" tanya Pluto saat perjalanan mereka harus terjeda lampu merah.

"Emm... jarang sih, Kak. Ocha pernah naik ojol, kok. Cuma motornya nggak tinggi begini..."

Pluto mengembus tawa tanpa tertahan. Gadis ini polosnya kebangetan.

"Santai aja, Cha."

Charon mengangguk. Lampu berkedip kuning, lalu hijau, lalu Pluto menarik gas lagi.

Lingkungan SMA Magella tergolong tertib, jalanan mengecil dan berkelok memasuki area elit yang ada di bagian Selatan Jakarta. Hal ini memberikan kesempatan bagi Charon dan Pluto untuk terlepas dari ingar-bingar suara kendaraan seperti di jalan utama.

"Kak..." panggil Charon saat motor berkelok menuju gerbang sekolah mereka.

"Hm?" Pluto menjawab setengah auto-pilot, perhatiannya terbagi dengan agenda menepikan motor di parkiran.

"Makasih udah dianterin. Tapi... kakak kenapa bisa ada di depan apartemen Ocha tadi? Apa Kak Arta yang minta Kakak buat jemput Ocha?" Charon bertanya polos sambil melepas helm-nya, mengembalikannya pada Pluto.

Cowok itu menerima helm Charon sebelum melepas helm-nya sendiri.

"Iya," jawabnya pendek.

"Iya apa? Kak Arta yang minta, tadi?"

"Yap."

"Kok..." Kalimat Charon tak sampai, sebab Pluto sudah melangkah meninggalkan motor duluan. Charon buru-buru mengekor.

"Kak, kok gitu? Kakak punya nomernya Kak Arta? Eh bukan, bukan... Kak Arta punya—"

"Iya, Cha," potong Pluto. "Tadi Kak Arta yang minta gue buat jemput lo. Dan dia juga pesen ntar lo pulangnya juga bareng sama gue. Jelas?"

Charon berkedip mendengar penjelasan Pluto yang, sepertinya, membuat pikirannya makin tidak jelas.

Berangkatnya dijemput, terus pulangnya dianterin? Ocha berasa jadi jelangkung aja...

"Kak, tunggu!" Charon mencegah Pluto yang kembali melangkah pergi. Sumpah, cowok ini cuek sekali.

"K-kenapa, kok gitu? Kok Ocha nggak dikasi tau?" cerocos gadis itu yang tanpa sadar mengekori Pluto menyebrangi lapangan basket, menaiki tangga menuju jajaran kelas IPS.

"Karena..." Pluto menarik tangan Charon seraya melipir ke sudut lorong, ke depan kamar mandi. Lokasi yang sepi.

Charon yang mendadak sadar akan sikon mereka, reflek menelan ludah.

Pluto menoleh kanan-kiri, memastikan mereka benar-benar terasing dari murid-murid lain, sebelum mencondongkan diri, mengikis jarak antara dirinya dan sang adik kelas.

"... lo dalam bahaya, Cha. Gue dimintain tolong Kak Arta buat nganterin lo, mastiin lo aman. Paham?"

Charon berkedip sambil mencerna kalimat Pluto barusan.

"Bahaya?"

Pluto mengangguk patah. "Iya, ini masalah... bokap lo..."

Warna di wajah Charon luruh dalam hitungan detik. Gadis itu pucat pasi.

"Papa Ocha?" ulangnya.

"Iya."

"Kak Pluto... tau masalah Papa Ocha?"

Waduh. Pluto bingung menjawabnya.

"Emmm... Kak Arta sih, yang ngasih tau—eh tapi itu demi keamanan lo kok, Cha. Gue juga niatnya beneran mau bantuin lo..."

Charon menunduk, kemudian perlahan sekali, gadis itu mengangguk.

"Cha..." panggil Pluto.

"Hm," jawab Charon tanpa selera.

"Sori, ya, kalau kesannya gue terlalu ikut campur. Gue beneran nggak ada maksud mau terlibat. Gue juga nggak akan nge-judge lo apa-apa..."

"Nggak papa kok, Kak." Nada suara Charon masih getir.

"Cha?" Pluto bisa menangkap kepahitan suara Charon dengan jelas. "Lo... nggak suka ya, kalo gue tau?"

Charon mengangkat wajahnya. "Tau apa?"

"Masalah lo sama... bokap lo itu."

"Iya, apa? Kak Pluto tau apa aja? Apa yang Kak Pluto tau?"

Pluto menggaruk belakang kepalanya, menggusur gugup. Charon yang biasa polos dan lugu kali ini terlihat benar-benar... berbeda.

"Yang gue tau, kalau keluarga lo lagi ada masalah. Gue nggak tau masalahnya apa, tapi yang gue denger dari Kak Arta, lo dalam bahaya. Bokap lo, orang yang berbahaya. Gue juga inget pas hari pertama kita... kenal, lo punya luka di pergelangan tangan yang lo sembunyiin pake arloji—yang ini gue tau dari Lala. Terus—"

"Lala?" potong Charon.

"Iya... pas waktu itu, Lala nyuruh gue buat minta maaf ke lo, Cha. Dia bilang luka itu gara-gara gue yang bikin, makanya..."

"Oh." Charon mengerti sekarang.

Ternyata itu cara Lala untuk membuat Pluto nyamperin Charon waktu itu, sepulang sekolah, untuk minta maaf.

Ternyata itu memang benar akal-akalan Lala, untuk memaksa Charon terlibat dalam perjanjian—hutang, untuk mengerjakan pe-er Lala.

Itu juga awal mula dari semua chaos ini; larangan berteman dengan Pluto, hubungan panas-dingin yang toksik, serta cengkeraman pengaruh Lala yang semakin menyekik.

Detik itu juga, Charon terasa benar-benar tertampar realita. Charon merasa buta. Ternyata benar, selama ini Lala hanya memanfaatkannya saja.

"Cha, lo... nggak pa-pa?" tanya Pluto memastikan. Charon sempat termenung dalam pikirannya sendiri.

"Lala bangsat," lirih Charon hampir seperti bisikan.

"Hah? Apa?" Pluto tekejut seketika. Itu barusan telinganya nggak salah dengar? Charon mengucapkan b-word??

"Lala beneran bangsat ya, Kak?" ulang Charon dengan napas terembus. Pluto melongo seketika.

KRIIINNNGGG.

Keterkejutan Pluto dipotong oleh bunyi bel masuk.

"E-erm... sori, gue kaget. Lo bisa ngumpat juga rupanya, Cha."

Charon melemparkan senyum ke arah Pluto, tampak terhibur dengan kekagetan kakak kelasnya itu.

"Bisa kok. Mau lagi? Bangs—"

"Eh-ehhhh iya udah, udah. Jangan ngomong gitu terus. Gak cocok. Udah Cha, lo balik jadi anak baik-baik aja, ya? Gue nggak mau digampar Kak Arta karena lo balik-balik mulutnya jadi kotor begitu." Pluto dengan sigap membekap mulut kecil Charon yang mulai nakal.

Charon tertawa dibalik bekapan tangan Pluto. Cowok itu buru-buru melepas tangannya.

"Masuk kelas, gih. Nanti pas jam istirahat, temuin gue di rooftop, ya? Ada yang mau gue omongin... soal Lala."

Tawa Charon reda perlahan, sebelum gadis itu mengangguk setuju.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top