27 · Kemana
Pluto baru saja tiba di rumahnya, dadanya berdegup karena telah sukses melaksanakan misi absurd menghalangi mobil penguntit yang entah dari mana datangnya.
Lagi-lagi rumah sepi. Pluto pulang dengan keadaan lampu yang masih mati. Kak Tami nggak di rumah.
Dengan debaran jantung yang masih memicu, Pluto mondar-mandir di ruang tamunya. Cowok itu sudah berganti baju dengan celana pendek dan kaus katun santai, tapi otaknya nggak santai.
Dia harus melakukan sesuatu.
Buru-buru, dia merobek secarik kertas note kecil dan menggali memorinya.
D-7530-VW. Pluto menuliskan nomor plat mobil penguntit tadi. Mobil yang selama ini tampak mengintai di depan gerbang SMA Magella.
Bergegas, Pluto mengambil kunci motornya dan menderu menuju sebuah gedung apartemen.
"Hey. Kamu nyari aku, Pluto?"
Betapa leganya Pluto mendengar suara itu. Kak Arta berdiri di ambang pintu lobi apartemen.
"Kak Arta... ini." Pluto menyerahkan kertas yang langsung disambut oleh perempuan itu. Kak Arta lantas memandangi tulisan Pluto, alisnya terpaut.
"Ini... plat nomor?" tebaknya.
"Betul, Kak. Plat nomor mobil yang ngikutin Charon dan mamanya tadi siang."
Mata Kak Arta membulat seketika.
"O-oke. Masuk yuk, Pluto. Kita duduk di situ. Kamu harus cerita."
Pluto mengangguk sambil berjalan masuk ke lobi apartemen, duduk di sofa tamu dan mulai menceritakan kejadian tadi secara rinci.
Setelah selesai menjabarkan, Pluto menanyakan hal yang membayangi kepalanya sedari tadi.
"Kak Arta, apa yang tadi itu—"
"Papanya Ocha? Bisa jadi," potong Kak Arta sambil meremas-remas jemarinya.
"Makasih udah gercep begini ya, Pluto, nanti Kakak bakal langsung selidiki ini lebih lanjut." Kak Arta berucap kembali.
"Iya, Kak. Maaf aku harus manggil Kak Arta ke bawah sini, soalnya aku nggak punya nomor kontak—"
"Siniin hape kamu."
"Eh?"
"Kamu nggak punya nomor Kakak sama nomor Ocha juga 'kan? Sini. Kamu bawa hape kan?"
Pluto merogoh sakunya lalu menyerahkan ponsel pintar ke arah Kak Arta, yang langsung disambut dengan gesit oleh perempuan itu.
"Nih, udah Kakak save di situ. Kontaknya Ocha juga. Eh tapi kalau Ocha, kamu kayaknya harus sedia pulsa buat SMS atau telepon langsung. Dia nggak akan konek internet kalo nggak di rumah. Buat jaga-jaga."
Pluto mengangguk sambil mengecek buku kontak digital di ponselnya. Nama kontak baru 'Arta L' dan 'Charon T' tersimpan di sana, sekaligus sebuah riwayat panggilan keluar pada kontak Kak Arta. Sepertinya perempuan itu juga akan menyimpan nomor Pluto.
"Kak," panggil Pluto. "Apa... papanya Charon sebegitu berbahayanya, ya?"
Kak Arta memandang Pluto lurus-lurus, matanya menancap tajam pada wajah cowok itu.
"Pluto," balas Kak Arta. "Kamu cukup tau aja, kalau papanya Ocha itu adalah orang yang sangat berbahaya. Kamu harus hindari kontak sama dia—ah, yang terpenting, Charon, nggak boleh kontak sama dia. Sama sekali."
Pluto makin penasaran.
"Seberapa bahaya sih Kak, orang itu?"
"Kamu... beneran pengen tau?"
"Iya."
"Seriusan?"
"Iya, Kak."
"Sini..." Kak Arta mengisyaratkan Pluto untuk mendekatkan telinga.
Setelah menoleh kanan-kiri, Kak Arta mencondongkan badan untuk membisikkan sesuatu pada Pluto.
"Papanya Ocha itu... pernah ngebunuh orang."
🌑
Pluto membolak-balikkan badan di atas kasur. Cowok itu nggak bisa tidur.
Dia merasa resah, cemas, dan sepercik... marah. Amarah yang aneh.
Pikiran Pluto menyasar kemana-mana. Semuanya tertuju pada Charon. Gadis itu memenuhi kepalanya.
Papanya... pembunuh?
Kemana aja gue selama ini?
Kenapa gue nggak tau? Kenapa Kak Arta baru ngasi tau?
Apa Charon tau?
Apa Charon pernah disakiti?
Terus lebam tangan di hari pertama itu...
Bangsat! Kenapa ada manusia yang bisa-bisanya ngelakuin kekerasan sama perempuan?
Charon... dia bener-bener nggak aman kan? Ah, sialan! Gue gak tenang!
Pluto berusaha mengatur napas. Bayangan Charon yang selama ini diintai dan diikuti oleh seseorang yang begitu berbahaya membuat Pluto kalang kabut.
Cowok itu meraih ponsel yang tergeletak sembarangan di atas kasur. Jemarinya mengetikkan kalimat-kalimat yang dihapusnya berkali-kali.
[Charon... lo nggak papa?] –delete.
[Cha, ini gue Pluto. Lo lagi ngapain?] –delete.
[Malem, Cha. Ini Pluto. Gue dapet nomer lo dari Kak Arta...] –delete, delete!
Gue ngapain sih?! kesal Pluto pada dirinya sendiri. Dia nggak ngerti dengan pikirannya sendiri.
Bersamaan dengan itu, sebuah mobil menderu di depan rumahnya, berhenti. Pajero Sport.
Pluto yang mengintip dari jendela kamarnya sontak mengernyit. Diliriknya jam di layar ponsel—pukul 01:42 dini hari.
Kak Tami keluar dari kursi depan mobil tersebut, tepat di sebelah kemudi. Langkahnya goyah dengan sepatu hak tingginya, membuat Kak Tami mencekal pintu mobil sejenak sambil terhuyung.
Melihat itu, Pluto langsung merasa geram. Si bungsu Aditya tersebut bergegas keluar rumah, setengah berlari menyebrangi halaman.
"Ehhh~ Ada Dedek yang paling gguantengggg~ Ucuk-ucuk, sinii... kamu kok belom bobok, Dek?" Kak Tami mengacak rambut Pluto. Napas yang keluar dari mulutnya menguarkan bau alkohol.
Pluto mengelak pelan.
Diperhatikannya dandanan sang kakak malam itu; rambut curling diikat tinggi-tinggi, make-up tebal dengan mascara dan eyeshadow yang meleleh keluar mata, serta bibir bergincu merah yang belepotan, belum lagi mini dress yang dikenakan Kak Tami memamerkan kulit kakaknya itu lima senti di atas lutut.
"Dari mana aja, Kak?" tanya Pluto penuh selidik, setengah memapah tubuh Kak Tami yang lagi-lagi terhuyung.
"Mmmmh, dari mainn~ Tuh, sama..."
Pluto menyandarkan Kak Tami ke badan mobil, sementara cowok itu bergegas jalan dan mengetuk kaca pintu kemudi. Kaca itu perlahan turun.
Dan tentu saja, siapa lagi yang berada di balik roda kemudi kalau bukan Melvin Tjahyadewa.
"Lo apain Kakak gue, hah?!" sentak Pluto seraya langsung mencengkeram kerah kemeja Melvin.
"Ohkk—Pluto, lepas. Sumpah, gue nggak apa-apain si Tami. Ugghh, gue... cuma jagain dia."
"Bullshit!" Pluto siap menghantam tinjunya yang terkepal, saat tubuh Kak Tami roboh menahan tangan adiknya itu.
"Plut... jangan! Hufhhh... kamu itu, dengerin dulu makanya kalo orang ngomong..." Kak Tami terhuyung ke samping, dan Pluto langsung menangkapnya.
"Kasi gue satu alasan buat nggak mampusin lo disini sekarang juga, Melvin." Suara Pluto dingin dengan nada mengancam.
Walaupun cowok itu sigap memapah kakaknya, tapi matanya fokus tertuju ke arah Melvin.
"Oke, denger. Kalo gue emang bejat, gue udah bawa Tami ke hotel, dan bukan malah gue pulangan dia ke kemari," jelas Melvin dengan tenang. "Lo harus tau, Pluto, gue disini ada buat ngelindungin Tami. Gue nggak akan ngebiarin dia celaka."
"Dengerin tuh... Plut... Dek, sini. Sini, sini. Kak Melvin itu... beneran cuma bantuin Kakak. Sekarang kita masuk aja, yah? Yaaahhh? Nanti Kakak ceritain semuanya. Se~mu~aaaa~" Kak Tami oleng ke samping, membuat Pluto reflek merengkuh sang kakak lebih erat.
Pluto melemparkan pandangan mengancam untuk yang terakhir kalinya, lurus ke arah Melvin. Cowok itu masih nggak percaya sama cinta pertama kakaknya tersebut.
"Ayo, Kak." Pluto akhirnya memapah Kak Tami memasuki rumah. Pikirannya kacau parah.
🌑
"Maaf, Dek... kamu pasti kecewa sama Kakak, ya?"
Kak Tami duduk di sofa ruang tengah, dengan selimut tebal membalut tubuh. Kedua tangannya menggenggam segelas air putih yang sudah terteguk setengah. Matanya ruyup menahan kesadaran.
"Kak..." lirih Pluto. "Ada apa sih, sebenernya?"
Kak Tami meletakkan gelas dan bangkit dari sofa.
"Kak!" panggil Pluto.
"Iya, iya. Kita ngobrol sambil nonton, ya?"
"Kak Tami..." Pluto kembali memanggil.
"Kakak bakal cerita. Janji. Sekarang, kita nonton, ya?"
Pluto mendengkus, membiarkan kakaknya mengorek laci meja TV sambil mencari sesuatu. Sebuah USB.
"Itu..." gumam Pluto, saat kakaknya dengan usaha ekstra menancapkan USB tersebut di sisi layar televisi—sepertinya kesadarannya masih sedikit mengawang.
Jantung Pluto kini berdegup dua kali lebih cepat.
Kak Tami duduk di sisi Pluto seraya menekan tombol play pada remote. Layar TV menjadi padam selama beberapa detik, sebelum gambar-gambar mulai bermunculan.
Pluto kecil, masih mengenakan popok, berjalan tertatih sambil dikejar Bunda yang membawa mangkuk makan bayi. Kak Tami, di sudut ruangan, bermain dengan boneka Barbie. Sementara suara tawa Ayah mulai terdengar berkumandang di balik kamera.
"Kak..." Pluto kehilangan suaranya. Kak Tami bungkam di sisinya, tampak menikmati momen-momen lawas masa kecil mereka.
Gambar bergerak, berganti, dan dua bersaudara itu masih sunyi. Air mata mulai mengental di pelupuk netra mereka. Mereka tau bagian selanjutnya akan kemana.
Layar datar itu memadam sedetik, tepat setelah gambar wajah Kak Tami yang tersenyum manis mengenakan seragam pertama SMA, mengheningkan suasana dalam transisi gelap yang perlahan menyala.
Kini, tampak sosok Ayah dan Bunda sedang duduk di ruang tengah, berangkulan, tersenyum ke arah kamera.
"Hai Tami, Pluto... anak-anak Ayah dan Bunda yang paling hebat. Apa kabar?"
Suara Bunda membahana dari layar kaca.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top