19 · Biologi

Rasanya seperti kembali ke hari pertama masuk SMA Magella.

Setelah dua bulan lebih bersekolah di sini, baru pertama kali Charon memasuki ruangan itu, dengan suasana baru. Laboratorium IPA, lebih tepatnya, bilik Biologi.

Bahkan lab di sini terkesan megah dan terbuka, karena bersandingan langsung dengan jendela kaca raksasa. Ditambah lagi, kehadiran dua teman baru Charon—Riva dan Gillian, yang dengan asyiknya mengajak Charon bicara ngalor-ngidul. Rasanya sungguh beda dari hari-hari sebelumnya.

Dua teman baru Charon itu sedang sibuk memasang jas lab mereka masing-masing. Jas lab di SMA Magella dilengkapi dengan name tag yang dibordir khusus pada bagian atas sakunya. Charon membaca nama panjang masing-masing teman barunya itu; Makrivatul Jannah; Edward Gillian.

"Charon, ke sini sebentar," panggil Bu Siska dari depan kelas. Charon mendekat.

"Iya, Bu?"

"Ini, kamu belum punya jas lab kan? Pakai ini dulu saja, untuk sementara."

Bu Siska menyerahkan sebuah jas putih dari gantungan belakang pintu. Tampaknya jas ini memang disediakan khusus untuk menjadi APD (Alat Pelindung Diri) cadangan, mengingat tata tertib laboratorium Biologi SMA Magella yang cukup ketat, yakni harus mengenakan APD pada saat berkegiatan di dalam lab.

Charon menerima jas lab tersebut. Jas putih polos tanpa bordiran nama. Sekilas diliriknya label ukuran di belakang kerah, XL. Charon mengenakan jas itu di depan Bu Siska, mengucapkan terima kasih sebelum kembali pada kelompoknya.

"Pffffh lucu amat kamu Cha, kedodoran gitu. Gapapa eh, memang lagi ngetren yang oversize gitu." Riva menyambut Charon kembali.

"Ya mau gimana lagi, Riva. Ocha kan nggak punya jas..."

"Udah, nggak papa! Eh iya, Cha, kita ke meja situ yuk, enak paling deket jendela. Kamu sukanya deket jendela 'kan? Aku inget pas hari pertama kamu minta pindah duduk ke Pak Imam. Hahaha epic banget!"

Charon termangu karena Riva bisa-bisanya mengingat momen pertama Charon memperkenalkan diri di kelas mereka.

"Iya, Riva! Riva masih inget ya?? Wahhh, Ocha aja udah agak lupa."

Riva terkikik sambil mengepalkan tangan. "Yadoong, Riva gitu! Cewek dengan potographic memory! Yang gitu aja mah, libasss!"

"Yeeuuu kumat narsisnya!" Gillian berkomentar sambil menarik ujung jilbab Riva, tepat di atas dahi, membuat jilbab gadis itu melorot sedikit—menutupi sebagian wajahnya.

"GILLIANNNN!!" pekik Riva tak terima. Setelah membenahi jilbabnya, gadis itu bersiap untuk menghantam sang tersangka—Gillian.

"Eh-eh, ssttt Bu Siska tuh!" Gillian memperingatkan sambil menahan tawa, bersamaan dengan Bu Siska yang mulai menuntut perhatian siswa-siswanya.

"Oke, class, tentukan meja kelompok kalian masing-masing, setelah itu kita akan segera mulai..."

Ketiga remaja itu buru-buru menempati satu meja dekat jendela, paling depan, di pojok kanan.

"Di sini tuh ntar materinya ditampilin pake proyektor, jadi kalo nggak di depan, agak nggak keliatan," bisik Riva tepat di telinga Charon.

Charon mengangguk saja. Dia sadar Riva dan Gillian yang mengenakan kacamata pasti kesulitan melihat pantulan cahaya proyektor dari jauh.

"Baiklah, kalau sudah, kita akan mulai sekarang. Ini adalah praktikum kalian yang pertama di kelas XI, jadi perhatikan baik-baik. Akan ada tiga tahap, yakni tahap pendahuluan, tahap kerja, dan tahap penutup.Tahap pendahuluan merupakan pengarahan terkait kegiatan yang akan dilakukan, berisi materi, teori, konsep, metodologi, dan langkah kerja yang harus kalian ambil. Kedua, tahap kerja, atau singkatnya, kegiatan praktikum. Disini kalian akan mengerjakan tugas-tugas praktikum, praktik langsung bersama kelompok kalian, yang mana akan ditutup pada tahap terakhir, penutup, dimana kalian akan berkomunikasi, berdiskusi, dan menarik kesimpulan hasil penelitian bersama kelompok kalian..."

Charon mencatat buru-buru di buku catatannya. Tahap satu... pendahuluan. Dua... kegiatan. Tiga, penutup. Oke.

"Rajin amat kamu, Cha," komentar Riva sambil melirik buku catatan Charon.

"Biarin aja si Va, bagus dong di kelompok kita ada yang rajin. Gak kayak elu, hobi nyicit tapi males nyatet," Gillian menimpali.

"Dari pada kamu, tukang tidur!" balas Riva.

Dan Charon pun tersenyum mendengar percekcokan Riva-Gillian (lagi) di kanan-kiri telinganya. Gadis itu lanjut menulis penjelasan Bu Siska.

"... perlu kalian perhatikan, untuk alur praktikum kita di lab akan sama seperti itu pada tiap materi; pendahuluan, kegiatan, dan penutup. Dan setiap tahap akan kita laksanakan pada satu kali jam pelajaran, bertepatan dengan kalian, kelas XI MIPA yang punya tiga hari jadwal pelajaran Biologi dalam seminggu, jadi kita bisa rampungkan satu praktikum dalam jangka waktu satu minggu. Sampai sini paham?"

"Paham, Bu..." koor siswa-siswi XI MIPA 1.

"Oke, kalau begitu buka buku paket halaman 72. Disitu kalian bisa lihat materi yang sama pada slide di depan sini..." Bu Siska menunjuk dengan laser pointer pada pantulan gambar powerpoint dari proyektor, "... dimana ada penjelasan tentang bentuk dan struktur sel mahluk hidup. Oke, sekali lagi, itu materi ya. Untuk praktik langsung, kita akan menggunakan Mikroskop yang ada di masing-masing meja kalian."

Charon, Riva dan Gillian mulai sibuk mempersiapkan Mikroskop, kaca objek, kaca penutup, pinset, pipet, hingga gelas bekker.

"Eh tapi ini emang kita mau ngeliat apa ya pake Mikroskop?" tanya Gillian sambil menggaruk kepala. "Mau ngeliat debu? Oksigen?"

"Ssstttt!" Riva menempelkan telunjuknya di bibir Gillian. "Dengerin dulu makanya!"

Perhatian mereka kembali pad Bu Siska yang mulai menjelaskan materi, menjabarkan pada mereka bahwa praktik menggunakan Mikroskop akan dilakukan besok, pada tahap ke-dua—kegiatan.

"Sekarang, Ibu akan menjelaskan terlebih dahulu cara menggunakan Mikroskop yang baik dan benar..." Dan perhatian murid-murid pun tersedot kembali.

🌑

Selepas bel berbunyi, murid-murid penghuni kelas XI MIPA 1 kembali berhijrah menuju ruang kelas mereka. Kelas Biologi hari ini menghadiahi murid-muridnya dengan 'cinderamata' berupa tugas kelompok, dimana masing-masing anggota kelompok harus membawa bahan untuk diteliti besok; Daun rhoeo discolor, gabus ketela pohon, bawang merah, tempe, air kolam, dan air sawah.

Ditengah langkah beriringan dengan Charon, Riva membuka obrolan.

"Kamu ternyata anaknya seru juga ya Cha, rajin pula. Kenapa kamu nggak pernah ngobrol sama kita-kita dari kemarin-kemarin?"

"Emmm... itu..."

"Yaelah Va, udah tau dia dimonopoli sama Tuan Putri, masih aja nanya," celetuk Gillian yang berjalan cuek, memasukkan kedua tangan ke saku celana.

"Iya juga ya," gumam Riva. "Ini aja karena si Lala nggak masuk, kita jadi bisa ngajak Ocha. Yakan Cha?"

"Yaa... kurang lebih." Charon menunduk lesu. Di benaknya berpacu beberapa pikiran, menyatu dan menyaru tak beraturan.

Ternyata bener ya, Lala nggak pernah ngasi ruang untuk Ocha berteman sama anak-anak lain. Kirain cuma perasaan Ocha aja. Tapi kenapa, ya?

"Oy, Cha!" panggil Riva.

"Eh, ya? Kenapa Riva? Maaf barusan Ocha bengong..."

"Yeee si oneng. Ini, kamu belum punya jas lab Magella kan? Kita bisa melipir dulu ke kopsis buat mesen, kalo kamu mau."

Charon menimbang-nimbang sebentar.

"Mmmm... boleh, deh."

Siang itu, Charon paham benar apa yang dimaksud Kak Arta bahwa sekolah dibawah naungan Bima Sakti Foundation merupakan perusahaan yang bukan perusahaan, bisnis juga bukan, tapi profitable parah.

Pasalnya, saat sampai di kopsis, Charon ditodong harga tiga ratus tujuh puluh lima ribu rupiah hanya untuk membeli lab coat. RP. 375.000; bayangkan! Uang itu, uang, bukan daun.

"K-kalau misalnya nggak beli disini, tapi beli di luar... masih boleh kan, Bu?" Charon bertanya ragu-ragu pada ibu penjaga kopsis. Wanita itu menggeleng tegas.

"Nggak bisa, Dik. Di SMA Magella ini jas laboratoriumnya dibordir khusus pakai benang sutra dari Cina, makanya mahal," jelas ibu penjaga kopsis dengan sebegitu tidak pentingnya.

Charon nggak peduli. Mau benang sutra kek, benang layangan, tetap saja harganya itu nggak masuk akal!

"Emmm..." Charon memutar otak untuk mengelak dari transaksi ini.

"Udah Cha, nggak papa. Ambil aja, kita bayarin dulu pake uang kas kelas. Toh untuk kegiatan belajar mengajar kan? Nanti kamu bayarnya ke aku nyicil aja, gak papa." Tawaran baik itu keluar dari mulut Riva. Charon ragu. Dia nggak mau punya hutang.

"Atau nggak pake duit gue aja dulu deh, Cha. Kebanyakan duit nih gue." Gillian sigap mengeluarkan dompetnya. "Bu, ambil satu Bu, yang size... eh, Cha, ukuran baju lo berapa dah?"

"Ocha mah S atau M kecil! Kan pas perkenalan di depan kelas waktu itu dia ada ngomong." Riva menjawab dengan ringan. Wah, lagi-lagi Riva ingat??

"Eh-eh... nggak usah, Gill. Jangan..."Charon berusaha mencegah Gillian.

"Ups, terlanjur. Bu, ukuran S aja satu. Nih, 400 ribu kan?"

Usaha Charon sia-sia. Empat lembar merah itu sudah berada di tangan ibu penjaga kopsis yang menyebalkan. Charon meringis, merasa tidak enak.

"Ini, tulis di sini nama lengkap untuk nanti dibordir. Hati-hati jangan sampai salah." Bu kopsis menyodorkan sebuah kertas kuitansi dan bolpoin. 

Dengan setengah hati, Charon menuliskan nama lengkapnya; Charon Theodora.

"Wah, nama kamu bagus ya Cha!" puji Riva yang melihat tulisan Charon.

"Makasih... nama kamu juga bagus kok, Makrivatul Jannah," balas Charon sambil sedikit menggali ingatannya.

Mata Riva berbinar. "Kamu inget nama panjang akuuu???" ujarnya riang.

"Iya dong, Riva. Emangnya cuma Riva aja yang boleh nginget-nginget?" balas Charon.

Riva memekik girang sambil menggandeng lengan Charon. Sepertinya dia senang beneran.

Luput dari pengetahuan Riva, kalau sedari tadi Charon diam-diam memantrakan berulang nama panjang dua teman barunya itu dalam kepala.

Makrivatul Jannah.
Makrivatul Jannah.
Makrivatul Jannah.

Edward Gillian.
Edward Gillian.
Edward Gillian.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top