18 · Ayam

Setelah menjadi penguntit Charon seharian ini, Pluto akhirnya pulang juga. Karena satu; dia lapar, dan dua; Charon juga sudah pulang bareng Lala. Nggak ada alasan untuk Pluto berkeliaran di tempat ramai lagi kan?

Satu kesimpulan yang semakin paten tertanam di benak Pluto seharian ini, adalah kalau Charon itu anaknya naif parah, polos-polos semi bodo, dan kelewat lugu.

Seorang Charon adalah target empuk penipuan—apapun bentuknya—dan juga rawan menjadi makanan para 'buaya'.

Membayangkan yang terakhir itu membuat Pluto sedikit tidak terima, entah kenapa. Cowok itu menarik gas motornya dengan kencang, melaju semi ngebut.

Setibanya di rumah, Pluto disambut dengan bau harum masakan yang udah lama banget nggak menguar dari dapur rumahnya. Goreng ayam dan sambal jeruk. Amarah absurd Pluto mendadak padam seketika.

"Kak Tami masak?" Itulah kalimat pertama Pluto ketika memasuki dapur, melihat kakaknya sibuk menata piring.

"Eh, si Plut, akhirnya pulang juga. Iya nih, ayam goreng kesukaan kamu. Udah kayak Upin Ipin aja..." Sempat-sempatnya Kak Tami bercanda.

Pluto meraih satu piring dan langsung menyendok nasi.

"Loh loh, laper kamu? Cuci tangan dulu gih. Jorok." Kak Tami buru-buru merebut piring nasi Pluto. Sang adik berdecak, tapi nurut juga.

Entah kapan terakhir kali Pluto dan Kak Tami duduk dan makan bersama, makan masakan rumahan. Dan entah kenapa juga hari ini Kak Tami bersikap super... baik. Sepertinya mood dia sedang bagus?

Pluto juga memperhatikan kakaknya, rambutnya yang basah seperti baru keramas, terbungkus handuk. Wajahnya juga segar, tampak baru saja mandi.

Walaupun ada segurat kelelahan di mata Kak Tami, tapi Pluto bersyukur kakaknya itu tampak baik-baik saja.

"Ayo, mau berdoa versi mana nih?" Kak Tami bertanya dengan nada menggoda. Pluto tertawa pelan.

"Bismillahi..." Pluto memulai.

"Ya Allah Bapak, dalam nama Tuhan Ye..." Kak Tami berkata bersamaan.

Dua kakak-beradik itu berhenti dan tertawa. Mereka memulutkan dua doa berbeda sekaligus, membuat suasana yang harusnya syahdu mendadak jadi cair dalam gelak.

"Oke oke, yang bener. Pilih satu." Kak Tami berkata setelah reda tawanya.

"Berdoa dalam hati sesuai kepercayaan masing-masing aja," saran Pluto sambil mulai menunduk. Kak Tami mengangguk setuju dan ikut pula menunduk.

Denting piring-garpu-sendok mengudara beberapa detik kemudian. Dua saudara Aditya ini larut dalam makan malam mereka.

Pluto mengunyah dengan nikmat.

"Enak banget, Kak..." puji Pluto sambil menyuap sesendok lagi.

"He-he. Kakak beli sih itu, frozen ayam plus bumbu, jadi tinggal goreng."

Pluto menghentikan kunyahannya seketika. "Yeeee curang! Pantesan!"

"Hahahaha!"

Pluto kembali menikmati tawa dengan kakaknya. Sepintas dia melirik konter dapur, melihat kantong plastik putih berisi bahan makanan.

"Kak Tami habis belanja?" tanya Pluto.

"Ho'oh."

"Akhirnya..." Pluto tersenyum bangga. "Kakak bisa jadi Kakak yang baik juga, mau masak, mandi, belanja."

Tami tampak hendak melempar paha ayam ke arah Pluto. "Kamu tuh muji kalo udah dikasi makan aja ya??"

Pluto kembali tergelak. Sepertinya bukan perutnya saja yang mulai penuh malam itu, tapi hatinya juga.

🌑

Keesokan harinya, saat Pluto hendak berangkat sekolah, terdengar teriakan Kak Tami dari arah kamar mandi belakang.

"PLUTOOOO!!!" Suara sang kakak menggema membahana.

Si bungsu yang sedang memakai sepatu asal-asalan sontak menoleh seketika. Kak Tami tampak sudah muncul dengan langkah yang tergesa-gesa.

Satu tangannya membawa jaket yang dikenakan Pluto kemarin, langan lainnya menggenggam sebuah benda kecil. Terdapat busa-busa menempel di sebagian baju Kak Tami. Sepertinya dia sedang mencuci.

"Kenapa, Kak?"

"INI APA?!" Kak Tami menunjukkan isi telapak tangannya. Sebuah inhaler asma.

"Kamu habis dari mana? Habis ngapain, hah? Asma kamu kambuh lagi, Plut? Apa jangan-jangan, anxiety kamu mulai kumat? Kamu kena panic attack, iya?!"

"Kak, tahan dulu, tahan emosi..."

"KOK NGGAK BILANG SAMA KAKAK????"

"Istighfar coba Kak..."

"Astaghfirullohal—eh, duuhh! Pluto, jawab!! Ini kenapa kamu bawa-bawa inhaler di jaket kamu? JAWAB SEKARANG!!"

Pluto tersenyum simpul karena sempat-sempatnya mengerjai Kak Tami. Tapi melihat raut wajah sang kakak yang tampak benar-benar khawatir, Pluto jadi nggak tega juga.

"Kak," ucap Pluto dengan tenang, "Aku tuh nggak apa-apa. Itu beli cuma buat jaga-jaga aja."

Kak Tami menggeleng tak percaya. "Ngomong yang bener, ini kenapa? Jaga-jaga buat apa??"

Pluto menggaruk kepala. Sepertinya memang susah berkelit dari kakaknya. Toh honesty is the best policy.

"Ya itu... aku beli, karena kemarin aku ke mall."

"Mall?!" Kak Tami memekik kaget.

"Iya..."

"Kok bisa?? Kamu nggak apa-apa kan? Aduhhhh..."

"Kak, aku nggak apa-apa. Bener. Udah, Kakak jangan terlalu panik gitu deh."

"Ngapain sih kamu ke mall segala??" tanya Kak Tami nggak habis pikir, "Ke pasar malem aja kamu ogah setengah mati. Biasanya paling aman juga ke minimarket, sepi. Kok sekarang bisa-bisanya, tempat seramai mall..."

"Maaf, Kak." Pluto menyesal telah membuat kakaknya kelewat khawatir.

Kak Tami memijit pelipisnya. "Ngapain sih, Plut?" ujar Kak tami lirih. "Kamu nggak mikir kalo itu tuh bahaya buat kamu?" lanjutnya.

Pluto menghela napas. "Aku kesana... buat... emmmm," bingung Pluto.

"Apa? Kenapa??" Kak Tami menekan.

"Jadi ada satu cewek..."

Mata Kak Tami membulat seketika. "Cewek yang kamu taksir itu??"

"Bu-bukan! Nggak—"

"Ya-ya, whatever. Jadi kamu sampe ke mall gara-gara cewek ini?"

"Ya... kurang lebih..."

Kak Tami menghela napas. "Plut, denger... Kakak paham gimana excited-nya kamu ketika suka sama seseorang. Tapi inget, jangan sampe kamu ngebahayain diri kamu sendiri hanya karena orang lain. Jatuh cintalah pelan-pelan, jangan terlalu jatuh. Ntar nyungsep kamu."

Pluto tersenyum tipis. "Iya, Kak. Makasih. Maaf juga udah bikin Kakak panik pagi-pagi."

Kak Tami mengangguk sambil membalas senyum adiknya. "Iya. Nih, bawa. Jaga-jaga kalo kamu bengek pas berduaan sama si cewek pujaan hati."

Kak tami menyerahkan inhaler itu pada Pluto, yang disambut dengan gelengan tawa.

"Thanks, Kak," ucap Pluto sambil memasukkan inhaler ke dalam tas punggungnya.

🌑

Charon kelimpungan.

Hari ini, tanpa kabar, tanpa ijin dan tanpa sebab, tiba-tiba Lala absen.

Satu-satunya teman Charon di SMA Magella itu tidak masuk. Kosongnya bangku di depan Charon membuat gadis itu mati kutu seketika. Satu, dua, tiga mata pelajaran pertama dilewati dengan beku. Mulut Charon belum mengucapkan apa-apa selain kata 'hadir' ketika namanya diabsen.

Saat jam istirahat pun, Charon berdiam diri di kelas. Dia nggak pede harus jalan ke kantin sendirian, dengan resiko dilihatin cowok-cowok kakak kelas, disuit-suitin kayak preman di depan komplek apartemen. Belum lagi kalau mereka main colek-colek.

Charon bergidik. Bener kata Kak Arta, digodain cowok itu ternyata serem juga!

Selama ini, Lala yang disegani murid-murid telah menjadi pawang pemagar suit-suitan itu. Charon jadi aman saat berjalan dengan Lala. Tapi sekarang...

"Hufffhh..." Charon menghela napas.

Gadis itu hanya bisa memain-mainkan ponsel yang tak terhubung dengan internet.

Bahaya, kata Kak Arta. Kita jaga-jaga aja biar papa kamu nggak bisa ngelacak.

Charon akhirnya memutuskan untuk bermain game Beruang Lucu yang diunduh beberapa waktu lalu. Gabut banget sumpah.

Akhirnya, bel masuk berbunyi.

Mata pelajaran keempat, setelah istirahat, adalah kelas Biologi Bu Siska.

"Baiklah class, hari ini kita akan belajar praktik di Lab. Biologi, segera bentuk kelompok berisi tiga anak, dan siapkan kertas catatan untuk menulis nama anggota kelompok kalian. Hari ini kita akan meneliti..."

Instruksi Bu Siska menguap sudah. Apa? Kelompok? Aaahhh, Ocha sama siapa dong???

Ditengah kepanikan internal, seseorang menepuk pundak Charon dari belakang.

"Hey, nama kamu Charon 'kan? Kenalin, aku Riva, dan ini Gill—Gillian. Kamu belum dapet kelompok kan?"

Charon memperhatikan gadis yang mengajaknya bicara. Riva, namanya?

Dia gadis berkacamata dengan hijab membalut kepala, dan wajahnya lumayan manis. Sementara cowok yang ditunjuknya tadi, Gillian, merupakan cowok yang juga berkacamata, bingkai tipis, dengan rambut acak-acakan, sepertinya baru bangun tidur.

Gill dan Riva tersenyum ramah.

"H-hai... iya, panggil aja Ocha." Charon mengangguk ragu-ragu.

"Oke Ocha, kamu mau nggak sekelompok sama kita?" ajak Riva seketika. Charon mengerjapkan mata, tak percaya.

"R-Riva mau ngajak Ocha?" ulang gadis itu.

"Iya. Kita kurang satu orang nih. Yah, walopun si Gill emang hobi tidur, awto jadi beban kelompok, tapi dia tetep diitung orang kok. Hehee." Riva menyenggol lengan Gillian yang sedang menguap.

"Kebiasaan rese' lo Riv," gerutu Gillian. "Cha, kalo sekelompok ama kita, siap-siap aja dibacotin terus sama Riva. Dia itu keliatannya doang pendiem, padahal—awwww, hahahah!" Ucapan Gillian tak tuntas karena Riva sudah mengacak wajah cowok itu duluan, membuat kacamatanya lengser dari hidung.

Charon tersenyum lugu memandangi kedekatan Riva dan Gillian. Duo kacamata ini sepertinya anak yang baik.

"Mmmm... Ocha mau, deh."

🌑

.

.

a / n

potret Riva dan Gillian.

Apakah mereka bakal jadi teman baru Charon?
Bisakah Charon sadar kalau teman di dunia ini nggak cuma Lala aja?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top