17 · Andromeda

Pluto menggeram dengan gemas saat memperhatikan Charon kelabakan membawa empat gelas minuman dingin. Gadis itu tampak berjalan goyah menuju sebuah store—Sephora.

Kok lo mau-maunya sih disuruh-suruh sama mereka, Cha? batin Pluto tak habis pikir.

Okelah kalau di sekolah, Lala berkuasa. Tapi ini udah di luar loh. Dan lagi, teman-teman Lala—geng elit SMA Andromeda, sependek pengetahuan Pluto—adalah orang-orang asing yang baru aja kenalan sama Charon. Kok gadis itu mau-mau aja disuruh-suruh sama mereka juga?

AAAAAAAGGGHHH CEWEK BODO, kutuk Pluto gemas. Rasanya dia ingin berlari dan menjitak Charon saat itu juga.

Cowok itu terus memperhatikan Charon ketika gadis itu tiba-tiba terpaku, memandang isi toko dengan tatapan beku. Satu detik. Dua detik.

Charon lantas memasuki toko dengan langkah hati-hati, menengok kanan-kiri.

Dia ngapain dah? batin Pluto bertanya-tanya.

🌑

Sumpah beneran, itu barusan kayak Papa!! pekik Charon dalam hati.

Matanya nggak minus, nggak juga silinder. Normal senormal-normalnya mata. Jadi barusan, nggak mungkin kan Charon salah lihat?

Pandangannya menyapu seisi toko. Dari rak eyeshadow, hingga rak eye primer. Sempat juga Charon melongok ke rak tempat tumpukan lip cream, tapi dia malah bersirobok dengan Lala dan teman-temannya.

"Eh Cha, udah jadi minumannya?" sambut Lala dengan semangat. Charon lantas menyodorkan plastik berisi empat minuman itu.

Tanpa berterima kasih, mereka mengambil minumannya masing-masing.

Hari berlanjut, dan Charon tidak lagi melihat tanda-tanda papanya di dalam toko Sephora, atau toko-toko lainnya.

Apa Ocha beneran salah liat, ya? Atau barusan itu... hantu??? batin Charon polos.

🌑

Unit apartemen Kak Arta dipenuhi kotak-kotak kardus yang tersegel selotip cokelat. Katanya itu barang-barang Mama Riris yang dikirim dari Bandung—barang di dalam closet mewah si mama.

"Gimana kata anak-anak Ursa Major di sana, Mbak Ris? Apa mereka ketemu sama Pak Theo?" tanya Kak Arta hati-hati.

Pasalnya, Mama Riris meminta bantuan beberapa agen Ursa Major yang berlokasi di kota kembang untuk mengirim harta berharganya, mengosongkan rumah lama mereka sebelum berpindah nama.

"Itulah anehnya, Ta... kata mereka, rumah dalam keadaan kosong. Theo nggak ada di sana." Mama Riris merobek satu selotip penyegel kotak, lantas mengeluarkan tas GUCCI dengan hiasan berlian perak.

"S-serius, Mbak?! Jangan-jangan bener dong, yang waktu itu ngikutin mobil Lala sama Och 'tuh Pak Theo?? Dia di Jakarta, Mbak!!" Kak Arta meracau setengah panik.

"Sudahlah, Ta. Tenang saja. Theo itu sedang dalam pengawasan pihak berwajib, dia kan bebas bersyarat. Kita fokuskan saja sama yang lebih urgent. Kamu sudah dapat kabar dari klien yang di Tasik itu?"

Kak Arta menggaruk kepala. "Kok malah ngomongin pekerjaan sih, Mbak? Itu Pak Theo gimana?"

Mama Riris memberi senyum menenangkan ke arah Kak Arta. 

"Ta... kamu nggak perlu panik, yang penting kita jangan gegabah. Pertama, kita selesaikan satu-satu dulu. Kemarin aku sudah ajukan gugatan cerai atas Theo, dan sedang diproses sama Pengadilan Agama. Nanti aku akan pastikan dapat hak asuk penuh atas Ocha, jadi keamanan dia terjamin seratus persen. Kalau itu sudah fix, segala usaha Theo untuk menyentuh Ocha—bahkan se ujung kuku pun, bisa kita tuntut sebagai kasus percobaan penculikan. Apa lagi Theo sudah ada rekam jejak kekerasan dalam rumah tangga kan? Hukumnya nggak main-main loh, itu, tentang perlindungan anak. Kamu tau sendiri kan?"

Kak Arta bungkam seketika, tak menyangka Mama Riris telah menyiapkan amunisi tempur sebegini rupa. Sementara Charon, terdiam dengan air muka keruh. Lagi-lagi Mama Riris nggak membicarakan rencananya dengan Charon. Cerai? Dari Papa? Hak asuh penuh? Penculikan?

"Oke deh, Mbak... maaf aku meragukan Mbak Riris. Insting seorang ibu ternyata lebih efektif, ya?" ucap Kak Arta. Mama Riris hanya tersenyum sambil membuka kotak lainnya—kali ini mengeluarkan sepasang sepatu boots Louis Vuitton beludru hitam.

Charon membolak-balik lembaran buku paket yang tidak dibacanya. Kepalanya penuh akan pikiran yang keruh, sedari tadi siang. Haruskan dia cerita pada Mama Riris kalau tadi dia sekilas melihat papanya—jalan dengan perempuan lain?

Nggak usah, deh, putus Charon. Kasihan Mama nanti tambah kepikiran.

Sembari berusaha memfokuskan otak untuk membaca—yang gagal total—Charon memperhatikan Kak Arta yang berkutat dengan laptop di meja makan, sepertinya mengerjakan slide presentasi untuk perusahaan barunya.

"Kak," panggil Charon. Sebuah pertanyaan muncul di benaknya.

"Hm?" jawab Kak Arta sambil mengetikkan sesuatu pada tuts keyboard.

"Kak Arta yang bantuin mama Ocha cariin sekolah di sini kan?"

"Hmmm... he'em."

"Terus kenapa Kak Arta nyaranin Mama biar Ocha masuk SMA Magella? Kenapa bukan SMA Andromeda? Itu masih satu yayasan kan?"

Melihat Charon yang aktif bertanya, perhatian Kak Arta tersedot sepenuhnya.

"Wah, kamu tau tentang SMA Andromeda juga ya?" komentar Kak Arta.

Charon mengangguk menanggapi, sebelum Kak Arta memulai penjelasannya.

"SMA Andromeda itu 'adiknya' sekolah kamu, Cha. Mereka berdua sama-sama ada dibawah yayasan Bima Sakti Foundation, milik ayahnya Lala. Setau Kakak mereka punya sekolah mulai dari play group, TK, SD, SMP sampe SMA juga, dua itu. Sistemnya mereka itu... yah gimana ya Cha, mau dibilang perusahaan tapi bukan, bisnis juga bukan—tapi ya gitu, profitable juga ujung-ujungnya. Ah gitulah." Kak Arta tampak sedikit pusing. 

Charon juga mulai pusing. Dengar kata 'bisnis' aja telinganya langsung gatal.

"Intinya, Magella dan Andromeda itu sama-sama SMA swasta yang bagus, Cha. Cuma yang biaya SPP bulanannya paling masuk akal ya di Magella ini, di sekolah kamu. Kalo Andro itu SPP-nya bisa tiga-empat kali lipat. Maklum, sekolah elit, isinya anak-anak sultan semua. Eh, apa jangan-jangan kamu malah mau masuk ke Andromeda ya, Cha? Waduh..."

"Engga kok, Kak." Charon buru-buru menggeleng. "Ocha juga paham uang Mama sekarang terbatas. Ocha nanya ke Kakak karena cuma penasaran aja kok..."

Kak Arta lantas mengangguk. "Okelah kalo begitu."

Melihat Kak Arta yang kembali sibuk berkutat dengan PPT-nya, Charon mengurunkan niat untuk bertanya lebih lanjut. Gadis itu hanya diam beberapa saat, merangkai logika dari apa yang dia lihat seharian tadi.

Lala itu akrab banget sama anak-anak SMA Andromeda, kayaknya mereka udah sahabatan lama. Terus barusan Kak Arta bilang, yayasan Bima Sakti itu punya sekolah jenjang lain juga? SD, SMP? Apa jangan-jangan Lala satu sekolah sama temen-temennnya ya, pas SD atau SMP, tapi sekarang kepisah karena beda SMA? Hmmmm...

Charon menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Otaknya sedikit gatal.

Besok Ocha tanya langsung ke Lala aja deh, putusnya kemudian.

🌑

"La, kemarin itu, temen-temen Lala yang dari SMA Andromeda, si Friska, Loli, sama Aiden... Lala udah kenal lama, ya?"

Mendengar pertanyaan polos yang diajukan blak-blakan oleh seorang Charon, membuat Lala menaikkan satu alis seraya menyeruput es jeruknya. 

Saat ini jam istirahat, duo Charon-Lala sedang makan di kantin.

"Udah dari TK gua bareng ama mereka," jawab Lala sepintas.

"O... oooh..." Charon mengangguk paham. Sepertinya dugaannya cukup benar.

"Terus, kalian sekarang beda SMA?" tanya Charon kemudian, setelah Lala menelan tahu baksonya.

"Menurut lu?" balas Lala ketus.

Charon tak bertanya lagi kemudian. Dia menyibukkan diri mengunyah mie pangsit pesanannya.

Sepanjang hari itu, mood Lala sepertinya terjun drastis karena ditanya-tanya oleh Charon di kantin tadi. Sepertinya topik tiga anak SMA Andromeda itu merupakan hal yang sensitif bagi Lala.

Charon jadi sedikit kasihan sama Lala.

Dia seperti nggak punya teman sejati di sekolah ini.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top