16 · Misfit
Charon tersenyum. Minggu-minggu belakangan ini, semuanya perlahan kembali seperti sedia kala.
Ternyata benar, jika Charon dan Pluto menjaga jarak—tak saling pandang, cuek bebek ketika papasan, dan sepenuhnya mengabaikan eksistensi satu sama lain—maka Lala kembali jadi baik.
Meskipun Charon kerap merasakan sensasi pahit pada amigdala kepala tiap kali mengabaikan Pluto yang jelas-jelas mengabaikannya, tapi gadis itu berusaha untuk bertahan. Demi menjaga Lala tetap menjadi temannya, Lala yang baik.
Ya, 'baik' dalam artian tidak membentak-bentak. Masih sedikit menyuruh, dan setidaknya, masih mau 'mengerjakan' tugas dan pe-er bersama Charon, alias numpang menyontek di bangku Charon. Itu lebih baik daripada menyuruh Charon mengerjakan pe-er Lala 'kan?
Intinya, menjauhi Pluto adalah tiket untuk Lala mau berteman dengan Charon. Charon sedikit sadar—dan berusaha untuk tidak denial, kalau pertemanannya dengan Lala ini 'bersyarat'.
Entah apa motifnya, apa alasan Lala, tapi yang Charon tau, ya begitulah adanya.
Kadang Charon bertanya-tanya, kenapa?. 'Kenapa' yang hanya tersimpan dalam pikiran saja, beserta beberapa paket jawabannya : mungkin.
Mungkin Lala beneran sayang sama Ocha, pikirnya.
Mungkin Pluto beneran nggak baik buat Ocha.
Mungkin Lala naksir Pluto? Ahhh nggak mungkin! Entah kenapa Charon tidak terima dengan pemikiran barusan.
Begitulah, ditambah beberapa 'mungkin-mungkin' lain yang juga menghantui lamunan Charon. Bagaimanapun, gadis itu tetap berpegang teguh pada realita. Baiknya Lala adalah hilangnya Pluto. Dan Charon harus mulai terbiasa.
"Cha," panggil Lala, membuyarkan lamunan Charon siang itu.
"Ya?"
"Ntar habis pulang sekolah mau ikut ngemall, nggak?" tawar Lala.
Sudah beberapa hari ini Lala mengajak Charon pergi jalan-jalan. Cewek itu butuh hiburan.
"Mau!" jawab Charon girang. Sepertinya dia juga butuh hiburan.
🌑
Pluto mengumpat pelan ketika melihat mobil merah Lala berbelok ke dalam parkiran mall. Cowok itu menepikan motornya di pinggir jalan, menimbang-nimbang.
Masuk, engga, masuk, engga...
Ya. Seorang Pluto Sol Aditya sedang ber-cosplay menjadi penguntit. Thanks to permintaan Kak Arta tempo hari—ditambah otaknya yang sering tiba-tiba overthinking, membuatnya menjadi hyper-sensitif akan keamanan Charon, gadis yang eksistensinya dia 'abaikan'.
Biasanya, tiap pulang sekolah Pluto kerap menunggu mobil sport Lala—yang juga ditebengi Charon—menderu keluar dari lapangan SMA Magella. Cowok itu lantas mengikuti mobil Lala hingga sampai ke area gedung apartemen Charon. Toh sejalan juga sama gue pulang, begitu pikirnya.
Tapi hari ini beda. Mobil sport merah itu berbelok ke jalur yang tak biasa. Dipupuk rasa curiga, akhirnya seorang Pluto ikut belok juga.
Ditambah lagi, dua minggu belakangan ini Pluto sering melihat mobil hitam dengan kaca film super gelap, menutupi total siapa dan apa yang berada di dalamnya, berplat nomor 'D' asing yang sering parkir di seberang jalan menuju gerbang SMA Magella.
Anehnya lagi, mobil itu biasanya langsung hengkang ketika mobil sport merah Lala sudah keluar parkiran. Dan hari ini, mobil hitam itu nggak ada.
Pikiran Pluto langsung saja menjurus pada perkataan Kak Arta;
"... papa si Ocha itu orang yang abusive, Pluto."
Pluto menggelengkan kepala, kembali pada realita. Maka sekarang, di sinilah dia, dekat perempatan lampu mera—menimbang-nimbang harus bagaimana.
Anjrit lah, makin lama gue mikir, makin ilang tuh anak dua! batin Pluto sambil menarik gas motornya, memasuki parkiran mall.
Saat memasuki area mall yang berpendingin, Pluto mulai merasakan was-was yang abnormal. Familiar dan tak nyaman. Segera, cowok itu melangkah ke apotek Guardian di lantai dasar.
"Mbak, masker wajah satu, sama..." Pluto berpikir sejenak. "Inhaler-nya satu."
Tanpa penyesalan, siang itu Pluto merogoh kocek sebanyak seratus lima puluh ribu rupiah. Dipasangnya surgical mask berwarna hijau mint dengan gerakan asal. Asal mukanya tertutupi.
Cowok itu jengah karena wajahnya dipandangi orang yang lalu-lalang sedari tadi. Dasar manusia-manusia siwer yang matanya nggak sopan! kutuk Pluto dalam hati.
Sambil menggenggam inhaler berisi 100 miligram Salbutamol Sulfate di dalam saku jaket, Pluto melangkahkan kaki dengan lebih yakin.
Mungkin karena efek masker yang menutupi separuh wajahnya, menyembunyikan identitas sekaligus mengurangi perhatian publik, atau karena dia sudah sedia senjata perang : Salbutamol Sulfate yang efektif melonggarkan otot bronkus sehingga melegakan jalur pernapasan kalau-kalau asma terpendam Pluto kambuh karena panic attack dadakan, yang jelas cowok itu jadi merasa—sedikit—lebih nyaman, membaur dalam keramaian. Sedikit.
Harus Pluto akui, mencari sepasang gadis berseragam SMA di tengah-tengah mall ibu kota itu bagaikan mencari benang dalam tumpukan jerami. Hampir mustahil.
Tapi entah bagaimana, feeling Pluto mengatakan dia akan bisa menemuka Charon, dimanapun gadis itu berada.
Seperti ada gravitasi imajiner yang menuntun langkah kaki Pluto, membawa cowok itu berjalan dengan yakin menuju lantai tiga.
🌑
Di lantai tiga...
Rupanya Lala sudah janjian dengan beberapa teman-temannya. Tiga gadis berseragam sekolah senada yang datang dan mengerumuni Lala. Mereka cipika-cipiki dengan girang.
Charon memperhatikan. Hari ini hari Rabu, jadwalnya seragam almamater yang wajib digunakan oleh pelajar—khususnya pada sekolah swasta, seperti SMA Magella.
Seragam mereka—teman-teman Lala—agak sedikit mirip dengan SMA Magella. Bedanya, jika warna biru tua yang pekat bermotif kotak-kotak terpasang di rok Lala dan Charon, maka biru muda telur asin dengan motif kotak senada tampak menghiasi seragam tiga teman Lala.
Setelah beberapa detik lupa akan eksistensi Charon, Lala akhirnya melirik gadis itu.
Dengan setengah hati, Lala memperkenalkan teman-temannya pada Charon.
"Ini Friska, anaknya Wakil Gubernur yang sekarang lagi ngejabat. Trus yang ini Loli, adiknya Leon, penyanyi yang lagunya lagi hitz itu. Yang ini Aiden, anak tunggal Kepala Sekolah SMA Andromeda, sister-nya kita, satu yayasan."
Charon mengangguk-angguk paham. Oooh jadi mereka ini anak-anak SMA Andromeda? Satu yayasan, katanya? Pantes aja seragam mereka mirip-mirip beda sama SMA Magella, batin Charon.
"Semuanya, ini Ocha. Dia... temen sekelas gua." Lala memperkenalkan Charon sekilas.
Charon tersenyum kikuk. Entah mengapa dia mendadak merasa seperti seorang misfit. Nggak tepat. Rasanya kayak nggak berada di tempat yang seharusnya, atau dengan orang-orang yang semestinya.
Mungkin karena teman-teman Lala adalah golongan elit ibu kota? Atau karena mereka kelihatan sangat gaul? Atau mungkin, mereka terlihat sangat dekat dengan Lala, terlepas dari perbedaan seragam—dan Lala tampak benar-benar akrab dengan mereka. Lala dan teman-temannya tampak senada, sefrekuensi.
"Okeh, kalo gitu kita langsung jalan aja yuk? Gue haus nih, pengen boba." Friska si anak Wagub DKI Jakarta mulai bicara.
"Yuk yuk, mau mau." Loli si adik artis menyahuti.
"Eh, tapi liat deh... antriannya panjang banget!" Aiden, putri Kepsek SMA Andromeda menunjuk dengan bibir mengerucut.
"Ahhh iya! Kesel bats. Kenapa harus rame gitu sih?!" Lala berdecak tak sabar.
Outlet minuman 'Teh Waktu' yang dikerubungi pembeli itu membuat gerutuan Lala dan kawan-kawannya—minus Charon—kian menjadi. Tampaknya para bangsawan ini tidak terbiasa berbaur dengan rakyat jelata.
"Cha, lu mau nungguin antrian buat kita-kita, nggak? Biar kita bisa jalan dulu. Lagi pada ngincer item baru di Sephora, nih," ucap Lala tiba-tiba.
Charon menoleh dengan cepat. Ada sekitar tujuh orang yang mengantri di barisan konter 'Teh Waktu'.
"Boleh," gumam Charon pelan.
"Nah, sip! Gua mau green tea latte-nya. Pake topping sea salt yak!" Lala menyebut pesanannya dengan cepat, seiring matanya jelalatan melihat jejeran store yang menanti untuk dikunjungi.
Charon buru-buru mengeluarkan ponselnya untuk mencatat, biar nggak lupa.
"Gue hazelnut choco milk tea," ucap Friska si anak Wagub.
"Apple milk tea pake boba!" Loli si adik artis menyahut.
"Gue authentic thai tea deh, polos gapake topping." Aiden si anak Kepsek Andromeda menutup.
"Oke," ucap Charon pendek seraya sibuk mengetik, melepas Lala dan kawan-kawan masuk ke salah satu store di seberang hallway.
Sekilas Charon bisa menangkap celetukan disela-sela tawa mereka.
"Pinter juga lo bawa babu, La."
Jemari Charon berhenti sedetik. Dadanya berdenyut, sakit.
🌑
Selama 17 tahun menghirup udara bumi, Charon telah diajari banyak hal oleh Mama Riris.
Ocha harus selalu bersikap baik sama orang, karena orang akan baik juga sama Ocha.
Ocha harus membantu tanpa pamrih. Jangan lupa bilang tolong, maaf, dan terima kasih.
Tapi kok realitanya begini amat, ya?
Charon nggak paham. Gadis itu selalu bersikap baik—dan biasanya selalu berbuah baik juga, tanpa pikir panjang kalau ada manusia di bumi ini yang bisa saja bersikap semena-mena. Nggak baik.
Babu, ya? Jadi selama ini mereka mandang Ocha begitu, pikir gadis itu, sedih.
Mendadak, Charon rindu teman-temannya di Bandung.
Rindu kemana-mana bersama, dengan satu, dua, atau lima anak dari kelasnya. Ngantri di kantin bareng, beli thai tea pinggir jalan bareng, makan bakso bareng, ke kamar mandi bareng.
Nggak ada satu anak yang ditinggal untuk nungguin spot meja atau antrian. Nggak ada yang jadi tumbal.
Mereka anak-anak baik. Baik yang benar-benar baik.
Meskipun mereka bukan anak pejabat, artis, atau birokrat, tapi mereka selalu baik pada Charon, nggak pernah perhitungan dan mandang status.
Yah, apanya yang harus dipandang juga? Papa Charon cuma seorang pekerja kantoran—walaupun tinggi jabatan, yang jarang punya waktu untuk Charon dan mamanya. Mama Charon adalah sosialita yang hobi belanja, ngabisin gaji Papa. Kayaknya nggak ada yang bisa dibanggakan dari itu semua.
Dan memang pada dasarnya, kebanggaan nggak jadi tolak ukur dalam pertemanan Charon di Bandung. Mereka berteman karena memang mereka mau.
"Kak, ini pesanannya sudah semua." Suara pramuniaga 'Teh Waktu' membuat Charon buru-buru menghampiri konter.
Satu, dua, tiga, empat... ah, Ocha lupa beli minum buat Ocha sendiri.
Tapi gadis itu udah nggak mood. Kayaknya semua minuman lucu-lucu yang dia sedot bakal pahit rasanya.
Charon memutuskan untuk membawa plastik berisi empat pesanan geng bangsawan menyebrangi hallway, menuju store dimana Lala cs terlihat masuk beberapa menit lalu.
Kalo nggak salah mereka masuk sini? Tempat mekap-mekap... Sephora? Charon mengeja tulisan di atas pintu masuk.
Gadis itu berpikir untuk mengeluarkan ponselnya, menghubungi Lala.
Namun ditengah kesibukan Charon mengaduk saku seragam, matanya menangkap sekelebat sosok yang familiar—yang membuat jantungnya hampir copot!
Cuma sekelebat. Dari belakang.
Tapi dari potongan rambutnya, cara jalannya, sampai cara kemeja ditekuk sepertiga lengan, Charon bisa mengenali tubuh itu kapan saja.
Gadis itu sudah hafal, pada sosok lelaki paruh baya yang melenggang memasuki Sephora sambil melingkarkan lengan di pinggang perempuan muda—menghilang dibalik rak foundation.
Papa??
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top