06 · Maaf
Dari awal hari pertama masuk SMA Magella, Charon sudah merasa kalau Pluto itu bukan siswa baik-baik. Dia anak bermasalah.
Tuh, liat aja baju seragamnya yang nggak pernah rapih. Rambutnya panjang nutupin dahi, tasnya kempis nggak ada isi. Pluto ke sekolah bawa buku pelajaran ato bawa beban hidup sih?
"Jangan diliatin terus, Cha. Bawa sial." Lala duduk di sebelah Charon sambil meminum es Mutrisari. Pagi-pagi dah minum es aja ni anak, batin Charon.
"Si Pluto maksud kamu, La?" tanya Charon sambil kembali memperhatikan sosok yang berjalan melewati lapangan basket.
Pluto tampak tak peduli dengan sekitarnya.
"Ya sapa lagi yang lu pelototin dari tadi," balas Lala seraya lanjut menyedot es.
"Hmmm."
"Lu naksir ama dia, Cha?" tembak Lala tiba-tiba. Charon tersentak seketika.
"Hah? Nggak lah..."
"Beneran nggak 'kan?" desak Lala.
"Sumpah, La. Aku tuh cuma... penasaran." Charon merenungkan kalimatnya sendiri. Iya, cuma penasaran.
"Jauh-jauh dari Pluto, Cha. Dia ngga baik buat lu."
Charon menoleh ke arah Lala, membaca ekspresi wajah cewek itu.
"Kenapa?" tanya Charon. "Apa dia ketua geng motor? Suka tawuran dan hobi berantem?"
"Nggak-nggak, bukan itu Cha. Ah, lu kaga tau aja SMA Magella tuh sekolah paling ketat se-Jabodetabek. Guru olahraga disini aja mantan tentara. Gak mungkinlah ada berandalan yang betah sekolah disini."
"Oooo... terus, kenapa? Kenapa Pluto harus dijauhi?"
Lala menghela napas, lalu cewek itu mencondongkan badan untuk membisiki Charon. Charon ikut merunduk.
"Dia itu punya penyakit jiwa. Nggak normal," desis Lala di telinga Charon.
"Dia psikopat??" desis Charon ngeri.
"Yah--nng, nggak psiko juga sih. Ah semacam itu lah, ribet. Pokoknya dia nggak bisa sosialisasi kayak kita-kita yang normal ini. Pokoknya jauh-jauh ajalah dari dia!"
"Gitu ya..." Charon menggumam sebentar, nggak sepenuhnya percaya dengan perkataan Lala.
Charon sadar, kalimat Lala itu berisi hasutan yang nggak baik. Cuman Charon nggak mau ngebantah atau nyakitin hati sahabat barunya itu. Charon yakin Lala punya alasan tersendiri.
"Kemarin aja dia udah berlaku semena-mena sama lu. Dia hutang permintaan maaf, ya nggak sih?" ucap Lala serius sambil menyedot habis esnya.
"Iya sih... cuma kayaknya mustahil orang kayak Pluto bisa punya inisiatif untuk minta maaf," gumam Charon asal.
"Mau taruhan?" tantang Lala.
"Hm?"
"Kalo Pluto dateng minta maaf ke elu, lu harus kerjain pe-er gua selama satu semester. Deal?"
"Eh... La, Ocha kan nggak pinter..."
"Tapi lu rajin! Dah lah, samain aja sama pe-er lu, tinggal nyalin doang 'kan? Gimana, deal?"
"Itu..."
Kriiingggg!!
Bel tanda masuk mendadak berbunyi.
"Oke aja ya Cha? Oke. Gua deal-in nih!" Lala menjabat tangan Charon tanpa diminta.
"T--tapi La..."
"Yuk ah masuk kelas," ajak Lala kemudian.
🌑
Tidak seperti biasanya, kelas XII IPS 4 sunyi. Ternyata Pak Suryadi sedang mengajar Geografi. Guru killer itu sukses mengintimidasi kelas terparah di SMA Magella menjadi kondusif sedemikian rupa.
Pluto ngantuk. Suara Pak Suryadi yang lantang dan tegas, lama-lama bisa terdengar seperti ASMR nina bobo juga. Ah, mungkin otak Pluto saja yang sudah lelah.
Semalam, Pluto nyaris begadang membereskan berkas-berkas 'penelitian' Kak Tami yang berserakan di kantor almarhumah Bunda. Ruangan itu kini disulap menjadi gudang arsip, hasil buah tangan Kak Tami. Kakaknya itu sukses mengambil alih kuasa atas ruangan favorit Pluto, dan Pluto tidak keberatan. Dia rasa, Kak Tami lebih membutuhkan ruangan itu untuk saat ini.
"... tempat sentral dan daerah yang dipengaruhinya itu komplementer, dan pada dasarnya dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu hirarki 3 (K=3), hirarki 4 (K=4), dan hirarki 7 (K=7)..."
Suara Pak Suryadi yang menjelaskan teori Tempat Sentral Walter Christaller mengiring kesadaran Pluto yang perlahan mulai mengambang.
Cowok itu berusaha menahan kepalanya yang mulai terantuk-antuk. Untungnya, Pluto duduk di bangku paling belakang, sehingga luput dari pandangan elang Pak Suryadi.
Zzzzzzzzz—KRIIINGGGG!!
Bel istirahat memekakan telinga. Pluto terjaga seketika.
Sialan, bakal pusing nih gue, umpat Pluto sambil memijit pelipisnya. Dibangunkan dengan cara tiba-tiba oleh suara nyaring memang kerap membuat Pluto mengalami migraine.
Pluto mengemasi buku paket Geografinya. Dia berencana menenangkan diri di rooftop, sendirian.
"Stop."
Sebuah suara menghentikan gerakan Pluto yang hendak bangkit. Cowok itu terduduk kembali di bangkunya.
"Mo apa lo?" sinis Pluto saat melihat siapa yang berdiri di hadapannya.
Adik kelas yang berani dan berkuasa, dengan status sebagai anak pemilik SMA Magella. Dialah Amira Leilani—Lala.
"Lu hutang permintaan maaf sama Ocha," ucap Lala lugas tanpa buang tempo.
Pluto terkekeh pelan. "Kenapa?"
"Lu udah bikin dia cedera. Nih," Lala kemudian menyodorkan layar ponselnya, menampilkan gambar pergelangan tangan Charon yang berhias luka memar membiru, yang diambil saat Lala mengobati Charon di UKS tempo hari.
Pluto meraih iPhone itu dan memperhatikan foto tersebut.
"Ini..."
"Ya, itu karena lu, Pluto. At least you can do ya minta maaf langsung sama Ocha."
Pluto membeku di kursinya. Disodorkannya kembali iPhone milik Lala.
"Kenapa? Nggak mau lu? Apa begini didikan orang tua lu, Pluto? Mereka membesarkan anak yang nggak bertanggung jawab??" cecar Lala.
"Gak usah bawa-bawa orang tua gue, La," desis Pluto perlahan.
"So? Buktiin omongan gue salah. Minta maaf sama Ocha."
🌑
"... selanjutnya, kita masuk ke materi kasus dominasi tidak penuh, atau biasa dikenal dengan intermedier. Persilangan pada kasus intermedier terjadi apabila sifat dari kedua gen sama-sama kuat. Jadi, tidak ada gen yang bersifat dominan ataupun resesif. Sampai sini paham?"
"Paham Bu..." jawab seisi kelas.
"Ocha nggak paham, Bu." Charon mengacungkan tangannya ke udara.
Bu Siska yang saat itu sedang mengajar Biologi tersenyum dengan sabar. Murid baru yang diajarnya itu sungguh polos, namun jujur dan mau belajar.
"Nggak pahamnya yang di bagian mananya, Charon?" tanya Bu Siska.
"Itu... emmm..." Ocha bahkan nggak tau mana yang Ocha nggak paham, Bu.
"Mulai dari persilangan Monohibrid, paham?" pancing Bu Siska.
Charon mengangguk.
"Hukum Mendel satu? Kasus dominasi penuh?"
Charon menggeleng.
"Oke... kalau gitu kita ulangi mulai dari Hukum Mendel satu. Class, buka kembali halaman 48..."
KRIIINGGGG--KRINGGGG!!
Bel pulang sekolah melepaskan napas lega dari murid-murid XI IPA 1. Bu Siska sontak mengecek arloji yang terlingkar di tangannya.
"Baik, karena waktu kita sudah habis, untuk sisa materi siang ini akan Ibu lanjutkan di pertemuan berikutnya. Tugas untuk kalian kerjakan di rumah; silahkan selesaikan latihan soal esai pada halaman 52, sekaligus buat rangkuman mengenai persilangan Dihibrid dan Hukum Mendel dua."
"Baik Bu..." jawab penghuni XI IPA 1 serempak.
"Khusus untuk Charon, silahkan kamu baca ulang materi hari ini di buku paket. Disitu ada penjelasannya semua. Mengerti?"
"Iya, Bu," jawab Charon. Aduh otak, kenapa kamu lemot sih.
Kelas bubar dengan cepat. Charon masih mengemasi buku-bukunya saat Lala berbalik menghadap belakang dari kursinya.
"Cha," panggil Lala. "Gua kebelet pipis. Mau ke toilet bentar. Tunggu sini yak."
"Nggak mau Ocha temenin, La?" tawar Charon.
"Ga usah. Lu duduk manis aja, sekalian baca-baca materi tadi tuh yang disuruh Bu Siska."
"Iya deh," patuh Charon yang urung memasukkan buku paket Biologi.
Lala benar, kalau mau pintar, Charon harus mau belajar.
"Bentar ya Cha!" pamit Lala sambil menghambur keluar kelas.
Charon menekuri kalimat rumit di atas buku paket Biologi dengan alis berkerut. Judul bercetak tebal 'Persilangan Monohibrid dan Dihibrid pada Hukum Mendel' itu sukses membuat Charon pusing tujuh keliling.
"Mendel satu segregasi, Mendel dua asortasi," gumam Charon dengan nada yang berulang. Gadis itu berusaha menghafalkan inti materi pelajaran siang ini.
"Mendel satu segregasi, Mendel dua asortasi..."
"Mendel satu segregasi, Mendel dua asortasi..."
"Mendel satu segregasi, Mendel dua asortasi..."
Charon mengulang-ulang mantra itu sambil memejamkan mata. Sepertinya dia sudah mulai hafal. Gadis itu berkonsentrasi sambil menelungkupkan wajah di atas meja.
"Mendel satu segregasi, Mendel dua asortasi..."
"Mendel satu segregasi, Mendel dua asortasi..."
Disela-sela merapalkan mantra tanpa putus, Charon merasakan ada sesosok tubuh jangkung yang mendekati bangkunya. Gadis itu mengangkat wajah, dan terkejut luar biasa saat melihat siapa yang berdiri disana.
"Pluto?" Hafalan segregasi dan asortasi itu menguap seketika.
Cowok itu mengangguk terpatah.
Seperti biasa, dandanannya acak-acakan. Seragamnya berantakan. Tasnya entah kemana, padahal ini sudah lewat jam pulang.
Pluto memandang sekitar rengan rikuh. Nggak banyak sisa anak penghuni XI IPA 1 yang tersisa, hanya tinggal satu-dua anak yang siap meninggalkan kelas. Sebagian besar dari mereka sudah pulang dengan kecepatan kilat ketika bel berbunyi.
"Gue..." Pluto membuka mulut. Charon memperhatikan.
"... mau minta maaf."
Kalimat itu terlampau lirih di mulut Pluto, tapi Charon bisa menangkap gerakan bibirnya. Pluto minta maaf?
"Kemarin gue udah keterlaluan narik lo dari kantin, sampe tangan lo cedera," lanjutnya seraya meletakkan sebatang lollipop cokelat secara asal di atas meja Charon.
Charon coba menangkap mata cowok itu, menguncinya dalam pandangan. Mata Pluto berlarian. Cowok itu tampak tidak nyaman berada disini, jelas ingin cepat-cepat pergi.
"Nggak apa-apa, Pluto. Bukan salah kamu." Charon tersenyum.
Pluto kini balas menatap Charon, tajam. Pandangannya menusuk, membuat Charon bergidik seketika. Matanya tajem banget.
"Gue paling nggak suka sama orang kayak lo," celetuk Pluto tiba-tiba. Charon terdiam dalam kagetnya.
"M-maksud kamu?" Charon terbata.
"Orang yang denial. Jelas-jelas kenapa-napa malah bilang nggak apa-apa. Jelas ini salah gue, malah bilang bukan. Munafik," desis Pluto. Sejenak Charon membatu mendengarnya.
"Pluto," panggil Charon, mencoba tenang dengan tersenyum. "Aku cuma mau jujur. Karena nyatanya memang ini bukan salah kamu. Tangan aku memar udah dari beberapa hari yang lalu."
"..." Cowok itu bungkam. "Oh."
"Tapi makasih ya, udah minta maaf. Itu nunjukin kalo ternyata kamu orang yang baik, Pluto."
"Lo terlalu cepet nilai gue," tukas Pluto.
Charon menggeleng. "Kamu kesini aja udah nandain kalau kamu juga punya hati, masih bisa peduli."
"Terserah lo." Pluto membalikkan badan.
Kelas sudah kosong melompong, menyisakan Charon yang memandangi punggung Pluto yang mulai melangkah pergi.
"Semua orang membawa luka, Pluto. Mungkin punyaku kelihatan fisiknya, tapi aku tau yang lebih sakit itu luka yang nggak kelihatan."
Kalimat Charon membuat Pluto menghentikan langkahnya. Cowok itu berbalik.
"Luka?" ulangnya.
"Iya." Charon mengangguk. "Aku yakin kamu pasti paham."
Pluto tampak berpikir sejenak sebelum menjawab. "Mungkin."
Lalu cowok itu berbalik, pergi.
Charon melepas kepergian Pluto dengan memandangi punggung cowok itu hingga menghilang keluar kelas, lalu perhatiannya tersedot pada 'cinderamata' yang ditinggalkan Pluto di atas mejanya. Cake pops cokelat berbentuk lollipop. Charon tersenyum seraya meraih kudapan manis itu.
Sementara itu, dibalik daun pintu, seseorang berdiri diam—mendengarkan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top