05 · Minimarket
Petang menjelang di apartemen Kak Arta, dimana Mama Riris dan Charon menumpang sementara. Mereka baru tiba ketika mentari menggulir ke barat, akibat terjebak macet Jakarta. Tipikal.
Tempat ini merupakan hunian satu kamar tidur dengan dapur terbuka dan kamar mandi tunggal, serta ruang tengah yang berhadapan dengan TV.
Charon dan Mama Riris biasa tidur di depan TV saat malam hari. Charon tidur di sofa, smementara Mama Riris menggelar kasur lipat di lantai berkarpet.
Kak Arta merupakan seorang agen properti yang handal. Tapi, pekerjaan sebagai agen properti hanyalah kerja paruh waktu bagi Kak Arta. Pekerjaan sesungguhnya Kak Arta adalah pengangguran, yang sedang sibuk mencari pekerjaan tetap. Unik memang.
Di apartemen ini, Kak Arta tadinya tinggal seorang diri dengan seekor kucing belang hitam bernama Macican.
Charon suka kucing, atau anjing, atau burung, semut, belalang, kecoa. Charon suka semua hewan. Tapi Mama Riris kerap melarang Charon membawa hewan-hewan sembarangan masuk rumah.
Makanya, Charon betah di tempat ini. Dia bisa mainan sama Macican si kucing lucu.
"Aku dapet kabar, kalo perusahaan induk Cokro udah ngerekrut Pak Theo lagi, Mbak. Katanya mereka memang butuh dia. Pak Theo begitu-begitu jari 'juru kunci' di perencanaan finansial Cokro," Kak Arta memulai, sementara Mama Riris mendudukkan diri dan menyelonjorkan kaki di depan TV.
"Yah... aku nggak pernah paham sama kerjaan dia di perusahaan Cokro-cokro itu sejujurnya, Ta. Tapi yang aku dengar dari koleganya, memang dia orang yang bisa diandalkan. Miris ya, kalau kamu lihat bagaimana dia memperlakukan kami..."
Charon tidak lanjut mendengarkan diskusi Mama Riris dan Kak Arta. Gadis itu berjalan ke arah dapur dan sibuk mencari seekor Macican.
"Macici... puss, dimana kamu?"
Suara eongan menyahut dari atas kulkas. Hewan berbelang itu dengan lentur melompat ke atas meja counter, tepat di hadapan Charon.
"Macucuuu!! Ocha kangenn!!" Charon buru-buru memeluk si kucing jinak. Kak Arta yang melihat dari ruang tamu kemudian berteriak ke arah Charon.
"Chaaa! Belom dikasih makan tuh si Macican dari siang. Kamu kasi makan, gih," perintahnya. Charon mengangguk dengan senang hati.
"Mam-mam yuk, Macicu..." ajak Charon sambil membuka lemari kabinet tempat makanan kucing disimpan. Macican mengeong dan mengitari kaki Charon seketika.
"Kenapa namanya Macican, Kak Arta?" tanya Charon pada hari pertama mereka tiba.
"Soalnya dulu Kakak nemuin dia di parkiran, masih kecil, kurus, penyakitan. Wajahnya mirip macan, lucu, dan kasian. Jadi deh, Macican."
Charon mengingat sekilas percakapannya dengan Kak Arta. Tepat pada saat itu, Charon sadar kalau bungkus makanan yang berisi dry food si Macican telah kosong.
"Kak... makannya Macican habis ya?" tanya Charon sambil melambaikan bungkus kosong dari dapur.
Kak Arta menepuk jidatnya seraya menjawab, "Oh iya!"
"Beli di minimarket depan gih, Cha. Sekalian beli nasi goreng buat makan malam kita," usul Mama Riris sambil mengeluarkan dompetnya.
"Eh Mbak, jangan! Pake uangku aja," cegah Kak Arta buru-buru.
"Sudah Ta, nggak apa. Kamu udah bantu aku ngasi kerjaan dan tempat menumpang. Biarlah aku bayar makan malam kita dan Macican, ya?"
Dan Kak Arta pun nggak bisa mengelak. Dia hanya mengangguk. "Iya deh..."
Charon menerima dua lembar biru lima puluh ribuan dari dompet Mamanya.
"Ocha mau jajan juga, boleh Ma?" pinta Charon sambil mengantongi rupiah tersebut.
"Ck. Jajan terus. Yaudah boleh, tapi makan jajannya setelah kamu makan nasi, ya Cha," titah Mama Riris yang berbalas dengan pekikan 'yey' oleh Charon.
Gadis itu buru-buru mengenakan sandal jepit dan ngacir keluar.
"Eh, Chaa! Ganti baju dulu atuh!"
Terlambat. Pintu telah tertutup, Charon yang masih mengenakan seragam SMA Magella telah meninggalkan Mama Riris yang menggelengkan kepala.
🌑
Kediaman keluarga Aditya terletak di sebuah area perumahan elit di selatan Jakarta. Perumahan ini menyaru dengan gedung-gedung apartemen dekat pintu masuk utama, dan beberapa jejeran toko-toko serta minimarket tak jauh dari sana.
Pluto tiba di rumahnya dengan keadaan lelah. Remaja itu baru saja tiba ketika langit telah menurunkan senja. Pluto sengaja mampir ke makan orang tua mereka terlebih dahulu. Dia kerap melakukan itu tiap kali merasa rindu.
Setelah berganti baju, Pluto sengaja berhenti di depan sebuah pintu di lantai dua. Kamar Tami. Pluto bisa melihat pintu kamar itu tidak tertutup sempurna. Saat mengintip ke dalam, matanya disambut dengan suasana remang. Kak Tami tidak menyalakan lampu kamar. Terlihat tubuh kakaknya itu sedang berbaring memiring di atas kasur, menghadap jendela, membelakangi pintu.
Jantung Pluto sempat mencelos melihat kakaknya tak bergerak sama sekali. Namun Pluto memicingkan mata, memperhatikan dada kakaknya yang naik-turun tanda bernapas.
Masih hidup, batin Pluto bersyukur.
Pluto lalu beranjak ke dapur, melihat nasi dalam rice cooker masih utuh, sisa sarapan tadi pagi yang tak tersentuh sama sekali. Kak Arta tidak makan seharian.
Pluto menggeram kecewa.
Dibukanya tudung saji, mengecek sisa lauk. Terdapat beberapa serpihan sisa nugget yang telah habis di piring. Pluto lega seketika. Setidaknya, kakaknya sempat ngemil beberapa potong nugget. Tapi tetap saja, itu nggak cukup untuk nutrisi makan dalam sehari.
Pluto meraih sebuah teflon, meletakkannya di atas kompor. Cowok itu lantas mengambil dua butir telur dari dalam kulkas. Pluto berniat memasak telur dadar. Satu-satunya menu yang dia bisa.
Cklek--
Diputarnya tuas kompor, tapi apinya tak menyala. Pluto mencoba lagi.
Cklek--cklek...
Cowok itu sadar bahwa kompor mereka gasnya habis. Setengah mengeluh, Pluto menghentikan kegiatannya dan mulai melucuti gas 3 kilogram yang tersambung dengan kompornya. Dia harus menempuh jarak 200 meter ke minimarket depan komplek perumahannya untuk membeli gas.
Dulu, Pluto paling nggak peduli masalah seperti ini; gas habis, air galon habis, Kak Tami yang belum makan, tagihan listrik, internet, dan lain sebagainya. Mereka dulu punya Ayah dan Bunda yang mengurus semuanya.
Kini, Pluto sadar dia hanya punya Kak Tami. Mereka hanya punya satu sama lain, dan untuk saat ini, Pluto paham posisinya yang menjadi tumpuan keluarganya. Walaupun tanpa kata, remaja itu tau Kak Tami membutuhkannya untuk menjadi peka.
Sekilas Pluto melirik lagi kamar Kak Tami yang pintunya terbuka setengah, sebelum akhirnya pergi keluar rumah.
Minimarket itu lumayan lengkap. Ada kebutuhan sehari-hari seperti sembako, gas, galon, sampai minuman dingin dan snack berjejeran. Di depan minimarket itu juga terdapat beberapa pedagang makanan, kaki lima, dan odong-odong yang kadang ramai ditumpangi balita ditemani emak-nya.
Pluto memarkirkan motor, bersusah payah dengan satu tangan menenteng elpiji 3 kilogram. Pluto sudah mulai terbiasa, yang tadinya anti sekali keluar rumah, sekarang harus berani karena terpaksa.
"Selamat datang di mini-market, selamat berbelanja..." sambut sepasang pramuniaga saat Pluto membuka pintu. Tabung gas yang dibawanya menarik perhatian salah satu penjaga laki-laki.
"Mau beli gas ya Kak?" tanyanya. Pluto mengangguk. Pramuniaga laki-laki tadi lantas menghampiri Pluto, menerima uluran tabung kosong tersebut.
Semuanya tampak normal saja.
Pluto membayar di depan kasir, saat pintu berdenting terbuka kembali. Selewat Pluto bisa merasakan hawa seseorang yang familiar, ditambah gumaman suara berupa nada yang diulang berkali-kali.
"Makan pus makanan pus, makan-nya mpus Macican, makan Mama makan Kak Arta, makanan Ocha juga... Makan pus, makanan..."
Kalimat panjang yang dinyanyikan Charon membuat Pluto menoleh seketika.
Gadis berambut pendek itu masih mengenakan seragam sekolah—berjalan sambil lalu, tak memperhatikan sekitar karena fokus dengan pikiran dan dunianya sendiri, untuk kemudian meraih satu keranjang belanja sambil terus bergumam 'makanan pus'.
Pluto mengikuti Charon dengan matanya, melihat gadis itu berbelok menuju rak makanan hewan. Cowok itu menggeleng sesaat, mencoba tak ambil pusing akan kehadiran Charon yang entah kenapa bisa berada disana.
Bukan urusan gue dia mau belanja dimana juga, batin Pluto.
Saat keluar dari minimarket, Pluto kembali melirik ke dalam ruangan. Charon tampak menumpahkan isi keranjang belanjanya di atas meja kasir, dengan polos menyerahkan benda yang dipilihnya kepada pramuniaga satu-persatu. Gadis itu tampak membeli makanan kucing dan beberapa cemilan coklat. Sekilas Pluto melihat perban melilit pergelangan tangan Charon. Hatinya bertanya-tanya apakah itu merupakan perban di tempat yang sama siang tadi dia mencengkram tangan Charon.
Tanpa sadar, Pluto tersenyum tipis. Gadis itu begitu lucu dan polos.
Sepanjang perjalanan pulang, pikiran Pluto terganggu akan fakta baru yang ia pelajari; Charon bisa jadi tinggal di dekat sini, karena tadi dia sepertinya berjalan kaki. Charon punya kucing, karena tadi dia membeli makanan kucing. Charon sepertinya suka coklat, sebab tadi dia memborong berbagai snack rasa coklat. Tangan Charon terluka, semoga bukan karena dia. Dan... kalau menghafal sesuatu, mulut Charon bisa lepas menyanyikan apa yang harus dihafalnya. Lucu amat.
Lah, gue ngapain mikir ginian sih? ralat Pluto pada dirinya sendiri. Remaja itu lantas menggelengkan kepala, menyadarkannya kembali pada realita.
Pluto memasuki dapur rumahnya dan langsung memasang gas baru. Dia melanjutkan memasak telur dadar yang tadi sempat terjeda. Setelah selesai, Pluto kembali memasuki kamar Tami yang tidak terkunci. Kakaknya itu masih berbaring menyamping dengan posisi yang sama sekali tidak berubah.
"Kak, makan." Pluto meletakkan piring berisi nasi dan telur dadar di hadapan Tami yang berbaring memunggunginya.
"Pluto temenin Kakak makan disini," ucap Pluto sambil meraih piringnya sendiri, mulai menyuap di kamar hening Kak Tami yang temaram. Kakaknya masih tidak mau bergerak.
"Kak..."
"Kakak nggak laper, Pluto." Suara Tami lirih.
Pluto tidak berkata apa-apa lagi. Ia melanjutkan makannya sambil duduk di sisi ranjang Kak Tami. Mereka berdua saling menemani, ditengah sepi.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top