04 · Pergi

a / n

Soundtrack untuk bab ini :
♪ Terry — Di Persimpangan Dilema


🌑


"Emangnya kenapa sih, kita harus ngehindarin Papanya Ocha?"

Pertanyaan Lala itu membuat Mama Riris dan Kak Arta berbagi pandang sedetik, menimbang-nimbang.

"Jadi... Papanya Ocha itu lagi terlibat masalah hukum, Lala. Lebih baik, kalian jangan ada kontak dulu sama dia, kamu mengerti 'kan?" tutur Mama Riris diiringi anggukan Kak Arta. Lala tampak merenungkan fakta itu.

Sementara Charon menunduk sambil memperhatikan lengannya yang terlilit perban. Pikiran Charon terbawa menuju memori di malam ia mendapatkan luka itu.

2 malam yang lalu..

Udara Bandung dingin. Charon meringkuk dibalik selimutnya. Mama Riris membelai pipi putri semata wayang itu dengan sayang.

"Udah semua kan Cha?" tanya Mama Riris.

"Iya, Ma. Semua pe-er Ocha udah selesai."

"Cuci muka? Cuci kaki? Sikat gigi?"

Ocha terkikik. "Udah Ma..."

"Bagus. Night-night anak sayang."

"Night-night Mama sayang."

Mama Riris turun dari lantai dua, menuju kamarnya.

Wanita itu membuka pintu yang menampilkan walk-in closet gigantis miliknya, lemari penyimpanan berisi harta karun masa kejayaan, masa dimana seorang Iris Titania aktif sebagai anggota sosialita, fashionista yang hobi belanja. 

Lemari itu berisi jejeran baju, tas, sepatu dan aksesoris yang sebagian besar merupakan luxury brand, benda-benda bermerek seperti Louis Vuitton, Christian Louboutin, GUCCI, Prada, dan brand favoritnya—Hermès.

Sebagian etalase tampak kosong, sebab Mama Riris telah menjual barang-barang mahalnya secara online, menggunakan tagar 'preloved branded' di berbagai aplikasi sosial media.

Hal ini terpaksa ia lakukan sebab dalam setengah tahun terakhir, tak ada pemasukan nafkah sama sekali dari kepala keluarga yang seharusnya bertanggung jawab atas kelancaran ekonomi Charon dan Mamanya. Tentu saja, Pak Theo yang mendekam di penjara menimbulkan satu resiko yang harus Mama Riris tanggulangiwanita itu harus berusaha mencari pemasukan finansial secara mandiri. Dan inilah cara yang ia tau, menjual hasil 'lapar mata' semasa muda.

Sekilas Riris merenungkan keadaannya. Kenapa bisa begini? Sejak kapan dimulainya keruntuhan dalam rumah tangganya ini?

Riris mengingat-ingat. Pernikahannya dengan Theo saat dirinya berusia 20 tahun, merupakan keputusan yang diambilnya terlampau dini. 

Dulu ia merasa Theo yang lebih tua 3 tahun darinya sangatlah keren dan berwibawa, workaholic dan punya potensi untuk menjadi pekerja sukses. Setelah berkenalan dengan Theo selama tiga bulan, ia memutuskan untuk menerima ajakan pria itu untuk berpacaran serius. 

Theo yang komunikatif dan persuasif tak kesulitan meyakinkan keluarga Riris yang berasal dari kalangan atas, untuk mau melepaskan putri mereka satu-satunya. Hubungan mereka lancar-lancar saja hingga menginjak hari pernikahan. 

Riris ingat, pada saat ia memulai semuanya, Theo merupakan kepala cabang anak perusahaan Cokro Group kota Bandung. Semakin tahun, performa pekerjaan Theo semakin meningkat, jabatan pun turut terangkat, hingga Theo bisa di rekrut menjadi anggota direksi perusahaan inti Cokro, menjabat sebagai Chief Financial Officer, CFO.

Riris sadar, semakin tinggi jabatan Theo, maka semakin jauh ia dari keluarga kecilnya. Semakin Riris tidak mengerti akan suaminya, yang pulang semakin malam, business trip semakin sering, hingga temperamen yang semakin cepat meledak hingga tak segan bermain tangan. Mungkin itulah dampak harta dan tahta, ditambah fenomena 'puber kedua' di usia kepala empat. Kombo yang sempurna.

Riris merenungkan nasibnya. Wanita itu sadar ia kerap melampiaskan kekesalan dan frustasinya terhadap sikap Theo dengan cara berbelanja. Shopping therapy, katanya. Membeli barang baru yang bermerk memberinya kebahagiaan dan kepuasan tersendiri. Bahkan, Riris ingat, setiap dia dan Theo bertengkar, dia akan meluncur ke mall beberapa jam kemudian, melampiaskan kekesalannya dengan memborong barang mahal tanpa pertimbangan.

Riris tersenyum miris. Kini isi ruangan ini tampak bagaikan trofi simbol kegagalannya berumah tangga. 

Pelupuk matanya terasa hangat, buru-buru ia mengusap air mata sebelum menetes jatuh. Riris rindu sosok Theo yang dulu, yang peduli dan mencintai keluarganya. Riris sangat berharap suaminya akan kembali padanya dan berubah seperti sedia kala. Tapi dia tau, manusia tidak berubah semudah membalik telapak tangan. Terutama untuk kasus Theo. Mustahil. 

Untungnya sebelum terlalu larut dalam kegalauan, ponsel tipis dalam genggaman Riris berdenting. Sebuah direct message masuk, dari akun asing yang kelihatannya seorang wanitacalon pembeli!

ika.amalia89 : kak, sepatu LV yang sequin item masih ada?

Riris memeriksa barisan bawah rak sepatu. Ada. Sepatu hitam Louis Vuitton dengan heels 11 senti bertabur manik-manik indah. Riris ingat membeli sepatu ini seharga 11 juta rupiah. Sepanjang masa hidup sepatu ini, ia hanya sempat dipakai 3 kali

Riris mengetikkan balasan.

ristuff.preloved : ada kak, minat?

ika.amalia89 : mau dong. boleh nego?

ristuff.preloved : boleh. berapa?

ika.amalia89 : 3,5

Riris mengernyitkan kening. Dari harga 5 juta yang ia tulis pada caption postingannya, wanita ber-akun 'ika amalia' tersebut berani menawar sebegini rendah.

ristuff.preloved : belum boleh kak. kalau 4 aja gimana, mau?

ika.amalia89 : 3,8

"Alot pisan ni orang," gumam Riris.

Ditengah jemari bercat merah delima Riris yang menari di atas tuts keypad, ponsel itu berdering mendadak. Sebuah panggilan masuk.

Terpampang kontak bernama 'Teza', yang tak lain merupakan kuasa hukum suaminya. 

Dada Riris berdegup seketika. Ada apa ini?

"Halo..."

"..."

"K--kamu serius, Za? Kok bisa bebas??"

"..."

"Keringanan? Berkelakuan baik? Bullshit itu! Gimana bisa sampe begini sih? Terus sekarang dia dimana??"

"..."

Dengan tangan bergetar, Mama Riris menutup panggilan. Ia baru saja mendapat kabar bahwa suaminya berhasil bebas dari jeruji besi, sore tadi. 

Naluri menuntun Riris untuk meringkus semua keperluannya; ponsel, dompet, kunci mobil, surat-surat penting. 

Ia sempatkan melirik walk-in closet nya, berniat meringkus beberapa benda berharga yang mungkin masih bisa dijual. Tapi tidak, nanti saja. Dia harus segera membangunkan Charon.

"Seharusnya semua bisa baik-baik saja, tapi kenapa malah jadi kacau begini..." gumam Mama Riris ditengah langkahnya menaiki tangga.

"Ocha! Bangun, Nak. Kita harus pergi sekarang!"

Charon yang setengah tertidur mengedipkan mata. "Kenapa, Ma? Ocha ngantuk..."

"Ayo, Nak." Mama Riris menarik tangan putrinya. 

Kunci mobil telah digenggam, begitu juga dengan koperan baju dan tas-tas besar. Mereka mengisi bagasi mobil yang telah terparkir di depan pagar rumah.

"Kita mau kemana, Ma?" tanya Ocha, nyawanya telah genap terkumpul. Mama Riris tampak sibuk menjejalkan tas.

"Ocha nurut Mama aja ya, sayang. Kita harus pergi sekarang."

"Tapi kenapa?"

Belum sempat Mama Riris menjawab, sebuah taksi biru berhenti tepat di seberang jalan.

"Cha, masuk mobil!" perintah Mama Riris tegas.

"Tapi Ma..."

"MASUK!"

Langkah kaki berat menderap. Tubuh lelaki kekar dengan gumpalan otot tampak turun dari taksi tersebut. Pak Theo mengedarkan pandangan, dan emosi segera memuncak di kepalanya saat melihat Mama Riris yang buru-buru menutup bagasi mobil.

"Riris!" panggil suara Theo, seiring lelaki itu berjalan menuju mobil Charon dan Mamanya.

"Apa-apaan ini? Suami baru pulang, kau malah sudah mau pergi?" Theo segera mencengkram lengan Riris yang baru saja hendak membuka pintu mobil.

"Lepas!" bentak Riris.

"Berani kau sekarang? Bukannya menyambut suamimu, kau malah mau kabur? Hah! Kau pikir aku bodoh pula? Kau pikir aku tak tau kau mengajukan surat cerai tanpa sepengetahuanku? Kau mau hidup tanpa aku, hah, Riris?!" Theo menggertak wanita yang hampir menjadi mantan istrinya itu. Riris memberontak sekuat tenaga.

"Lepaskan kami, Theo," ucap Mama Riris tegas, namun tak bisa menyembunyikan getaran pada suaranya. Wanita itu sedikit gentar, sebab kenekatan yang sembrono bisa saja mengantar nyawanya melayang malam ini.

Semenjak malam yang menyebabkan Theo masuk penjara, pandangan Riris telah berubah seratus persen terhadap suaminya. Dia paham betul, lelaki di hadapannya ini adalah manusia berbahaya.

"Papa!!" Charon turun dari mobil dan menyerbu Papanya, menarik tangan Mamanya yang dicengkram dengan kuat.

"Ocha," panggil Theo seketika. Nada suaranya sedikit melembut.

"Kamu mau kemana? Nggak kangen kah Ocha sama Papa?" kali ini Theo menggenggam kedua tangan putrinya. Charon tampak membeku.

"Jangan kau libatkan putriku dalam hidupmu lagi, Theo. Sudah cukup kamu membuat hidup kami berdua menderita," ucap Mama Riris tegas.

Pak Theo mengabaikan. Perhatiannya tertuju lurus pada putrinya.

"Ocha mau kemana? Mama ada bilang apa sama Ocha?" Pak Theo mulai kuat menggenggam lengan Charon. Gadis itu mundur selangkah.

"Lepas, Pa..."

"Ocha berani ngelawan Papa?!"

Charon menggeleng dan mulai menangis.

"Jawab, Ocha!!" bentak Theo seketika. Mama Riris dengan cepat menarik lengan Charon hingga terbebas dari cengkeraman Papanya.

"Masuk mobil, Cha!" perintah Mama Riris tegas. Charon berlari ke sisi lain mobil.

Theo berdiri, berhadapan langsung dengan Mama Riris.

"Apa yang kau rencanakan, Riris?"

"Bukan urusanmu," jawab Mama Riris sambil membuka pintu mobil dengan cepat. Namun sesaat setelah Riris memasuki mobil, lengannya segera dicekal oleh Theo.

"Riris!" panggil Theo kasar.

"Lepas!" Mama Riris berusaha melepaskan cengkraman itu.

"Lepasin Mama, Pa," Charon menerjang dari sisi kursi. Tangan mungil gadis itu memukulkan tenaga sia-sia pada lengan Papanya.

Diluar dugaan, cakar Theo melepaskan lengan Mama Riris, namun segera meraih pergelangan tangan mungil Charon.

"Mama!" jerit Charon saat badan gadis itu sedikit tertarik ke sisi lain pintu. Tenaga Pak Theo tak setara dengan tubuh Charon yang ringan.

"Lepaskan, Theo!" pekik Riris sambil mendorong tubuh Theo kuat-kuat, meraih gagang handle pintu mobil, dan menghentakkannya kuat-kuat.

BRUAAGGGH!

"AAAAAAAAAAAAAAHHH!!" teriak Charon.

Pergelangan tangan gadis itu terhantam himpitan kuat pintu mobil, bersamaan dengan cengkraman tangan Papanya yang terlepas. Pintu mobil tertutup, Charon menangis tak tertahan. Sakit.

"Berhenti kalian!" Terdengar teriakan Pak Theo yang kini berlari ke arah depan mobil, berusaha menghalangi Mama Riris dari balik kemudi.

Mama Riris menggenggam kuat roda kemudi, dan dengan satu hentakan kuat menekan pedal gas dalam-dalam. Mobil melaju, lurus.

BRUKK.

Tubuh Pak Theo terpelanting ke pinggir jalan. Hantaman itu membuat Pak Theo tersungkur di aspal. Mama Riris terus menekan pedal gas dan memutar kemudi, meloloskan mobil itu berderum menjauh. 

Dari kaca rear view, tampak Pak Theo yang bangkit sambil memegangi lengan kirinya. Deruman mesin bergabung dengan tangisan Charon, mengiris hati Mama Riris, menembus langit malam. Tanpa terisak, Mama Riris pun ikut menangis.

"... Cha, Ocha. Heh, kok malah bengong. Temen kamu mau pulang nih," suara Mama Riris membuat Charon tersadar. Setitik air mata jatuh di tulang pipi Charon.

"Cha, kamu nggak papa?" tanya Kak Arta melihat Charon yang buru-buru mengusap pipinya dengan punggung tangan.

"He-eh, nggak papa kok. Lala udah mau pulang?" tanya Charon sambil mengalihkan perhatian pada Lala.

"Iya Cha. Ketemu besok di sekolah, ya?" jawab Lala.

"Iya," Charon mengangguk.

Charon, Mama Riris, dan Kak Arta melambai dari depan gedung Ursa Major, melepas Lala yang pergi dengan deruan mobil sport-nya.

"Ocha beneran nggak papa, sayang?" Mama Riris mengusap punggung anak gadisnya.

Charon mengangguk.

"Kita pulang juga, yuk?" ajak Mama Riris kemudian, diikuti anggukan Kak Arta bersemangat.

Charon mengangguk, lagi.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top