03 · Pulang

TRRIIINGGGG!

Bel pulang berbunyi dengan nyaring. Charon memasukkan buku paket Matematika kedalam tas punggungnya. Kepala Charon terasa sedikit pusing, efek habis berkutat dengan angka. Lala tampak melakukan hal yang sama.

"Cha, lu pulang sama sapa?" Lala memutar badan menghadap kursi Charon.

"Eng... dijemput Mama sih, harusnya. Eh iya, bentar, Ocha nyalain hape dulu." 

Gadis berambut pendek itu kemudian tampak sibuk mengaduk isi tasnya. Dikeluarkannya sebuah smartphone lipat berwarna ungu dengan tempelan stiker unicorn berhias awan dan pelangi.

"Lucu amat, galaxy flip kan itu?" komentar Lala saat melihat gadget yang digenggam Charon.

"Iya." Charon mengangguk. "Ini hadiah pas Ocha ulang tahun ke-17 kemarin."

Lala mengangguk-angguk. "Oooh."

Beberapa detik setelah ponsel Charon hidup, getaran notifikasi masuk secara beruntun.

57 missed calls, 14 messages.

'Ocha, kamu dimana?'
'Keluar sekarang.'
'Cha.'
'Ocha.'
'Charon.'
'Papa tunggu sampai kamu pulang.'
'Papa di depan gerbang SMA Magella. Cepat keluar.'

Tangan Charon bergetar. Tidak.

"Cha, lu kenapa?" suara Lala menyadarkan. Charon gelagapan hendak menjawab, namun ponsel dalam genggaman gadis itu keburu bervibrasi duluan.

Ddrrttt--drttt-- 
Incoming call : Papa Theo...

Charon buru-buru menutup ponselnya dan menekan tombol power, lama. Benda elektronik itu padam seketika.

"Ocha, lu nggak papa?" Lala mulai tampak khawatir.

"La... apa Ocha boleh pinjem henpon kamu?" pinta Ocha penuh harap.

"Err, iya, boleh." Lala mengeluarkan iPhone tipis berwarna jambu keemasan dari sakunya, menyerahkannya pada Charon.

Charon terdiam.

"Kenapa, Cha?" tanya Lala.

"Ocha nggak hafal nomor telepon Mama..."

🌑

Charon mengendap menyelinap dibalik barisan mobil. Lapangan parkir SMA Magella begitu luas, padat dipenuhi siswa-siswi yang berjubel pulang.

Jantung Charon mencelos ketika matanya dari jauh menangkap sosok yang familiar, beberapa belas meter dari pintu gerbang. 

Tubuh lelaki yang cukup kekar, mengenakan kaos polo dan topi baseball serta kaca mata hitam. Cambangan janggut menghiasi rahangnya yang keras.

Nggak salah lagi, itu Papa.

Pak Theo tampak mengedarkan pandang. Lengan kirinya terbungkus dalam sebuah arm sling—menyangga cedera patah tulang, sementara tangan yang bebas menempelkan ponsel ke sisi wajahnya. Nampaknya ia masih mencoba menghubungi ponsel Charon yang sudah mati.

Charon merasa takut sekaligus lega, saat menyadari keadaan Papanya yang—meskipun patah tangan—terlihat baik-baik saja.

"Cha, sini," panggil Lala dari sisi lain parkiran. Charon merunduk dan berlari dengan hati-hati.

"Maaf ya Lala, Ocha jadi ngerepotin kamu," bisik Charon begitu tiba di sisi Lala. Sobatnya itu menggeleng cepat-cepat.

"Engga kok. Yuk," ajak Lala sambil membuka pintu sebuah mobil.

Mobil itu mencolok, berwarna merah mengkilap dengan desain tipis dan roda yang unik, serta sematan logo empat cincin bundar yang saling berkaitan menghiasi moncongnya.

Charon tidak tau banyak tentang mobil, tapi menyimpulkan dari apa yang tampaknya menjadi kendaraan Lala ini, dan juga ponsel Lala yang merupakan iPhone keluaran terbaru, Charon bisa menarik satu kesimpulan dalam kepalanya: Lala bukanlah gadis sembarangan.

"Lala, kamu anak sultan ya?" tanya Ocha polos, tepat ketika bokongnya baru saja menyentuh kursi depan.

Lala sontak menahan tawa.

"Engga kok Cha. Bokap gua cuma pemilik sekolah ini," jawab Lala santai.

Charon terperangah seketika. Cuma, katanya?

"Wow..." desis Charon.

Lala tampak tersenyum puas. "Jadi, kemana kita?"

"Lala... coba di depan belok kanan," komando Charon.

Lala mengangguk sambil menyahut, "Siap komandan!"

Ngeenggg...

"Depan sini kanan lagi, La."

"Whokeyyy!!"

Charon memperhatikan kaca rear-view sesekali, kadang bergantian melirik spion di samping pintu.

"La... kanan lagi."

"He? Kanan mulu, muter nih kita," protes Lala.

"Memang," jawab Charon. "Soalnya kita lagi diikutin."

"Hah?!" Lala menoleh panik ke arah Charon. Charon tampak masih serius memperhatikan kaca spion.

"Seriusan Cha?" Lala mulai panik.

"Iya, kayaknya. Itu, mobil hitam di belakang kita. Plat nomornya nggak ada, kayaknya mobil baru. Ocha diajarin Kak Arta caranya waspada kalau mobil Ocha sama Mama sewaktu-waktu diikuti. Katanya suruh perhatiin spion, belok tiga kali, dan catet plat nomer mobil yang mencurigakan," tutur Charon panjang lebar.

Lala menggelengkan kepala. Siapa pula Kak Arta, gua kaga kenal.

"Terus ini kita gimana, Cha?" tanya Lala to the point.

"Gas."

"Hah?"

"Gas yang kenceng, La. Kamu bisa ngebut 'kan?"

Lala menautkan alisnya. Sekilas putri pemilik SMA Magella itu melirik ke arah kaca spion, menguji ucapan Charon. Pandangannya bersirobok dengan bagian depan mobil hitam tanpa plat nomor.

Charon benar.

"Oke," putus Lala sambil menekan pedal gas dalam-dalam. "Pegangan, La!"

BRRMMMMMM....

Charon terantuk ke belakang. Untungnya tubuh mungil gadis itu telah aman dalam sabukan seatbelt.

"Lala... pelan-pelan," gumam Ocha saat laju mobil menyentuh angka 87 kilometer per jam.

"Katanya tadi suruh ngebut? Kok malah pelan? Gimana sih Cha, hahahaha." Lala malah semakin dalam menginjak gas. Charon menutup mata.

"Lalaaaa, Ocha masih mau hidupp!!"

"HAHAHHAA!"

GGRRNNNGGGG--

Audi Q3 yang dikemudikan Lala bukanlah mobil sembarangan. Mobil sport ini menggunakan mesin TFSI empat silinder, 1,4 liter berpadu turbocharger. Tenaga maksimal yang dihasilkannya mencapai 150 hp pada 5.000 – 6.000 rpm, dengan akselerasi 0 – 100 km/jam yang dapat dicapai dalam waktu 9,2 detik, dengan kecepatan puncak hingga 204 km/jam.

Dan itulah yang dituju Lala; rekor ngebut merepet kapasitas maksimal mobilnya, menyentuh angka 200 kilometer per jam.

"Ayo, Cha, jangan cemen! Ini kita kemana tujuannya? Nyesatin mobil si penguntit itu dulu kan?" Lala berkata dengan semangat.

Charon nggak habis pikir. Lala, apakah kamu sebenarnya reinkarnasi pembalap yang hobi kebut-kebutan?

"Dia masih ngikutin, La. Tapi udah jauh banget. Bisa kan kamu ngilangin dia? Kata Kak Arta, peluang kita bisa lepas itu ada di lampu merah..."

"WHOKEY! Walopun gua kaga kenal sama si Kak Arta-arta itu, tapi bolehlah! Lesgow!!"

GGGGRRRNNNGGGG!!

🌑

"HAHAHAA, tadi itu seru banget Cha!" Lala tampak terbahak puas dari balik roda kemudi. Pembalap gadungan itu telah sukses mengelabui mobil penguntit yang berusaha mengikuti mereka.

Charon masih menata napas dan debaran jantung yang hampir copot. Perpaduan takut tersusul mobil penguntit, dan takut semangat Lala yang berapi-api itu membawa Charon lebih cepat bertemu malaikat Izrail.

"Lala... kamu bakat jadi pembalap," ucap Charon sambil menghela napas.

"Hehe, ma'aci. So, ini kita dimana sekarang?" Lala bertanya sambil melongokkan kepala. 

Mobil mereka terparkir di depan sebuah gedung putih, dengan plang nama bertuliskan 'Ursa Major'. Logo beruang kutub tergambar di pintu masuk kaca.

"Ini kantor tempat Mama Ocha sama Kak Arta kerja," jawab Charon sambil membuka pintu. Lala mengikuti.

Ternyata gedung ini merupakan kantor perusahaan properti. Lala menyimpulkan demikian saat membaca brosur berlogo beruang kutub di meja resepsionis. Ursa Major; membawa kesejukan rumah impian menjadi kenyataan.

Sementara itu, Charon tampak mencari-cari seseorang.

"Permisi... Kak Arta atau Bu Riris nya ada?" Suara jernih Charon menyapa wanita di meja resepsionis.

"Oh, ada Dek. Sebentar ya." Resepsionis itu tampak meraih gagang telepon, namun bersamaan dengan itu terdengar hentakan langkah kaki nyaring, ber-kelotak akibat hantaman hak sepatu dengan lantai marmer.

"Ocha, kamu kok disini?" Terdengar suara Mama Riris memanggil. Charon langsung berlari menghambur ke arah Mamanya, merengkuh dalam pelukan.

"Maaf Ocha nggak sempat ngabarin Mama. Soalnya tadi di sekolah... Papa udah nungguin Ocha di depan gerbang, Ma."

"APA?!"

"Iya... untungnya Ocha ditolongin sama Lala," ucap Charon sambil melepaskan pelukannya, melirik sekilas ke arah Lala.

"Kamu yang namanya Lala? Makasih ya, udah bantu Chron sampai sini," ucap Mama Riris tulus. Wanita itu menunjuk barisan sofa sudut ruangan. "Lala ada waktu sebentar? Kita duduk dulu yuk," ajak Mama Riris kemudian.

Lala mengangguk. "Iya, Tante."

Baru saja Charon, Lala, dan Mama Riris menyentuh sofa, mendadak pintu masuk kaca terbuka lebar.

"Woy! Lo pada liat mobil merah di depan gak? Gile sports car Audi Q3 cuy! Hampir satu em harganya! Edan. Ada klien sultan mampir kemari kah?" Suara cempreng wanita muda dengan rambut panjang sepinggang mengudara.

Charon berseru sampai hampir bangkit dari duduknya. "Kak Arta!"

"Eh, ada Ocha! Udah balik kamu?"

"Iya, Kak. Itu mobil Lala Kak, temennya Ocha. Keren kan? Keren ya! Tadi Lala juga ngebut lohh nyetirnya, kaya Valentino Rossi!"

Kak Arta tampak menahan tawa melihat kepolosan Charon. Valentino Rossi kan pembalap motor.

"Salam kenal Kak, Tante. Nama saya Lala." Sobat Charon itu mengangguk sopan. Kak Arta ikut duduk di sofa yang kosong, nimbrung dengan mereka.

"Jadi gimana tadi ceritanya, Lala? Kamu ngebantu Charon sampe kebut-kebutan ya?" tanya Mama Riris membuka percakapan.

8 menit merupakan waktu yang cukup bagi Lala merangkum kejadian siang itu—ditambah Charon yang menimpali dengan hiperbola, tentu saja.

Mama Riris dan Kak Arta tampak memperhatikan sungguh-sungguh, dan kemudian diam berpikir sejenak. Keadaan ini lebih serius daripada seru-seruan dan kebut-kebutan mobil semata.

"Cha," panggil Mama Riris. "Siniin hape kamu," pintanya.

Charon dengan patuh mengeluarkan ponsel dari dalam tas, lalu menyerahkan pada Mamanya. Mama Riris meraih benda tersebut, menekan tombol power, lalu men-scroll histori panggilan serta pesan-pesan yang dikirim oleh Papa Theo. Alis Mama Riris yang tergambar rapi tampak bertaut, gusar.

"Kenapa bisa gini ya, Ta?" tanya Mama Riris kearah Kak Arta.

"Kayaknya Pak Theo ngelacak GPS dari nomor Ocha deh Mbak, kan bisa tuh dari operator selulernya mantau lokasi nomor hape," jawab Kak Arta.

Dengan gerakan luwes, Mama Riris mencabut SIM card pada ponsel Charon, lalu mematahkannya jadi dua.

"Yah-yah, Mama! Kontak temen-temen lama Ocha kan ada disitu semua!" protes Charon seketika.

"Cha, dengerin Mama. Kamu nggak akan butuh kontak lama temen-temen kamu lagi. Kita nggak boleh setengah-setengah kalau mau memulai hidup baru. Paham kamu?"

Charon mengangguk dengan terpaksa. Kak Arta dan Lala hanya menyaksikan adegan ini dengan bungkam.

"Tante," panggil Lala setelah beberapa detik menjeda. "Emangnya kenapa sih, kita harus ngehindarin Papanya Ocha?"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top