01 · Hidup

6 bulan kemudian...

Pluto mengenakan sepatunya secara asal. Pagi ini tampak seperti pagi-pagi biasa. Menyedihkan.

"Pluto, mau berangkat?" Kak Tami memanggil dari dalam rumah.

Tampak gadis itu keluar dari pintu kamarnya, rambut acak-acakan, dengan kantung mata menggelap. Dia tidak tidur, lagi.

"Iya. Pluto berangkat dulu, Kak. Kakak jangan lupa tidur ya," ucap Pluto sambil meraih tas punggungnya yang kempis.

"Tunggu," panggil Tami. Pluto menghentikan gerakannya.

"Kakak nemuin sesuatu," desis Tami sambil mencondongkan wajah setibanya di sisi Pluto. Si bungsu menggeram. Tidak lagi.

Pluto hendak berbalik badan dan meninggalkan Tami, namun kakaknya dengan sigap mencengkram lengan Pluto.

"Dengerin dulu," ucapnya. "Kakak dapet info, kalau bajingan yang jadi penyebab kecelakaan Ayah sama Bunda udah bebas dari penjara."

Pluto membeku. Sumpah, jangan lagi.

Semenjak hari itu, Tami berubah. Kepergian Ayah dan Bunda seakan membuat Tami hilang arah. 

Kakak sulung itu juga mempunyai hobi baru; mendengkur didepan komputer, dengan incognito tab yang terbuka, menampilkan jajaran hasil pencarian tentang berita kecelakaan Tol Cipularang yang merenggut nyawa orang tua mereka. Dinding kamar Tami juga berhiaskan sepapan gabus dengan tempelan kliping koran, surat kabar, dan print-out data pengadilan serta apapun penemuannya selama ini. Obsesi, telah melekat pada Tamara Sal Aditya.

"Kak... berhenti."

Tami menggeleng. "Nggak. Pluto, dengerin kakak. Kakak udah hampir dapet, sedikit lagi bakal..."

"Kak, udahlah! Kakak bahkan nggak tau orang itu siapa!"

"KAKAK BAKAL TAU!"

"..."

"Kakak bakal bikin bajingan itu ngebayar kesalahannya," desis Tami.

"Dia udah masuk penjara, Kak. Apa itu nggak cukup?"

"Dia keluar dari penjara, Pluto! Tiga hari lalu!"

"Kakak tau dari mana?"

"Itu--"

"Apa itu sumber yang valid? Bisa dipercaya? Atau cuma kabar angin aja, kayak selama ini? Sumpah, Kak Tami lama-lama bisa gila karena ini!"

Tami terpaku. "Pluto... kamu nggak sayang kah sama Ayah Bunda?" bisik Tami.

"Kak, please stop," lirih Pluto. "Kita nggak bisa hidup kayak gini terus."

Tami melepaskan cengkraman tangannya, meloloskan adik bungsunya pergi.

Sunyi.

Rumah kediaman Aditya bersaudara kembali sunyi.

Sepeninggal Pluto, Tami terduduk di lantai ruang tamu. Menangis tanpa suara.

🌑

Hari pertama bagi Charon di SMA Magella.

Sekolah baru, yey!

Charon Theodora—yang biasa dipanggil Ocha, sedang duduk di kursi depan mobil. Ia siap membuka pintu di sampingnya dengan semangat.

Hari ini adalah hari yang telah dinantikan oleh gadis itu selama berminggu-minggu, dengan persiapan matang yang sudah dirancang oleh Mamanya selama berbulan-bulan. Meskipun ujung-ujungnya harus dilaksanakan secara terburu-buru, tapi intinya sama; awal yang baru.

Sekilas Charon menoleh kearah kursi kemudi, tempat Mamanya tersenyum penuh arti.

"Ocha berangkat ya, Ma," pamit gadis itu.

"Iya sayang, hati-hati. Handphone kamu sudah mati 'kan?" tanya Mama Riris dengan mata cemas. Gadis berseragam di hadapannya pun mengangguk.

"Udah kok. Nanti kalau mau pulang, Ocha nyalain lagi."

"Beneran? Hati-hati ya Cha, jangan sampai—"

"Iya, Ma. Ocha tau. Ocha bisa jaga diri. Mama juga bakal hati-hati di kantor baru 'kan?" Charon memotong kalimat Mama Riris, memberikan senyum menguatkan.

"Iya..." Mama Riris membalas senyuman Charon, akhirnya. Sepasang ibu-beranak itu saling mengangguk, optimis. Siap melepas kepergian satu sama lain dengan senyuman.

Ya. Hari ini adalah hari baru, awal baru bagi kehidupan baru Charon dan Mama Riris.

Gadis berseragam putih abu-abu itu akhirnya turun dari mobil. Rambut pendek hitam se-dagunya dibiarkan terurai, menambah aksen manis dengan paduan senyum kombo gingsul-lesung pipitnya.

Charon melambai kearah mobil Mama Riris yang melaju pergi. Sekilas, dirasakannya sensasi ngilu pada pergelangan tangan kirinya, tempat dimana sebuah arloji silikon berwarna putih melingkar.

Charon memperhatikan tangannya—segaris keunguan tanda memar mengintip dari celah lilitan arloji yang longgar. Aduh, sakit. Charon meringis tertahan. Gadis itu menahan napas, buru-buru membenahi posisi arloji untuk menutupi cedera tersebut.

Setelah selesai, Charon kembali tersenyum, menguatkan diri sebelum melangkah menuju gerbang SMA Magella.

Beberapa detik setelah memasuki halaman sekolah, Charon terkesima. Ia memandangi lingkungan SMA Magella yang tampak luar biasa, dengan jejeran gedung tiga tingkat membentuk huruf 'U' berupa barisan ruang kelas berjendela kaca luas.

Charon penasaran kelasnya ada di sebelah mana, membayangkan kaca-kaca itu bagaikan akuarium raksasa. Charon memantapkan hati, dia harus dapat tempat duduk di dekat jendela hari ini.

Awal baru, hari baru, sekolah baru. Ayo Charon, hidup baru kamu akan segera dimulai! batinnya optimis.

🌑

Hari ke-734 bagi Pluto di SMA Magella.

Sekolah lagi, hadeh...

Motor yang dikendarai Pluto melaju mulus menembus gerbang sekolah. Cowok itu turun dari kendaraannya dan mulai beranjak meninggalkan parkiran setelah melepas helm yang terpasang di kepala.

Tas ransel yang tersampir di pundak Pluto terasa begitu ringan. Hanya ada satu buku tulis dan sebatang bolpoin di dalamnya. Ya, Pluto nggak niat sekolah.

Beberapa siswi melirikkan pandangan kearah Pluto, cowok itu cuek. 

Bisik-bisik mulai terdengar, cowok itu masih cuek. 

Satu cewek random maju menghambat langkah Pluto, cowok itu berhenti ditempat. Dia nggak mengenali cewek asing ini.

"Mau apa?" nada Pluto dingin.

"Ini, aku... bawain Kak Pluto sarapan. Isinya roti sama meses co—"

PLAK!

Pluto menepis kotak makan yang disodorkan cewek itu. Isinya berserakan di halaman parkir.

"Gue nggak pernah minta," desis Pluto.

Cewek tadi terlihat hampir menangis.

"A--aku udah suka sama Kakak dari kelas satu... udah berbulan-bulan aku ngumpulin keberanian buat nyapa Kakak... k-kenapa Kakak tega?" rintih cewek itu.

"Nama lo siapa?" tanya Pluto, membuat cewek tadi menghentikan isakannya seketika. Matanya membulat akan harapan.

"K-karen..."

"Kelas?"

"A-aku kelas XI IPS 2, Kak."

"Oke, Karen XI IPS 2. Denger ya, gue nggak pernah minta lo suka sama gue, dan gue nggak butuh sarapan dari lo. Jadi, lo bisa berhenti dan gak usah muncul di hadapan gue lagi."

Cewek itu syok seketika. Kata-kata Pluto tegas dan dingin. Bibir cewek itu bergetar, tangisnya kembali meleleh.

Saat Pluto hendak melangkah pergi meninggalkan si cewek, tiba-tiba ada sosok asing yang berjongkok di hadapannya, memunguti kotak makan berisi roti yang terbuang.

"Ngapain lo?" sentak Pluto seketika. 

Selama dua tahun lebih bersekolah di SMA Magella, tak ada seorangpun yang berani ikut campur urusan Pluto saat dia sedang melakukan aksi penolakan. Paling biasanya hanya teman-teman si cewek, menonton dari jauh. Menyemangati dengan riuh.

"Makanan kamu jatuh, sayang banget," gumam gadis berambut pendek sedagu sambil terus memunguti potongan roti, memasukkannya ke dalam kotak.

"Hah? Lo—"

"Ini, punya kamu kan? Pasti bikinnya susah-susah, harus nyiapin pagi-pagi banget sebelum berangkat. Nih, masih bisa dimakan kok. Tadi yang kotor udah aku buang."

Si rambut pendek bangkit dan mengulurkan kotak makan itu kearah cewek yang ditolak Pluto, Karen XI IPS 2. Pluto melongo, begitu juga si Karen IPS 2.

"M-makasih..." bisik Karen IPS 2 sambil menerima kotak makannya kembali.

"Lo siapa?!" bentak Pluto kearah gadis berambut pendek.

Berani-beraninya dia ngacangin gue? batin Pluto.
Apa dia temennya si cewek random yang gue tolak ini?

"Aku Charon," jawab gadis itu. Senyum manis terukir di bibirnya.

"Lo—"

KRIIINGGGG!!

Bunyi bel memotong ucapan Pluto. Gadis berambut pendek itu membalikkan badan seketika, berjalan cepat meninggalkan TKP.

Pluto membeku.

Tuh cewek sinting apa gila ya?
Dibentak bukannya takut, malah senyum-senyum sendiri.

🌑

Ruang kelas XI IPA 1 terletak pada posisi tengah di lantai dua. Charon mengikuti langkah kaki Pak Iman, wali kelas barunya. Siswi baru itu dengan semangat berjalan menuju kelas barunya.

"Selamat pagi anak-anak," sapa Pak Imam begitu memasuki ruang kelas. Murid-murid seisi kelas itu menjawab hampir serentak. "Selamat pagi, Pak..."

"Hari ini kelas kita kedatangan anggota baru, silahkan masuk..." panggil Pak Imam kearah Charon yang masih berdiri di luar pintu. 

Gadis itu melangkah perlahan. Seluruh mata di ruangan terhujam padanya. Menjadi pusat perhatian, membuat Charon tanpa sadar menggigit bibirnya, menahan gugup.

"Perkenalkan diri kamu, Nak," perintah Pak Imam ramah. Charon sedikit lega. Setidaknya wali kelasnya bukan pembentak seperti cowok asing yang ia temui tadi.

"Halo, semuanya... nama aku Charon Theodora, biasa dipanggil Ocha. Ng... aku pindahan dari SMA N 30 Bandung." 

Apa lagi ya? tanya Charon pada dirinya sendiri. Dia nggak pernah memperkenalkan diri didepan kelas seperti ini. Dia bingung harus berkata apa.

"... ukuran sepatu aku 38, ukuran baju S atau M kecil, hobi nonton kartun, makan cokelat, ngemil, jajan—"

"Eh-eh iya sudah cukup, Nak Charon. Kamu bisa lanjut perkenalannya nanti saat istirahat," potong Pak Imam seketika. Ia sigap saat melihat murid baru ini mulai ngelantur.

"Iya Pak," gumam Charon menurut.

"Kamu bisa duduk di bangku tengah sana, yang kosong," tunjuk Pak Imam kemudian. Charon mengikuti arah telunjuk wali kelas itu. Disana, di bangku tengah.

"Nggak boleh duduk dekat jendela aja, Pak?" tawar Charon. Pak Imam berkedip seketika mendengar permintaan aneh tersebut. Beberapa murid yang mencuri dengar juga sontak berbisik-bisik, menahan tawa. Si anak baru ini ajaib juga.

"Ehh, iya boleh. Disitu ya, sebelah Lala."

Charon mengikuti arahan Pak Imam, walau nggak tau Lala itu siapa, Lala yang mana. Yang Charon tuju, adalah bangku kosong dekat jendela.

Semua mata mengikuti gerak-gerik Charon. Sebagian murid mulai berbisik-bisik, terutama kaum adam. Beberapa desas-desus sampai ke pendengaran Charon.

'Ya gusti senyumnya bikin diabetes.'
'Lucu amat tuh anak. Shorthair noh, tipe lu kan? Sikat gih, sikat.'
'Inosen gitu mukanya, nggak tega gue.'
'Yaelah gebet aja udah, kapanlagi kelas kita kedatengan yang geulis-geulis begini.'

Charon mendesah gerah, tapi tetap mempertahankan senyumannya.

Aku kesini buat sekolah, bukan buat pacaran, batin Charon mengingatkan. Sambil meluruskan niat, gadis itu duduk di bangku tujuan.

"Baik, kalau sudah settle, kelas tinggal untuk menghadiri rapat. Kalian boleh berdiskusi, tapi jangan berisik. Tetap tenang dan kondusif, mengerti?" Pak Imam bersuara.

"Iya Pak!" jawab seisi kelas dalam harmoni. Dan Pak Imam pun berlalu pergi.

"Hey," sapa cewek yang duduk di sebelah Charon. "Gua Lala, ketua kelas ini."

Oohh ini toh si Lala-lala itu?

"Halo, aku Ocha." Charon mengulurkan tangannya, yang dijabat langsung oleh Lala.

"Lu berani banget ngomong sama Pak Imam, gua suka gaya lu," komentar Lala serya menghadap Charon.

"Nama lu juga unik, Charon," lanjut Lala.

"Panggil Ocha aja nggak apa, La," tawar Charon. 

Lala terbahak seketika.

"Lu juga udah lemes aja manggil nama gua. Boleh lah boleh, lu asik anaknya."

Charon ikut tertawa. Kamu juga asik, La.

"Oke, Cha. Mulai sekarang, lu bakal jadi temen gua. Setuju?" ucap Lala mendeklarasikan penawaran.

Charon mengangguk.

"Kamu baik banget, La. Iya, Ocha mau jadi temen Lala."

Semudah itu, Charon beradaptasi dengan sekolah barunya, kelas baru, dan teman baru. Senyum Charon tersungging lebar.

Memulai hidup baru ternyata semenyenangkan ini.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top