Tidak Mungkin Dia
Perkenalkan, semua. Aku adalah anggota dari sebuah kru pengelana langit yang jatuh cinta pada kaptennya sendiri. Namanya Nash, 22 tahun, tidak begitu banyak bicara. Namun, sekalinya memutuskan untuk berkata, seisi kru seketika memasang telinga. Sosok yang dicintai semua anggotanya, baik secara platonis maupun romantis. Sosok yang biasanya pemalu saat berinteraksi, tetapi berubah penuh semangat ketika ada musuh untuk dihadapi.
Oh, kalian bertanya siapa aku? Namaku ... Kalian tidak perlu tahu. Yang jelas, aku adalah satu dari sekian banyak orang yang mencintai Nash secara romantis. Sama seperti yang lain, aku adalah korban dari kebaikannya yang tidak pernah ragu mengulurkan tangan tanpa peduli latar belakang.
Singkat cerita, di sinilah aku berada. Di pinggir kapal langit bernama Grandchyper, kendaraan yang kami gunakan untuk mengarungi luasnya cakrawala. Setengah jam aku menjadi penonton Nash berlatih pedang bersama empat gadis yang menaruh rasa padanya. Hanya tiga puluh menit, tetapi rasanya seperti antara jutaan tahun dan tiga detik. Karena memandangnya dari kejauhan itu menyenangkan. Namun, melihatnya bersama gadis lain itu menyesakkan.
“Terima kasih untuk latihan hari ini! Aliza, Charlotta, Satyr, dan juga Medusa!” Nash berseru ketika sesi latihan akhirnya usai.
Jantungku serasa terjun bebas saat kedua mata kami bertemu. Bagaimana rambut putihnya yang terikat berkibar, juga mata biru itu memandang tenang ke arahku. Terlebih ketika ia tersenyum dan melambaikan tangan, kemudian berjalan ke arahku. Inilah salah satu hal yang membuatku menyukainya. Ketika presensiku seringkali tidak disadari, Nash selalu saja bisa melihatku.
“Boleh aku duduk di sini?” ia bertanya pelan—malu.
“Tentu saja,” ujarku sembari bergeser sedikit, memberikan ruang kepadanya untuk menempatkan diri.
Sesaat, tiada satu pun dari kami yang berbicara. Nash terlihat masih mengatur napas, sedangkan aku terlalu sibuk bergulat dengan benak dan menetralkan detak jantung yang tidak karuan. Beruntung keheningan tidak sampai berubah canggung, sebab Nash telah terlebih dahulu membuka mulutnya untuk berbicara.
“Ini untukmu. Kupon dari Levin Shop," Nash menyodorkan sebuah kupon potongan harga kepadaku.
Terlihat nama sebuah toko yang begitu terkenal di pulau yang akan kru kunjungi. Rasanya aku ingin berteriak karena terlampau bahagia. Namun, kebahagiaanku seketika diombang-ambing oleh pikiranku sendiri pada detik berikutnya.
“Terima kasih! Tapi, kenapa aku?” tanyaku ragu. Bukannya aku tidak bersyukur. Hanya saja, aku adalah orang yang merasa kebahagiaan terlalu besar untukku.
“Karena kausuka pernak-pernik?” jawabnya dengan ekspresi wajah begitu lugu. “Dan karena kau selalu menyempatkan waktu menontonku berlatih. Terima kasih,” lanjutnya dengan seulas senyum tipis.
Oh, Tuhan, rasanya aku akan pingsan saat itu juga. Jadi, selama ini Nash menyadariku menontonnya berlatih? Terlebih lagi dia tahu aku suka pernak-pernik lucu? Aku tahu Nash begitu perhatian terhadap detil kecil setiap anggota krunya, tapi tidak kusangka aku termasuk ke dalamnya.
“Kau tidak suka?” tanyanya dengan suara penuh kekecewaan yang justru membuatku panik.
Mana mungkin aku tidak suka? Bahkan, jika Nash memberiku sekantung kerikil pun aku akan merasa bahagia. Hanya saja, ada hal lain yang kuinginkan. Bagaimana caranya supaya Nash bersedia menemaniku? Dia pasti memiliki banyak kegiatan di tempat tujuan kita nanti. Aku juga yakin, pasti banyak gadis yang sudah mengajaknya pergi.
“Bukan begitu!” seruku, gumaman penuh keraguan menyusul kemudian. “Apakah Kapten tidak keberatan jika ikut bersamaku?”
“Tentu saja tidak,” jawabnya tanpa membuang waktu. Senyumannya kembali, kali ini turut mengundangku untuk terseyum.
Rasanya aku menjadi orang paling bahagia saat itu juga. Nash tampak senang melihat wajahku yang menjadi berbinar senang. Setelah berterima kasih, kami pun berpamitan. Jika tidak ada halangan, besok kru tiba ke destinasi selanjutnya.
***
Tepat seperti yang diperkirakan, besoknya kami telah tiba. Nash dan aku memutuskan untuk bertemu di taman dekat toko yang dimaksud. Aku tiba lebih awal, tetapi bukan berarti Nash terlambat. Karena terlalu bersemangat, alhasil akupun tiba sepuluh menit lebih cepat dari jam yang dijanjikan.
“Maaf membuatmu menunggu.”
Suara itu seketika membuatku—yang sedang asyik melamun—terlonjak. Keterkejutanku bertambah saat melihat sosok lain berdiri di samping Nash. Itu Eustace. Menurut kabar yang beredar, Eustace dan Nash sudah berteman sejak kecil. Akan tetapi, ada kejadian yang membuat mereka terpisah sebelum kini bertemu kembali.
“Ayo?” ajak Nash setelah berpamitan dengan Eustace dan mereka pun berpisah.
Kini hanya ada kami berdua serta beberapa pengunjung di dalam toko. Nash membiarkanku melihat benda-benda yang kusuka, mulai dari jepit rambut hingga aksesoris lain seperti kalung dan gelang. Aku merasa benar-benar dimanjakan. Terlebih, Nash bersikeras membayar barang-barang yang kubeli. Kupon itu bisa untuk besok, katanya.
Salah, tidak, jika kupikir ada kesempatan bagiku sekarang?
“Kapten,” panggilku kepada Nash yang berjalan beriringan, tangannya membawa barang belanjaan.
“Bisa berhenti sebentar?” sambungku, memberhentikan langkah di pinggir kolam air mancur tengah kota.
“Ada apa?” Nash mengikuti, berdiri di sampingku dengan kedua mata yang terpaku padaku. Terlihat ada rasa ingin tahu dan kebingungan di sana.
Aku menarik napas, mencoba mengatur jantung yang mulai berdetak tidak karuan. Kupikir, sekarang adalah saat yang tepat untuk menyatakan apa yang selama ini kurasakan. Tidak ada yang menjamin kesempatan seperti ini akan datang dua kali. Terlebih saat mengetahui banyak orang yang menaruh hati pada Nash. Lebih baik sekarang atau tidak sama sekali.
“Kapten—bukan, maksudku Nash, aku menyukaimu,” ujarku sambil menunduk malu. Karena jeda yang cukup lama, kuberanikan diri untuk menatap sekilas sosok di hadapanku. Sekarang bisa kulihat Nash yang menatapku heran, kepalanya sedikit dimiringkan seolah aku baru saja mengucapkan kalimat teraneh yang pernah ia dengar.
“Aku tahu,” balasnya dengan senyuman sebelum lanjut berbicara, “maksudku, tidak mungkin, bukan, kau tidak menyukaiku jika setiap hari selalu melihatku latihan? Aku juga menyukaimu.”
Detik itu juga rasanya jantung yang tadi berdegup begitu cepat mendadak berhenti. Namun, seketika aku teringat kata-kata dari Katalina, orang yang pertama kali bertemu dengan Nash sebelum menjadi kapten di Grandchyper. Katanya, Nash itu sulit membedakan mana rasa suka platonis dan romantis. Baginya, semua anggota Grandchyper jika tidak dianggap teman atau sahabat, maka jadi adik atau kakak. Sekarang hatiku rasanya sedang terjun bebas. Ada lubang tanpa dasar yang tiba-tiba timbul di rongga dada. Meski begitu, tetap saja aku memutuskan untuk bertanya walaupun kutahu pasti jawabannya.
“Sebagai seorang kekasih?”
Bola mata sebiru langit milik Nash mendadak lebar. Kemudian terlihat air mukanya berubah panik, antara merasa bersalah dan tidak tahu cara mengatakan fakta sebenarnya tanpa menyakitiku.
“K-Kalau itu ... aku—“
“Tidak apa-apa,” kataku menyela kalimat Nash.
Sepertinya ia melihat senyum senduku. Karena setelah itu, ia membungkukkan badan dan mengucapkan kata maaf berulang kali. Entahlah. Aku tidak begitu yakin lantaran penglihatan yang tertutup air mata.
“Sekali lagi maaf. Sungguh, aku tidak bisa menerima afeksimu. Tidak jika harus dari sudut pandang seorang kekasih,” ujarnya lirih, rasa bersalah kental terdengar di sana. “Aku menganggapmu seperti adik yang tidak pernah kumiliki. Namun, cukup sampai di situ. Maafkan aku, sebab ada hati yang harus kujaga,” jelasnya kemudian, sebuah senyum pahit bisa kulihat di sana.
Aku benci rasa sakit ini. Akan tetapi, aku lebih benci kepada diriku sendiri yang tidak mau mengerti. Tentu saja Nash akan menolakku. Dia pasti sudah memikirkan konsekuensi besar jika menjalin hubungan romantis dengan anggota krunya. Pasti, ia sudah memikirkan akan ada kemungkinan keretakan di antara anggota jika hal itu terjadi. Tidak mungkin semuanya mendukung hubungan ini.
Terlalu larut pada perasaan, aku tidak menyadari kedatangan sosok lain di dekat kami. Eustace datang dengan begitu tenang. Aku tahu ia tidak bodoh. Pria itu pasti mengetahui apa yang terjadi, dengan menyatukan keping demi keping puzzle yang diamati. Pasti Eustace telah tiba pada kesimpulan ada sesuatu yang terjadi di antara kami. Karena itu ia memutuskan untuk mendatangi.
Eustace menyuruh Nash untuk jalan terlebih dahulu ke Grandchyper sementara dirinya tinggal di belakang bersamaku. Setidaknya, Eustace cukup paham untuk tidak memborbardirku dengan pertanyaan mengenai apa yang terjadi.
“Jangan dipikirkan,” katanya singkat. Tiba-tiba saja ia membungkuk untuk membawakan kedua belanjaanku yang baru akan kuambil sebelum melanjutkan kalimatnya, “Nash tidak mungkin menjalani hubungan seperti itu dengan orang lain.”
***
Sore itu, aku sedang duduk sendirian di dapur dengan secangkir teh dan sepiring kue. Nash sedang tidak di Grandchyper. Jadi aku bisa tenang, tidak perlu memikirkan seribu cara untuk menghindarinya seperti apa yang telah kulakukan akhir-akhir ini. Aku baru selesai memakan sekeping kue ketika Satyr tiba-tiba duduk di sampingku.
“Kenapa begitu murung?” tanyanya dengan suara merdu.
Awalnya aku tidak ingin bercerita. Namun, aku luluh juga saat merasakan ketulusan Satyr yang berjanji akan mendengarkan dan membiarkannya menjadi rahasia. Aku pun menceritakan kejadian entah beberapa hari yang lalu. Mulai dari kupon pemberian Nash, acara jalan-jalan kami, hingga pernyataan cintaku yang ditolak dan hubungan kami sekarang menjadi renggang.
“Aku turut sedih mendengarnya,” lirih Satyr, wajah sendunya terlihat begitu sedih, seolah dirinya yang berada di posisiku.
“Apa kaumau berbelanja bersamaku besok? Medusa pasti juga akan ikut!” ajaknya, berusaha menghibur.
Aku menyetujui tawaran Satyr karena kupikir itu tidak buruk juga. Mungkin aku butuh suasana baru, bukan luasnya Grandchyper dengan anggotanya yang begitu banyak. Mungkin aku perlu keluar sejenak dari tempat yang setiap sudutnya mengingatkanku pada Nash.
“Ngomong-ngomong, apa kamu tidak tahu? Kapten sudah punya kekasih.”
Kalimat dari Satyr hampir membuatku menyemburkan teh yang kuminum. Seketika kulirik dia dengan kedua mata membola penuh tanya. Satyr justru ikut menatapku bingung.
“Eh? Tidak tahu, ya? Kapten itu kekasihnya—“
“Satyr!”
Satyr tidak sempat menyelesaikan kalimatnya karena seruan dari Medusa. Tanpa memberitahuku terlebih dahulu, ia sudah membungkuk minta maaf dan pergi begitu saja. Katanya, besok pagi ia akan menemuiku lagi untuk mengajak berbelanja.
Otakku secara otomatis mulai menerka. Siapa kira-kira kekasih Nash? Apakah Aliza? Tidak mungkin. Ia terlalu malu untuk menyatakan perasaan. Charlotta? Tidak. Dia bilang cukup dengan mengagumi Nash saja. Satyr? Dia memang pernah menyatakan perasaan, tapi cukup di situ. Nash tidak dimintanya untuk menjadi kekasih. Medusa, mungkin? Mustahil. Ia terlalu gengsi untuk jujur. Mengucapkan terima kasih secara langsung ke semua orang saja sulit baginya.
Lalu, siapa?
Tiba-tiba sebuah nama terlintas dalam benakku. Namun, secepat itu pula aku menggelengkan kepala karenanya. Tidak mungkin nama yang ada dalam kepalaku ini adalah kekasih Nash yang sebenarnya. Mustahil jika dia adalah orangnya.
Namun, kemudian aku ingat kata-katanya beberapa hari silam.
“Nash tidak mungkin menjalani hubungan seperti itu dengan orang lain.”
Bagaimana jika dia berkata seperti itu karena ada makna tersembunyi bahwa Nash tidak mungkin menduakannya? Jika dipikir-pikir, bukankah hanya dia yang terbiasa memanggil Nash dengan sebutan nama? Dan lagi, bukankah mereka hampir selalu bersama?
“Bodoh!” seruku pada diri sendiri. Sebuah tamparan kudaratkan pada pipi.
Pikiranku pasti terlalu kacau karena ditolak cintanya. Maka dari itu, skenario tidak jelas pun mulai terangkai begitu saja. Otakku mulai mengada-ada.
Baiklah. Sudah kupastikan setelah ini, lebih baik jika aku menemui Nash dan meminta maaf karena telah menjauhinya. Juga, aku akan mengucapkan selamat semoga hubungan Nash dengan siapapun-itu-kekasihnya akan bertahan lama.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top