Bab 16 || Perasaan Gerlad
[ a.n: yey, update! Jangan lupa untuk vote, komen, dan share cerita ini ke teman-teman, ya. Jika ada typo, kasih tau, ya. ]
Bab 16
Perasaan Gerald
Di Belanda, setiap kampus menggunakan sistem blok , dimana satu semester dibagi menjadi dua sampai tiga blok dengan blok masing-masing terdiri atas dua hingga empat mata kuliah. Berbeda dengan sistem perkuliahan di Indonesia yang umumnya menggunakan sistem semester dengan sekitar empat hingga delapan mata kuliah sekaligus yang berjalan dalam kurun waktu setengah tahun. Hal ini juga menyebabkan perkuliahan di Belanda lebih cepat, dalam waktu satu sampai dua bulan saja mata kuliah akan selesai dan dilakukan pemeriksaan akhir, sehingga metode SKS (Sistem Kebut Semalam) tidak memungkinkan untuk diterapkan.
Perkuliahan di Belanda juga, cenderung lebih memilih keaktifan berpendapat dari mahasiswa. Untuk beberapa hal yang dilakukan kegiatan partisipasi, dimana mahasiswa diharuskan tidak hanya hadir di kelas tetapi juga berpendapat dalam diskusi.
Sistem penilaian di Belanda memakai skala satu sampai sepuluh, dengan nilai kelulusan minimal 5,5. Jika tidak lulus dari nilai minimum, mahasiswa umumnya diperbolehkan untuk mengikuti sekali lagi perbaikan atau resit, dan nilai resit akan menjadi nilai akhir dari ujian tersebut. Namun ada batas maksimum daya tahan jika ingin lulus dengan predikat cumlaude.
Kira-kira itulah yang Gerlad rasakan mengenai sistem perkuliahan di Amsterdam. Kurang lebih hampir sama dengan Indonesia, walaupun jujur, lebih berat di luar negeri, karena menjadi mahasiswa rantau adalah hal menyulitkan. Dulu, ketika ia berkuliah di London, hampir 1 bulan setelah seminggu di sana, ia menangis. Jangankan itu, hanya mendengar lagu bahasa Indonesia, rasanya air mata mau merembes keluar sejadi-jadinya. Hidup di rantau, bukanlah hal yang mudah, apalagi soal beradaptasi dengan lingkungan, sosial budayanya, masyarakat dengan pola pikir mereka, bahasa yang berbeda.
Namun, kali ini tidak, Gerald bisa merasakan kehangatan, kelegaan, kebahagiaan ketika ia sampai di apartemen. Ada istri dan anaknya yang menunggu ia pulang, lalu tersenyum hangat, memberikan kenyamanan, dan ia bisa berbahasa Indonesia lagi setelah seharian di kampus atau di luar rumah, memaksa otak untuk menerjemahkan setiap kata, dan menyuruh mulut untuk berbicara bahasa asing. Kadang, ia lelah.
Gerald menutup laptop dan memasukkannya ke dalam tas, tugas essay-nya yang berjumlah 15 halaman, yang ia rangkum setelah membaca puluhan jurnal dan makalah yang berkaitan, akhirnya selesai juga. Tangannya terasa keram, dan otaknya pun seperti ada asap yang keluar. Selama 2 tahun ke depan, Gerlad memang harus terbiasa dengan tugas yang membludak, apalagi Tesis yang masih mendekap di laptop, baru kerangka tesis dan beberapa bahan referensi yang akan ia pelajari untuk judul yang ia bawakan.
“Udah beres, Lo?” Sintia, teman sekampus Gerald yang berbeda jurusan dengannya—Gerald mengambil Manajemen Bisnis, sementara Sintia mengambil DKV.
Tadi, sebernarya Gerald sendiri, hanya tiba-tiba Sintia muncul, dan meminta bergabung dengannya di perpustakaan kampus. Tentu bukan masalah, lagi pula, selama 3 jam di sini, mereka tidak mengobrol, sama-sama sibuk dengan tugas masing-masing.
“Done. Saya duluan.” Gerald menyambar tasnya, lalu pergi meninggalkan Sintia yang buru-buru ikut membereskan keadaan mejanya yang lebih berantakan daripada Gerald.
Ketika sampai di depan pintu Elevator, Sintia menahan lengan Gerald. “Lo mau pulang, Kan?”
Gerald menggerakkan tangannya yang dipegang Sintia, memberikan kode agar wanita itu melepasnya. Lalu ia berseru. “Iya.”
Setelah itu, Gerald masuk ke elevator, berdiri di samping, lalu diikuti Sintia yang berdiri di belakangnya. Entah apa yang ada di kepala wanita itu, Gerald tidak mau ambil pusing, cukup tugas perkuliahannya saja. Lagi pula, apa Sintia tidak tahu ia memiliki istri dan anak? Aneh, karena sejak awal, Sintia menunjukkan ketertarikannya kepada Gerald secara terang-terangan, dan itu aneh, sebab kebanyakan teman-teman mereka mengetahui ia sudah berkeluarga.
“Gue boleh mampir nggak? Mampir doang. Biar gue tahu rumah lo.” Sintia berseru dengan tatapan memohon, suatu ekspresi yang tidak cocok dengan wajahnya yang bergaris aristokrat itu.
Gerald melirik Sintia dengan ekor mata. “Untuk?”
“Untuk? Ya, itu, anu, buat tahu rumah kamu, siapa tahu kamu tiba-tiba sakit, kan, gue bisa ke sana.” Lagi, Sintia memberikan alasan agar Gerald mau mengajaknya pulang.
Ada-ada saja, pikir Gerald. Baiklah, kalau Sintia mau ke rumahnya. Akan Gerald berikan.
Tidak langsung menjawab, pria satu anak itu mengeluarkan ponselnya, lalu mengirimkan sebuah pesan kepada Tashima.
Gerald:
Ada tamu yang
mau datang.
Mama Raka:
Jangannn, Mas.
Mama Raka:
Maksudnya, jangan sekarang,
nanti malam aja.
Rumah masih berantakan banget,
terus aku belum masak apa-apa.
Bilang ke tamunya, besok aja bisa nggak? Sekalian makan malam?
Gerald:
Okay.
Setelah itu, Gerald mengeluarkan bolpen dan buku catatan kecil, menulis alamat rumahnya di sana, kemudian memberikan benda itu kepada Sintia. “Dinner. Besok.”
Sintia yang sudah terlanjur putus asa dengan respon pasif Gerlad, tak mengurungkan niat untuk melebarkan senyamannya. “Sure.”
••••
Kampus Gerald berada cukup jauh dari apartemen. Kira-kira ia harus menempuh 18 menit berjalan kaki tanpa berbelok arah, barulah ia menemukan terminal bus yang menuju ke arah apartemennya, itu pun menempuh waktu selama 10 menit, belum lagi ia harus berjalan kaki lagi ke daerah Singel, di mana Apartemen berada. Memang melelahkan, namun ini lebih baik lagi, karena ia sejujurnya tidak ada waktu untuk berolahraga kadang-kadang, sehingga berjalan kaki ada salah satu cara ia tetap bisa sehat tanpa harus pergi ke gym.
Akhirnya ia sampai di apartemen. Hal pertama yang ia butuhkan adalah makan, setelah itu berendam di air hangat selama setengah jam bersama aroma terapi, kemudian tidur. Keinginannya memang seperti itu, tetapi ia sadar posisi, Tashima juga pasti kelelahan menjaga Raka yang sedang aktif seharian, belum lagi jika gadis itu memasak, dan beberapa hal lainnya.
Aneh, rumah sore ini tidak seramai biasanya, ke mana mereka? Dengan hati gelisah, takut terjadi sesuatu yang bukan-bukan, Gerald melangkah cepat ke kamar mereka, mengecek satu persatu ruangan di sana. Tetap tidak ada.
“Shima?” panggil Gerald, siapa tahu mereka ada di sekitar sini. Namun tidak ada suara. Pilihan terakhir adalah menelpon.
Ding ... Ding ... Ding. Ponsel Tashima berada di kamar, di atas nakas dan sedang bernyanyi. Gerald menyugar helaian rambut hitamnya dengan kasar, menghela napas berat. Pria itu mengigit bibir bawahnya, kenangan masa lalu kembali memenuhi setiap ruangan, di mana Tasya meninggalkannya dalam keadaan ia baru pulang dari kantor, meletakkan ponsel di atas tempat tidur bersama secarik kertas yang sedetik setelah ia baca, mengubah seluruh dunianya. Sialan!
Keringat dingin membasahi tubuhnya, semua rasa bersalah memenuhi relung hatinya. Jantung pria itu pun bergerak cepat, sangat cepat karena memikirkannya. Entah kepada Tasya, ataupun Tashima, rasa bersalah ini. Bagaimana jika gadis itu memutuskan pergi karena ia tidak sanggup menunggunya? Bagaimana jika Tashima bosan dengannya? Bagaimana jika Tashima sakit hati? Bagaimana jika Tashima benar-benar menghilang?
Semua ini salahnya. Ini benar-benar salahnya. Pintu apartemen tiba-tiba berdenyit, ada yang masuk. Buru-buru Gerald keluar dari kamar. Napas kelegaan, rasa hangat dan kebahagiaan hadir, menghapus semua kegelisahan. Tidak bisa dicegah, ia berjalan cepat menuju sang istri, merengkuhnya erat, sangat erat.
Mengabaikan kehadiran Alex yang bergeming sambil memeluk Raka. Tidak mengindahkan teriakan sang anak, melupakan waktu yang terus bergulir, dan tidak peduli dengan tindakannya yang membuat Tashima terkejut.
“Stay,” bisik Gerald, penuh permohonan.
To be Continued
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top