Bab 06 || Tiba di Amsterdam
Bab 06
Tiba di Amsterdam
Tiba di Amsterdam setelah menempuh perjalanan 14 jam dari bandara Soekarno Hatta hingga Schiphol, bukanlah hal biasa untuk Tahsima. Selama di atas kapal terbang itu, ia tidak habis-habisnya menggenggam erat tangan Gerald. Untungnya pria itu peka dan menenangkan sang istri.
Tashima belum pernah menakiki pesawat sebelumnya, dan ini pertama kali bagi ia untuk dibawa terang setinggi itu. Rasa-rasanya pasokan oksigen di paru-paru Tashima habis ketika melihat keluar jendela. Sekali naik pesawat, langsung lintas benua, luar biasa sekali pikir gadis itu.
“Mama! Mau gendong.” Raka merenggangkan kedua tangannya kepada Tahsima setelah mereka keluar dari pesawat.
Tashima melayangkan senyuman manis sambil menundukkan badan untuk menarik Raka ke gendongannya, namun Gerald terlebih dahulu membawa anak 3 tahun itu ke pelukannya.
“Mama capek. Biar papa, aja, ya?” tawar Gerald.
“Enggak papa, Mas. Aku masih kuat, kok,” sahut Tashima, menolak dikatakan lelah. Walaupun sebenarnya ia benar-benar kelelahan.
“Muntah-muntah terus tadi, nggak bisa makan, kuat?” Gerald berdecak mengingat wajah pucat Tashima yang beberapa kali muntah sebelum mendarat.
Gadis itu hanya bisa tersenyum canggung sebagai balasan ucapan Gerald yang kesal entah karena apa. Dasar sensi.
“Mau mama!” pekik Raka, meronta-ronta untuk dilepaskan.
Tidak bisa dibiarkan begitu saja, Tashima lalu menarik Raka dari Gerald. Ketika pria itu hendak membuka mulutnya, Tashima berseru terlebih dahulu. “Aku kuat, Mas. Muntah kayak tadi nggak bakal bikin aku mati setelah gedung Raka.”
Setelah itu, Tahsima yang menggendong Raka dengan senang hati, meninggalkan Gerald yang kehabisan kata-kata. Ternyata Tashima keras kepala juga. Mau tidak mau, Gerald mengikuti mereka. Ia berjalan di samping Tashima, melihat Raka yang sedang aktif bergerak dalam pelukan Tahsima membuat ia khawatir, maka spontan ia melingkarkan tangan di pinggang kecil gadis itu dan merapatkan tubuh mereka.
“Biar lebih aman,” jelas Gerald ketika mendapati padangan penuh tanda tanya dari Tashima. Lagi pula, mereka sudah halal, mau Gerald sentuh di mana saja seharusnya gadis itu jangan menatapnya seperti orang mesum.
Akhirnya, setelah mengambil barang-barang, dan mengurus berkas-berkas di konter imigran dan bea cukai, Gerald bersama anak istrinya keluar dari bandara dan pergi ke apartemen mereka selama di sini. Untungnya ada kawan-kawan Gerald yang menjemput mereka, sehingga tidak perlu menggunakan transportasi umum.
Sementara letak Bandara Schiphol sendiri berada di Utara Amsterdam. Bandara ini juga sebetulnya dekat dengan transportasi umum, kereta api berada di lantai 1, yang langsung menghubungkan ke pusat kota, tempat di mana mereka tinggal, selain itu juga ada ada bus yang menunggu di depan Bandara sehingga tidak perlu kerepotan mencari terminal, dan tentunya ada taxi.
Selama di perjalanan, Tashima menahan diri untuk tidak tertawa atau mendengkus kesal mendengarkan ocehan teman-teman Gerald yang menggoda mereka tentang hal-hal dewasa, yang bahkan Tashima tidak paham letak lucunya di mana. Ingin rasanya ia bersembunyi atau berpura-pura menjadi kaca spion saja. Sedangkan Gerald tidak menjawab pertanyaan-pertanyaan aneh itu, ia hanya diam saja, sementara Raka tertidur pulas.
“Jadi ada rencana buat adik Raka di sini juga, Ger?”
What the ... Tahsima tersedak salivanya sendiri. Jangankan adik baru, sentuhan biasa saja hampir jarang mereka lakukan. Lagian kenapa Keenan, teman Gerald yang sedang menyetir, bertanya hal privasi? Setidaknya, ia tidak perlu bertanya di depan Tashima, kalau ia memang pemasaran.
Gadis itu memilih membuang wajah ke luar jendela dan sama sekali tidak berani menatap orang-orang yang ada di dalam mobil, kecuali Raka yang tertidur—Gerald, Keenan dan Jason. Amsterdam memang berbeda sekali dengan Jakarta. Bangunan-bangunan abad pertengahan yang masih berdiri kokoh di sini terlihat sangat cantik dan indah. Tashima berpikir, ia berada di dalam buku, di sepanjang perjalanan itu, ia hanya ingin memfokuskan diri pada pemandangan di luar saja.
“Kasian itu, istrinya udah malu!” timpal Jason yang menangkap gerak-gerik canggung Tashima.
“Skip.” Hanya itu yang keluar dari bibir Gerald dan pembahasan mereka berubah menjadi membahas dunia persepakbolaan.
Akhirnya setelah menempuh 30 menit perjalanan yang panjang bagi Tahsima, sampailah mereka di sebuah apartemen di Singel. Ternyata letaknya berada di pusat kota, yang langsung berhadapan dengan sungai di depan mereka, ada banyak orang-orang yang berlalu lalang, dan toko makanan yang meletakkan beberapa kursi dan meja di samping sungai. Terlebih dari itu, ada sesuatu yang Tashima dan suaminya notice, suhu di Amsterdam yang sangat sejuk, udaranya ringan, mungkin karena tingkat transportasi yang digunakan rendah, juga bersih.
Barang-barang mereka dibawa masuk oleh teman-teman Gerald dan Raka digendong Tashima masuk.
Ukuran Apartemen yang standar saja, satu kamar utama, kamar anak, dan ruang tamu mini yang bersambung dengan ruang makan dan dapur minimalis. Cat dinding berwarna putih dan cokelat, ada terdapat beberapa jendela yang menampilkan keindahan sungai dan atap-atap bangunan. Kebetulan apartemen mereka berada di lantai 7 sehingga semua terlihat kecil dari tempat mereka berdiri.
“Gimana?” tanya Gerald, berdiri di samping Tahsima sambil menatap keluar jendela.
Thasima mengangguk senang. “Bagus banget, Mas. Untuk sekarang masih aman.”
“Kamu nggak mandi? Atau istirahat aja dulu sama Raka di kamar,” suruh Gerald, melirik kamar utama.
“Aku kayaknya tidur dulu, Mas. Capek banget. Tapi aku bau kayaknya ya?” Tashima mengangkat dan mencium majunya yang belum diganti selama kemarin.
Gerald ikut mendekatkan wajahnya untuk menghidu aroma Tashima yang sialnya malah terjadi insiden tatap-tatapan dari jarak dekat di antara mereka. Sadar dengan keadaannya yang tidak memungkinkan untuk didekati, Tahsima mundur satu langkah.
“Mas kenapa ikutan mau cium?” seru Tashima setengah kaget dan kesal di saat bersamaan. Gerald tidak tahu bahwa tindakannya itu berpengaruh besar terhadap detak jantung dan aliran darah dalam pembuluh darah.
“Maaf, maaf. Saya refleks tadi.” Gerald menggaruk tengkuknya yang entah mengapa gatal tiba-tiba. “Kamu nggak bau, kok, tapi kalau mau mandi aja dulu, biar segar.”
Saran Gerald benar, ia harus mandi. “Kamar mandinya di mana mas?”
Gerald mengantar Tashima ke kamar mandi yang ada di kamar utama. “Kamu mau mandi air panas atau dingin?”
“Panas aja, Mas.” Tashima menyahut sambil membuka isian koper, mengambil pakaian ganti. Perhatiannya terahlikan. “Mas mau mandi juga?”
“Enggak. Udah saya isi bathtub sama air hangat, berendam aja, dulu.”
Perhatian sekali, Gerald. “Makasih banyak, Mas.”
••••
Tashima tidak sadar jika ia telah tertidur pulas hingga jarum jam menunjukkan pukul 7 malam. Ketika bangun, perutnya kelaparan dan cacing-cacing di perutnya meminta untuk diberikan nutrisi secepat mungkin.
Untuk sesaat, Tashima lupa bahwa ia telah menjadi istri, biasanya jika bangun tidur, ia akan bersandar di ranjang sambil mengumpulkan sisa-sisa rasa kantuk yang menghinggapi matanya.
“Mamaaa! Udah bangun?” ujar Raka dari pintu kamar.
Detik itulah Tashima sadar akan statusnya. Segera ia bangkit dari tempat tidur. “Masak! Aku belum masak!” monolog-nya gugup seraya mendekati Raka.
Gadis itu menekuk lutut di hadapan Raka. “Raka udah makan?”
“Uddhaa.” Raka menarik tangan Tashima. “Mama, ayookkkk!”
Raka membawa mamanya pergi ke makan dan di atas meja telah tersedia telur goreng, sambal botol, kecap dan nasi. Apa ini? Tashima meneliti telur setengah gosong di atas meja dengan dahi mengernyit.
“Telur goreng, Shima. Agak gosong, sih,” celetuk Gerald yang datang-datang bersama dua gelas berisikan air dingin.
Tashima yang 100 persen telah sadar berjalan ke dapur, diikuti dengan Gerald yang penasaran. Gadis itu membuka pintu kulkas dan meneliti isi di dalam sana, ternyata hanya ada telur, dan satu kornet sapi.
“Aku goreng telur campur kornet aja, mau, Mas?”
“Boleh, kayaknya telur yang saya masak juga keasinan.”
Begini-begini, Tashima tidak perlu diragukan lagi soal mengurusi rumah dan memasak. Hidup bersama nenek dan kini hidup sebatang kara mengajarkan ia sebagai perempuan mandiri yang melakukan hal-hal seperti ini. Jangankan itu, cari uang saku saja ia bisa.
“Besok kita ke toko, ya, Mas,” ucap Tashima sambil membalikkan telur di atas panci.
Gerald yang bermain dengan Raka pun mendekati gadis itu. “Iya, sekali beli peralatan yang masih kurang.”
“Hoo, iya. Kamu mau les nggak bahasa Belanda? Nanti Pake aplikasi belajarnya, jadi daring.”
“Mauu, mas. Susah kalau aku nggak bisa bahasa Belanda walaupun cuma sedikit aja, nggak papa kan.”
“Besok mas atur, ya.”
“Makasih, yah, Mas.”
“Sama-sama.” Gerald mengelus rambut Tashima lalu pergi dari sana dengan senyum lebar melihat ketertegunannya.
To be Continued
Tempat tinggal Gerald, Tahsima dan Raka, dekat Sungai. Cantik kan?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top