Episode 3.1
Episode3.1
Ia terbangun di atas ranjang Putra, sendirian. Tidak ada sosok pria yang ia yakini saat ini pasti membencinya karena tak kunjung memberi jawaban. Tangisnya seketika pecah mengingat setiap kata yang Putra bisikkan sebelum kantuk kembali menariknya beberapa saat lalu.
Kini, Dara tak tahu apa yang harus dilakukannya. Rasa takut kehilangan beradu dengan keraguan karena semua masalah yang dihadapi membuatnya tak mampu untuk memberikan jawaban. Setidaknya untuk saat ini. Namun, ia sadar diam yang dilakukannya semenjak mendengar lamaran Putra, membuat semuanya menjadi lebih kacau.
Memutuskan beranjak dari kasur, Dara membuka lemari pakaian Putra dan mencari baju yang bisa dikenakannya. Mengingat ia tidur menggunakan kebaya yang justru membuat badannya tidak nyaman beberapa saat lalu. Ia tercengang mendapati kaos yang memenuhi lemari Putra.
Dara tahu kebiasaan Putra memakai T-shirt dan celana pendek, tapi ia tak menyangka akan melihat satu bagian tersendiri untuk celana pendek. Dara tertawa geli melihatnya. Ia kembali meneruskan membuka lemari satu persatu hingga menemukan yang ia cari, kemeja lengan panjang yang terasa lembut di kulitnya.
Ia tak pernah menyisihkan waktu untuk mengenal tempat tinggal Putra. Selama ini, setiap kali ia datang kemari, yang mereka lakukan pertama kali selalu bergumul berdua di atas ranjang. Kecuali hari ini.
Dara tak menyadari lelah yang menderanya hingga tertidur di atas sofa. Ia bahkan tak mampu membuka mata ketika merasakan Putra mengangkat tubuhnya. Untuk menjawab setiap kata yang Pura bisikkan pun, ia tak mampu.
Setelah puas menggeledah isi kamar—dan mengambil botol parfum Putra yang ia suka—Dara memberanikan diri membuka pintu. Ia tak terkejut ketika tidak menemukan siapa pun di sana. Ia bahkan berpikir melakukan hal yang sama jika berada di posisi Putra.
Langkahnya menuju ruang kerja dan berharap melihat Putra di sana, tapi ia tahu tak akan menemukan siapa pun di sana. Saat itulah ia menyadari Putra meninggalkannya sendiri. Dara meraih tas dan mengecek ponsel, dan tak menemukan pesan atau telepon dari Putra.
Seketika ia merasa tidak diinginkan berada di apartemen yang semakin lama membuatnya betah. Setelah menanggalkan kebaya dan berganti dengan kemeja Putra ia meraih tas dan sepatunya sebelum menuju pintu keluar dan terdiam.
Aku keluar sebentar. Di meja depan televisi ada kunci mobil dan juga key card yang bisa kamu gunakan kapan pun kamu mau. Aku enggak akan memaksamu melakukan sesuatu yang tidak kamu inginkan, Ra. Aku terlalu menyayangimu untuk itu.
Love you
Tangisnya pecah membaca pesan yang tertempel rapi di pintu. Rasa cinta yang Putra tawarkan membuatnya kewalahan dan melumpuhkannya. Dara terjatuh dengan tangis menyesakkan dada. Sekian menit ia berusaha meredakan tangis dan meraih pesan Putra sebelum menuliskan sebaris kata dengan tangan bergetar.
Tunggu aku. Dua kata yang membutuhkan keberanian untuk menulisnya itu kini tertulis di samping kata love you.
Tanpa meraih kunci mobil, Dara mengambil key card yang Putra maksudkan. Ia berharap, Putra mengerti dengan pilihannya untuk saat ini. Ia terlalu mencintainya—meski belum pernah mengatakan pada Putra—untuk memulai sesuatu dengan masalah menggantung di atas kepala.
"Love you, Mahaputra Sadewo," ucapnya pada ruang kosong yang tak membalas ucapannya. "Tunggu aku. Please, jangan menyerah."
***
Bekerja menjadi pelarian Dara semenjak ia meninggalkan apartemen Putra tujuh hari lalu. Bertemu klien sebanyak yang ia bisa, bahkan ia rela bertahan di kantor hingga malam menjelang. Seperti malam ini. Ketika hujan mengguyur kota Surabaya sejak sore hari membuat jalan di depan kantornya banjir, Dara memilih untuk bertahan di kantor. Begitu juga dengan orang lain yang sengaja bertahan di kantor, menunggu hujan reda dan air kembali surut.
Mahaputra. S
Masih di kantor?
Dara terpaku membaca nama yang selama tujuh hari tak pernah muncul di ponselnya. Jarinya ingin segera mengetik balasan, tapi ia segera membatalkan niatnya.
Mahaputra. S
Tunggu reda?
Udah makan malam, belum?
Kenapa pesanku enggak dibalas?
Sayang, mau aku jemput?
Dara menahan air mata yang hampir lolos membasahi pipi ketika Putra masih saja memanggilnya Sayang. Pertahanannya terancam buyar. Hatinya mendamba pria yang saat ini terlihat sedang mengetikkan sesuatu dan tanpa Dara sadari, saat ini ia menahan napas menanti pesan Putra berikutnya.
Mahaputra. S
Mau ketemuan, enggak?
Tapi aku enggak tahu harus ngomong apa
Mahaputra. S
Enggak harus ngomong apa-apa, Yang.
Lihat senyum kamu aja aku udah seneng banget.
Aku belum punya jawaban untukmu
Mahaputra. S
Aku, 'kan, enggak minta jawaban
Ra, kenapa hanya key card yang kamu bawa?
Dara tak tahu kenapa saat itu, ia ambil key card sebelum keluar dari apartemen Putra. Hingga saat ini pun, key card itu berada di dalam dompetnya. Menjadi satu-satunya pengingat Putra yang ia punya.
Jujur, aku enggak tahu kenapa key card itu aku bawa. Mas mau aku kembalikan?
Mahaputra. S
Enggak! Sengaja aku kasih kamu, kok. Karena aku mau rumahku menjadi tempatmu untuk pulang. Tempat di mana aku menunggu kamu
Dara tidak membalas pesan Putra karena tiba-tiba matanya memanas dan tetesan air mata pun lolos membasahi pipi. Tidak ada yang mengetahui bahwa beberapa jam lalu, ia mengarahkan mobil hingga di depan apartemen Putra. Bahkan sejak meninggalkan apartemen Putra, beberapa kali ia ke sana dan berpikir untuk turun ketika rasa rindu yang mengganjal di dada menjadi terlalu sesak untuk ditahan.
Dara tak pernah membayangkan patah hati akan menyiksa hingga sesak di dada. Ia tak pernah merasakan apa yang saat ini memenuhi hatinya. Semua yang ia lihat, mengingatkan pada Putra. Lagu yang memenuhi ruang dengar saat ia berkendara pun membuatnya mengingat Putra. Terkadang ia membuat dirinya semakin merana dengan menyemprotkan parfum Putra di beberapa titik tubuhnya. Membuatnya bisa merasakan pelukan dan ciumannya.
Ya ampun, sepertinya aku udah gila, pikir Dara dalam hati. Ia kembali menatap ponsel dan mendapati pesan baru berupa foto yang Putra kirim. Matanya membelalak tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Mahaputra. S
Suka?
Tidak ada yang pernah melakukan itu untuknya selama ini. Dara mengamati satu bagian rumah Putra yang bisa membuatnya betah di sana. Seolah setiap sudut mengundangku untuk bergelung di sana. Satu single sofa lengkap dengan meja kopi senada di ujung ruangan, berhadapan dengan rak buku setinggi plafond berwarna coklat dengan background hitam. Beberapa lampu sorot memberi efek yang berbeda kala malam hari. Ia tak tahu siapa yang menceritakan pada Putra tentang penulis kesukaannya. Namun, saat ini ia melihat beberapa buku yang belum pernah ia baca bertengger di sana.
Buatku?
Mahaputra. S
Semua untukmu, Sayang.
Meski aku belum kasih jawaban
Mahaputra. S
Tanpa jawaban itu pun, bagiku, kamu Nyonya Mahaputra Sadewo.
Tanpa disadari, jarinya dengan cepat mengetikkan pesan sebelum keberaniannya menghilang. Satu hari lagi, dan aku akan pulang. Padamu.
Tak pernah ada keyakinan sebesar apa yang ada di hatinya saat ini. Perasaan tak layak itu masih ia rasakan, cinta yang juga memenuhi hati, tak bisa ia abaikan begitu saja. Selama ini, Dara tahu apa yang dirasakannya. Semenjak mendengar lamaran dadakan Putra, ia tahu hanya satu jawaban yang akan diberikannya. Semenjak berkenalan dengan Putra untuk pertama kali, Dara tahu, dialah pria yang selama ini ia cari. Namun, takut, ragu dan juga ego, menghalanginya untuk menerima semua yang Putra tawarkan padanya.
Malam ini, melihat nama Putra di deretan pesan yang masuk, satu hal yang Dara yakini. Rindu yang selama ini menumpuk di dada tak akan bisa hilang dengan sendirinya. Cinta yang berkembang di dada, tak akan bisa ia matikan hanya dengan menghilang. Semua itu bersemi di dalam hati dan semakin hari semakin berkembang. Dengan senyum di bibir, ia siap mengatakan jawaban pada Putra. Walaupun saat ini, masih ada satu masalah yang menganggu hatinya.
Hingga pukul sebelas malam, Dara menanti jalanan surut kembali sebelum melajukan mobil menuju satu tempat yang selama ini membuatnya enggan untuk datang. Rumah. Ia ingin menyelesaikan apapun yang ada di antara dirinya dan Hayu sebelum menemui Putra.
Rumah dalam keadaan sepi dan gelap ketika ia membuka pintu pagar. Memasukan mobil dan kembali menutup pintu dengan harapan tidak membangunkan penghuni rumah. Meski saat ini kedatangannya untuk menemui Mamanya.
"Dara?!" Suara Mamanya menyambut kedatangan Dara. Wanita yang terlihat baru saja bangun tidur itu terlihat keheranan melihatnya.
"Kenapa? Kamu sakit?"
Dara menghentikan langkah kakinya untuk menuju kamar ketika mendengar nada kuatir itu.
"Enggak. Cuma ada yang pengen aku omongin, tapi besok aja."
"Sekarang aja!" perintah Mamanya sambil berjalan menuju dapur, meninggalkannya sendiri dengan kebingungan memenuhi kepala.
"Kita bicara di belakang! Kamu tunggu di sana."
Teras belakang selalu menjadi tempat paling nyaman di seluruh rumah mereka. Di sini, Dara memiliki banyak kenangan indah sebelum semuanya hancur berantakan. Ia banyak menghabiskan waktu bersama Papanya sebelum kesibukan usaha restoran merusak semuanya. Meski tempat yang terasa dingin mencekam itu kini juga menyimpan kenangan buruk, tapi Dara selalu memukan kenyamanan di sana.
Mamanya datang dengan dua cangkir minuman sebelum duduk tak jauh darinya. Keduanya terdiam memandang kegelapan. Hanya ada suara jangkrik dan sesekali suara kendaraan melintas di depan rumah mengisi keheningan di antara keduanya. Dara tak tahu dari mana harus memulai keruwetan yang ada sejak kecelakaan itu. Hari naas yang bukan hanya mengambil sang papa, tapi juga masa depannya.
"Mama mutusin untuk jual usaha kita."
"Hah?!" katanya keheranan. Ia tahu usaha itu bagian dari hidup kedua orang tuanya, ketika Papanya meninggal, restoran itu seolah menjadi rakit penyelamat. Mamanya memilih sibuk bekerja dari pada menghadapi kemarahan dan kebenciannya.
"Kenapa?"
"Mama terima tawaran Mas Anton."
Dara kembali terkejut. Ia tak tahu apa hubungan antara mereka berdua. Namun, mendengar Mamanya rela melepas usaha untuk pria yang memintanya jadi istri beberapa waktu lalu membuat Dara bertanya-tanya.
"Ma. Sebenarnya apa hubungan Mama sama Pak Anton itu?" tanya Dara setelah menahan diri untuk tidak emosi seperti biasanya. Semenjak ia mengetahui Hayu memberikan izin pada dokter untuk mengangkat rahimnya, emosi selalu mewarnai pembicaraan mereka berdua. Namun, kali ini, Dara bertekad untuk berlemah lembut dalam berucap.
"Sejak malam Mama kasih ide aku menikah sama Pak Anton, aku sudah merasa curiga. Apalagi saat ketemu sama orangnya, rasanya ada sesuatu yang enggak Mama ceritakan."
Entah apa yang terjadi malam ini. Dara merasa mereka berdua seperti dua orang yang lelah bertengkar. Mamanya terlihat tenang, seperti dirinya saat ini. Mereka berdua tak saling meninggikan suara. Bahkan untuk pertama kalinya, mereka terlihat seperti dua orang beradab yang duduk berdua tanpa ada niat untuk saling membunuh.
"Ma, apa yang belum Mama ceritakan?"
Ia merasa harus menyelesaikan semuanya saat ini. Mengetahui apa yang selama ini enggan ia cari tahu. Mengatakan semua yang selama ini tak ingin ia ungkapkan pada Mamanya.
"Mama lelah, Ra. Mama lelah hidup sendiri dengan penyesalan yang buat ... Mama capek." Seketika napasnya tercekat mendengar pengakuan Mamanya. Perasaan bersalah seolah menghimpitnya dan membuat air matanya meleleh.
"Mama enggak menyesali mengizinkan dokter mengangkat rahimmu. Jika harus mengulang, Mama akan melakukan hal yang sama. Karena itu membuat Mama enggak kehilangan kamu, Ra." Dara tak bisa menahan laju air matanya. Mendengar suara serak Mamanya semakin membuat Dara merasa bersalah.
"Kehilangan Papa sudah membuat Mama lumpuh, jika Mama juga kehilangan kamu ... Mama enggak akan bisa hidup."
"Ma, aku ...." Dara tak bisa menyelesaikan kalimat ketika napasnya semakin tercekat mendengar suara serak Mamanya.
"Mama ngerti kamu marah. Mama sudah merenggut kesempatanmu untuk menjadi ibu. Tapi, Ra ... Mama rela enggak punya cucu dari pada kehilangan kamu."
Dara tak menutupi tangis pilunya. Meratapi anak yang tak akan ada di dalam perutnya. Menangisi kesempatan untuk menjadi ibu. Menyesali semua amarah yang ia simpan di dalam dada selama ini. Dara memberanikan diri memandang Mamanya tanpa menyembunyikan air mata yang membasahi pipinya saat ini.
"Aku minta maaf karena selama ini menyimpan marah sama Mama. Aku tahu bukan karena Mama, Papa meninggal. Aku juga tahu Mama memberi izin dokter untuk mengangkat rahimku, karena Mama enggak mau kehilangan aku." Ia terdiam sesaat menarik napas panjang.
"Aku membutuhkan seseorang untuk—"
"Disalahkan," sela Mamanya. "Mama tahu itu, Ra. Mama ngerti kamu marah. Itu kenapa selama ini Mama ngebiarin kamu pindah. Mama merasa berhutang sama kamu, jika menjauh bisa membuatmu memaafkan Mama, enggak apa-apa."
Seketika tangis Dara semakin deras. Ia tak pernah menyadari penderitaan yang ada di hati Mamanya selama ini. "Ma, Aku minta maaf belum pernah menjadi anak yang berbakti sama Mama," ucap Dara lagi kesulitan untuk mengatur napas.
"Beberapa hari lalu, sahabatku nikah," katanya setelah berhasil mengatur napas. "Tapi mungkin Mama enggak tahu itu."
Dara memutuskan untuk menceritakan tentang Yanti. "Sama sepertiku, Yanti enggak punya ayah. Tapi kami berdua terasa berbeda, ia punya ibu yang sayangnya enggak bisa diragukan lagi. Bahkan ibunya Yanti sudah menjadi seperti orang tua buatku dan Keke. Itu nama sahabatku yang satu lagi." Meski tak ada tanggapan, Dara meneruskan ceritanya.
Dara berdiri meninggalkan tempat duduk dan berjalan mendekati rak bunga Anggrek kesayangan Mamanya.
"Aku iri melihat Yanti yang mendapat kasih sayang ibunya, tanpa batas. Aku iri melihat kedekatan mereka berdua. Aku iri karena memiliki Mama tapi terasa jauh."
"Mama di sini, Ra," jawab Mamanya sambil terisak.
"Aku tahu," jawabnya. "Saat itu, jujur, aku sudah menerima jika hubunganku dan Mama enggak akan seperti Yanti dan ibunya. Hingga Mas Putra datang."
Dari suara yang terdengar, ia tahu saat ini Mamanya melangkah mendekatinya dan tak lama kemudian Hayu berdiri tepat di sampingnya.
"Dua hari lalu calon suami kamu datang ke sini." Dara membelalakkan mata tidak percaya dengan apa yang didengarnya. "Atau Mama harus bilang calon suami gadungan kamu." Ia masih terdiam. "Kenapa? Kaget karena Mama tahu akal-akalan kamu?"
Panik muncul dan menghancurkan ketenangan kini membuatnya tak bisa mengatakan apa-apa.
"Lalu Mama mau apa? Tetap maksa aku nikah sama Pak Anton!" kata Dara lelah. "Aku ngerti. Aku sadar enggak bakalan bisa hamil, dan Pak Anton enggak minta aku hamil. Tapi setidaknya aku pengen bisa nikah sama laki-laki pilihanku. Lelaki yang bisa buat aku bahagia, Ma. Aku pengen nikah karena aku pengen, bukan karena harus."
Heningnya suasana tak menyurutkan niatannya membuka diri dan menyelesaikan masalah di antara mereka berdua. "Mama benar, Mas Putra bukan calon suamiku. Tapi dia adalah satu-satunya pria yang aku cintai."
Dengusan terdengar jelas di telinganya saat ini, reaksi Mamanya yang sudah ia hapal setiap kali Dara mencoba untuk menceritakan sesuatu.
"Kalau Mama mau tahu, dia melamarku sepulang acara pernikahan Yanti. Tapi sampai saat ini, aku belum menjawabnya."
"Kenapa?" tanya Mamanya membuat Dara terkejut.
"Ada yang salah dengan otakku sepertinya. Karena aku merasa enggak layak untuk mendapatkan pria sebaik Mas Putra. Aku ... perempuan yang enggak bakalan bisa hamil. Perempuan yang memilih untuk menjauhi ibu kandungnya. Perempuan yang memilih untuk hidup sendiri meski masih memiliki orang tua. Aku bukan perempuan yang baik, Ma. Aku enggak pantas untuk Mas Putra."
Dara tak pernah mengatakan pada siapapun tentang perasaannya, karena itu akan membuatnya menangis, seperti saat ini. Namun, entah kenapa, saat ini, ia memilih untuk mengatakan pada mamanya.
"Ketika Mama minta aku untuk menikah dengan Pak Anton, aku berpikir. Seburuk itukah aku, sampai harus menikah demi bisnis? Pria yang lebih pantas menjadi ayahku. Meski pria itu akan membuatku enggak kekurangan apapun, tapi apa iya itu jatahku. Apakah aku enggak bisa mendapatkan suami yang mencintaiku, karena aku, bukan karena transaksi bisnis."
Dari sudut mata, ia bisa melihat tatapan sedih Mamanya. Namun, Dara tidak memalingkan wajah dari bunga yang sejak tadi menjadi titik perhatiannya.
"Saat dengar lamaran Mas Putra, aku enggak percaya bisa seberuntung itu. mendapatkan perhatian seorang pria yang enggak masalah dengan kondisiku. Pria yang bisa membuatku tertawa dan menangis, tapi tetap merasa dicintai. Tapi, perasaan bersalah muncul saat bibir ini hendak berkata iya."
Dara memutuskan untuk menoleh ke arah Mamanya, dan mendapati sepasang mata menatapnya lembut.
"Mungkin kita berdua enggak bakalan punya hubungan ibu dan anak yang dekat seperti Yanti. Mungkin Tuhan menghukumku karena enggak mau menjadi anak yang baik untuk Mama." Ia mengusap kasar wajahnya dan menegakkan punggung.
"Aku bukan perempuan suci. Aku perempuan yang penuh dosa. Aku bukan perempuan yang layak mendapatkan seorang Mahaputra Sadewo. Tapi bukan berarti aku diam saja saat Mama memintaku untuk menikah dengan Pak Anton."
"Mama memutuskan untuk menjual restoran pada Mas Anton karena Mama siap melepas kenangan Papa. Mama mempertahankan usaha itu hanya karena Papa, Ra." Dara meraih tangan Mamanya ketika mendengar itu. "Kamu boleh enggak percaya. Tapi setiap kali di sana ... Mama bisa merasakan kehadiran Papa. Hingga akhir-akhir ini ketika Mas Anton sering datang."
"Sebenarnya dia kerja apa, sih, Ma? Kenapa aku dapet getaran mafia gitu sih dari Pak Anton itu," katanya sambil berjalan kembali ke kursi dan meraih cangkir berisi coklat yang sudah tak terasa panas. "Orangnya agak gimana gitu."
Mamanya terkekeh dan kembali duduk ke tempat semula. "Kamu kebanyakan baca novel. Masih suka baca, 'kan?" tanya Mamanya, dan kini mereka kembali duduk berhadapan dengan suasana yang berbeda.
"Mama benar-benar minta maaf sama kamu. Semua yang Mama lakukan waktu itu, karena enggak mau kehilangan kamu juga. Dokter bilang kerusakannya sudah terlalu banyak dan mereka enggak yakin bisa menyelamatkanmu jika tetap mempertahankan rahim itu. Mama minta maaf."
"Aku juga minta maaf, Ma," ucap Dara tulus. "Aku enggak akan bisa menghapus semua rasa sakit yang aku ciptakan untuk Mama selama ini." Permintaan maaf bertabur air mata itu membuat keduanya terdiam. "Maafin aku, Ma."
Mas Puput butuh di puk puk. whahahha
Happy reading guys
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top