Episode 2.3
Episode 2.3
Kasih waktu, Put. Coba mundur dulu, jangan full power banget ngejarnya. Kali aja itu bakalan buat Dara kangen sama kamu.
Putra terdiam dengan mata tertuju pada Dara, sambil memikirkan nasehat Gigih. Perempuan yang dua hari lalu tertidur di dalam pelukannya, kini terlihat mempesona. Meski nasehat Gigih masih jelas di telinga, tapi Putra memutuskan untuk tidak melakukannya. Ia tak bisa mundur. Ia tak ingin memberi kesempatan Dara untuk menghilang dari hidupnya. Ia tak ingin Dara menemukan orang lain.
Pulang, yuk
Putra mengirim pesan pada Dara dan berharap semoga pesannya segera mendapatkan balasan. Namun, hingga lima menit berselang, Dara tak tampak mengetikkan sesuatu. Meski Putra bisa melihat Dara menatap ponselnya. Jarak mereka yang hanya berjarak beberapa langkah, membuat Putra harus menahan diri untuk tidak menyeret kekasihnya menjauh dari semua orang.
Ia hampir menyerah ketika melihat Dara mengangkat kepala dan mengangguk samar. Putra mengedikkan menaikkan alis sekali, mengedikkan kepala ke arah pintu dan menanti. Dara menggigit bibir manahan senyumnya dan mengangguk. Setelah mengedarkan pandangan dan yakin tidak ada seorang pun yang melihat ke arahnya, Putra berjalan mendekati Gigih.
"Aku balik dulu, Gih," bisiknya.
Gigih terlihat heran, tapi ketika ia mengedikkan kepala ke arah Dara, senyum terbit di bibir sahabatnya tersebut.
"Perlu aku kirim video tutorial, enggak?" tanyanya menggoda Gigih.
"Jancuk! Mbok kiro aku arek cilik!" umpat Gigih yang tak terima dengan usulannya.
"Muliho kono! Selesaikan yang perlu kalian berdua selesaikan. Kalau enggak memungkinkan, mungkin waktunya cari yang lain, Puput!" ucap Gigih yang tak akan pernah Putra ikuti, karena saat ini yang diinginkannya hanya satu, Dara.
Putra menggeleng denga bibir mencibir. "Nope! She's the one, Gih! Enggak bakalan ada yang lain. Cuma dia!"
Memeluk singkat dan menepuk punggung Gigih, Putra menuju keluar meninggalkan semua orang. Ia pun hanya mengedikkan dagu ke arah Wisnu yang memperhatikannya sesaat sebelum melintasi ambang pintu.
Semoga sukses malam ini!
Tawaran video tutorial masih berlaku.
Putra mengetikkan pesan pada Gigih setelah menutup pintu mobil dan menanti Dara bergabung dengannya sambil memikirkan semuanya. Melihat kebahagiaan Gigih dan Yanti telah membuat harapannya tumbuh kembali. Membayangkan hidup berdua bersama Dara, seolah menjadi seuatu yang wajar untuk dilakukan setelah pembicaraan terakhir mereka berdua. Masalah Dara dengan Mamanya. Ketidak mampuan Dara untuk hamil atau keinginannya untuk tidak memiliki anak, mungkin masih menjadi permasalahan. Namun, ia yakin itu semua ada jalan keluarnya.
"Hai," kata Dara membuyarkan lamunannya ketika membuka pintu mobil lima menit kemudian. "Kita kayak lagi backstreet gini, ya."
Ia memajukan badan dan menangkup pipi Dara, "Hai," jawab Putra sebelum mencium bibir Dara. "Kangen kamu!"
Dara menolak bertemu sejak keluar dari apartemennya setelah menginap malam itu. Dengan alasan ingin menghabiskan waktu bersama Yanti, perempuan yang berhasil membuatnya bertekuk lutut menolak semua teleponnya.
"Kaca mobil kamu enggak terlalu gelap, Mas! kalau ada yang lihat, gimana?!" protes Dara, meski beberapa detik lalu sibuk membalas ciumannya. "Ayo, pulang!"
"Siap, Nyonya!" jawab Putra pada perintah yang membuat jantungnya melonjak gembira.
Walau hingga detik ini Dara selalu protes setiap kali Putra memanggil Sayang, tapi tak pernah menolak saat ia menciumnya. Dara masih belum mengatakan cinta atau sayang padanya. Namun, setiap kali Putra bersikap layaknya seorang kekasih, Dara tak pernah menolaknya. Seperti saat ini, dengan sadar Dara menyebut apartemennya pulang.
"Ra," panggilnya tanpa mengalihkan perhatian dari jalanan. Dari sudut mata, Putra bisa melihat Dara sibuk mengetikkan sesuatu di ponselnya hanya menjawab dengan gumaman.
"Nikah, yuk?!" Sekali lagi Putra hanya mendengar gumaman dari Dara yang masih sibuk dengan ponselnya.
"Kita nikah setelah Wisnu aja ya. Tapi jangan bilang mereka, kita kasih kejutan sama semua orang."
"Siapa yang nikah setelah Mas Ninu?" tanya Dara terlihat bingung setelah memasukkan kembali ponsel ke dalam tas mungil di pangkuannya.
"Kita, Sayang. Kita yang nikah setelah Wisnu," jawab Putra. Ia melirik Dara dan mendapati bibir kekasihnya terbuka lebar dengan mata membulat sempurna.
"Sayang ... kamu kenapa?" Dara masih terdiam hingga mobil yang dikendarainya memasuki area parkir. Ketika Putra mematikan mesin mobil pun, Dara masih terlihat diam tanpa melepas pandangan darinya.
Putra membuka pintu penumpang, Dara pun masih terdiam. "Sayang, turun, yuk!" ajaknya. Ia mengulurkan tangan dan berdoa semoga Dara tidak menolaknya. Beberapa detik dalam penantian, akhirnya ia merasakan tangan lembut Dara mengenggamnya.
Keduanya berjalan beriringan tanpa kata. Entah apa yang ada di pikiran Dara, Putra takut untuk membayangkannya. Sepanjang jalan menuju apartemen, ia berdoa semoga Dara tidak membunuhnya karena lamaran dadakannya. Putra berdoa semoga Dara menerima dan tidak menolaknya dengan berbagai alasan yang pasti bisa perempuan di sebelahnya pikirkan. Ia tetap berdoa hingga denting lift membuat keduanya terkejut.
"Aku yang salah dengar atau kamu beneran ngelamar aku tadi?"
Kalimat yang Dara keluarkan begitu ia menutup pintu. "Aku salah dengar, kan?"
Putra menggeleng menjawabnya.
"Kamu serius, Mas?" Ia mengangguk dengan tegas.
Dara terlihat menyadari keseriusannya dan jatuh terduduk di tengah ruangan. Putra yang melihat itu segera meraih dan bersyukur berhasil menangkap tubuh Dara.
"Kamu kok tega, sih, Mas," kata Dara sebelum air matanya meleleh.
Putra bersimpuh di lantai dan Dara berada di atas pangkuannya. Meski kakinya terasa sakit sesaat setelah berhasil menangkap tubuh Dara, ia tak peduli.
"Ra. Aku serius pengen nikah sama kamu. Aku sudah pernah bilang kalau aku mau apa yang Gigih dan Yanti punya. Dan aku maunya sama kamu."
Dara menyurukkan wajah ke dadanya dan Putra bisa merasakan air mata yang menembus kemeja batiknya saat ini. Ia membiarkan Dara menumpahkan air matanya hingga napasnya kembali teratur. Tangannya tak berhenti mengusap punggung kekasihnya, sesekali membisikkan kata sayang dan mengecup puncak kepalanya.
"Aku sayang kamu, Dara Puspita. Sayang dan cinta banget. Hanya kamu. Hanya kamu yang berhasil membuatku ingin memiliki kebahagiaan itu. Hanya kamu yang berhasil membuatku merasakan cinta."
Dara memundurkan kepala dan turun dari pangkuannya. Dengan kebaya dan kain yang melilit di pinggangnya, perempuan yang tetap terlihat cantik meski wajahnya basah karena air mata tersebut terlihat kesulitan.
"Pindah ke atas, yuk," ajaknya sambil berdiri dan menarik tubuh Dara. Setelah membantu Dara duduk, ia berlalu ke dapur dan kembali dengan segelas ait putih.
"Minum dulu, Yang."
Putra menyadari pertemuan mereka dan interaksi selama ini tak jauh dari apartemennya. Bahkan ia belum pernah dengan resmi mengajaknya pergi kencan berdua. Apalagi hingga detik ini Dara masih menolak untuk menjadi kekasihnya. Ia menyadari lamaran dadakannya membuat Dara bingung. Namun, ketika melihat binar bahagia di wajah Gigih atau senyum di bibir Wisnu, Putra menyadari satu hal. Ia menginginkan itu semua.
"Kamu sadar kalau kita barusan benar-benar dekat dan saling kenal, kan?" tanya Dara sambil meletakkan gelas di atas meja.
"Kamu sadar kalau setiap kali kita ketemu, selalu menghabiskan waktu di sini, kan?"
Putra mengangguk untuk semua pertanyaan Dara.
"Mas masih ingat kalau aku enggak bisa hamil, kan?" Ia kembali mengangguk.
"Berarti sadar kalau hidup bersamaku itu berarti hanya berdua, kan?"
"Sadar 100% dan aku enggak keberatan!" jawab Putra tegas tanpa ragu.
Dara menggelengkan kepala tak tampak yakin dengan jawabannya.
"Kenapa? Kamu ragu?" tanya Putra.
Anggukan di kepala Dara membuat Putra terkejut.
"Sayang, kamu masih ingat kalau aku enggak pengen punya anak, kan? Itu membuat kita berdua adalah pasangan cocok. Kamu itu potongan terakhir dari puzzle kehidupanku. Aku enggak akan bisa menemukan perempuan yang bisa memenuhi semua keinginanku. Kurang apa lagi kita ini?"
Dara tak mengatakan apapun. Perempuan yang sibuk mengusap lelehan air mata di pipinya lebih banyak menunduk dan menolak untuk memandangnya. Hingga Putra menarik dagunya sampai pandangan mereka bertemu.
"Di dalam hati, aku tahu kamu pun merasakan semua yang kurasakan. Di dalam hati, aku yakin kamu mencintaiku sebesar rasa yang ada di hatiku. Di dalam hati, aku percaya bahwa kita berdua diciptakan untuk bersama. Di dalam hati, aku yakin kamu adalah perempuan terbaik untukku. Tapi, aku enggak tahu kenapa kamu masih menolakku?"
Putra mengenggam tangan Dara dengan erat, seolah tak ingin perempuan yang kini menatapnya akan menghilang darinya. Rasa takut yang memenuhi hatinya semakin besar ketika Dara menarik lepas tangannya. Putra berdiri dan menjauh, meninggalkan Dara yang kembali menunduk menatap tangan dipangkuannya.
"Gigih bilang aku harus mundur untuk memberimu waktu. Tapi, jujur, aku takut."
Putra menengadah mencegah rasa takut itu menarik air matanya keluar.
"Tapi, jika itu yang kamu inginkan ... aku akan memberikan padamu, Ra. Meski aku takut kehilangan kamu."
Putra membalik badan menatap jendela ketika merasakan air mata menuruni pipinya. "Ngelihat kamu saat ini, buat aku sedih dan ... mungkin benar kata Gigih."
Putra memejamkan mata, menahan sedih yang terasa sesak di dadanya dan menarik napas panjang. Keheningan yang terasa mencekam di antara mereka berdua membuatnya semakin yakin hari ini akan menjadi hari terpanjang dalam hidupnya. Ia percaya hari ini akan menjadi hari patah hati pertama dan terkahir untuknya. Jika Tuhan tidak menakdirkan Dara untuknya, ia tak tahu apakah akan ada Dara yang lain untuknya. Sepanjang hidupnya hanya ada dua orang wanita mengisi hatinya, Mamanya dan Dara.
Menghela napas panjang, Putra membalik badan dan menemukan Dara tertidur dengan tubuh melingkar.
"Padahal aku udah siap patah hati, Sayang. Kenapa kamu malah kelihatan menggemaskan begini," ucap Putra yang bersimpuh menatap wajah perempuan yang membuatnya jatuh cinta setiap hari.
Untuk beberapa lama, Putra hanya diam memandang wajah Dara. Berusaha merekam wajah yang memenuhi kepalanya. Menyimpan dalam kepala untuk ia kenang ketika Dara memutuskan untuk menolaknya nanti. Menempatkan di dalam hati yang berdenyut hanya untuknya.
Dengan lembut, Putra mengangkat tubuh Dara dan membawanya ke dalam kamar.
"Aku sayang kamu. Hanya kamu. Dan jika tidak ada kita dalam kamusmu, aku akan melepasmu," bisiknya setelah meletakkan tubuh Dara dengan pelan di atas ranjang.
"Aku tak tahu sebahagia atau sesusah apa kehidupan kita nantinya. Tapi jika kamu memutuskan untuk melaluinya bersamaku, aku akan berusaha untuk membuatmu menangis bahagia bukan menagis karena sedih. Hanya kamu Dara Puspita. Hanya kamu."
Putra mencium kening Dara lama hingga tak menyadari saat ini air matanya jatuh. "I love you," ucapnya sekali lagi dengan suara serak sebelum menegakkan tubuh dan meninggalkan Dara.
Sesak di dadanya semakin terasa, membuatnya tak bisa benapas. Ia membutuhkan ruang untuk bernapas sebelum kepalanya meledak karena memikirkan patah hati tebesarnya. Putra memutuskan untuk keluar dari apartemen setelah menulis pesan yang ia tempel di pintu. Beserta kunci mobil dan juga key card.
Aku keluar sebentar. Di meja depan televisi ada kunci mobil dan juga key card yang bisa kamu gunakan kapanpun kamu mau. Aku enggak akan memaksamu melakukan sesuatu yang tidak kamu inginkan, Ra. Aku terlalu menyayangimu untuk itu.
Love you
Setelah memastikan pesannya tertempel dengan sempurna, Putra meraih kunci mobil dan keluar meninggalkan perempuan yang kini terlelap tidur di atas ranjangnya. Sepanjang jalan menuju parkir, ia berdoa semoga masih bisa melihat wajah Dara ketika pulang nanti.
***
"Kok ke sini?" tanya Ine ketika membuka pintu.
Putra tidak berkata apa pun hanya memeluk ibunya singkat sebelum memasuki kamar lamanya. Ia yakin saat ini mamanya pasti tahu telah terjadi sesuatu. Ia juga yakin, Mamanya tak akan memaksanya untuk bercerita saat ini.
"Mas," panggil Mamanya sebelum ia menutup pintu.
"Mama di belakang kalau kamu butuh Mama." Putra mengangguk sebelum menutup pintu, menghalau siapapun darinya saat ini. Yang diinginkannya hanya sendiri dan memikirkan Dara. Mengingat senyumnya. Aroma parfumnya. Kebiasaan kecilnya ketika makan. Bahkan wajah cemberut Dara setiap kali ia memanggilnya Sayang.
Putra hanya ingin sendiri bersama Dara di kepala dan hatinya. Jika memang hanya di sana posisi Dara untuknya, ia harus belajar untuk menerimanya.
Happy reading, guys
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top