Episode 2.2
Episode 2.2
Pukul delapan malam dan Dara belum juga menghubunginya. Pesannya, tak mendapatkan balasan. Teleponnya pun ditolak. Putra kuatir terjadi sesuatu pada Dara saat ini. Ia pun memutuskan untuk menunggu di lobby meski belum ada kabar dari perempuan yang menyita pikirannya saat ini.
"Hallo, kamu di mana?" tanyanya ketika Dara menjawab teleponnya.
"Sabar dikit, dong!" jawab Dara ketus.
"Enggak lihat depan apartemen kamu macet. Effort banget aku ini. Udah capek pulang kerja bukannya pulang malah kelayapan gini! Kakiku pegel, kan!"
Putra membuka bibir hendak menjawab ketika mendengar Suara Dara kembali. "Ya ampun... ngapain, sih, aku mau-maunya nemuin kamu kayak gini!"
"Aku siapin makan malam dan." Putra diam memberi jeda. "Aku bakalan pijitin kamu."
"Enggak! Enak di kamu enggak enak di aku itu namanya!" hardik Dara di ujung sambungan.
"Ya ampun... aku bisa lihat pintu masuk gedung kamu, tapi ini kenapa enggak gerak!"
Mendengar hal itu, Putra segera keluar hingga ia bisa melihat mobil Dara.
"Aku lihat kamu. Mau aku gantiin?" tawarnya meski sebenarnya tidak terlalu banyak membantu.
"Halah, tinggal ngelangkah doang! Pergi siapin makan malam aja, Mas. Jangan lupa tinggalin key card di meja depan!"
Tanpa keduanya sadari, dinamika hubungan mereka saat ini berubah. Meski Dara masih terlihat enggan menerima apa yang di antara mereka berdua.
"Udah gerak, nih. Tungguin aja, Mas!" perintah Dara lagi.
Putra menutup telepon setelah menjawab oke. Dengan senyum lebar, ia berdiri di depan lobby. Ketika mobil Dara berhenti tepat di depannya, ia segera membuka pintu. "Geser, Yang. Aku yang parkirin!"
"Udah dibilang jangan panggil Sayang. Ntar kalau kebiasaan dan ada yang dengar, gimana!" omel Dara sambil melompat melewati konsol tengah mobil.
"Tadi aja udah pada curiga. Kamu ngapain, sih, pake kencan di situ!" kata Dara dengan wajah cemberut.
"Pertama, aku enggak kencan. Kedua, mana aku tahu kalau kalian berlima makan siang di situ!" jawab Putra sambil mengarahkan mobil Dara ke tempat kosong tak jauh dari tempatnya.
"Turun, yuk!" ajaknya.
Keduanya berjalan dalam diam menuju lift sebelum Dara teringat sesuatu dan meninggalkannya sendiri. "Apa yang ketinggalan, Yang?!"
"Udah dibilang jangan panggil Sayang!" teriak Dara tanpa menjawab pertanyaannya.
Putra menanti dengan sabar ketika Dara berjalan kembali sambil menenteng tas kertas di salah satu tangannya.
"Aku balikin kemeja kamu."
Putra harus menahan diri untuk tidak meraih dan mencium Dara ketika perempuan itu mengulurkan tas itu padanya. Semua karena isi kepalanya terlalu penuh dengan bayangan Dara dalam balutan kemejanya. Ia bahkan bisa membayangkan kaki jenjang Dara yang pernah melilit di pinggangnya. Putra bisa melihat kemolekan tubuh kekasihnya, meski hingga detik ini Dara tak mau mengakuinya.
"So ... siapa perempuan itu?!"
"Hah!"
Putra gelagapan ketika Dara memecah lamunannya. Ia tak tahu siapa yang Dara maksud. Putra semakin bingung ketika wajah cantik yang selalu mengisi mimpinya kini berubah masam.
"Perempuan apa?" tanyanya bingung. Wajah Dara semakin masam ketika ia membuka pintu apartmennya. "Perempuan apa, Sayang?" tanyanya semakin bingung.
"Halah ... laki-laki emang gitu! Pakai tanya perempuan apa?"
Putra semakin bingung dan tak suka dengan tuduhan yang Dara layangkan padanya. Ia menghampiri dan menarik tubuh Dara hingga tak berjarak dengannya. Aroma parfum manis dan sedikit sentuhan citrus memenuhi indera penciumannya.
Dengan lembut ia menangkup pipi perempuan yang sudah menggenggam hatinya sejak pertemuan pertama mereka. Ibu jarinya mengusap pelan pipi Dara. Putra tak melepas pandangannya.
"Namanya Mariana."
"Oo ... Mariana to namanya?" sahut Dara dengan nada cemburu yang membuat Putra ingin bersorak bahagia.
"Pacar?"
Putra menggeleng dengan tegas. "
Calon istri?"
"Nope!" jawabnya tegas.
"Selingkuhan? Emang gitu ya laki-laki itu. Bilangnya sayang, cinta dan banyak lagi rayuannya, tapi ternyata ...."
Putra yang hendak membantah pun membatalkan niatnya ketika mendengar ocehan Dara. Rasa lega, bahagia dan juga bangga melihat Dara terbakar cemburu memenuhi hatinya. Ia mendekatkan wajah hingga bibir keduanya tak berjarak.
"Cemburu?" tanyanya tak berusaha untuk menyembunyikan rasa bahagianya.
"Rugi!" jawab Dara ketus.
"Orang bilang, cemburu itu tandanya sayang. Kamu sayang aku?"
"Enggak!" jawab Dara berusaha menghindar, tapi Putra menahannya.
"Kamu cinta sama aku?" tanyanya lagi.
Kali ini Putra menurunkan suaranya hingga hanya berupa bisikan tepat di depan bibir Dara. Ia sengaja memberi jarak setipis mungkin meski berbeda dengan kesabarannya saat ini. Terlebih lagi ketika mendengar jawaban Dara.
"Nope!"
"Jadi, aku boleh ketemu Mariana lagi?" tanya Putra yang masih sabar mencoba memancing Dara. Wajah memerah Dara menjawab pertanyaannya. Namun, Putra tahu, menyerah bukan sifat Dara.
"Ya ... kalau mau ketemu. Ketemu aja!" jawab Dara yang terlihat tidak menyadari setinggi apa nada suaranya, tapi itu membuat Putra bersorak dalam hati.
"Kamu ketemu sama Mariana Mariana itu, bukan urusanku. Kamu mau cium dia dia, bukan urusanku. Kamu tidur sama dia aja, bukan urusanku. Sekarang, lepasin! Aku mau pulang!"
Putra tidak mengeratkan tangannya, tapi yang dilakukannya berhasil membuat Dara berhenti meronta. "Aku enggak akan ketemu Mariana kalau kamu enggak kasih izin," kata Putra sebelum melumat bibir merah Dara.
"Aku enggak akan cium Mariana, karena hanya bibir kamu yang kuinginkan," ucapnya kembali menikmati bibir Dara.
Putra menatap mata Dara dan kembali mencium hingga mendengar desahan di bibir yang sudah menjadi candu baginya.
"Aku enggak akan tidur sama Mariana atau siapa pun. Karena yang aku mau, hanya kamu."
Dara melingkarkan tangan di pinggangnya, menariknya lebih dekat dan membalas ciumannya. Ketika Putra menurunkan bibir di sepanjang lehernya jenjang Dara, ia mengangkat tubuh kekasihnya yang dengan sigap melingkarkan kakinya.
"Sofa, ranjang atau di atas counter top?"
"Gila apa counter top! Ranjang, lah!" hardik Dara yang meraih kaos Putra dan menariknya ke atas.
***
"So ... siapanya kamu Marimas itu?"
Putra meletakkan kembali suapan nasi di depan mulutnya sebelum tertawa terbahak-bahak.
"Ojo ngguyu, Mas!"
"Bisa-bisanya kamu masih cemburu setelah apa yang kita berdua lakukan tadi, sih, Yang?" jawab Putra.
"Jangan bilang kamu enggak cemburu!" selanya ketika melihat Dara membuka mulut.
Dara membuang muka dan meneruskan makan malamnya tanpa memandang Putra yang berusaha untuk menahan senyum di bibirnya.
"Mariana bukan Marimas itu anak teman Mama, kalau kamu mau tahu. Dan sebelum kamu makin cemburu lagi, meski enggak mau mengakuinya. Aku ngabisin waktu makan siang dengan cerita kalau aku lagi jatuh cinta sama perempuan cantik yang enggak mau ngaku kalau dia juga cinta sama aku. Aku cerita sama Mariana kalau aku jatuh cinta sama perempuan itu sejak pertama kali lihat dia turun dari mobil bersama calon istri sahabatku."
Dara meletakkan piring kosong di atas meja dan mengubah arah duduknya hingga lutut keduanya saling bersentuhan.
"Kamu sering ketemuan sama anak teman Mama kamu gitu? Hunting calon istri banget, ya, Mas?" goda Dara yang terdengar ketus.
Putra berdiri dan mengumpulkan piring keduanya sebelum menuju dapur dan kembali dengan dua gelas es teh.
"Mama selalu mengatur pertemuanku dengan anak-anak temannya. Mama sih enggak berharap banyak, cuma pengen aku punya banyak kenalan. Kebiasan sejak aku SMA itu enggak hilang sampai sekarang."
"Kenapa?" tanya Dara.
Putra menarik tubuh Dara hingga perempuan yang masih terlihat menyimpan banyak pertanyaan tersebut duduk membelakanginya. Setelah menarik tubuh Dara hingga sepenuhnya menyandar padanya, Putra merasa bisa bernapas lega.
"Aku enggak punya banyak teman, Ra. Aku enggak mudah bergaul, sampai sekarang. Teman yang kupunya, hanya Gigih dan Wisnu."
"Pacar?" tanya Dara
"Enggak pernah punya," jawabnya.
Sepanjang hidupnya, Putra belum pernah merasakan jatuh cinta hingga ia melihat Dara. Ketertarikannya pada perempuan selama ini hanya sebatas pelepasan fisik. Semua partner yang ia punya selama ini pun memiliki peraturan yang sama dengannya.
"Jujur, selama ini ... hanya sebatas tertarik fisik. Dan itu murni hanya karena membutuhkan pelepasan. Partnerku selama ini pun memiliki peraturan yang sama, cuma fisik enggak lebih. Sampai kamu keluar dari mobil Yanti."
Dering ponsel Dara memecah keheningan.
"Tunggu, Mas."
Putra mengikuti gerak tubuh Dara ketika kekasih—yang belum mau mengakuinya—meraih tas.
"Hallo,"
" .... "
"Tenang, besok pagi aku anterin ke rumah ibu kamu."
" .... "
"Iya, di kos. Got to go, ada cowok yang nungguin aku." Putra membelalak tidak percaya mendengar jawaban yang Dara berikan.
"Gila apa. Aku cukup puas sama fictional man, Say. Cowok di real life isinya bikin emosi. Bilangnya cinta tapi pergi kencan sama perempuan lagi. Ngeselin, kan!"
" .... "
"Iya, iya ... yang sudah nemu jodoh bisa ngomong gitu. Love you."
Putra masih menatap Dara dengan tanda tanya di kepalanya.
"Kenapa?" tanya Dara ketika melihatnya.
"Cowok real life isinya bikin emosi, gitu, ya?" tanya Putra menarik tubuh Dara hingga keduanya kembali tak berjarak.
"Bilang cinta tapi kencan sama perempuan lain. Kamu masih cemburu sama Mariana?"
Mencoba untuk meyakinkan Dara ia mencintainya bukan sesuatu yang mudah, karena hingga saat ini, hanya kegagalan yang didapatkannya. Namun, Putra tak meyangka akan kesulitan meyakinkan Dara tentang Mariana.
"Aku enggak cemburu, hanya enggak suka kalau—"
"Aku ngabisin waktu sama perempuan selain kamu," selanya.
Dara melepas lilitan tangannya dan beranjak, tapi Putra tak membiarkannya pergi terlalu jauh.
"Lepasin, Mas. Aku mau pulang!"
"Enggak! Aku masih kangen, dan kamu enggak boleh pulang sampai besok pagi."
Putra tak melepas tangannya hingga melihat anggukan kepala Dara.
"Tapi aku enggak mau kita ngapa-ngapain. Aku mau kita ngobrol," pinta Dara.
"Oke. Mau ngobrol apa?" tanya Putra berjalan menuju ranjang tanpa melepas lilitan tangan di pinggang Dara.
"Kamu boleh tanya apapun, dan aku bakalan jawab jujur. Tapi ngobrol ini berjalan dua arah, kalau aku harus jujur, begitu juga denganmu. Siap?!"
Dara terlihat berpikir sebelum kembali mengangguk. Putra membawa Dara naik ke atas ranjang.
"Aku boleh tanya berapa pertanyaan?"
Putra tak bisa berhenti memandang wajah cantik Dara yang bersih tanpa make up. Kulit putihnya terlihat bersinar, bahkan sesekali ia bisa melihat semu merah muncul setiap kali Dara tersipu malu.
Putra mencium kening Dara lama, "I'm all yours. Kamu boleh tanya sebanyak apapun."
Dara tipe perempuan yang tidak bisa diam saat sebelum tidur, dan Putra baru mengetahui malam ini ketika ia menanti pertanyaan dari bibir kekasihnya. Perempuan yang beberapa saat terlihat sibuk mencari posisi yang membuatnya nyaman terlihat menggemaskan. Putra tak bisa menahan senyum ketika ia mulai menghitung berapa detik hingga Dara kembali mengubah posisi tidurnya.
"Udah?" tanyanya setelah melihat Dara tak bergerak selama hampir satu menit.
"Yakin?" tanyanya setelah mendapat anggukan.
"Aku siap menjawab apapun pertanyaanmu, Yang."
"Apa pekerjaanmu?"
Pertanyaan pertama tanpa diawali dengan keberatan ia memanggil sayang merupakan tanda baik menurut Putra.
"Sejak pertama kali mengenalmu, aku enggak tahu apa yang kamu kerjakan, Mas."
Putra telentang menatap langit kamarnya, berbantal tangan kanan—karena lengan kirinya sibuk menjadi bantal untuk Dara—ia menjawab pertanyaan Dara.
"Ada beberapa usaha gabungan sama teman. Bukan silent partner yang cuma ikutan nanam modal gitu. Seperti Mas Seno sama Mas Ganin, lah," jawab Putra menyebut nama dua orang yang bertemu Dara hari ini.
"Aku co-owner start up company bernama klining serpis, seb—"
"Klining serpis!" kata Dara sambil terduduk. "Kamu yang punya klining serpis? Mbujuk, kan? Enggak mungkin itu punya kamu!"
Putra bukan pria yang mudah menerima pujian. Setiap kali mendapatkan pujian, ia selalu merasa tak layak untuk mendapatkannya. Hanya mamanya, Gigih dan Wisnu yang mengetahui hal tersebut. Saat ini, mendengar reaksi Dara, ia merasa sesuatu yang berbeda. Ketidakpercayaan dan kekaguman yang terlihat jelas dari mata Dara yang membulat membuatnya terkekeh.
"Beneran punya kamu, Mas? Kok bisa?"
"Co-owner, Sayang. Aku sama teman waktu kuliah namanya Doddy. Kami berdua sama sih, punya beberapa usaha gitu."
Dara kembali merebahkan badan, dan menatapnya.
"Kamu punya banyak duit, kalau gitu!"
Tawa Putra semakin kencang mendengar pertanyaannya.
"Tanya mama berapa banyak aset yang aku punya. Karena beliau yang lebih tahu."
Semenjak mampu menghasilkan uang sendiri, Ine menjadi konsultan pajaknya. Wanita yang melahirkannya tiga puluh lima tahun lalu tersebut pun menjadi manager keuangannya.
"Aku enggak terlalu pandai mengatur. Mama sebenarnya juga enggak mau ngatur keunganku. Tapi terpaksa karena aku pernah dibohongi orang."
"Mama kamu ... di Surabaya?" tanya Dara yang semakin nyaman berada dalam pelukannya. Putra bahkan tak keberatan ketika hampir separuh berat badan Dara ada di atas tubuhnya saat ini.
"Hubungan kalian berdua pasti baik-baik saja, enggak seperti aku sama Mama," ucap Dara.
Mendengar nada sedih yang terdengar samar dari bibir Dara, membuat Putra semakin mengeratkan lingkaran tangannya.
"Seperti yang perna aku bilang dulu. Aku enggak kenal siapa Papaku, dan Mama enggak pernah bilang siapa. Waktu SMA aku baru tahu kalau Mama enggak bakalan bisa menjawab siapa Papaku, karena." Putra berhenti ketika ragu untuk meneruskan cerita sedih Mamanya.
"Jangan diterusin kalau itu susah," ucap Dara yang sudah merubah posisi tidur. "Aku enggak mau kamu cerita kalau itu sesuatu yang berat."
"Tapi kamu harus tahu!" kata Putra tegas.
"Mama diperkosa di kamar mandi kampusnya waktu baru mulai kuliah, sembilan bulan kemudian aku lahir."
Putra menatap kedua mata Dara, mencari rasa kasihan, simpati atau apapun. Namun, yang ia lihat hanya cinta. Setidaknya itu yang Putra rasakan saat ini. Dara mengusap dadanya dengan pelan.
"Lanjutin," pinta Dara membuat Putra tersenyum lega.
"Setelah kejadian itu, eyang bawa mama dan pakdhe Rasya pindah ke Surabaya. Mama nerusin kuliah di Petra sampai lulus dan diterima kerja di dinas pajak sebelum pensiun."
Dara menarik diri dan duduk bersila di sampingnya. "Kenapa, Yang?" tanya Putra.
Keduanya saling menatap dengan penuh arti. Putra menyandar di kepala ranjang dan Dara bersila menghadap ke arahnya. Tidak ada kata untuk beberapa saat, dan Putra menanti hingga melihat Dara membuka bibir.
"Aku dan Papa terlibat kecelakaan di jalan tol."
Putra menarik napas tajam, mengenggam tangan Dara.
"Papa meninggal dan aku luka parah. Aku engak ingat apa yang dokter katakan. Yang kuingat hanya, rahimku harus diangkat karena ada pendarahan dalam yang mengancam nyawaku."
Putra beranjak dan menarik tubuh Dara ketika melihat air mata meleleh di pipinya. "Sayang."
"Itu yang Mama maksud aku enggak bakalan bisa hamil," kata Dara di antara isakannya.
Putra semakin erat memeluk perempuan yang selalu terlihat kuat di matanya selama ini.
"Kamu salah mencintai perempuan, Mas. Kamu harusnya sama perempuan seperti Mariana, yang bisa hamil anak kamu nanti," kata Dara di antara isak tangisnya.
"Tapi aku enggak mau punya anak!"
Dara menarik kepalanya dan membelalakkan mata tidak percaya dengan pengakuannya.
"Sejak tahu aku anak hasil perkosaan, keinginan untuk memiliki anak seolah menghilang. Aku pengen bisa menikah, memiliki istri, tapi untuk anak ... untuk saat ini, aku punya Dea dan Lala yang bisa kumanjakan."
Dara masih terlihat shock. "Aku enggak ngerti harus ngomong apa, Mas." Sebelum Putra sempat mengatakan sesuatu, Dara berdiri meninggalkannya sendiri.
"Ra," panggilnya ketika perempuan yang terlihat sexy memakai salah satu kemeja lengan panjangnya membuka pintu kamar mandi.
"Jangan pulang," pintanya.
Tanpa mengatakan apapun, Dara hanya mengangguk dan menutup pintu. Membawa serta semua senyum yang ada di bibirnya, membuat suasana hati Putra menjadi tidak beraturan.
Lebih dari lima menit Putra menanti, tapi ketika pintu kamar mandi tak kunjung terbuka. Ia menyerah. Putra meninggalkan kamar dan menuju ruang kerjanya. Membuka laptop dan membaca email yang masuk sejak tadi pagi.
Pekerjaan selalu menjadi pelariannya setiap kali terjadi sesuatu. Hanya itu yang bisa mengalihkan pikirannya. Saat ini, ia membutuhkan pengalihkan dari wajah kecewa Dara yang terlihat jelas. Putra tidak menyesali keputusannya untuk menceritakan pada Dara tentang keinginannya. Namun, ia menyesal tak menunggu sedikit lebih lama untuk melakukan itu. Kini, satu-satunya yang bisa dilakukannya adalah mulai belajar menerima kenyataan jika Dara tak ingin berurusan dengannya lebih lama lagi.
"Kalau tahu bakalan ditinggal kerja, mendingan aku pulang!"
Putra terkejut mendengar suara Dara.
"Kenapa? Kok kaget gitu?" Ia masih terdiam.
"Aku pulang ajak kalau gitu."
Secepat kakinya bisa melangkah, Putra menghampiri Dara dan memutar tubuhnya. "Kamu masih di sini," ucapnya tidak percaya. "Kamu enggak pergi."
"Kalau kamu pengen sendiri, aku bisa pulang, Mas!" jawab Dara terdengar jengkel.
"Bilang aja kalau kamu lebih senang ditemenin Marimas."
Putra mengikuti Dara yang sudah melangkah kembali ke kamar. Ia mengira akan melihat Dara bersiap untuk pulang. Namun, Putra mendapat kejutan ketika melihat Dara kembali naik ke ranjang dan menepuk tempat kosong di sampingnya.
"Kita belum selesai tanya jawab. Sini!"
Putra tidak memerlukan perintah dua kali untuk menuruti Dara. "Sekarang cerita sama aku kenapa kamu enggak pengen punya anak."
Ia sudah menduga akan mendapat pertanyaan itu, tapi tak menyangka akan datang secepat ini. Putra bahkan tak merencanakan untuk mengungkapkan rahasia terdalamnya pada Dara. Namun, mengingat tanpa sengaja ia mengetahui tentang kondisi Dara, Putra merasa adil kalau menceritakan tentang dirinya. Sesuatu yang tidak seorang pun tahu, termasuk mamanya.
"Memiliki anak adalah komitmen paling besar. Bukan hanya sekedar melahirkannya di dunia tapi memastikan kesejahteraannya. Kesehatannya. Pendidikannya. Semunya, Ra."
Kening Dara mengernyit. "Kamu merasa enggak mampu memenuhi itu?" tanyanya.
Putra menggeleng dengan tegas.
"Selama Tuhan izinkan aku untuk bekerja. Aku bisa penuhi itu semua. Tapi."
Putra meraih tangan Dara dan membawa tepat di depan bibir dan mengecupnya. "Aku merasa enggak mampu, setidaknya secara emosi. Tapi bukan berarti aku enggak sayang anak-anak. Dea dan Lala sudah jadi tempatku mencurahkan kasih sayang selama ini."
Ia tak pernah berharap akan bertemu seseorang yang akan membuatnya Jatuh cinta hingga bayangan sebuah pernikahan mengisi hatinya. Kehadiran Dara mengubah semuanya.
"Aku Bahkan enggak pernah berencana untuk menikah."
"Kenapa?" Suara lembut Dara membuyarkan lamunannya. "Bukan berarti aku setuju nikah sama kamu, lho, ya."
Seringai di wajah Dara memberi angin segar baginya. Menjadi sinar di ujung pikiran gelapnya.
"Aku merasa enggak rela meneruskan garis keturunan orang pengecut seperti dia. Aku enggak mau memberinya kuasa mengetahui dia punya garis keturunan setelah apa yang dilakukan pada Mama."
Putra tak berusaha menutupi kemarahan. Napasnya sedikit memburu mengingat penderitaan Ine.
"Mama enggak tahu, tapi mendiang Pakdhe pernh cerita. Mimpi buruk yang Mama alami setelah kejadian itu. Perjuangan Mama untuk keluar dari belenggu yang orang itu ciptakan membuat hatiku hancur, Ra. Semua penderitaan Mama terlalu besar untuk kuabaikan."
Dara membuatnya terkejut ketika tiba-tiba menarik diri dan duduk di atas pangkuannya sebelum menangkup pipi dengan lembut.
"Mas," kata Dara lembut. "Aku enggak bisa bayangin semua yang Mama kamu rasakan. Saat tahu kalau aku enggak bakalan bisa hamil, rasanya...."
Dara terdiam tanpa melepas tangannya. "Aku marah sama Mama karena kasih izin sama dokter untuk mengangkat rahimku, meski tahu itu untuk menyelamatkan nyawaku. Aku marah sama Mama, karena Papa meninggal."
"Bukannya kamu bilang itu kecelakaan?" tanya Putra yang tak bisa berhenti mengusap paha Dara.
"Aku tahu itu kecelakaan," kata Dara. "Tapi, ak—"
"Ra," sela Putra. "Ada banyak hal yang kita sembunyikan. Terkadang aku merasa menyembunyikan sesuatu dari diri sendiri—meski tahu itu enggak mungkin—tapi dengan enggak mengakuinya, bukannya itu sama dengan menyembunyikannya. Kamu marah karena memerlukan seseorang untuk di salahkan. Iya, Kan?""
Kenyataan tentang siapa ayah kandungnya dan alasannya untuk tidak ingin memiliki anak merupakan dua hal yang ia sembunyikan dari semua orang. Namun, terkadang ia merasa ada keinginan tersembunyi memiliki seseorang yang bisa diakui sebagai anak.
"Saat aku bilang enggak pengen punya anak. Aku ngebayangin bisa mengatakan di depan lelaki itu kalau garis keturunanmu berhenti di sini. Walaupun aku enggak ngerti siapa dia atau bahkan dia sudah memiliki istri dan anak selain aku. Dan aku enggak akan mencari tahu siapa dia." Tambah Putra.
Dara mengangguk, memahami apa yang Putra ucapkan.
"Aku tahu kalau kematian Papa bukan salah Mama. Tapi aku masih nyalahin Mama untuk kondisiku, aku berhak untuk memiliki pilihan, kan? Mama mengambil itu!"
Berbeda dengannya yang tidak memiliki pilihan untuk dilahirkan dari hasil perkosaan, Putra merasa wajar jika Dara merasa dikhianati. Namun, ia masih merasa Dara dan Mamanya perlu untuk duduk berdua dan membicarakan semuanya. Melepas semua amarah yang keduanya simpan selama ini.
"Jangan minta aku untuk ngomong sama Mama!" kata Dara seolah bisa membaca pikirannya.
"Aku enggak bilang apa-apa, kan, Sayang," jawab Putra.
"Tapi, kalau kamu tanya pendapatku, aku jawab. Tapi kalau enggak ... aku menutup bibirku. Pakai bibir kamu."
Dara memekik ketika Putra mengangkat tubuhnya dan membalik posisi keduanya.
"Pembicaraan kita belum selesai, dan aku pengen menyelesaikannya. Tapi saat ini, kamu jauh lebih menggoda dibanding semua masalah kita bedua."
Malam itu keduanya menghabiskan waktu hingga pagi, berbagi kasih, cinta dan juga mimpi.
Maaf ... karena aku lagi sok sibuk. Whahaha
Wp ada Mas Puput
Karyakarsa ada Mas Rayyan
Happy reading guys
Love, ya!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top