Episode 2.1
Episode 2.1
Putra tidak menyukai perempuan cerewet. Baginya, perempuan yang terlalu banyak bicara hanya menunjukkan kekosongan isi kepalanya. Ia menganggap mereka menyebalkan, menjengkelkan dan memekakkan telinga. Namun, itu semua berubah ketika ia bertemu Dara. Walaupun di pertemuan pertama mereka, Dara tidak terlalu banyak bicara. Bahkan perempuan cantik berambut panjang tersebut lebih banyak diam, meski Putra bisa merasakan beberapa kali Dara meliriknya. Namun, seiring berjalannya waktu, suara dan semua yang dikatakan Dara, seolah menjadi musik terindah di telinganya. Bahkan, ketika Dara tak bersamanya, suara lembut Dara tetap mengisi ruang dengarnya.
Berbeda dengan Gigih yang terkadang terlalu banyak bicara. Putra—seperti Wisnu—tidak terlalu banyak kata. Seperti Wisnu, ia menikmati menjadi pengamat. Memperhatikan setiap hal yang terjadi di sekitarnya. Ia merasa lebih bebas ketika tidak menjadi pusat perhatian. Semua itu berubah ketika ia melihat Dara di salah satu lounge bar yang di datanginya malam itu selepas meeting.
Tak pernah ada dalam bayangannya, ia akan berakhir di atas ranjang bersama sahabat calon istri Gigih. Ia tertarik pada Dara, bahkan sudah jatuh cinta sejak pertama kali melihat senyum perempuan berambut panjang itu. Mata lebar dengan senyum menggoda Dara berhasil menarik hatinya. Putra pun tak segan-segan meminta Gigih untuk mencari tahu segala sesuatu tentang Dara.
“Apa yang kamu lakukan padaku, Ra,” katanya pelan pada perempuan yang tertidur dalam pelukannya setelah apa yang mereka lakukan beberapa saat lalu.
“Aku enggak bisa berhenti mikirin kamu. Aku enggak bisa ngebayangin hidup tanpa kamu. Aku enggak mau!” bisiknya pelan ketika Dara bergerak semakin masuk dalam pelukannya. Perempuan yang menyita hampir seluruh isi kepalanya itu masih tak mau mengakui ketertarikan di antara mereka, dan Putra tak akan menyerah. Dengan sangat lembut dan pelan, ia membelai punggung telanjang Dara hingga matanya terpejam dengan senyum di bibir.
***
Beberapa hari berlalu sejak sore itu—ketika tidak menemukan Dara dalam pelukannya—suasana hati Putra memburuk. Bahkan ia hampir terlibat baku hantam bersama Gigih ketika mampir ke kantor kedua sahabatnya untuk mengalihkan pikiran.
“Kamu kenapa, to, Mas?” tanya Ine—mamanya—yang ia temui sepulang dari kantor Gigih. Putra yang memutuskan untuk tinggal terpisah dengan Ine semenjak menghasilkan uang sendiri tak pernah berhenti mengunjungi Mamanya dua hingga tiga kali dalam seminggu. Wanita yang selalu sibuk dengan berbagai macam kegiatan semenjak memutuskan untuk pensiun dini dua tahun lalu itu memandangnya dengan mata menyipit.
“Mama tahu ini bukan karena pekerjaan. Karena enggak pernah sekalipun kamu terganggu sampai bad mood begini kalau urusan pekerjaan! Kenapa? Cerita!” desak Ine yang tak berhenti menatap Putra.
“Ma, kalau pada waktunya nanti.” Putra berhenti. “Aku enggak punya anak. Mama, gimana?”
Mamanya terlihat kaget, tapi tak terlihat marah ataupun kecewa, dan itu membuat Putra sedikit bernapas lega. Walaupun, ia belum mendapatkan jawaban yang diinginkannya saat ini.
“Kenapa tiba-tiba tanya anak? Atau kamu mau nikah tapi enggak bilang-bilang sama Mama?” tanya Ine yang terlihat bingung. “Kamu kenapa, to, Mas.”
Putra tak pernah kekurangan sosok pria di masa pertumbuhannya. Meski setiap kali ia bertanya tentang keberadaan Papanya, Ine tak pernah memberikan jawaban. Hingga saat Putra mendengar cerita sebenarnya.
Keberadaan Rasya—kakak lelaki Ine—mampu mengisi kebutuhan Putra akan sosok lelaki. Namun, setelah mendengar semua yang terjadi pada Mamanya, membuat Putra tak ingin memiliki anak. Ia tak ingin menjadi sosok egois jika suatu saat tak bisa berada di sana untuk anaknya. Ia tak ingin mengacaukan kehidupan seorang anak seperti yang pria pengecut itu lakukan padanya.
“Mas. Apa ini karena dia?” tanya Ine yang tak pernah menyebut nama papanya.
Putra menggeleng tegas. Ia tak akan memberi kepuasan pada pria yang membuat Mamanya menderita dengan memikirkannya.
“Aku ketemu perempuan cantik, Ma,” ucapnya cepat.
Putra menarik tangan Ine yang mengusap pelan pipinya beberapa saat lalu. “Mama belum kenal Yanti, calon istri Gigih, kan? Nah, cewek ini sahabat Yanti.”
“Lalu apa hubungannya cewek ini sama kamu enggak mau punya anak?”
Mengalihkan pembicaraan Ine bukan sesuatu yang mudah, dan Putra tahu itu. Namun, ia tetap berusaha untuk membuat Mamanya berhenti membahas tentang anak. Walaupun ia yang menyebutkan untuk pertama kali.
“Enggak ada hubungannya, sih, Ma. Aku baru keinget aja. Orangnya cantik, Mama pasti suka.”
Ia tak tahu apakah bisa mengenalkan Dara pada Mamanya. Setelah aksi kabur Dara beberapa hari lalu, hingga hari ini Putra tidak mendapat kabar meski ia sudah mengirim banyak pesan.
“Tunggu ... sepertinya Mama tahu.”
Putra menarik alisnya tinggi, tak tahu apa yang Ine maksudkan.
“Cewek ini yang bikin kamu bad mood, kan?!”
“Mama sok tahu,” ucapnya tak ingin mamanya mengetahui apa yang ada di kepalanya.
“Ma, gimana caranya ngeyakinin cewek, sih?”
Wanita keturunan Yogya yang memiliki paras cantik tersebut meninggalkan Putra dan kembali dengan beberapa kotak makanan di tangannya.
“Meyakinkan gimana maksudnya?”
“Jangan ketawa, tapi ... kayaknya dia yang aku cari selama ini.”
Putra tak pernah malu menceritakan apa pun pada mamanya. Kecuali tentang petualangannya selama ini bersama beberapa perempuan yang pernah dekat dengannya. Ia tak pernah memiliki kekasih, semua yang pernah dekat dengannya hanya sebatas pemenuhan kebutuhan, tidak lebih. Putra selalu meyakinkan pada mereka untuk tidak melibatkan perasaan.
“Kurangi bobo sama perempuan biar otakmu enggak gesrek!”
Putra tertawa terbahak-bahak mendapati Ine mengetahui rahasia yang ia simpan selama ini.
“Kamu kira Mama enggak tahu! Kalau emang itu cewek bikin kamu jatuh cinta, kejar! Tapi ... sebelum itu, kamu bisa kenalan sama anak temen Mama besok!” ucap mamanya tiba-tiba, membuat Putra menggeleng tak percaya.
Ine bukan tipe ibu yang selalu memaksakan kehendaknya. Namun, jika wanita yang sudah menjadi nenek bagi Dea dan Lala itu memiliki keinginan. Tak seorang pun bisa menahannya. Seperti ketika Putra mendapat perintah untuk berkenalan dengan anak salah satu temannya.
“Harus besok, Ma?” tanyanya yang tak suka harus mengubah rencana kerja yang sudah susah payah ia susun.
“Makan siang, besok!” jawab Ine menyebutkan salah satu nama restoran nusantara yang berada tak jauh dari kantor Gigih dan Wisnu. Putra pun hanya bisa mengiyakan dan berpikir untuk mendatangi kantor sahabatnya selepas makan siang.
Malam itu, Putra pulang—seperti biasanya—dengan berbagai macam lauk yang mamanya persiapkan. Meski dengan hati berat karena ia harus berkenalan dengan perempuan pilihan mamanya, mengingat Dara yang tak mau membalas pesan membuat Putra tersenyum.
***
Pelan-pelan. Jangan berharap dia langsung percaya sama kamu, Mas.
Pesan mamanya terngiang kembali sepanjang jalan menuju restoran tempatnya bertemu dengan anak teman Ine. Ia tak tahu bagaimana melakukan pelan-pelan ketika semua yang terjadi padanya dan Dara seolah melewati jalan bebas hambatan. Meski itu semua tak membuatnya semakin dekat. Putra tak tahu bagaimana melakukan saran mamanya, saat yang diinginkannya hanya Dara. Sekarang!
Di lantai dua sesuai deskripsi yang mamanya berikan, Putra melihat satu orang perempuan dengan rambut panjang berwarna hitam dengan kacamata bertengger di hidung mancungnya. Dari kejauhan, ia tak bisa melihat wajah yang kini tersembunyi di balik rambutnya ketika perempuan itu menunduk di atas bukunya.
Seketika pikirannya berlari menuju Dara dan kecintaannya pada novel. Putra mengetahui itu sejak Gigih menceritakan padanya tentang Yanti yang memiliki hobi membaca sejak pertama mereka berdua berkenalan. Rasa rindu pun menguasai Putra, setiap hal yang ia lihat, membuatnya mengingat Dara.
Sambil berdiri mematung, Putra mencoba untuk mencari secuil antusias bertemu dengan anak teman mamanya. Ia tak melepas pandangan dari perempuan yang belum sadar telah menjadi pusat perhatiannya. Putra mengedarkan pandangan, hanya beberapa meja yang terisi, memudahkannya untuk mengenali perempuan bernama Mariana—sesuai informasi mamanya—yang tak menyadari kehadirannya saat ini. Setelah puas memandang—meski ia masih tak menemukan antusias itu—Putra melangkah mendekati Mariana.
“Hai. Mariana?” tanya Putra setelah perempuan yang di sapanya mengangkat kepala dari buku di hadapannya.
“Saya Putra. Anaknya Bu Ine.”
Mata membelalak di balik kacamata segera menarik perhatian Putra. Dua bola mata yang berwarna hitam itu seolah menelannya, memerangkapnya dalam kegelapan.
“Sorry ... saya kira. Sorry sorry ... silahkan duduk, Mas Putra.”
Gugup. Itu yang Putra rasakan ketika keduanya sudah duduk berhadapan dengan tangan terlipat di atas pangkuan.
“Dilihat dari reaksi kamu, aku tebak kalau kamu enggak tahu masalah kencan buta ini,” tebak Putra yang langsung ditanggapi dengan senyum oleh Mariana.
“Jadi beneran, kamu enggak tahu?!” tanyanya lagi.
“Sebenarnya bukan enggak tahu, kok, Mas. Cuma enggak nyangka aja kalau anaknya tante Ine.” Mariana terdiam, membuatnya bingung juga penasaran.
“Kenapa dengan saya?” tanya Putra yang siang itu menggunakan salah satu celana panjang—yang jarang dilakukannya—kemeja lengan panjang melapisi kaos bergambar Elmo hadiah ulang tahun dari Lala tahun lalu.
“Saya salah kostum atau gimana? Ngeliatnya kok gitu amat?”
Mariana menutup buku yang bisa Putra baca judulnya dari tempat dia duduk. Buku self improvement yang cukup terkenal, bahkan ia memiliki satu di rak bukunya. Walaupun hingga saat ini, ia belum sempat membacanya.
“Aku enggak nyangka kalau anak Tante Ine ganteng aja,” ucap Mariana pelan.
Pujian Mariana memuatnya terkejut. Putra tidak terbiasa di puji, selama ini ia lebih banyak berada di samping atau di balik layar yang memungkinkannya untuk membaur dan menghilang. Ketika ada seseorang yang memperhatikannya—seperti Mariana—itu membuatnya tidak nyaman. Kecuali jika perhatian itu datang dari perempuan yang selalu menggoda hati dan pikirannya. Perempuan yang hingga saat ini masih enggan membalas pesannya.
“Sorry, saya lancang,” kata Mariana meminta maaf padanya. “Kita ulang dari awal. Saya Mariana, Mas.”
“Hai, saya Putra,” katanya sambil mengulurkan tangan yang Mariana terima dengan senyum simpul di bibir. “Sudah pesan makan?”
Siang itu, untuk sesaat, Putra mampu menghalau pikiran tentang Dara. Untuk sekejap, rasa rindu pada Dara yang terkadang mendominasi hati dan pikirannya, mereda. Semua karena ia tertarik mendengarkan cerita Mariana menjelaskan tentang pekerjaannya sebagai guru bimbingan atau konseling di salah satu sekolah swasta di Surabaya Barat.
“Selama ini, aku kira guru bimbingan itu membosankan. Gurunya udah tua, cuek dan enggak banget,” kata Putra yang sudah menghilangkan sapaan saya, dan menggantikannya dengan aku.
“Aku menikmati kerja sama anak-anak, Mas. Mereka itu komplek, lho. Meski lebih sering diremehin, tapi mereka itu kritis. Ada beberapa anak yang isi kepalanya main, atau belajar. Tapi, ada beberapa orang yang membuatku menarik dan kagum.”
Putra tidak terlalu banyak berinteraksi dengan anak remaja, selain Lala dan Dea. Meski terkadang kedua anak gadis itu membuat kagum dengan cara berpikirnya, tapi Putra tidak memiliki ketertarikan sebesar Mariana. Dari caranya menceritakan tentang murid-muridnya, Putra bisa menduga sedekat apa mereka.
“Aku hanya punya pengalaman dengan remaja dua orang, dan keduanya masih berumur sepuluh. Mereka anak dari dua sahabatku, bisa dibilang i’m their best uncle, ever.”
Tawa Mariana yang lepas tak terlihat terpaksa membuat Putra semakin nyaman untuk bertukar cerita. Kencan buta yang biasa berakhir dengan buruk, kali ini terasa lebih baik. Ia berpikir untuk menceritakan pada mamanya, tapi segera dibatalkannya. Mengingat keinginan Ine untuk melihatnya menikah, menceritakan tentang hasil kencan buta, bukan pilihan yang tepat.
“Kenapa Mas Putra mau dikenal-kenalin gini? Kalau aku lihat, modal Mas cukup untuk cari kencan sendiri, kan?”
“Modal,” ucap Putra sambil tertawa. “Aku harus jujur sama kamu,” kata Putra.
“Aku lagi usaha untuk deketin perempuan yang sampai hari ini tetap bertahan dan menolak semua usahaku.”
Wajah Mariana terlihat tertarik, tidak seperti yang Putra bayangkan. Tidak ada raut jengkel atau marah, bahkan perempuan yang kini menyepol tinggi rambutnya, memajukan badan dan berkata, “Cerita. Aku suka dengerin cerita gini ini. Siapa namanya? Orangnya seperti apa? Kenapa dia nolak kamu, Mas?”
Seperti Mariana, kini ia memajukan tubuh hingga keduanya berdekatan. “Namanya Dara, dia sahabat calon istri sahabatku.”
Mariana tertawa mendengar hubungan pertemanannya dan Dara. “Sejak pertama kali ketemu, aku sudah tertarik sama dia. Tapi belum ada kesempatan untuk benar-benar ngobrol berdua. Sampai.” Putra terdiam, ragu untuk menceritakan terlalu banyak detail pada perempuan yang baru saja dikenalnya hari ini.
“Kalian tidur bareng,” tebak Mariana yang melihatnya terdiam. “Aku bisa ngebaca dari reaksimu, Mas. Dan untuk informasi, aku enggak akan menghakimi gaya hidupmu. Ceritakan lagi,” pinta Mariana menghapus keraguannya.
Makan siang itu harus diakhiri ketika Mariana tiba-tiba mendapat telepon dari salah satu murid yang membutuhkan bantuannya. Tanpa ragu, perempuan itu menulis nomor teleponnya di selembar kertas dan mengulurkan padanya.
“Aku tunggu kelanjutan ceritamu dan Dara, Mas. Aku berharap kalian berdua menemukan akhir cerita bahagia.” Mariana merapikan barang bawaannya sebelum berdiri.
“Thank you. Kapan-kapan kita bisa lanjutin ceritanya,” jawab Putra mengulurkan tangan. “Senang berkenalan denganmu, Mariana.”
“Me too, Mas. Thank you.” Mariana meninggalkannya sebelum ia sempat menghabiskan makan siangnya. Tak ingin menyia-nyiakan waktu istirahatnya, Putra meneruskan makan sebelum turun ke lantai satu. Saat itulah dari jendela yang ada di samping tangga, ia melihat mobil Wisnu dan Gigih di sana.
Putra mencari di lantai satu, dan menemukan keempat orang yang terlihat tertawa bersama di salah satu meja.
“Kenapa aku enggak tahu kalau kalian semua janjian makan siang?” kata Putra, membuat empat pasang mata memandangnya dengan tanda tanya.
Pandangan penuh selidik Gigih dan Wisnu membuatnya tak terkejut ketika Wisnu menebak dengan benar.
“Ketemu cewek?” tanya Wisnu bersamaan dengan kemunculan Dara.
Putra yang melihat tanda bahaya segera melotot ke arah Wisnu, tapi pria yang sedang menjalin hubungan dengan Keke tersebut justru semakin membuatnya jengkel.
“Beneran ketemu cewek,” tambah Wisnu yang semakin membuat Putra meradang.
“Siapa ketemu cewek? Kamu, Mas?!” tanya Dara padanya dengan suara sedikit kencang membuat semua orang terkejut. Putra membuka bibir tapi segera menelan kembali pembelaan dirinya ketika mendengar ucapan Dara.
“Beneran ketemu cewek ternyata.”
Orang bilang cemburu tanda sayang. Namun, Putra meragukan hal itu ketika bisa merasakan amarah yang muncul disetiap ucapan Dara. Penolakan tegas yang Putra dapatkan ketika ingin bertemu juga dengan dua orang investor yang dikenalnya pun semakin mengukuhkan kecurigaannya. Dara marah bukan karena cemburu, Perempuan itu hanya marah padanya.
Lirikan penuh curiga yang Putra dapatkan dari kedua sahabat Dara tak membebaskannya dari masalah. Meskipun Gigih dan Wisnu mencoba untuk membantu dengan mengalihkan pembicaraan, tapi lirikan tajam dua orang perempuan itu pun tak berkurang.
Sayang, aku bisa jelasin semuanya
Putra mengetikkan pesan pada Dara yang meninggalkan meja ketika teleponnya berdering.
Itu semua enggak seperti yang kamu duga. Can we talk. Please
Putra tahu Dara membaca pesannya, seperti pesan-pesan yang lainnya yang sudah ia kirim sejak kemarin. Namun, tak ada satu balasan pun yang Putra dapat, hingga hari ini.
Kamu luangkan waktu untuk ngomong atau aku tunggu kamu di depan kos dan membuat Yanti curiga. Kamu pilih mana?
Dara Puspita
Yanti udah pulang ke rumah ibunya. Kalau mau nunggu, ya monggo
Meski hanya mendapat penolakan, tapi Putra tersenyum bahagia. Mengabaikan empat pasang mata yang masih menatapnya curiga saat ini.
Kita bicara atau aku cerita sama mereka berempat sekarang!
Dara Puspita
I hate you
No you’re not. You love me
Aku jemput nanti, kabari selesai jam berapa setelah ketemu Mas Seno
Dara Puspita
Enggak! Tunggu aku di lobby apartemen kamu aja, nanti aku hubungi lagi. Sekarang, pulang! Aku enggak mau kamu ngerusak konsentrasi kerjaku
Sampai ketemu di rumah. Love you
Senyumnya semakin lebar ketika melihat Dara mengetik, meski Beberapa detik kemudian tak ada pesan yang masuk. Setelah menyimpan ponsel di saku, Putra berdiri.
“Mau ke mana?” tanya Wisnu menghentikannya.
“Mau pulang Mas Ninu. Cewekku mau datang, aku harus siap-siap biar dia betah sampai pagi,” jawab Putra yang semakin membuat semua orang curiga.
“Jancuk, Put. Aku lak wis ngomong—”
Putra mengangkat tangan memberi peringatan pada Gigih dan Wisnu.
“Aku balik dulu, salam buat Dara. Nyonya nyonya… senang bertemu dengan kalian berdua.” Sebelum siapapun sempat menjawabnya, Putra menuju pintu keluar dan mencari Dara.
Ketika tak menemukan keberadaan Dara, Putra menuju mobil yang ia parkir di samping bangunan restoran dan tersenyum lebar. Perempuan yang hari itu terlihat mempesona dengan terusan panjang tanpa lengannya sedang sibuk menjawab telepon, berdiri tepat di samping mobilnya. Rambut indahnya tergerai dengan jepit hitam di atas telinga kirinya. Putra berjalan mendekat bersamaan dengan Dara membalik badan. Ia mengecup bibir Dara yang tak siap hingga terdiam dan melupakan siapapun yang ada di ujung sambungan.
“Sampai ketemu di rumah, love you,” ucapnya mengusap pelan pipi Dara yang terdiam dan mengangguk patuh. Putra mencium Dara sekali lagi setelah memastikan tidak ada siapapun yang melihatnya.
“Aku kangen.”
Nekad. Putra tahu itu. Namun, stress yang ia rasakan karena menahan rindu membuatnya mampu melakukan apa pun meski itu membuat Dara meradang. Seperti saat ini. Ketika tiba-tiba perempuan di depannya seolah sadar dan mendorongnya menjauh.
“Mas, kamu itu! Kalau ada yang lihat, gimana, coba?!” hardik Dara.
“Jadi… kalau enggak ada yang lihat boleh?” goda Putra berusaha menahan raut bahagianya.
“Sak karepmu, Mas. Mulih, kono!” hardik Dara meninggalkannya sendiri dengan senyum lebar di bibirnya.
Mas Puput muncul mengawali hari di tahun yang baru.
Happy reading guys
😘😘😘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top