Episode 1.3

Episode 1.3

Dua minggu setelah permintaan Hayu—mamanya—kini Dara kembali dihadapkan dengan situasi yang tak menyenangkan ketika memasuki restoran keluarganya. Memenuhi permintaan Hayu, ia melangkah memasuki tempat makan yang menjadi satu dengan pusat oleh-oleh tersebut. Keramaian yang menyambutnya tak membuat Dara berencana untuk masuk ke dalam bisnis keluarganya. Semua karena pertengkaran antara Dara dan Hayu ketika memasuki kelas dua SMA.

“Mbak Dara, lama enggak kelihatan?” kata Ami, pegawai setia Hayu.

“Sudah ditunggu di belakang.”

Tanpa menjawab apa pun kecuali senyum ramah yang sudah Dara kuasai selama ini, ia melangkah menuju area outdoor yang berfungsi sebagai kafe. Masih dengan senyum di bibir, membalas sapaan beberapa pegawai yang mengenalnya, Dara menuju kursi yang Ami tunjuk.

Namun, langkahnya terhenti ketika mengenali siapa yang menunggunya di sana. Tidak terlihat seperti pengunjung biasa, pria yang tampak rapi dengan kemeja berwarna biru pudar tersebut duduk menyandar dengan rokok di tangan. Entah kenapa, ia ragu untuk melangkah.

“Sore,” sapanya ketika berdiri tepat di depan pria tanpa nama itu.

“Kamu sudah datang. Duduk!” perintah yang enggan Dara patuhi menyambutnya.

“Silahkan duduk, Ra. Kita enggak akan bisa bicara dengan nyaman kalau kamu berdiri dan saya duduk begini.”

“Kenyamanan Bapak bukan tanggung jawab saya, kan?” jawabnya ketus sambil melipat tangan di depan dada, tanpa menyadari hal itu membuat mata yang tak lepas darinya membesar.

“Lagian, bisnis Bapak itu sama Mama. Bukan dengan saya!”

Pria yang masih sibuk menghisap batang rokoknya sebelum mematikan itu membuat Dara memikirkan tokoh-tokoh mafia di novel kesukaannya. Ada semacam kekuatan yang menakutkan memancar darinya. Membuat Dara semakin yakin untuk tidak menyetujui permintaan Mamanya.

“Nama saya Anton.” Dara mengangkat satu alis, seakan berkata siapa yang tanya.

“Dan saya punya penawaran yang sebaiknya kamu dengarkan terlebih dahulu sebelum menolaknya!”

Anton tidak bergaya seperti konglomerat dengan jam tangan bertatahkan berlian. Bahkan sepatu yang dipakainya pun merek lokal dengan harga tidak terlalu mahal. Namun, Dara bisa merasakan Anton bukan sembarang orang kaya. “Please!”

Dara meletakkan tas di kursi yang tak terisi sebelum duduk menghadapi Anton dengan dagu terangkat tinggi dan punggung tegak.

“Bapak mau bicara penawaran, silakan. Saya akan mendengarkan, tapi itu bukan berarti saya menerimanya!” kata Dara menegaskan sikapnya.

Anton terlihat terhibur dengan aksinya, tapi itu tak membuat Dara mundur dari sikapnya. Ia bertekad untuk bertahan dan menolak penawaran apa pun yang Anton atau Hayu usulkan.

“Saya memang butuh istri, dan Hayu butuh suntikan dana. Saya bisa kasih dana tak terbatas untuk rencana peluasan usaha Hayu. Saya bisa menafkahi kamu per bulan berapa pun yang kamu minta. Kamu enggak perlu tinggal di kamar kos itu lagi. Kamu bisa tunjuk mau tinggal di mana. Surabaya, Bali, Jakarta, Singapura, Hongkong, London atau New York. Kamu enggak perlu lagi bekerja ketemu klien, karena istri saya hanya boleh melayani saya, bukan orang lain.”

Setiap kata yang Anton ucapkan membuat amarah yang ada di dadanya semakin menggelora. Namun, Dara berusaha untuk menahan diri dan membiarkan Anton menyelesaikan penawarannya.

“Saya bisa kasih kamu apa pun, kecuali satu, anak. Karena saya sudah punya penerus, dan tidak memerlukan tambahan anak. Saya bisa wujudkan apa pun impian kamu. Kamu tidak akan kekurangan suatu apa pun. Saya bukan lelaki yang tidak mampu berlaku adil, Ra. Saya penuhi apa pun permintaan kamu. Asalkan kamu melakukan hal yang sama untuk saya.”

Dara kembali melipat tangan di depan dada dan membiarkan mata Anton terpusat pada dua kancing kemeja teratasnya yang terbuka.

“Saya... tersanjung dengan semua yang Bapak tawarkan. Jujur, ngebayangin enggak perlu keluar rumah untuk open house atau ketemu klien cukup menggoda saya.”

Senyum puas Anton membuat Dara kembali melanjutkan jawabannya.

“Ngebayangin pergi ke mana saja tanpa bingung biaya, membuat saya tergoda. Tapi... ada beberapa hal yang Bapak enggak tahu tentang saya.”

Anton tak terlihat terkejut, bahkan dengan santai, ia menyulut satu batang rokok kembali.

“Pertama, saya enggak pernah peduli dengan usaha Mama. Mungkin terdengar kejam, tapi saya enggak mau tahu dengan usaha yang membunuh Papa saya! Kedua.”

Dara tak memberi Anton kesempatan untuk menyelanya.

“Saya punya kekasih... calon suami lebih tepatnya.”

“Saya tahu kamu enggak punya calon suami,” ucap Anton membuatnya terkejut. “Saya tahu semua hal tentang kamu, Dara Puspita.”

Ketenangan yang beberapa saat lalu membuatnya merasa di atas angin, kini goyah dan terancam buyar. Dara mengedarkan pandangan, menolak untuk melihat Anton, karena tak ingin pria itu bisa melihat ketakutan di wajahnya.

“Kenapa enggak menerima penawaran saya saja, Ra?! Kamu tidak akan hidup susah. Apa pun yang kamu ingin ... apa pun itu, yang harus kamu lakukan hanya menunjuknya.”

”Berapa istri sah yang Pak Anton punya saat ini?” Anton tak terlihat ingin menjawab pertanyaannya.

“Ada berapa banyak perempuan yang siap membuka kaki lebar untuk Bapak saat ini?” Anton masih terdiam.

“Kenapa kamu enggak terima saja penawaran saya. Kalau ternyata hubungan kita enggak berhasil, kamu bisa mencari kesenangan di luar meski status kita berdua masih suami istri.”

Dara terkejut mendengar penawaran yang semakin lama terdengar tidak masuk akal di telinganya.

“Saya enggak bisa menerima penawaran Bapak, karena saya....” Dara terdiam ketika melihat seseorang yang akrab di matanya melintas area outdoor menuju pintu keluar.

“Mas!” teriaknya sambil berdiri dan berdoa semoga pria yang ia maksud mendengar suaranya.

“Sayang, tunggu!” Tanpa mengatakan apa pun pada Anton, Dara menghampiri Putra yang berhenti ketika mendengar teriakan keduanya.

Dara tersenyum dan melingkarkan tangan di pinggang Putra ketika berhenti di depannya. “Jangan banyak tanya, cium aku meski saat ini ada banyak mata yang melihat kita berdua. Please.”

Jantungnya berdegup kencang ketika Putra terdiam sesaat. Sedetik terasa lama ketika akhirnya Dara merasakan bibir Putra menciumnya.

“Sekarang aku kenalin sama seseorang, dan please jangan tanya apa-apa dulu. Ikutin aku aja.”

Dara tidak berharap lebih. Namun, ketika Putra mengangguk dan mencium keningnya lama, ia yakin semua akan baik-baik saja.

“Pak Anton, kenalin ini Mahaputra Sadewa, calon suami saya,” ucap Dara ketika mereka berdua kembali ke kursi yang ditinggalkannya beberapa saat lalu.

“Sayang, ini Pak Anton relasi Mama yang kapan hari ketemu di rumah Mama.” Dara menatap Putra dan tersenyum gugup.

“Yang aku cerita kamu itu, lho!”

Putra mengusap lengan atasnya beberapa kali sebelum mengulurkan tangan pada Anton.

“Sore, Pak. Saya Putra, senang berkenalan dengan Bapak.”

Dalam diam, Dara mengucapkan terima kasih pada Putra saat ini.

“Kamu kok enggak bilang kalau ke sini, tahu gitu sekalian, kan.”

Dara tersenyum manis pada calon suami gadungannya, dan mengusap dada Putra.

“Jangan bilang kalau kamu udah kangen lagi, Yang!” Suara manja yang belum pernah ia gunakan pada siapa pun meluncur dari bibirnya dengan mudah.

“Kangen.” kata Putra tepat di depan bibirnya. “Banget!”

 Putra kembali menciumnya. Lembut dan pelan, seolah hanya ada mereka berdua di sana.

“Gimana kamu bisa tahu nama lengkapku?” bisik Putra tepat di depan telinga, menghantarkan rasa yang membuat Dara tersipu malu.

“Ak—“

“Dara!” bentakan dari belakang mereka memotong jawaban yang ada diujung lidah Dara.

“Mama enggak nyangka kamu jadi perempuan enggak sopan gitu!”

Dara memutar bola mata sebelum melepas lilitan lengan Putra. Ia tak berencana untuk mengenalkan calon suami gadungan pada Mamanya, tapi rencana untuk mengusir Anton kini tampak berbalik arah. Menjebak Dara tepat di depan Mamanya.

“Ini siapa?!” tanya Hayu dengan mata yang tak berhenti mengamati Putra di sebelahnya.

“Ma, kenalin. Ini Putra, calon suami Dara.”

Dengan suara yang terdengar ragu, ia mengenalkan Putra. Jantungnya berdegup kencang membayangkan Mama bisa membaca kebohongannya. “Mas, ini....”

“Saya Putra, Tante. Maaf baru bisa kenalan.” Dengan senyum sempurna, Putra mengulurkan tangan, menanti.

Rencana sempurnanya semakin berantakan dengan kemunculan Hayu. Wanita yang selama ini tak pernah sejalan dengannya sejak sang papa meninggal, kini semakin membuatnya enggan untuk pulang. Cemas yang semakin menguasai Dara, kini bertambah ketika ia tak melihat Hayu menyambut uluran tangan Putra.

“Pak Anton,” ucap Dara memutuskan kecanggungan di antara mereka berempat. “Terima kasih untuk tawarannya, tapi saya tidak bisa menerimanya. Tapi....”

Dara terdiam melirik Mamanya. “Kenapa enggak sama Mama.” Dara bisa merasakan tatapan tajam Hayu.

“Saya yakin, Mama adalah kandidat paling tepat untuk Bapak.” Tak ingin memperpanjang urusannya, Dara mengulurkan tangan ke arah pria yang masih memandangnya dengan datar tanpa emosi.

“Senang berkenalan dengan Bapak. Untuk informasi, saya enggak keberatan panggil Bapak, Papa. Sekali lagi terima kasih,” kata Dara sebelum menghampiri Mamanya dan mencium kedua pipi berlapis make up sempurna.

“Dara sayang Mama. Kalau menikah dengan Pak Anton bisa menyelamatkan bisnis Mama, Dara ikhlas. Tapi kalau Mama maksa Dara untuk menikah dengannya.” Dara terdiam sejenak. “Mama akan kehilangan satu-satunya keturunan Mama. lagian, Dara yakin lebih enak sama Putra ketimbang Pak Anton.”

Dara mengedipkan satu mata, tak memedulikan wajah merah padam Mamanya. Setelah memeluk Hayu sekali lagi, Dara meraih tangan Putra dan berjalan menuju pintu keluar dengan senyum lebar.

Ia tak peduli dengan isi pikiran semua orang, termasuk Putra yang membalas genggamannya saat ini. Dara tak tahu apakah penolakannya berbuah manis atau bahkan menghancurkan bisnis Mamanya, ia sungguh tidak peduli. Ia menyadari tidak akan mendapatkan gelar the best daughter of the year, tapi ia tak peduli.

“Menurut kamu, sebaiknya kita nikah setelah Gigih atau Ninu?”

Dara segera melepas genggaman tangannya. Namun, Putra mencegahnya.

“Udah terlanjur, Sayang. Enggak ada kata mundur. Kamu yang mulai pertunangan pura-pura ini, satu-satunya jalan lepas dari sandiwara ini adalah, menikah beneran denganku. So... setelah Gigih atau Ninu?”

Dara tahu akan ada masalah baru ketika melihat Putra. Ia juga tahu tindakannya akan menjebaknya dalam lubang dalam, tapi Dara tak menyangka itu akan datang sesaat setelah langkahnya melewati ambang pintu restoran Hayu.

“Aku enggak akan menikah denganmu!” jawabnya berusaha untuk melepas ikatan tangan mereka berdua.

***

Setelah Putra menelepon siapa pun untuk mengambil mobilnya, pria yang terlihat marah setelah mendengar penolakannya beberapa saat lalu kini mengulurkan tangan padanya. Meminta kunci mobil yang semakin membuat Dara berang.

“Mana?”

“Aku enggak mau pergi ke mana pun sama kamu sekarang, Mas!”

Bukan perasaan takut Putra akan mencelakai dirinya yang membuat Dara ragu. Namun, ia takut tak bisa menahan diri seperti kejadian waktu itu.

“Kenapa? Takut enggak bisa nahan diri?”

Dara melotot mendengarnya. Namun, bukan sorot mata penuh ejekan yang dilihatnya di mata Putra. Hanya kerinduan dan pengharapan yang Dara lihat di kedua bola mata itu.

“Kamu beneran kangen sama aku, ya, Mas?” tanyanya pelan. “Tapi Kita berdua, kan, hanya....”

“Lha kamu kira aku guyon! Mana kuncinya!”

Sepanjang perdebatan mereka berdua, Dara tak melepas pandangannya pada Putra. Ia seolah melihat sisi lain seorang Putra.

Hari ini, Dara merasa berhutang karena pertolongannya menghadapi Anton dan juga Hayu. Ia merasa terbebas dari jeratan nikah paksa. Namun, ketika melihat berbagai emosi yang tampak di mata Putra, Dara seketika menyadari. Ia bukan hanya terbebas jerat Mamanya, tapi masuk dalam perangkap Putra. Pertanyaan yang terlintas di kepalanya adalah, apakah ia ingin tetap terperangkap bersama Putra. Pria yang berkali-kali memberinya kenikmatan meski Dara selalu menyangkalnya. Pria yang membantunya lepas dari jerat hutang budi Mamanya. Pria yang saat ini masih menanti kunci mobilnya.

“Sayang, aku akan dengan senang hati berdiri di sini. Menikmati wajah cantikmu dan memikirkan berbagai macam hal yang bisa kulakukan padamu. Tapi, masalahnya adalah, saat ini Mamamu berjalan kemari. jadi kalau kamu enggak mau—“

“Dara, tunggu!” perintah itu memotong kalimat Putra dan menyadarkannya dari lamunan.

Sorry,” ucap Putra. “Tante,” sapa Putra ramah dengan senyum cemerlah khasnya.

“Bisa kasih saya waktu untuk ngomong sama Dara?!” perintah yang terdengar jelas itu membuat Dara menarik tangan Putra. Ia bisa melihat keterkejutan di mata Hayu, tapi Dara tidak peduli.

“Dara!”

“Apa pun yang ingin Mama katakan, bisa diucapkan di depan Mas Putra. Enggak ada yang aku rahasiakan darinya.”

“Termasuk ketidakmampuanmu untuk hamil!”

Dara tak percaya pengkhianatan Mamanya. Ia tak berani memandang Putra. Bahkan saat ini Dara berusaha untuk menarik tangannya. Namun, pria yang tak bersuara setelah menyapa Mamanya tersebut mengeratkan genggamannya. Dara tak ingin menangis. Setidaknya hingga ia berada di balik pintu kamar kos, terlindung dari semua orang termasuk kedua sahabatnya.

“Mama,” katanya sambil menggeleng tak tahu kenapa Hayu membuka rahasia terdalamnya.

Ia harus pergi. Itu yang Dara pikirkan saat ini. Sebelum Putra atau Mamanya sempat mengatakan sesuatu, Dara beranjak dan membuka kunci mobil. Hanya satu yang diinginkannya, pergi menjauh dari semua orang.

“Geser!” perintah Putra sesaat setelah mesin mobil menyala.

“Geser, Ra!” Dara masih bertahan, mencengkeram kemudi hingga buku jarinya memutih tanpa memandang pria yang saat ini berada di sampingnya. Ia bahkan tak menyadari kapan Putra membuka pintu mobilnya.

“Sayang, geser. Aku yang nyetir,” ucap Putra lembut membuat Dara menoleh.

Entah apa yang membuat Dara menuruti permintaan Putra, tapi ia melangkah melewati konsol tengah mobil dan berpindah ke kursi penumpang. Membiarkan Putra mengambil kemudi yang beberapa saat ia cengkeram kuat-kuat. Merelakan kendali meski saat ini ia tak tahu apa yang Putra pikirkan tentangnya. Dara memutuskan untuk masa bodoh dengan orang lain, seperti yang sudah dilakukannya selama ini.

“Kenapa aku nurut sama kamu, ya, Mas?” tanya Dara pelan ketika Putra mengarahkan mobil entah ke mana, ia tak peduli.

“Mungkin karena suaraku yang lembut bikin kamu nurut.”

Dara mendengus mendengar jawaban itu. “Anggap aja belajar nurut sama suami. Iya, kan!”

“Males!” jawabnya. “Tadi itu hanya untuk membuat mereka berdua mundur. Aku enggak mau digunakan Mama atau siapa pun untuk apa pun. Termasuk kamu.”

Putra tak menjawabnya kembali, pria yang tak terganggu dengan jawaban ketusnya terus mengemudi entah ke mana. Namun, ketika Dara melihat gedung apartemen yang semakin akrab di matanya, ia tak tahu harus bernapas lega atau marah.

“Kok ke sini lagi?” tanyanya tanpa melepas pandangan dari jendela di sebelah kirinya.

“Kenapa setiap kali kita ketemu selalu berakhir di sini?!”

“Emang kenapa?” Dara menoleh dengan cepat membuat kepalanya pening.

“Lho, bener, kan? Emang kenapa, Ra?” tanya Putra kembali.

Dara membelalakkan mata tidak percaya dengan pertanyaan Putra.

“Emang kenapa?!” tanya Dara dengan suara melengking. “Kita berdua selalu berakhir di ....”

Dara tidak menyelesaikan kalimat mengingat terakhir mereka berdua bertemu membuatnya semakin yakin untuk menghindari Putra. Namun, entah kenapa, alam semesta seolah selalu mempertemukan mereka berdua di setiap tikungan. Seperti saat ini.

“Ranjang,” ucap Putra meneruskan kalimatnya, membuat Dara mengernyit.

“Emang kenapa kalau kita berakhir di ranjang, not that bad, kan?”

Not that bad katamu!” jawab Dara kembali.

“Aku sudah pernah bilang, yang namanya one night stand itu hanya sekali. Sekali! Enggak perlu dibahas apalagi diulang. Bagian mananya yang kamu enggak ngerti, sih?!” omel Dara yang segera membuka pintu sesaat setelah Putra mematikan mesin mobil.

“Kenapa dari kemarin kamu terus-terusan ingin kita bahas kejadian itu. Kenapa enggak dilupakan aja.”

Dara mengikuti Putra memasuki lift dan menekan angka lantai pria yang saat ini masih menutup bibir erat-erat.

“Aku ngerti kamu menginginkan apa yang Mas Gigih dan Yanti punya, tapi bukan berarti kamu bisa dapetin itu semua sama aku, kan? Apalagi setelah yang Mama katakan tadi. Pria normal enggak akan mempertimbangkan untuk memiliki masa depan sama perempuan seperti aku.” Dara melirik Putra yang masih diam.

“Perempuan seperti kamu?” tanya Putra yang tidak Dara indahkan sama sekali.

Sorry, tadi aku terpaksa narik kamu. Jadikan kamu calon suami gadungan. Nyium kamu di depan umum. Peluk-peluk kamu.” Denting suara lift memuatnya terdiam.

“Aku beneran minta maaf, Mas. Enggak seharusnya aku melakukan itu semua, tapi masalahnya adalah ... aku enggak tahu harus gimana lagi ngadepin Mama dan rencana gilanya.”

Keduanya berjalan dalam diam, hingga Putra membuka pintu dan menunggunya hingga masuk sebelum menutupnya pelan.

“Aku berhutang sama kamu. Sampai kapan—“

“Stop!” kata Putra. Dara terkejut ketika tiba-tiba tangan Putra menangkup kedua pipinya.

“Kamu tahu, aku enggak mau semua ini hanya sekedar one night stand dan enggak diulang kembali. Aku enggak mau hanya menjadi calon suami gadungan. Aku enggak mau harus ketemu kamu hanya karena kebetulan. Yang pasti, aku enggak mau berhenti nyium kamu!”

Sebelum Dara menyadari apa yang Putra ucapkan, pria itu menciumnya, bukan dengan lembut atau hanya sekedar basa-basi. Putra melumat bibirnya seolah itu hal terakhir yang diperlukan dalam hidupnya. Putra membuatnya mendesah menginginkan hal yang sama. Putra membuatnya melupakan semua omelannya sepanjang jalan mereka berdua. Putra membuatnya menginginkan semuanya.

“Lepas!” perintah Dara meraih ikat pinggang, ketika bibir Putra mulai menggoda lehernya.

Hilang sudah semua keberatan yang Dara muntahkan sepanjang perjalanan menuju apartemen beberapa saat lalu. Hancur sudah pertahanan yang ia bangun semenjak mendapati telanjang di atas ranjang bersama Putra. Semua rencana untuk menghindari Putra, kini hanya tinggal rencana, karena Dara sibuk menikmati semua yang Putra lakukan padanya. Pikirannya kosong, kecuali rasa nikmat yang muncul di sekujur tubuhnya semenjak bibir Putra melumatnya.

Dara tak peduli apa yang terjadi nanti. Ia tak ingin memikirkan semua kekacauan dalam hidupnya semenjak Hayu memintanya untuk menikah dengan Anton. Ia melupakan sosok pria yang membuatnya terintimidasi dengan penawarannya. Yang ada di kepalanya saat ini hanya Putra Sadewa yang tak berhenti mencium, membelai dan membuat bibirnya mendesah nikmat.

“Ra ... jangan minta aku untuk berhenti!” geram Putra.

“Jangan berhenti!” ucapnya sambil melepas kemejanya dengan asal, meski tahu saat ini ada beberapa kancing yang melayang karena  ketidaksabaran Putra membuka kancing.

“Ranjang! Aku enggak mau di sofa!” perinthanya ketika Putra membawanya melangkah menjauhi pintu.

Semua menghilang. Hanya ada dirinya dan Putra. Tidak ada Hayu, Anton, atau kedua sahabatnya. Dara tak ingin ini semua berlalu, setidaknya hingga ia menemukan kesadarannya kembali. Ia tak ingin apa yang dirasakannya berhenti. Setidaknya hingga ia bisa kembali merasakan kakinya, karena saat ini, Putra membuat tubuhnya terasa tak bertenaga.

Suara geraman Putra membuatnya semakin bersemangat melupakan semuanya.

“Mas ... aku ....”

I think i’m in love with you, Dara Puspita!”

Dara menegang mendengar pengakuan Putra. Ia tahu apa yang dirasakan Putra tak berbeda dengan yang ada di dalam hatinya, tapi Dara tak siap untuk mengakuinya. Ada banyak hal yang membuatnya harus menahan rasa itu. Terlebih lagi setelah Hayu menguak rahasia terdalamnya pada Putra.

Happy reading Mas Puput guys
Moga-moga bisa jadi teman menikmati syahdunya hujan.
Ada yang kebanjiran, enggak?

Stay safe, stay healthy... Tetap jaga badan, karena cuaca cihuy.
Love, ya!
😘😘😘
Shofie

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top