Episode 1.2

Episode 1.2

"Ya ampun, Dara! Dari mana aja?! Dihubungi enggak bisa, pesan enggak dibales!"

Omelan Yanti menyambutnya ketika hendak membuka pintu kamar kos dengan pikiran penuh tentang apa yang dilakukannya bersama Putra. "Kamu ... itu kemeja siapa?!" tanya Yanti curiga.

"Sorry, semalam ketiduran di rumah Mama. Enggak sempat kasih kabar. Aku masuk dulu ya, Say. Pengen mandi."

Berusaha tak membuat Yanti semakin curiga, Dara memberi ciuman jauh dan senyum cerah. Walaupun saat ini yang diinginkannya hanya bergelung di balik selimut, menangis dan berdoa semoga bisa melupakan kejadian semalam.

"Ra, kamu ingat kalau besok kita bertiga makan siang sama Mas Gigih, kan?"

Dara menghentikan langkah dan memutar tumitnya. "Inget, lah, Say!" jawabnya sambil tersenyum lebar, meski jantungnya berdegup kencang mengingat apa yang sudah dilakukannya bersama sahabat calon suami Yanti.

"Aku masuk dulu, ntar siang jadi?" tanyanya teringat janjinya untuk mengantar Yanti mencari baju. Setelah mendapat anggukan dan acungan ibu jari Yanti, Dara masuk kamar dan bernapas lega.

Ia bukan perempuan yang mudah untuk menyimpan sesuatu dari sahabatnya. Dara selalu membutuhkan seseorang untuk menceritakan uneg-unegnya, tapi tidak untuk kali ini. Ia memutuskan untuk menyimpannya untuk diri sendiri. Murni karena ia tak ingin siapa pun tahu apa yang terjadi antara dirinya dan Putra.

Sebelum ia berhasil mengenyahkan pikiran tentang pria itu, terdengar denting pesan dari ponselnya. Dara pun berdoa semoga bukan Putra yang berusaha untuk mengajaknya bicara. Semenjak ia bisa mengingat setiap detik yang terjadi antara mereka berdua, rasa malu tak bisa ditahannya lebih lama lagi. Dara pun memutuskan untuk menghindari Putra sejak saat ini.

Mama
Mama harap kamu mau memikirkan ulang. Toh kamu belum punya pacar, kan.

Kenapa Mama enggak percaya kalau aku udah punya pacar

Mama
Karena Mama tahu, kamu hanya pura-pura.

"Terserah," jawabnya pada ponsel meski ia tahu mamanya tak akan bisa mendengarnya.

***

Dara mengamati pelayan restoran meletakkan satu persatu pesanan mereka, sambil menunggu calon suami Yanti datang. Meski ia mengenal Gigih, tapi Keke-sahabat mereka yang lama tidak berada di Surabaya-belum pernah mengenal pria masa lalu Yanti tersebut.

"Kalian berdua tahu kalau aku paling males pulang ke rumah, kan?" Yanti dan Keke mengangguk. Keduanya tahu alasan Dara memilih keluar dari rumah sejak SMA, dan tak sekalipun mereka berdua mencoba membujuknya untuk pulang. Membuat Dara semakin menghargai persahabatan di antara mereka bertiga.

"Terus kenapa kemarin pulang?"

"Karena Mama bilang kalau lagi sakit," jawabnya lesu mengingat apa yang menyambutnya dua hari lalu.

"Meski saat ini aku beneran menyesal untuk pulang, seperti biasanya."

Dara bisa melihat tanda tanya di kepala kedua sahabatnya, dan memutuskan untuk menceritakan setiap detik yang dilalui di rumah keluarganya. Namun, ia bertekad untuk menutup bibir tentang kejadian bersama Putra. Apa pun yang terjadi antara dia dan sahabat Gigih tersebut hanya untuknya dan Putra.

"Mama stress dan ngaruh ke jantungnya, tapi yang bikin aku nyesel pulang bukan itu." Dara terdiam sesaat.

"Ada mobil mewah parkir di depan rumah waktu aku datanh, aku enggak tahu punya siapa. Dan ternyata ... itu punya salah satu investor di restoran Mama."

"Tunggu! Kenapa kita enggak ketemuannya di restoran Mama kamu. Lumayan kalau bisa gratis, kan?" sela Yanti dengan senyum jahil di bibirnya.

Dara menggeleng kepala kuat dengan bibir cemberut. "Dan beresiko ketemu Mama. Oh tidak!" Tawa kedua sahabatnya menjawab reaksinya.

"Anyway ... aku di teras belakang saat Mama datang setelah mengantar tamunya pulang. Kamu tahu apa yang pertama Mama ucapkan?"

Gelengan keduanya membuat Dara semakin bersemangat bercerita. "Kamu belum punya pacar, kan?" katanya menirukan Pertanyaan Hayu.

"Kenapa tiba-tiba Mama kamu tanya gitu?"

Dara kembali menggeleng dengan bibir cemberut. "Kalian berdua enggak bakalan percaya. Sebelum aku bisa ngomong apa-apa, Mama tanya aku mau enggak nikah sama temannya yang barusan pulang?"

Mata Yanti dan Keke membelalak mendengarnya. "Nah, kaaan! Aku aja enggak percaya apa yang Mama bilang."

"Tunggu" Keke mengangkat tangannya. "Orangnya seperti apa?"

Meski Dara malas untuk mengingat kejadian di rumah mamanya, ia menjawab pertanyaan Keke dengan bahas novel yang diingatnya.

"Sesuai bahasa novel yang kita bertiga suka," kata Dara. "Orangnya tinggi, badannya tegap dan kekar untuk orang yang sudah agak tua. Sandarable gitu, lah. Sebenarnya, wajahnya lumayan kok. Enggak parah-parah banget. Tapi, entah kenapa, aku merasa ada sesuatu yang aneh dari orang itu. Auranya itu lho... agak-agak mengintimidasi gitu, loh!"

"Enggak pengen di coba, dulu?"

Dara termenung memikirkan jawaban yang tepat untuk pertanyaan Yanti. "Karena aku pengen nikah karena menginginkannya, bukan karena dibutuhkan!"

"Terus kamu jawab apa?" Dara menggeleng. "Itu kenapa kamu ngilang kemarin?"

Pertanyaan Keke menyadarkannya. "Aku pergi." Dara terdiam sesaat. "Aku pergi ke kamar dan ketiduran, sampai pagi."

"Sampai enggak deng-"

Kedatangan Gigih memotong kalimat Yanti. Wajah perempuan yang duduk di depannya tampak cerah dengan senyum di wajahnya. Berbeda dengan Dara ketika melihat siapa yang berjalan di belakang Gigih.

Dari sudut mata, ia bisa melihat Putra berjalan ke arahnya. Namun, sebelum pria yang ada di kepalanya sejak malam itu semakin dekat, ia menarik Wisnu untuk duduk di dekatnya.

"Mas, kamu duduk sini aja!" Permintaan bernada perintah itu membuat Wisnu menaikkan alis mata, terlebih lagi ketika mendengar suara kaku Putra menyapanya.

Sepanjang hidupnya, Dara tak pernah melewati makan siang dengan jantung berdegup kencang seperti saat ini. Pandangan mata Putra yang tak lepas sepanjang makan siang, membuat Dara tak bisa menikmati setiap suapan makan siangnya. Putra terlihat ingin mengatakan sesuatu, tapi Dara segera melayangkan pandangan tajam menahannya.

Dara menghela napas panjang ketika Yanti dan Gigih meninggalkan mereka berempat setelah makan siang selesai. Ia berpikir untuk segera pulang, bergelung di balik selimut dan membaca salah satu novel yang hingga saat ini belum sempat dibacanya.

Seperti Yanti, Dara mencintai semua novel-novelnya. Seperti harta berharga, ia memperlakukan setiap buku dengan hati-hati. Meski sebagian bersar novel yang dibacanya memiliki unsur dewasa, tapi itu tak membuatnya berhenti untuk membelinya. Bahkan terkadang itu menjadi bahan pembicaraannya bersama Yanti dan juga Keke. Dara memikirkan tentang judul yang akan dibacanya nanti.

Namun, lamunannya tentang novel hancur ketika mendengar suara Putra.

"Kamu bisa bawa mobil Yanti ke rumah Keke?" Dara menoleh dengan cepat ke arah Putra.

"Aku pengen ajak Dara pergi bentar. Keke enggak bisa nyetir manual."

Dara membelalakkan mata tak percaya dengan kelancangan Putra.

"Enggak! Aku enggak ada perlu sama kamu, Mas!" jawab Dara tak ingin pergi kemana pun bersama Putra.

"Bentar aja. Please," kata Putra padanya. "Please."

Wajah penuh pengharapan yang Dara lihat membuatnya goyah. Ia tak mau pergi kemana pun bersama Putra, tapi ketika melihat tanda tanya di wajah Keke dan Wisnu, ia memutuskan untuk mengiyakan ajakan itu. Meski sepanjang jalan menuju mobil, Dara berencana untuk tidak berhenti ngomel.

"Aku sama Dara cuma bentar, kamu tunggu di rumah Keke aja."

Tak memberi kesempatan Wisnu ataupun Keke untuk menjawab, Putra menarik lembut siku Dara dan berjalan menuju area parkir.

"Makasih," kata Putra yang tak Dara indahkan. Ia berjalan mengikuti Putra tanpa berniat untuk membuka mulut. Bahkan rencana untuk ngomel pun ia batalkan ketika melihat lega terpampang jelas di wajah Putra.

Sepanjang jalan Dara hanya memandang jendela dan tak sekalipun melihat Putra. Ia tahu kemana pria itu akan membawanya, dan tak berencana untuk mengatakan apa pun.

"Ra, sakit lehernya ntar kalau noleh gitu terus."

Menanggapi Putra, Dara mengubah arah duduknya hingga sepenuhnya menghadap ke kiri. Membelakangi Putra. Kekehan yang terdengar dari arah belakangnya pun tak membuat Dara berubah pikiran. Hingga mobil memasuki area parkir apartemen yang ditinggalkannya beberapa hari lalu.

"Turun, yuk," ajak Putra. "Aku janji cuma sebentar, Ra. Setelah kita bicara, aku anterin kamu ke rumah Keke."

Beberapa menit setelah berjalan pelan menuju apartemen Putra, Dara terpaku ketika Putra membuka pintu lebar di depannya.

"Makasih udah mau ikut, Ra."

"Terpaksa!" jawabnya ketus yang membuat Putra tersenyum, tapi itu justru membuatnya semakin marah.

Dara tak memerlukan waktu lama untuk memuntahkan semua kejengkelannya. Tak lama setelah pintu di belakang mereka berdua tertutup rapat, Dara mengatakan semua yang ingin diucapkannya.

"Mau ngomongin apa, sih! Kenapa enggak anggap aja itu one night stand. No string attached. Enggak perlu dibahas!"

"Karena aku bukan pria yang melakukan one night stand, Ra."

Dara terdiam mendengar jawaban itu, ia tak tahu apa yang Putra maksud. Ia juga bukan perempuan yang melakukan one night stand, meski banyak orang beranggapan sebaliknya. Namun, ia tak ingin membahas apa yang sudah terjadi seperti yang Putra inginkan saat ini.

"Kamu kira aku perempuan yang melakukan one night stand?" tanyanya dengan nada jengkel.

Ia tahu selama ini sering memberi kesan yang berbeda pada setiap orang. Dara menyadari dengan gaya berpakaiannya, tapi itu tidak membenarkan apa pun yang ada di kepala Putra saat ini.

Apa yang mereka lakukan beberapa malam lalu, bukan sesuatu yang sering dilakukan di sepanjang hidupnya. Bahkan itu pertama kali ia dengan sadar menyodorkan diri pada seorang pria. Bukan hanya mencium, ia dengan sadar memulai sesuatu. Sesuatu yang selama ini hanya berupa angan-angan yang dibaca di ratusan novel kesayangannya.

"Maksudnya," ucap Putra dengan lembut.

"Aku enggak pernah melakukan itu sama sekali, apalagi dengan orang yang enggak aku kenal. Itu sudah menjawab pertanyaanmu?!" tanya Putra ketika melihatnya terdiam.

"Aku enggak tahu kenapa kamu keberatan untuk bahas apa yang terjadi malam itu? Kita ... aku sudah melakukan sesuatu yang-"

"Seharusnya enggak perlu di bahas lagi!" sela Dara. "Kenapa enggak dilupakan. Kenapa harus dibahas?!"

Pandangannya berserobok dengan Putra yang berdiri di ujung sofa berlawanan dengannya.

"Kita berdua melakukannya, so what! Sudah terjadi, ya sudah!"

"Kenapa?" tanya Putra yang tak puas dengan jawabannya.

"Kenapa kamu ingin melupakannya? Kenapa kamu enggak mau ngebahas itu, Ra. Kenapa?!" Tanya Putra.

"Karena aku malu!" teriaknya. "Karena aku malu mengakui kalau-"

"Kalau kamu menikmatinya," sela Putra. "Kalau sebenarnya itu yang kamu inginkan? Atau malu karena kamu yang memulai semuanya?" Putra seolah bisa membaca isi kepalanya. "Asal kamu tahu, aku bersyukur malam itu ketemu kamu. Aku enggak menyesali setiap detik yang kita lewati bersama. Aku enggak akan menyesali itu semua, Ra!"

Dara meninggalkan sofa dan berdiri di depan jendela memandang langit Surabaya terlihat terik dan menyengat. Menghindari sorot mata Putra yang membuatnya ingin menyerah.

"Sebenarnya apa yang pengen kamu bahas, sih, Mas?!" tanyanya menyerah.

"Aku pengan apa yang Gigih punya bersama Yanti, dan aku maunya sama kamu!"

Dara membalik badan dengan mata membelalak tidak percaya.

"Kamu tanya apa mauku, kan? Itu jawabanku!"

Dara menduga akan mendapat jawaban aku pengen melakukannya lagi sama kamu atau kenapa enggak kita coba untuk jadian. Semua jawaban yang bisa dipikirkannya. Kecuali jawaban yang Putra berikan saat ini.

"Kamu tahu kalau aku tertarik sama kamu sejak kita ketemu di depan rumah Yanti, kan?" tanyanya setelah kembali membelakangi Putra. "Tahu, enggak yang bikin aku tertarik sama kamu?"

Dara tahu saat ini Putra masih diam di tempat dan tak mengalihkan pandangan darinya. "Karena satu-sautnya yang kamu lihat adalah mataku, bukan dadaku."

"Ra-"

"Ada banyak hal yang kamu enggak ngerti tentang aku."

Dara tidak mencoba untuk menakut-nakuti Putra, tapi mendengarnya menginginkan apa yang Gigih dan Yanti punya, membuatnya takut. Meski beberapa bulan lalu ia meminta Yanti untuk mencari tahu tentang Putra, karena rasa tertarik yang muncul sejak melihat pria itu bersama Gigih. Namun, itu semua berubah setelah malam yang mereka habiskan bersama.

"Aku bukan perempuan yang tepat untukmu!" katanya tegas ketika membalik badan dan bertemu dengan sorot mata lembut Putra.

Putra berjalan mendekatinya dengan langkah pelan, dan Dara tak mampu melepas pandangannya. Tatapan lembut Putra berbeda dengan apa yang ada di hatinya.

"Sampai saat ini, aku belum pernah tahu siapa ayahku, dan Mama juga enggak pernah kasih tahu siapa dia."

Dara diam tak tahu apa yang harus dikatakannya. Matanya membelalak tidak percaya mendengar kisah hidup Putra.

"Kalau kamu kira aku bakalan mundur karena ada banyak hal yang tidak kuketahui tentangmu. Kamu salah. Gigih dan Ninu pun enggak tahu cerita itu."

Mendengar pengakuan yang tidak diharapkan, membuat Dara tak tahu harus berkata apa. "Kenapa?"

Dara menggeleng.

"Enggak kenapa-napa," ucapnya.

Dara hanya tak menyangka Putra akan membagi rahasia keluarga padanya. "Kenapa kamu cerita itu sama aku?"

Putra mengusap lembut pipinya.

"Karena aku percaya sama kamu." Kepercayaan. Sesuatu yang sulit untuk Dara berikan pada Putra saat ini.

"Kamu percaya sama aku?" tanya Putra.

"Aku enggak kenal kamu, Mas. Gimana mau percaya sama kamu." Dara mengucapkan isi kepalanya. "Aku pernah percaya sama seseorang, tapi hasilnya adalah ... aku sakit hati."

Tubuhnya menegang ketika Putra menangkup pipinya. Mata yang tak berhenti menatapnya dengan lembut membuat Dara ingin menyandar.

"Kenapa waktu itu kamu nyium aku, Ra?" tanya Putra lembut membuatnya tak bisa berkata-kata. "Kenapa waktu itu kamu menciumku dan memintaku untuk enggak berhenti."

Dara tak tahu apa yang merasukinya saat ini, ia mengangkat tangan dan menangkup pipi Putra. Semenjak pertemuan pertama mereka berdua, Dara tertarik pada pria yang saat ini tak melepas pandangan darinya. Berbeda dengan Gigih dan Wisnu yang memberinya getaran seorang kakak laki-laki, Putra menghadirkan sesuatu yang berbeda di hatinya.

Hingga detik ini, ia tak tahu kenapa malam itu mencium Putra. Bahkan Dara tak tahu kenapa memilih Putra.

"Jujur, aku enggak tahu kenapa malam itu nyium kamu, Mas," kata Dara.

"Aku boleh cium kamu lagi?" tanyanya tiba-tiba. Kecewa muncul dihati ketika Putra menjawabnya dengan gelengan kepala. "Kenap-"

"Karena aku yang akan cium kamu!" Putra tak memberinya waktu untuk menarik napas ketika dengan lembut mencium bibir Dara.

"Mas kok cium aku?" tanya Dara dengan napas yang terengah-engah ketika Putra memundurkan kepalanya.

"Harusnya kan tanya dulu!" hardiknya dengan jantung berdegup kencang.

Putra menarik pinggangnya, dan satu tangan menahan belakang kepala Dara. Seakan itu hal yang wajar untuk dilakukan oleh dua orang dengan situasi seperti mereka. Namun, bagi Dara yang terlalu banyak membaca novel dewasa, itu memberi efek yang berbeda. Terlebih lagi ketika mendengar suara serak Putra.

"Kelamaan, Ra! Sejak ngelihat kamu tadi, yang kuinginkan cuma satu. Nyium kamu!"

Mas Puput pagi-pagi mecungul untuk menyapa teman-teman semua.
Pagi guys....
Happy reading
😘😘😘

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top