4. Kelas Daring

Kelas malam merupakan sebuah hal baru bagi Dodo, siswa kelas sepuluh yang kini tengah memasang telinga untuk mendengarkan sang guru menyebutkan butir-butir soal ulangan harian. Sesekali menepuk lengannya yang gatal karena dihinggapi nyamuk betina nakal, remaja itu tetap bertahan pada posisi duduknya di hadapan sebuah laptop yang hanya bisa menyala saat kabel pengisi dayanya tersambung. Di tangannya terdapat sebatang pensil dengan rautan yang mantap untuk menghitung tujuh butir soal Matematika. Sebuah karet penghapus dan buku tulis di atas meja lipat pun melengkapi kehidupannya malam itu.

“Do, belum selesai?”

Disela waktu menghitung, rungunya yang tersumbat pelantang telinga tiba-tiba saja mendengar suara asing. Bukan dari kelas daring yang sedang ia ikuti, melainkan dari Wira si tetangga gabut yang sejak siang mengajaknya mencari kuliner.

“Diem, Mas. Banyak virus, jadi aku nggak keluar dulu,” ungkap Dodo seraya melirik ke sampingnya. “Sana, sana. Nanti rumusnya buyar kalo diganggu mulu.”

Wira yang tengah mencari menu makanan melalui aplikasi pesan antar tampak mengernyit. Siapa juga yang mau keluar? pikirnya.

Tidak ingin menganggu sobat kulinernya yang tampak uring-uringan karena tingkat kesulitan soal yang terus bertambah dan juga ulangan yang diadakan selepas Isya', pria dengan rambut side bang, beralis tebal dan berhidung mancung tersebut beranjak pergi. Lebih baik pesan sendiri saja dari rumah. “Ya udah. Gue pulang, nih. Kulineran barengnya besok aja,” ungkapnya, dibalas dengan jari telunjuk dan jempol kiri Dodo yang melingkar dan membentuk simbol oke.

Ulangan harian pun terus berlanjut dan kini mencapai soal terakhir. Meski sulit, namun Dodo yang rambutnya sudah tampak berantakan berhasil memecahkan enam soal sebelumnya dengan baik dan jujur. Peran Wira tentu penting, karena pria itulah yang setiap dua kali seminggu membantunya belajar Matematika. Jika mendapat nilai sempurna, tetangga yang sudah dianggap sebagai kakak lelakinya itu berjanji akan mentraktirnya dessert box.

“Oke. Sekarang soal terakhir. Tolong dengarkan baik-baik, ya. Soal ini poinnya paling besar di antara en—”

Blup.

Mati lampu.

ASTAGHFIRULLAAH! HAH?”

Suasana di dalam rumah mendadak gelap gulita. Meski tidak terlihat, dua kelereng dari remaja yang baru saja berteriak itu sudah membola. Dodo yang spontan menegakkan punggung pun hanya bisa menatap kosong ke kegelapan dengan mulut terbuka. “TETEH! TEH?”

Pijar oranye muncul tak lama kemudian begitu pintu kamar Dodo terbuka. Ada Disa di sana, membawa sebatang lilin yang telah menyala di atas lepek keramik dengan ekspresi datar. “Iya, iya. Nih, teteh bawain. Jangan penakut.” ucap gadis itu dan langsung menjatuhkan diri pada kasur Dodo yang kosong. “Loh, ulangannya udahan? Kok laptopnya mati?”

Disa bertanya polos, tidak ingat masalah laptop sang adik yang harus selalu disambungkan pada pengisi daya. Sementara Dodo semakin lemas begitu mendapati sinyal di ponselnya kosong, sehingga ia tidak bisa menyusul kelas daringnya. Ponsel Disa? Apalagi. Soal terakhir pun mungkin sudah selesai dibacakan saat ini.

“Teh,” panggil Dodo dengan lemas. “kalo mati lampunya lama, kayaknya aku bakal remedial, deh.”

Hmm? Ya nggak apa-apa. Teteh juga remed mulu, kok, kalo MTK,” sahut Disa enteng lalu tersenyum. Kalau Dodo punya tenaga banyak saat ini, mungkin ia akan melempar guling yang baru saja jatuh dari kasurnya ke puncak kepala sang kakak.

_____
© origyumi
9 Februari 2021

Kejutan saat kelas daring memang suka ada-ada aja, ya. Kamu pernah mengalami kejadian unik apa saat kelas daring?

Aku: sinyal nggak kuat, mata pedes, pinggang pegel, makan ini-itu pas seminar internasional—yang ini jangan ditiru! Aku bosen soalnya seminar sampe setengah hari sendiri 🤧

*Oh, bagi kalian yang baru datang, sebelumnya Trio Wira, Disa, dan Dodo sudah debut di buku Hutan Kecil. Boleh mampir ke sana juga ya~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top