19. I Wish

“Konyol enggak, sih?”

Suara serak itu mengawali percakapan usai gerimis reda. Dari dalam angkutan kota yang melaju, Disa dan Dodo menoleh pada Wira yang duduk di tengah keduanya.

“Kadang gue mikir. Kalo Mas Ishan masih ada ... gue tetep bisa ada di sini atau enggak, ya? Keluarga kayak apa yang bakal adopsi gue?”

Tujuan mereka hampir sampai. Mendengar itu, Disa beralih menatap lantai besi angkot yang sedikit basah akibat cipratan air hujan beberapa saat lalu. Kedua alisnya naik seiring dengan kulum senyum yang tergambar tipis. Perempuan itu menghela napas dan berkata dari lubuk hati terdalam, “Kalo itu terjadi, gue akan berdoa supaya kalian bisa jadi saudara.”

Roda angkutan kota bergerak mulus di jalan besar yang masih basah. Tak lama kemudian, kendaraan publik itu berhenti di tepi trotoar untuk menurunkan tiga penumpangnya. Saat itu sisa kelabu masih tampak di antara semburat keunguan dari langit Barat. Beruntung, tidak ada luapan air yang membentuk banjir atau pun kepadatan kendaraan yang menghambat laju, sehingga perjalanan pulang yang ditempuh tiga penumpang tersebut bisa sesuai dengan rencana.

Wira menarik sudut-sudut bibirnya ke atas. Dari luar jendela di samping kiri mobil, ia serahkan tiga lembar uang lima ribu pada sopir angkot yang tersenyum ramah, lantas menatap Disa yang agak sembab dengan senyuman tipis. “Thanks.”

Angin berembus lembut menerpa wajah di sore hari. Bingung hendak bicara apa lagi, Wira mencari ide baru. Kebetulan, perutnya juga kosong. “Omong-omong, gue laper. Bungkus nasgor, kuy?” ajaknya. Ia tunjuk sebuah gerobak bertuliskan NASI GORENG PAK BEJO di arah jam tiga dengan dagu. Mendengar nama makanan disebut, Dodo yang gemar makan langsung menoleh ke arah yang dimaksud dan menyetujui tanpa basa-basi. Sedangkan Disa ikut saja.

Ketiganya mendekati sang penjual yang dengan lihai menggerakkan spatula di atas wajan. Dodo yang hapal kesukaan dua kakaknya pun menjadi sukarelawan untuk memesan tiga bungkus makanan tersebut. Sementara itu, Wira menggeser dua kursi plastik yang tersedia untuk dua sosok yang telah menemaninya pergi ke makam Ishan hari ini.

“Enggak usah,” ucap lelaki itu kala Disa menanyakannya akan duduk di mana. “Gue nyender di sini aja.”

Alhasil, satu tiang listrik tak jauh dari mereka dijadikan Wira sebagai sandaran. Ia berdiri dengan kaki kiri ditekuk ke belakang, menatap langit yang menggoreskan warna lembut. Jujur saja, pikiran lelaki itu sedang agak kacau. Dalam hidup ini, mengapa kehilangan selalu terasa pahit dan sakit? Ia kehilangan orang tua sejak kecil. Orang tua angkatnya kehilangan putra bungsu mereka sejak umurnya tujuh tahun. Setelah ini, siapa lagi?

Lelaki berkaus cokelat itu memperhatikan Disa di sampingnya, berupaya menyingkirkan kemungkinan aneh dalam benak.

Semoga lo selalu sehat dan bahagia, ya Sa,” katanya dalam hati.

“Enggak perlu liatin gue sampe segitunya, Bambang.”

Dan akhirnya sebuah tawa kecil terdengar. Si Bambang yang tertangkap basah tertawa ringan mendengar ucapan sang sahabat. Seorang pembeli bangun dari duduknya usai mendapatkan sebungkus pesanan, membuat Wira akhirnya bisa duduk.

“Mas Wira kalo suka bilang aja, sih,” cerocos Dodo yang beberapa hari ini sibuk melakukan hobi barunya—membuat video satu menit mengenai kuliner pinggir jalan. Kali ini, ia sedang mengedit video mengenai bakso bakar di dekat rumah menggunakan aplikasi dari ponsel pintarnya.

“Diem kamu.” Disa yang menjawab, membuat Dodo menirunya dengan gerakan bibir tanpa suara.

Hanya suara lalu lalang kendaraan, nasi yang dimasak, juga spatula di atas wajan yang terdengar berikutnya. Disa membalas pesan sang ibu yang kini ikut menemani sang ayah bekerja di luar provinsi, menanyakan kabar putra-putrinya secara rutin. Setelah tombol kirim ditekan, perempuan dua puluh dua tahun itu kembali bersuara.

“DBD,” ucapnya tiba-tiba. Dodo dan Wira di kanan-kirinya memfokuskan pendengaran selagi ingatan Disa berkunjung pada saat usianya menginjak lima tahun. Tangannya yang sedikit gemetar mengencangkan genggaman pada ponsel. “Waktu itu dia pulang lebih awal dari sekolah dan di rumah enggak ada siapa-siapa. Om-Tante kerja, Mba Gita dan Mba Laras sekolah. Mamah yang merasa aneh karena Mas Ishan pulang lebih awal, akhirnya ngecek ke rumah kalian dan ternyata ... badannya demam. Waktu dibawa ke rumah sakit, katanya Mas Ishan kena demam berdarah. Beberapa hari rawat inap, tapi ternyata Tuhan lebih sayang dia.”

Sudah belasan tahun berlalu, tetapi pengalaman besar dalam hidupnya itu masih membekas. Ishan umur tujuh tahun kala itu bahkan dengan senang hati menghiburnya meski ia sedang tidak baik-baik saja. Selembar kertas bergambar kepik diberikan kepada Disa kecil yang menangis karena jatuh. Entah karena Disa yang masih terlalu kecil untuk memahami, atau memang Ishan pandai berbohong, semua tampak baik-baik saja.

“Kalau sudah besar nanti, jangan cengeng, ya.”

Oh, ya ampun. Mengingat Ishan, kelopak mata Disa malah menghangat. “Gue harap lo paham kenapa keluarga lo enggak mau cerita rinci tentang mendiang anak mereka, Wir,” tambahnya.

Wira mengangguk. Ia menepuk tas kecil di pangkuan Disa yang duduk di sampingnya, merasa tidak enak pada gadis itu. “Gue paham. Maaf, ya. Karena gue, kalian jadi inget lagi.”

“Enggak apa, Wir. Gue yang pengin ke sana, kok. Lagian, semua yang datang emang bakal pergi, kan, suatu saat nanti.”

Pak Bejo—penjual nasi goreng—memanggil Dodo yang duduk di paling pinggir dekat gerobak. Pesanan mereka telah selesai dibuat dan dibayar. Dengan wajah cerah yang menular, Dodo menempelkan plastik berisi tiga bungkus nasi goreng hangat ke pipinya. Remaja itu juga menghidu aroma yang keluar dari celah kertas nasi yang membungkus pesanan. Dengan caranya menghibur, ia pindahkan plastik tersebut ke atas kepala sang kakak yang sedang galau.

“Ayo. Pulang lalu makan bareng,” ajaknya.

Dengan suasana yang agak canggung, tiga punggung itu pun bangkit dari duduk mereka dan jalan berdampingan. Di bawah langit senja, benak ketiganya melafalkan harapan baik agar selalu diizinkan menjaga satu sama lain.

_____
12 Januari 2022
©origyumi

Siapa yang nanyain kejelasan tentang Ishan waktu itu? Sini, siniiii. (memanggil andyouarei_)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top