Teruntuk Kamu...
Catur memarkirkan motor trailnya tepat di sebelah mobil Bunda. Cowok berhoodie hitam itu tak langsung masuk melainkan duduk di atas si Pinky—nama motornya. Pikiran Catur kembali tertuju pada si pemilik mata hitam bening yang tak sengaja ditemuinya di caffe.
Sudah seminggu sejak hari pemutusan sepihak Catur belum bisa menghapus kenangan indah yang pernah dilewati bersama. Jangankan menghapus seutuhnya, melupakan sejenak pun ia belum sanggup.
Sepekan putus selama itu pula Catur tidak pernah bertemu dengan Rican. Pernah sesekali tak sengaja bertemu— seperti tadi misalnya. Tetapi mbak mantan selalu punya alasan untuk menghindar.
Tadi di saat caffe ingin rasanya Catur menarik tangan Rican. Lalu membawanya menjauh dari keramaian dan saat itu pula Catur akan bertanya mengapa Rican tega memutuskan hubungan begitu saja.
Catur kepikiran. Apa ia punya salah yang sengaja ataupun tidak? Tapi, Catur tahu betul bahwa Rican tipe gadis jujur. Ia akan mengungkapkan apa saja yang tidak disukainya. Jadi, jika itu alasannya Catur rasa tidak. Ck... Lalu apa?
Cowok itu mengacak rambutnya frustasi. Ia menghela nafas panjang sebelum akhirnya beranjak turun dari motor. Dengan langkah gontai Catur berjalan memasuki rumah. Suasana ruang tamu lumayan ramai dan ia tahu alasan dibaliknya.
Titania Adzralia Erfandy. Mulai hari ini dan seterusnya adik tiri Catur resmi menjadi penghuni tetap rumah.
"Mas Catur!!!"
Catur diam di tempat. Ingin ia berlari menuju kamar, tapi ancaman Bunda tadi pagi sebelum ia meninggalkan rumah terngiang dipikirannya. Mau tidak mau, suka tidak suka, Catur harus bersikap manis pada adiknya.
Catur berbalik tersenyum manis. "Hai Dzra," sapanya ramah.
Tanpa aba-aba gadis mungil itu memeluk tubuh Catur erat. Demi apapun Catur masih punya hutang di warung Mbak Lala dan berjanji akan melunasinya besok, ia rela berpelukan dengan gadis berbehel putih itu. Andai saja Bunda tidak mengancamnya pasti Catur tidak akan semenderita ini.
"Ini Adzra nggak lagi mimpi 'kan?" gadis itu menepuk-nepuk pipinya sendiri.
Demi pecel yang dijual di warung mbak Lala suara Adzra lebih nyaring kenyataanya. Catur berdoa semoga kedua telinganya akan baik-baik saja setelah ini
"Lebih ganteng dari postingan intagram." pujian Adzra berhasil mengembalikan kesadaran Catur.
Catur meresponnya dengan senyuman seadanya. Sementara di sisi lain senyuman Adzra meluntur ketika ia mengingat sesuatu.
"Kenapa nggak ikut jemput Adzra?"
Telak, Catur diam.
Sebenarnya Bunda sudah mengajak Catur menjemput Adzra jauh-jauh hari. Tapi cowok itu menolak dengan alasan ia sudah mempunyai janji dengan teman seiman akan pergi bersembahyang bersama di Pura. Bunda terlalu pintar untuk dibodohi. Wanita yang berbeda keyakinan dengan Catur itu tidak percaya. Bagaimana tidak, bungsunya selalu memberi alasan sama setiap ada acara yang diadakan oleh pihak keluarga suaminya. Alhasil perdebatan sengit antara sepasang anak-ibu tak bisa dihindari.
Mereka beradu mulut hingga akhirnya Erfan datang menengahi. Pria yang menjabat sebagai ayah tiri Catur itu mencoba memberi penjelasan pada Bunda. Hingga akhirnya Bunda terpaksa mengalah untuk kesekian kali.
"Kenapa diem? Mas Catur nggak berharap Adzra datang dan tinggal di sini ya?" tanyanya lirih.
Dalam hati Catur menjawab iya. Tetapi ia terlalu munafik untuk mengakui. Lagipula Catur tidak ingin menambah goresan luka dihati Adzra. Gadis malang itu baru saja ditinggal si ibu kandung untuk selamanya beberapa minggu yang lalu. Kemudian seminggu setelahnya, gadis itu harus kembali berduka karena kematian sang kakak.
Dua duka yang tak akan bisa Catur bayangkan. Adzra kehilangan dua orang paling berharga dan lihatlah keadaannya sekarang. Sosok Adzra terlalu ceria untuk menutupi luka yang masih menganga.
Demi menjaga perasaan Adzra, Catur rela berpikir keras mencari jawaban lain. Tapi sialnya jawaban itu tak kunjung datang. "Enggak, g-gue nggak maksud gitu."
Adzra semakin terlihat sedih sementara Catur merasa bersalah.
"Dzra, abi kan bilang kalau kedatangan Adzra ke Malang dirahasiakan dari Mas Catur. Lihat hasilnya. Masnya Adzra terkejut kan? Itu artinya kita berhasil ngasih kejutan ke Mas Catur." kebohongan itu berasal dari mulut Erfan.
Catur menghembuskan nafas lega.
Bunda yang sedari tadi hanya diam kemudian berjalan melangkah mendekat ke arah Adzra. Wanita yang telah melahirkan tiga orang anak itu mengelus rambut hitam Adzra. "Maafin mas kamu ya, sayang. Sebagai gantinya besok Mas Catur akan ajak Adzra keliling Malang. Gimana?"
Perkataan Bunda berhasil membuat Catur melotot
Mata Adzra kembali berbinar. "Oke kali ini Adzra maafin dan beneran ya Bun besok Adzra diajak jalan-jalan sama Mas Catur?"
Bunda mengangguk mantap. "Pasti. Mas Catur mau kan?"
Bunda menatap Catur. Begitupun sebaliknya. Dari tatapannya ia tahu bahwa ada udang di balik batu. Catur tidak punya alasan untuk menolak. Mau tidak mau ia menyetujui ide dadakan Bunda. "Iyaa."
Adzra tersenyum senang. "Yes, asik."
"Sekarang Adzra istirahat. Karena besok Adzra udah bisa masuk sekolah," kata Bunda.
Gadis itu mengangguk patuh. "Siap bunda," jawabnya mendekat ke Catur lalu kembali memeluknya. "See you tommorow, Mas," lanjutnya mengecup pipi kanan Catur.
"Aku anter Adzra ke atas dulu," pamit Erfan kemudian menghilang bersama Adzra.
Catur berdiri mematung. Apa yang dilakukan saudara tirinya itu terlalu... Emh... Ia tidak bisa menjabarkan, tapi yang pasti Catur tidak menyukainya.
"Ngapain berdiri disitu? Sini duduk, bunda mau bicara sama kamu." Bunda mendaratkan pantatnya di sofa.
Catur bukan cowok penurut, aslinya. Tetapi jika sudah berhadapan dengan si nyonya besar, dia bisa apa? Catur hanyalah sisa cabe yang nyangkut di gigi. Tak butuh waktu lama cowok itu sudah duduk berdampingan dengan sang bunda.
"Tadi kemana aja?" tanya Bunda to the point.
"Sembahyang sama Frisna dkk."
Alis Bunda terangkat satu. "Terus?"
Demi apapun yang ada di dunia ini, Catur sangat membenci tatapan tajam sang Bunda.
"Pergi ke acara-"
"Uang jajan potong sepuluh persen."
"Tapi aku beneran gak bohong-"
"Dua puluh lima persen."
Sejak menikah dengan Erfan, Bundanya berubah. Bunda menerapkan banyak peraturan konyol yang tidak masuk akal menurut Catur. Seperti tidak ada pulang malam untuk hari biasa, minimal jam setengah delapan malam Catur harus berada di rumah lebih dari itu ia akan mendapat hukuman. Bukan hanya peraturan itu saja, tapi masih ada yang lainnya.
Catur pikir, Erfan sudah mencuci otak Bunda. Karena semenjak menikah dengan Erfan perhatian Bunda juga berkurang. Demi Tuhan, Catur benci pria itu.
"Dengerin aku dulu, Bun," kata Catur memohon. "Setelah sembahyang Catur emang ada acara kok. Sama Fris-"
Dahi bunda berkerut. "Kok, ya?"
Shit.
"Finnal, lima puluh persen nggak ada pembantahan!" putus Bunda beranjak berdiri.
Catur tak hanya diam. "Tap-tapi Bun, Bunda!" ia beranjak mengikuti pergerakan Bunda.
Bunda berhenti lalu menoleh. "Kamu kebanyakan bohong. Dan bisa-bisanya kamu lebih milih datang ke acara gak jelas daripada ikut jemput saudara kamu?"
"Belajar menerima, Nak. Bunda mohon sama kamu coba belajar buat nerima kenyataan. Karena nggak selamanya apa yang ada dalam benak kamu itu jadi kenyataan," ucap Bunda menepuk pundak anaknya. "Ini jalan terbaik yang Bunda pilih dan tugas kamu adalah belajar menerima semuanya. Mengerti?"
Cowok itu menunduk. Diam dan merenung. Bundanya benar; tak semua keinginannya dapat dikabulkan Tuhan.
Bunda berjalan meninggalkan Catur, tapi langkahnya terhenti karena ia mengingat sesuatu. "Tadi Rican kesini."
Perkataan itu berhasil membuat Catur mendongkakan kepala, melihat Bunda.
"Dia nitip sesuatu buat kamu. Udah Bunda taruh didalam kamu-" detik itu juga Catur berlari manaiki anak tangga.
Dengan langkah panjang Catur berlarian menuju kamar. Ia mengobrak-abrik totebagnya begitu sampai di depan pintu. Setelah berhasil mendapatkan kunci ia pun membuka pintu kamar. Kemudian Catur berlari menuju ranjang. Disana sudah bertumpuk tiga kotak berukuran sedang.
"Teruntuk kamu yang pernah mengisi hari-hariku,"
Detik itu juga tubuh Catur lemas.
Tbc.
#sasaji
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top