Tentang Vinta

Keputusan finnal gadis itu memilih pulang diantar Catur dengan jasa mobil online. Dan disinilah mereka berdua, duduk bersebelahan di-jok belakang.

Vinta menyenderkan kepalanya ke belakang sesekali mencoba memejamkan mata. Berharap rasa pusing yang menderanya akan hilang.

Catur menoleh memperhatikan wajah Vinta dari jarak yang dekat. Ia mendapati perbedaan antara Rican dan Vinta. Jika mantannya sakit gadis itu memilih bercerita panjang lebar berharap dengan begitu ia bisa melupakan rasa sakitnya. Sedangkan Vinta berbeda. Ia lebih memilih diam, menikmati rasa sakitnya.

"Udah berapa bulan?" tanya supir pak supir pelan.

Catur yang dari tadi asik memperhatikan Vinta kini beralih menoleh menatap supir melalui kaca mobil.

"Maksudnya?"

"Maaf nih sebelumnya. Saya pernah nerima orderan nganterin sepasang remaja ke puskesmas. Di perjalanan ceweknya lemes banget persis kayak mbaknya. Tapi belum sampai puskesmas ceweknya merintih kesakitan.

"Saya tanya ke masnya kenapa mbaknya gitu. Eh gak taunya perut mbaknya di pakein korset. Setelah di buka korsetnya perut mbaknya keliatan besar. Ya Allah.. Saya miris mas."

"Ini maaf ya sebelumnya. Si mbaknya nggak di pakein korset kan?"

Catur menelan ludah susah payah. Ia tidak habis pikir ternyata ada ya orang seperti itu. Sisi lain, tidak semua remaja sama dengan orang yang diceritakan supir.

Catur menoleh ke arah Vinta yang sudah terlelap.

"Tapi pak—"

"Saya masih duapuluh delapan loh mas."

Ck.

"Tapi, mas, nggak semua remaja kayak gitu. Ini teman saya beneran sakit."

Supir itu mengangguk. "Iya juga sih, hehe. Maaf mas."

Sedeng nih orang. Kmvrt!

Setelah itu benar-benar hening. Si supir fokus mengemudi, Vinta terlelap, dan Catur menatap keluar. Perjalanan dari sekolah ke rumah Vinta tidak terlalu lama. Hanya membutuhkan waktu setengah jam untuk sampai.

Mobil berwarna putih memasuki halaman rumah Vinta. Raut kekhawatiran Winda tak bisa disembunyikan. Begitu mobil terhenti ia langsung menghampiri. Winda membuka pintu mobil dan melihat anak gdisnya masih tertidur. Niatnya ingin membangunkan, tapi Catur tidak mengijinkan.

"Biar aku gendong ke kamarnya, Tan," katanya.

Winda mengangguk. Untuk yang kedua kalinya gadis itu berada dalam gendongan Catur. Winda mendapat tugas membawa tas Vinta ke dalam rumah mengikuti langkah Catur dari belakang.

Beruntung kamar Vinta berada di lantai satu. Artinya Catur tidak perlu membawa gadis itu menaiki puluhan anak tangga. Jika kamar Vinta ada di lantai dua habislah riwayat remaja itu.

Winda membuka kamar bermotif bunga-bunga. Catur langsung menidurkan tubuh Vinta di kasur bersprai soft pink.

Saat Catur duduk mengatur napas, Winda membuka dua sepatu milik Vinta. Kemudian mbok Darmia masuk membawa alat kompres untuk nona muda.

Catur ijin keluar kamar sementara Winda mulai mengompres anaknya.

"Mama selalu pengen ada di posisi ini—merawat kamu saat sakit," kata Winda mulai bermonolog.

Winda memperhatikan wajah Vinta, lekat. Apa yang dilihatnya adalah nyata, bukan ilusi. Ia benar-benar melihat Vinta dari dekat dan bisa menyentuh putrinya.

Ya Tuhan terimakasih. Kalimat itu sudah puluhan ribu Winda ucapkan.

Selama tujuh belas tahun Winda menantikan hal semacam ini. Selama itu ia harus merelakan Vinta pergi dan dimiliki oleh keluarga adik Hardi. Andai saja sebuah kejadian pahit tak terjadi, mungkin Winda tidak akan semenderita ini.

Ya, tujuh belas tahun lalu Hardi menjadi penyebab kematian anak dari adik kandungnya sendiri. Anak yang telah di-nanti-nantikan oleh keluarga Heni—adik kembar Hardi— adalah anak yang berjenis kelamin perempuan. Setelah Heni tau ia mengandung anak perempuan, betapa senangnya keluarga besarnya saat itu. Heni menjadi orang nomor satu yang sangat-sangat dijaga oleh seluruh anggota keluarga besarnya karena anak dalam kandunganya itu cucu perempuan pertama.

Sampai suatu hari kecelakaan menimpa Hardi dan Heni. Terjadi saat malam hari sewaktu Hardi menjemput Heni dan dua anaknya di bandara. Mereka sedang berlibur ke Malang. Sampai  perjalanan pulang ke rumah, entah mengantuk atau suara klakson yang menganggu konsentrasi Hardi, mobil yang dikendarainya hampir saja menabrak kucing kampung yang sedang menyebrang jalan.

Kecelakaan itu tidak berakibat buruk untuk para penumpangnya. Tapi, akibat rem mendadak perut Heni terbentur dasboard mobil. Dan itu berakibat Fatal. Heni keguguran mengingat kandungannya masih empat bulan—masih rentan keguguran.

Heni begitu terluka dan trauma. Bahkan wanita itu sempat divonis gila.

Dua tahun setelah kejadian itu, Winda hamil. Perjanjian hitam diatas putih pun dilaksanakan demi sebuah 'pertanggungjawaban. Perjanjian disaksikan seluruh keluarga besar Hardi. Begitu anak yang dikandung Winda terlahir dengan jenis kelamin perempuan, maka anak itu akan diberikan pada Heni.

Dari usia kandungan satu hingga sembilan bulan, Winda tidak berani memeriksakan kandungan. Bagaimanapun calon bayinya adalah anak kandungnya, darah dagingnya. Mana sanggup ia memberikan anaknya pada orang lain sekalipun itu masih saudara.

Pada bulan Maret pukul tiga sore lahirlah dua bayi kembar berjenis kelamin perempuan. Semuanya senang, tapi tidak dengan Winda. Wanita itu memikirkan bagaimana cara agar kedua anaknya tetap tinggal bersamanya. Tetapi percuma, Galih—suami Heni— telah datang menagih perjanjian.

Awalnya Galih tidak setuju jika harus membawa salah satu bayi cantik itu. Ia menginginkan keduanya. Tapi setelah diadakan perundingan untuk yang kesekian kali, Galih mengalah. Ia hanya akan membawa salah satu dari mereka berdua.

Dan bayi mungil yang dipilih Galih diberi nama Rivinta. Bayi cantik yang membuat Galih terpana hanya dalam pandangan pertama.

Akhirnya Galih pergi membawa Vinta pergi.

Bayi itu tumbuh dan berkembang di Pulau Bali. Ia menjadi gadis periang yang selalu dimanjakan oleh Galih, Heni, dan kedua kakak laki-lakinya. Hidup mereka damai tidak ada yang menganggu. Vinta tidak tau kenyataan yang sebenarnya bahwa ia bukan anak kandung mereka. Perjanjian sengaja dibuat seperti itu. Baik Vinta maupun kembarannya tidak ada yang diberitahu bahwa mereka terlahir kembar.

Hampir tujuh belas tahun yang lalu baik Hardi dan Winda tidak pernah mendapatkan kabar apapun tentang putrinya. Jangankan kabar, nama dan wajah Vinta pun mereka tidak pernah mengetauinya. Keluarga Galih benar-benar menjaga Vinta.

Sampai satu bulan yang lalu Hardi mendapat kabar bahwa sepasang adik dan suaminya kecelakaan. Heni dan Galih seketika meninggal di tempat. Dan satu bulan yang lalu untuk pertama kalinya Hardi-Winda mengetahui nama dan melihat wajah putrinya.

Rivinta Yuansyah.

Gadis itu terlihat berantakan karena kematian orangtuanya. Setiap bertemu dengan gadis itu Hardi dan Winda mendapatinya berlinangan air mata. Tetapi saat Upacara Ngaben dilakukan, Vinta tidak lagi menangis. Sepanjang prosesi penghormatan terakir gadis itu terlihat tegar dan tersenyum.

Hari demi hari terlewati. Vinta tinggal bersama kedua kakak laki-lakinya. Ada yang berubah. Sifat dan sikap kakak pertamanya berubah total. Ia menjadi keras bahkan tak jarang Radite dan Vinta menjadi sasaran amukan Sanaswara.

Keadaan itu semakin parah ketika Sanaswara tak sengaja mendorong tubuh Vinta hingga gadis itu terjatuh lalu tak sadarkan diri.

Melihat perlakuan Sanaswara yang tidak bisa dibiarkan, Hardi mengambil keputusan. Ia akan menjelaskan semua pada Vinta.

Malam itu Pulau Bali diguyur hujan. Bersamaan dengan puluhan ribu air yang turun, air mata Vinta juga ikut berjatuhan. Semua diungkapkan Hardi malam itu, tanpa terkecuali. Sanaswara yang mendengar cerita itu langsung beranjak lalu meluapkan amarahnya kepada salah satu pegawai rumah Vinta. Pria itu menghajar pegawai sampai pingsan lalu menghilang.

Tangis Vinta semakin menjadi. Karena takut terjadi hal-hal yang tidak diinginkan Hardi mengajak Radite-Vinta tinggal di Malang. Mereka kompak menolak. Radite menolak dengan alasan siapa yang akan meneruskan usaha Mama dan Papanya kalau ia pindah karena Sanaswara belum bisa diandalkan. Sementara Vinta—gadis itu masih belum terbiasa dengan orangtua kandungnya. Tetapi Radite berusaha keras agar adiknya mau tinggal bersama Hardi dan Winda.

"Aku nggak mau, Bli," kata Vinta waktu itu.

Radite terus membujuk Vinta sampai akhirnya gadis itu menyerah dan menuruti kemauannya dengan syarat Radite harus mengantarkan Vinta sampai Malang.

Berita kepindahan Vinta sampai ke telinga Sananswara. Jujur, ia tidak rela jika harus berjauhan dengan adik bungsunya. Tapi, ia sadar kalau emosinya sedang bermasalah. Jadi daripada beresiko Sanaswara pun merelakan Vinta.

Ia tidak mengucapkan salam perpisahan secara langsung melainkan melalui beberapa pesan yang saja ia kirimkan sabtu lalu.

Bli Wara: Bli tunggu Vinta balek ke Bali setelah lulus nanti.

Bli Wara: Bli janji setelah Vinta lulus SMA nanti, Bli akan jemput Vinta kembali ke sini. Sekarang belajar baik-baik. Buktiin ke Bli kalo Vinta bisa

Bli Wara: maafkan Bli tak bisa menemani Vinta pergi. Satu yang pasti, yang harus Vinta tahu yaitu Bli cinta dan sayang kamu.

Bli Wara; sampai jumpa lagi. Bli doakan dari sini. I loove you.

Dalam tidurnya Vinya tersenyum. Menyadari lengkungan senyum anaknya tercetak Winda langsung menghapus air matanya.

"Vinta janji akan kembali," rancau Vinta dalam tidurnya.

Tbc

#sasaji

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top