Sisa Harapan
1. Menjadi Tentara seperti Ayah.
Remaja yang tumbuh dewasa itu tersenyum ketika membaca seratus harapan di masa depan. Ia menyebutnya kertas harapan. Kertas dimana semua harapan dan cita-citanya tertulis disana.
Menjadi tentara seperti Ayah (X)
Cowok yang sedang duduk di atas kursi menghadap laut lepas itu menyilang harapan pertama.
Butuh waktu kurang lebih lima tahun untuk Catur pulih dari keterpurukan. Butuh waktu kurang lebih lima tahun untuk dia bisa menggerakan kaki dan tangannya. Dan dalam kurun waktu itu pula ia melewatkan masa-masa dimana seharusnya mental dan fisikny ditempa untuk menjadi seorang anggota militer.
Catur melewati hari dimana seharusnya ia berdiri dibawah sinar matahari untuk berlatih PBB. Melewatkan hari dimana seharusnya ia dilantik sebagai salah satu anggota militer secara resmi.
Lima tahun bukanlah waktu singkat. Lima tahun dipenuhi dengan kekecewaan dan rasa penyesalan. Lima tahun pula Catur sering berandai-andai. Andai saja dulu ia tidak peduli dengan Rican. Andai ia tak menghajar Alan. Andai ia dan Frisna tak datang ke rumah Krisna. Dan andai kecelakaan lima tahun lalu tak terjadi. Pasti sekarang ia sudah bisa mewujudkan cita-citanya.
Ah, andai saja...
Catur tersenyum kecut sembari membaca kembali semua harapan-harapan di kertasnya. Senyumnya perlahan pudar ketika ia membaca harapan ke seratus.
100. Selalu bersama Frisna.
Catur ingat itu bukan tulisan tangannya. Ia ingat betul saat dulu di teras rumah Frisna mereka menulis harapan bersama.
"Harapanku cuma ada 99," katanya waktu itu.
Catur menyerahkan kertasnya pada Frisna. Meminta temannya membaca semua harapan miliknya. Frisna mengangguk-anggukan kepala lalu menulis satu untuk menggenapi seratus harapan Catur.
Waktu itu Catur marah karena tulisan Frisna lebih jelek dari tulisannya. Ia berniat menghapus tulisan itu, tapi dilarang Frisna.
"Gue bahagia," katanya beranjak berdiri. "Lima tahun tanpa lo, gue bisa bahagia!" lanjutnya menatap hamparan air laut.
Sampai sekarang Catur belum bisa menerima kenyataan bahwa temannya sudah pergi. Lima tahun tanpa Frisna membuat hidupnya berubah drastis. Hari-harinya tidak sama lagi. Ada yang hilang dari jiwa maupun raganya.
Tanpa sadar Catur meremas kertas harapan miliknya. Meremasnya hingga kertas itu tak berbentuk.
"Lo bilang seratus harapan itu bisa terwujud, tapi apa kenyataannya, Fris?" tanyanya memandang bentangan langit luas diatas sana.
Di antara seratus harapan yang ditulisnya hanya ada sembilan puluh delapan yang bisa diwujudkan. Dua harapan tidak bisa diwujudkan padahal dulu Frisna meyakinkan kalau semua bisa diwujudkan. Jika begini akhirnya harusnya ia tidak usah percaya dengan Frisna.
"Lo bohongin gue. Lo tinggalin gue!" katanya lirih.
Catur membentuk kertasnya menjadi bulatan kecil layaknya bola. Ia bersiap melemparnya ke Laut. Tangannya mengudara dan dalam hitungan detik ia bisa meleparnya lalu kertas itu akan hanyut seiring waktu. Tetapi, baru saja Catur berniat melempar ponsel pintarnya berbunyi.
Mengurungkan niat Catur memilih menerima telefon.
"Asw, gua udah di bandara. Buru jemput sebelom gua ngambek terus balik lagi ke Malang," teriak seseorang disebrang sana.
Catur memutar kedua bola matanya. "Bacot, Ndral. Gue otw. Kira-kira sejam lagi sam-"
"Anjir sejam lo mau ngapain dulu? Cebokin bule di Pantai Kuta?"
"Siap bosque, gue otw sekarang ya. Ha? Oke bye," jawab Catur mematikan sambungan telepon sepihak.
"Gilak. Cerewetnya ngalahin istrinya yang baru lahiran." gumam Catur setelah memasukan ponsel pintarnya di saku celana.
Ia tidak punya waktu lebih. Catur harus bergegas menjemput teman lamanya itu.
Tbc.
#sasaji
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top