Selamat Tinggal
Ketika anggota keluarga berdiri mengelilingi peti berwarna putih, tetapi tidak dengan Dinda. Wanita yang menyandang status sebagai ibu itu tidak mau mendekat ke peti jenazah anaknya. Ia tak percaya bahwa yang ada dalam sana adalah Frisna, putra yang terlahir dari rahimnya.
Sedari tadi Dinda tak henti-hentinya meneteskan air mata. Ia terus menyebut nama anaknya, Frisna. Dari semalam sampai detik ini.
"Frisna masih hidup, Gen. Dia tadi bilang mau main ke rumah Catur," ucapnya meyakinkan Genta yang duduk di sebelahnya.
"Kalau gak percaya kamu tanya Sirro. Tadi mereka berangkat bareng."
Genta hanya bisa mengusap bahu istrinya. Semalam setelah kabar kecelakaan terdengar tiba-tiba Alan buka suara. Anaknya mengaku bahwa ia telah melakukan tindakan pelecehan pada Rican. Itu sebabnya Catur dan Frisna menghajarnya.
Semalam Genta seperti orang gila. Hanya diam dengan pandangan kosong. Pria dewasa itu menyesalinya. Menyesali tindakan bodohnya pada Frisna. Harusnya ia bisa menyelesaikan secara baik-baik. Harusnya ia mendengar alasan putranya. Tetapi bodohnya Genta malam itu. Ia seperti kerasukan setan. Tanpa henti Genta dan tiga anaknya termasuk Alan menghajar Frisna.
Sekarang hanya tersisa penyeselan. Penyesalan yang membuatnya semakin merasa bersalah. Penyesalan yang tidak berguna. Percuma saja Genta menyesal. Percuma saja ia menyalahkan dirinya terus menerus. Itu semua tidak akan membuat tubuh Frisna kembali. Hal itu tidak bisa menghidupkan sosok ceria Frisna.
Di depan sana ada peti putih yang di dalamnya ada jasad Frisna. Harusnya peti itu dibuka supaya orang-orang bisa melihat wajah Frisna. Tetapi tidak mungkin karena tubuh remaja itu hancur. Hanya Erfan, Genta dan Krisna saja yang sanggup melihat kondisi terakhir Frisna.
Sangat mengenaskan. Itulah kata yang tepat untuk mengambarkan keadaan Frisna. Genta dan Krisna yang tadinya berusaha tegar akhirnya menangis juga. Mereka tak menyangka kenapa Tuhan begitu tega membuat Frisna pergi dalam kondisi se-mengenaskan itu.
"Kamu mau nerima Frisna lagi kan, Gen? Kamu mau nerima anak aku buat tinggal di rumah kamu seperti dulu?" tanya Dinda menatap nanar suaminya.
Lagi-lagi Genta hanya bisa diam. Tak terlalu tidak tau harus berbuat apa.
Obrolan mereka terhenti karena salah satu anggota keluarga Genta mendekat. Membisiki pria itu supaya proses kremasi jasad Frisna segera dilakukan. Genta mengangguk mengiyakan permintaan kerabatnya.
"Kalau kamu gak mau gak papa," sambung Dinda setelah kerabat Genta pergi. Wanita itu berdiri bersiap pergi. "Aku akan urus perceraian kita. Kita hidup masing-masing. Kamu dengan anak-anak lainya dan aku akan tinggal bersama Frisna."
Pria berkacamata hitam itu meraih tangan Dinda. Membawa raga si istri duduk.
"Kamu sayang Frisna?" tanya Genta.
Semangat, Dinda mengangguk.
"Kita mulai prosesnya ya?"
"Proses apa?" tanya Dinda.
Genta tidak ingin membuat keadaan Dinda semakin parah. Untuk itu ia membawa Dinda menjauh. Membiarkan anggota keluarganya dan keluarga Krisna memulai kremasi yang akan segera dilaksanakan.
Genta membawa Dinda menjauh. Mereka keluar dari tempat kremasi itu.
"Gen, kita pulang ya? Kita harus cari Frisna secepatnya," kata Dinda setelah mereka sampai di luar.
"Kamu mau lihat Frisna kita bahagia kan?" tanya Genta lirih menangkup wajah Dinda.
Mendengar pertanyaan Genta membuat Dinda kembali ke alam sadar. Wanita itu kembali meneteskan air mata.
"Frisna beneran nggak ada? Dia udah pergi?"
Genta mengangguk entah untuk yang ke berapa kali. "Kamu harus kuat. Kamu mau Frisna bahagia kan?"
Dinda diam.
"Apa yang terjadi sudah menjadi kehendak Tuhan. Mau gak mau kita harus terima," kata Genta mencoba menjelaskan. "Biarkan Frisna pergi dengan tenang. Ikhlaskan dia ya."
Dinda menepis tangan Genta. Wanita itu berlarian ke dalam ruangan. Tapi dengan cepat Genta mencegahnya.
"Aku mau lihat anakku untuk yang terakhir kali. Aku mau ikut sembahyang. Aku ma— mau—" belum sempat Dinda melanjutkan ucapannya Genta lebih dulu memeluk tubuh istrinya erat.
"Iya, iya kita balik ke dalam. Tapi janji kalau kamu tetap tenang."
...
Berita kecelakaan Catur sampai di telinga Ayah kandungnya. Tanpa berbasa-basi pria dewasa itu segera terbang ke Malang bersama Radka—si anak pertama.
Pagi tadi pukul tujuh keduanya sampai di Malang. Ayah dan Radka tidak langsung ke rumah sakit. Mereka pergi ke tempat kremasi jasad Frisna untuk mengikuti serentetan proses hingga pelarungan abu jenazah Frisna.
Setelah berjam-jam berlalu akhirnya di sini lah Ayah dan Radka berdiri. Di depan kaca ruangan yang dipenuhi alat-alat medis. Di dalam sana terbaring tubuh Catur. Remaja itu masih koma entah sampai kapan.
Ayah berbalik saat Radka mengusap bahunya. "Kata dokter kita boleh masuk, tapi hanya dua menit," info si sulung.
Ayah mengangguk lalu memakai baju dan masker yang sudah diberikan Radka. Tak lama akhirnya mereka masuk. Ayah duduk di kursi yang disiapkan sementara Radka berdiri di belakangnya.
"Hai, jagoan. Apa kabar?" tanya ayah pada remaja yang sedang terlelap itu.
Samar pria berbadan tegap itu tersenyum. Ia meraih tangan Catur lalu diciuminya.
"Tadinya tujuan Ayah kesini karena mau hajar kamu. Ayah sudah dengar tentang kenakalan-kenakalan kamu dari Dena dan Abimu."
Radka ikut tersenyum.
"Awalnya Ayah nggak percaya kalau kamu udah bikin Bundamu menangis. Awalnya ayah nggak percaya kalau ternyata kamu lebih nakal dari Bli-mu. Sampai Ayah tanya sendiri ke Bunda dan semua itu benar adanya," katanya sembari menggelus tangan sang putra.
"Ayah marah? Sudah pasti. Bahkan saking marahnya sampai ingin menghabisi kamu dengan kedua tangan ayah sendiri. Tapi belum ayah hajar kamu sudah tak berdaya seperti ini."
Ayah menghembuskan napas panjang.
"Bangun..." pinta pria itu lirih.
Ayah dan Radka masih berbicara dengan Catur. Bernostalgia tentang Catur kecil sampai tak terasa waktu yang diberikan habis. Satu perawat masuk meminta mereka agar keluar ruangan. Ayah dan Radka menurut, mereka keluar.
Di luar sudah ada Adzra, Bunda, Erfan, Dena, dan keluarga Vinta. Mereka semua berdiri memandangi Catur dari balik kaca.
"Boleh aku ke dalam?" tanya Vinta.
"Boleh."
Sekarang giliran Vinta dan Rican masuk ke dalam ruangan bercat putih itu. Mereka berdua berdiri memandangi wajah Catur lekat. Rasa rindu itu kembali hadir. Padahal baru kemarin mereka bertemu dan masih ngobrol lalu sekarang Catur memilih diam.
Vinta meneteskan air mata. Ia pernah ada dalam posisi seperti ini—menangisi orang terkasih. Waktu dulu Vinta mendapat kabar kematian kedua orangtuanya karena kecelakaan. Dan tadi pagi berita yang tak ingin Vinta dengar lagi itu kembali melantun seperti alunan musik yang mengerikan. Mendapat berita bahwa Catur dan Frisna mengalami kecelakaan yang menyebabkan nyawa salah satu dari mereka hilang. Memang saat ini Catur bertahan, tapi tak ada yang tau kalau tiba-tiba nanti ia memilih berhenti.
"Dua kali," ucap Vinta mulai bicara. "Dua kali gue ada dalam posisi kayak gini," lanjutnya menahan pedih.
Hal itu lebih menyesakan dari apapun yang ada di dunia. Vinta memeluk tubuhnya yang terbungkus jacket denim Catur yang diberinya malam lalu. Ia seakan mencari kehangatan pelukan Catur pada jacket itu, tapi nihil. Vinta tidak mendapatkan kenyamanan itu.
"Pertama mami-papi dan yang kedua lo sama Frisna," katanya sembari mendekat.
Vinta meraih tangan remaja itu. Mengusapnya pelan. "Kenapa?" lirihnya.
Lagi-lagi air matanya turun. Mengalir deras tak mau surut. Tadi selama di perjalanan menuju rumah sakit, Vinta sudah mewanti-wanti agar tidak meneteskan air mata saat menemui Catur. Tapi itu semua tak mempan karena nyatanya ia tetap menangis juga.
"Kenapa lebih milih kayak gini? Bangun, Tur. Gue mohon bangun,"
Rican juga sama. Cewek itu juga menangis. Ia tidak tega melihat tubuh mantannya terbaring lemah seperti itu. Karena itu, Rican memutuskan untuk keluar dari ruangan dan membiarkan kembarannya berdua dengan Catur.
"Mami, Papi, dan Frisna mereka semua udah pergi ninggalin gue karena sebab yang sama. Sekarang lo, gue mohon jangan... Jangan pernah tinggalin gue, Tur. Jangan," lirihnya masih sama.
"Kalo lo pergi gue nggak akan punya siapa-siapa lagi. Selain itu gue gak bakalan percaya lagi sama Tuhan.
"Tuhan terlalu jahat kalau sampai tega ambil lo juga. Jadi gue mohon sama lo, bangun Tur, bangun." Dengan hati-hati Vinta mengusap wajah remaja itu.
Disaat Vinta mengusap wajah Catur, remaja itu kejang. Vinta menangis histeris sembari memanggil dokter untuk meminta bantuan. Dokter datang bersama dua perawat lainnya. Satu perawat wanita meminta Vinta untuk keluar ruangan.
Di luar ruangan kembali histeris, terlebih Bunda. Semua wanita yang ada diluar ruangan itu menangis bersama. Tubuh Vinta menegang. Hardi langsung membawa tubuh putrinya itu ke dalam dekap hangatnya.
Vinta takut.
Ia terlalu takut untuk kembali kehilangan orang tersayang.
...
Di bawah terik sinar matahari yang sedang berada tepat diatas mereka. Dua remaja bercelana boxer itu sedang duduk menghadap ke laut
Seperti mengulang masa kecil, Catur dan Frisna duduk menanti sunrise yang masih lama datangnya.
Seakan nyata Catur kembali berbicara dengan Frisna versi remaja SMA. Mereka kembali berbincang-bincang tentang banyak hal. Tentang apa saja, kematian salah satunya.
"Kalau misalnya kita koma alias batas antara hidup dan mati. Semisal Tuhan memberi pilihan untuk kembali hidup atau pergi gak balik lagi, lo lebih milih yang mana, Mang?"
"Tergantung."
Dahi Frisna mengkerut. "Tergantung maksud lo?"
Catur tersenyum. "Tergantung kalo ada alasan gue untuk bertahan kenapa enggak. Kalo semua udah ngerelain apa yang musti dipertahanin?"
Frisna mengangguk paham. Detik selanjutnya ia sudah berdiri menatap hamparan air laut. Menatap lurus dan menghirup udara panjang.
"Kalo gue nggak perlu mikir dua kali langsung milih pergi."
Catur ikut beranjak, berdiri disebelah temannya. "Kenapa gitu?"
"Dosa gue bejibun. Lagian Tuhan tau kapan waktu yang tepat buat ngambil nyawa seseorang dan nggak mungkin bisa ditunda atau dipercepat. Kalau Tuhan mau ambil ya ambil aja," katanya menghela napas kasar.
"Percuma juga gue idup. Gak ada yang mau nerima anak haram kayak gue," lanjutnya tersenyum masam.
Dokter mulai mengangkat alat pemacu jantung.
Satu kali belum ada respon.
"Ah lupain. Eh Mang lo mau gue ajarin selancar gak? Ayo free biaya les mumpung gue baik." Cowok itu sudah menenteng satu papan selancar.
Tangan kanan membawa papan selancar sedangkan tangan kiri mengandeng tangan Catur. Mereka sudah ada ditepi pantai.
"Ayo, Mang."
Dua kali masih sama. Jantung Catur masih belum kembali berdetak.
Catur ragu. Dari dulu ia sangat ingin handal dalam bermain selancar. Bukan untuk gaya, tapi sebagian besar temannya di Bali pasti bisa main selancar. Sedari kecil Catur meminta untuk diajari oleh Frisna maupun Radka. Tapi keduanya tidak ada yang mau mengajarinya dan sekarang entah kenapa tiba-tiba Frisna mau mengajarinya.
"Mang, ayo elah!" Frisna sudah ada diatas papan selancar.
"Gue itung sampai tiga atau lo gue tinggal dan gue gak akan mau ajarin lo lagi."
Catur memejamkan mata. Kemudian ia maju selangkah.
"Catur, Bunda mohon kamu harus bertahan," teriak Bunda.
"Satu.." Mulai Frisna.
Dokter menggeleng, tapi tetap mencoba untuk yang ketiga kalinya.
"Dua..."
Catur menyakinkan diri. Ini saatnya. Dua langkah ia hampir berdiri didepan Frisna.
"Ti—."
"CATUR!" teriak semua orang yang ada di depan ruangan.
Tbc..
#sasaji
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top