Pilihan Vinta
Rivinta Yuansyah.
Selama proses upacara berlangsung Catur terus saja memikirkan pemilik nama itu. Ia tidak jadi bertugas karena Rican mengkhawatirkan keadaanya.
Catur mengusap wajahnya kasar. Perkataan Vinta masih terngiang dibenaknya. Apa alasan mendasar gadis itu hingga membenci Pulau Dewata?
Bali.
Meskipun Bali menjadi saksi tentang penghianatan cinta Bunda pada Ayahnya, meskipun Bali menjadi saksi perpisahan kedua orangtuanya, tetapi Catur tidak kepikiran untuk membenci pulau itu.
Tidak dan tidak akan pernah!
"Eh gembel, ngadem yuk. Kepsek lo udah siap-siap pidato noh," suara Frisna membuyarkan lamunan Catur.
"Gue takut diciduk kayak senin lalu, beb," jawab Catur bernada menjijikan.
Tiga gadis yang berdiri di belakang Catur-Frisna tak sengaja mendengar percakapan mereka langsung saling sikut menyikut.
"Gue bilang juga apa mereka itu hombreng!" komen si gadis berambut lurus.
"Gak nyangka sih. Putus sama Rican, Komang suka sama Frisna," timpal gadis bermata sipit.
"Fix. Frisna adalah alasan kenapa hubungan Komang dan Rican berakhir. Yeu pelakor!" tambah gadis berkulit putih.
Bukan Frisna dan Komang namanya jika tidak memperkeruh suasana.
"Aduh beb. Udah gak nahan nih. Anterin aku ke toilet." jujur Frisna juga geli dengan dirinya sendiri.
Frisna mengedipkan mata ke Catur dan Hendra yang ada di samping kanannya.
"Yok dah mangkal. Eike lapor ke bos besar dulu yaw. Nanti bergilir." paham dengan kode yang dilempar Frisna, Hendra langsung bertindak.
Hendra benar-benar menyusup ke barisan ketiga dari depan—barisan dimana Enriko berdiri—, bertukar tempat dengan Hito. Catur dan Frisna melirik cowok yang terkenal ansos nan arogan secara bersamaan.
Catur-Frisna tahan tawa. Merasa diperhatikan Hito bergerak tidak nyaman.
"Ini yang mau ngalahin kegantengan gue?" tanya Frisna menilai penampilan Hito.
Belum sempat dijawab, Hendra sudah kembali ke barisan mereka. Hito sangat bersyukur untuk itu.
"Siapa duluan? Gua atau lo bedua?" tanya Hendra to the point.
Kelas mereka aneh. Jika ada yang mau meninggalkan upcara untuk kepentingan pribadi, mereka harus ijin pada si penguasa kelas tak lain adalah Enriko. Jika tidak mereka akan diciduk hidup-hidup. Lalu Enriko akan menghukum siapapun itu dengan kejamnya.
Percayalah di balik sifat Enriko yang kadang suka ngelucu dan aneh, tersimpan jiwa tegas dan keras. Kata lain cowok itu tau tempat dimana ia harus menyikapi perilaku teman-temannya.
"Bayar pake uang siapa?"
"Udah gue tombokin tadi. Sans ae," jawab Hendra.
Satu persatu dari mereka bertiga menyusup mundur ke barisan belakang. Beruntung tidak ada guru jaga. Setelah Hendra dan Frisna kini giliran Catur. Remaja itu menyusup ke barisan paling belakang.
Catur berjalan melewati barisan IPS satu lalu berhenti sejenak. Ia melihat Vinta baris di urutan kedua dari belakang bersama Billa dan Sania. Terlalu asik memperhatikan gadis itu lalu tiba-tiba...
"Eh Vinta, Vinta," ucap Billa histeris.
Gadis bernama Vinta itu ambruk. Ia tak sadarkan diri.
"Vin, Vinta." Sania berjongkok sembari menepuk-nepuk pipi Vinta.
Tanpa diminta Catur menghampiri Vinta lalu menggangkatnya. "Biar gue bawa ke UKS."
Sigap. Kedua tangan Catur menggangkat tubuh mungil Vinta. Ia mengendong gadis itu. Dengan sekuat tenaga ia berlarian kecil sampai ruang Unit Kesehatan Siswa.
"Eh, eh tolongin!" teriak Catur di depan pintu UKS.
Tiga siswi yang tadinya duduk dan asyik mengobrol sigap berdiri membantu Catur. Vinta ditidurkan di atas brangkar UKS. Seorang petugas PMR yang diyakini sebagai adik kelas mengolesi pelipis Vinta dengan minyak kayu putih. Memijitnya pelan lalu menyodorkan minyak kayu putih ke hidung Vinta.
Gadis itu benci aroma minyak kayu putih. Tak berselang lama ia bangun.
"Pelan-pelan kak," ucap salah satu petugas membantu Vinta duduk.
Vinta mengangguk. Ia menoleh mendapati Catur yang sudah duduk berselonjor mengatur napasnya. Bukan apa-apa, jarak antara lapangan dan UKS lumayan jauh. Bayangkan saja membawa tubuh Vinta yang tidak terlalu besar memang, tapi berisi. Dari lapangan sampai UKS dengan berlarian kecil membuat remaja itu merasakan sesak.
"Mang Catur," suara Vinta membuat Catur berdiri tegap.
Satu sisi Catur senang karena Vinta sudah sadar, tapi panggilan gadis itu sempat membuat Catur sebal.
Mang Catur?
Dia pikir gue itu Mang ojek apa! Ck.
"Anjir panggil gue Komang atau Catur aja. Kagak us—"
"Huwek." cairan menjijikan itu keluar dan mengenai sepatu Catur.
Mampus lo! Batin Catur berteriak.
Catur memejamkan mata, jijik. Ia tidak sanggup melihat cairan yang keluar dari mulut Vinta. Demi apapun Catur juga ingin muntah rasanya.
Vinta masih saja memuntahkan semua isi perutnya. Sementara Catur masih memejamkan mata.
Berselang beberapa menit semuanya sudah berakhir. Cowok itu membuka mata. Rasa mual muncul ketika Catur melihat keadaan sepatunya.
"Gue ke toilet dulu!" larinya keluar UKS.
...
Bel istirahat berbunyi. Itu artinya sudah empat jam pelajaran Vinta terbaring di UKS dan selama itu pula Catur belum kembali. Hal terakhir berhasil membuat Vinta kepikiran.
"Vinta."
Rican. Ia berdiri di ambang pintu UKS dengan napas terengah. Gadis itu mendekat menatap wajah Vinta lekat. Dia merasa berkaca.
"Maaf baru kesini," ucap Rican merasa bersalah. "Aku urus surat ijin pulang ya. Nanti aku antar kamu pulang," tambahnya.
"Gausah. Aku naik Grab aja," jawab Vinta.
Belum sempat Rican menjawab, empat teman Vinta sumasuk ke dalam UKS. Rican paham dengan tatapan Vinta yang memintanya keluar. Tanpa pamit gadis itu keluar ruangan.
Rican keluar dengan perasaan yang tidak bisa diungkapkan. Rasanya sungguh tidak bisa dijabarkan. Rican berjalan lurus sembari menahan rasa sesak di dada. Masih terus berjalan tanpa sadar ia menabrak seseorang.
"Wanjer."
Rican melihat Catur, Frisna, dan Sirro. Maniknya terfokus pada cowok yang ditabraknya.
"Maafin gue," kata Rican.
Frisna mengangguk. "Tenang kakak cans, gue gak papa kok," jawabnya.
Frisna mengode Sirro. "Gue ama Sirro cabut dulu. Mau cek sepatu lo udah kering atau belum." setelah mengucap kalimat itu, Frisna dan Sirro menghilang dari pandangan.
"Thanks tadi udah tolongin Vinta," ucap Rican membuka suara.
Catur mengangguk. "Sama-sama. Mmm, sekarang gimana keadaannya?" tanyanya tak kuasa menahan rasa penasaran.
"Dia butuh istirahat lebih. Ini aku mau urus surat ijin pulang sekalian anter."
Catur mengangguk.
"Yaudah aku duluan ya."
Kemudian Rican pergi. Catur mengerdikan bahu sembari berjalan menuju UKS.
Suasana di ruangan bercat putih itu ramai karena kedatangan Billa, Dida, Ovi, dan Sania. Mau masuk ke dalam Catur segan. Untuk itu ia memilih duduk di bangku yang tak jauh dari ruang UKS.
Catur duduk sendiri. Terbersit pikiran untuk membelikan Vinta makan dan minuman. Sepertinya ide itu yang harus dilakukannya.
Di kantin Catur kembali bertemu Frisna dan Sirro. Mereka menarik tangan Catur supaya mau bergabung dan makan bersama.
"Gimana keadaan cewek yang tadi muntah di sepatu lo?" tanya Sirro.
Bersamaan membuka kacang shanghai, Catur menjawab. "Gatau. Ntar gue kesana lagi. Ini beliin air mineral ama roti."
"Ih ogeb!" Frisna menjitak kepala Catur. "Ngapain lo nongkrong disini kalo udah beliin doi makan. Buru kasih, Mang. Kesian doi kaga punya sanak sodara yang jenguk. Ntar doi keburu mati."
Sirro tersedak air mineral sedangkan Catur hampir mati karena tersedak kacang. Mulut Frisna perlu di tampar!
"Lo potensi bikin kita mati." Komen Sirro sementara Catur sesegera mungkin meminum air.
"Salah gue apa?"
"Najis! Lo mau gue mati muda? Bego!" Itu suara Catur.
"Hehe."
"Ck! Gue UKS dulu." Catur beranjak meninggalkan mereka berdua.
Remaja itu kembali ke UKS bertepatan dengan bel jam istirahat yang sudah berbunyi. Ia diam sejenak untuk memastikan teman-teman Vinta sudah keluar atau belum. Sudah yakin tak ada orang, Catur pun masuk ke dalam.
"Hai. Apa kabar?" senyum remaja itu merekah.
Begitu pula dengan Vinta. Gadis itu ikut tersenyum meski hanya sesaat. "Lumayan dari pada yang tadi pagi."
Catur menyerahkan roti dan air mineral untuk Vinta. "Makan dulu."
"Thanks, tapi tadi udah di bawain sama anak-anak."
"Oh oke,"
Diam sejenak. Vinta baru menyadari sesuatu kalau Catur tidak memakai sepatu. Entah milik siapa, remaja itu memakai sandal japit warna hijau. Vinta ingin tertawa, tapi ditahannya. Ia tau secara tidak sengaja ini juga karena dirinya. Merasa dilihat oleh Vinta, Catur menjadi salah tingkah.
"Mmm, maaf. Gara-gara gue sepatu lo basah. Sekarang lo malah pake sandal itu. M-maaf."
"Sans."
Detik selanjutnya Rican sudah berdiri di ambang pintu UKS bersama Alan yang membawakan tas milik Vinta. Jangan ditanya bagaimana perasaan Catur, tapi yang pasti remaja itu sudah mulai terbiasa.
Mereka berjalan beriringan.
"Aku udah dapetin suratnya. Sekarang kita bakal anter kamu pulang,"
"Gausah repot. Aku bisa naik Grab atau Gojek kok," tolak Vinta.
Rican dan Alan menggeleng bersamaan.
"Aku gak akan biarin kamu pulang sendirian dalam keadaan seperti ini," kata Rican. "Kali ini turutin aku please," tambahnya memohon.
Dibanding Rican, tingkat ke-egoisan Vinta lebih tinggi. Ia tetap bersikukuh untuk pulang sendiri. Perdebatan cukup sengit terjadi antara Alan, Rican, dan Vinta. Alan setuju dengan Rican, tapi Vinta tidak ingin diantarkan pulang oleh mereka berdua.
"Diem!" Catur bersuara.
"Kalo Vinta gamau dianter sama kalian berdua yaudah biarin. Biar gue aja yang anter."
"Lo?" tanya Alan. "Naik motor warna pink itu? Hah! Yakali cewek sakit dianterin pake motor," tambahnya sarkas.
"Kamu nggak bawa motor, Tur. Terus mau anter Vinta pake apa?"
"Gue sama Vinta bisa pesen Grab. Gue janji bakal jagain dqn pastiin dia akan baik-baik aja sampai rumah."
Vinta mengangguk setuju. "Iya gue mau."
Tak terbantah dan tidak ada yang bisa menyanggah.
Tbc.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top