Jacket untuk Vinta

"Frisna sini Bunda obatin luka kamu dulu," ucap Bunda masuk ke kamar Catur. 


Frisna yang terlihat ragu di dorong Catur hingga berhadapan dengan Bunda. Frisna memang kenal dekat dengan Bunda. Sesekali ia bersikap manja tak jarang menggodanya. Dan sekarang keadaan mengharuskannya duduk berhadapan.

Sialannya si kampret Catur dan Vinta sengaja meninggalkan kamar ini.

"Rileks bisa kali," ucap Bunda mengetahui kecanggungan Frisna.

Teman Catur itu hanya bisa nyengir kuda. Kemudian dengan telaten Bunda mengobati luka Frisna.

Beliau melepas plester dari hidung teman Catur. Wanita itu terkekeh pelan. Perasaan tidak ada luka di hidung Frisna lalu apa gunanya plester bergambar doraemon itu?

"Ditempelin Komang, Bun. Biar lukanya keren, katanya." Frisna menjelaskan padahal Bunda belum bertanya.

Wanita itu menggeleng. Anaknya memang ajaib. "Lain kali jangan mau. Kamu kenapa mau sih dikerjain dia?"

"Aku juga mau terlihat keren walapun wajah bonyok semua, Bun. Hehe."

Bunda hanya bisa menggeleng kemudian melanjutkan tugasnya. Tak membutuhkan waktu lama untuk Bunda selesai mengobati luka Frisna. Sekarang wanita itu membereskan perlengkapan ke dalam kotak p3k.

Frisna membantu Bunda. Sejenak ia menatap wajah ibu temannya. Beruntung Catur punya ibu seperti Bunda. Frisna tersenyum miris, andai mamanya seperhatian Bunda.

"Terimakasih ya, Bunda," ucap Frisna.

Bunda berhenti dan beralih menatap Frisna. "Ih kamu kayak sama orang lain aja."

"Bunda," panggil Frisna.

"Iya?"

Frisna bergerak gelisah. Dia harus menceritakan semuanya. Hari ini ia harus menyelesaikan tugasnya. Frisna mencoba menenangkan diri. Menstabilkan detak jantungnya.

"Soal Komang," katanya berjeda lama.

Alis Bunda naik. Sepertinya bahasan kali ini akan menarik. "Catur? Kenapa dia?"

Ini saatnya.

"Bukan Komang yang gebukin Alan. Dia nggak salah. Dia cuma mau bantuin Rican waktu itu," ungkapnya akhirnya.

Dahi Bunda berkerut. Ia tidak paham dengan apa yang dikatakan Frisna. Bunda menenangkan Frisna. Menyuruh remaja itu bercerita pelan-pelan.

Berhasil. Frisna dapat menceritakan semua. Semua tanpa terkecuali. Sekarang Bunda paham. Anaknya memukul Alan karena membela kehormatan Rican?

"Bunda harus minta maaf ke Catur."

...

Catur mengendarai motor scoopy milik Vinta. Setelah menjalani perdebatan sengit dengan Catur akhirnya Vinta mau juga diantar pulang olehnya.

Cowok itu bersikukuh mengantarkan Vinta pulang dengan alasan 'sudah malam. Gak baik kalau gadis mengemudi sendirian apalagi dalam keadaan hujan. Halah pret! Nyatanya ini masih jam enam malam.

Sengaja Catur memperlambat laju motor Vinta. Sejak kejadian di area belakang Vinta enggan berbicara dengan cowok yang memboncengnya. Dan sekarang ia ingin meminta Catur agar menambah kecepatan mengendara.

"Lo tuh bisa cepet dikit gak sih?" protes Vinta akhirnya.

"Biar lambat asal selamat, non Vinta," jawab Catur.

Vinta berdecak. "Tapi nanti keburu hujan, Tuan. Tuan kan gampang bengeknya. Kalau Tuan sakit kasian masyarakat Indonesia."

Catur terkekeh. " Se-Indonesia? Dikira gue anak presiden kali ah."

"Lagian lo tuh ngapain sih pake acara nganter gue segala? Terus lo ntar baliknya gimana?"

"Ya lo yang anterin gue lah."

Mendengar jawaban ngawur Catur Vinta mencubit pinggang cowok itu kasar. Membuat Catur menghentikan laju motor tiba-tiba. Beruntung posisi motor ada di pinggir jadi tidak berpengaruh untuk penggendara lain.

Si cowok mengaduh kesakitan sementara si cewek merutuk karena terbentur helm Catur.

"Lo tuh kalo mau nyubit kira-kira kek. Sakit tau!"

"Lo kalo ngerem bilang-bilang. Gue kebentur helm lo gak kalah sakit tau!"

Kemudian hening. Catur mengusap pinggangnya sembari komat-kamit tidak jelas. Memang Vinta ini kebiasaan. Ia tidak akan setengah-setengah jika mencubit seseorang.

Catur memanyunkan bibirnya. Mendapat ide dadakan Vinta mengeluarkan ponsel lalu menjepret ekspresi langka Catur. Bukan lagi candid namanya kalau remaja yang di foto sadar. Bukannya marah, Catur malah berpose alay.

"Jepret muka gue sebanyak mungkin. Ntar kalo kangen biar gampang," kata Catur mempersilakan.

Vinta berhenti. "Apaan sih lo? Ish," katanya mematikan ponsel.

"Eh, gue belom menampilkan gaya andalan lho, Vin. Keluarin ponsel lo gih," perintah Catur.

Vinta menggeleng.

Gerimis datang. Kecil-kecil dan tidak beraturan. Vinta mengajak Catur meneduh, tapi cowok itu menolak.

"Sekali-kali gue mau ngerasain kehujanan bareng cecan."

Vinta tersipu malu. "Lo tuh penyakitan. Gak usah kebanyakan gaya. Kita neduh aja ya?"

Catur menggeleng. Ia lepas jaket denim-nya lalu memakaikannya ke tubuh Vinta.

"Gue udah bisa disebut gantleman belum?" tanyanya sembari mengacingkan jacket untuk Vinta.

"Ha?" respon si cewek.

"Gue rela kedinginan dan terkena hujan demi lindungin lo. Itu tindakan gantleman bukan?"

Vinta berdecak.

"Duh gue kok keren ya?" kata Catur.

"Ternyata ada ya kebaikan yang diumbar-umbar. Baru kali ini gue ketemu Hamba pamrih modelan lo."

Catur terkekeh sembari menaiki motor Vinta. Tak lama kemudian mereka melanjutkan perjalanan. Beruntung hanya gerimis kecil. Jadi, tubuh mereka tidak terlalu basah. Saat memasuki daerah Idjen tidak ada hujan sama sekali.

Semakin mendekati rumah Vinta, Catur semakin memperlambat laju motornya.
Ia ingin berlama-lama dengan gadis ayu itu. Rasanya belum cukup waktu yang selama ini ia habiskan bersama Vinta. Terlalu singkat.

Dengan sadar Catur melewati rumah Vinta. Ia tetap melajukan sepeda motor Vinta tanpa tau arah tujuan selanjutnya. Frisna yang tadi disuruh menjemput Catur bahkan sudah berdiri tiga menit lalu di depan gerbang rumah cewek itu. Dan melihat temannya terus melajukan motor sempat membuat Frisna mengerutkan dahi. Sesegera mungkin Frisna mengikuti scoopy putih yang ada beberapa meter didepannya.

"Eh, rumah gue kelewat!" Kata Vinta sedikit berteriak.

"Iya tau. Sengaja," jawab Catur santai.

"Berenti sekarang dan puter balik!" perintah Vinta.

"Satu puteran lagi, Vin. Gue masih mau bareng lo soalnya." jawaban itu bisa berhasil membuat Vinta merutuk.

Di belakang Catur-Vinta, Frisna memencet klakson vespanya. Ia juga meneriaki Catur agar cowok itu berhenti. Dan bukannya berhenti Catur malah menambah kecepatan laju motor  Vinta.

Frisna berdecih dan sempat mengeluarkan kata-kata kasar. Tetapi baiklah jika itu kemauan temannya, ia akan ikut bermain. Seketika jalan sepi perumahan disulap menjadi arena balapan.

Motor mereka sesekali berdampingan, tapi lagi-lagi Catur bisa meninggalkan Frisna jauh dibelakangnya.

"Lo berdua emag gila!" teriak Vinta.

"Pegangan non biar gak jatoh!" perintah Catur.

Walaupun motor Vespa jangan ragukan kecepatannya. Frisna beberapa kali mengimbangi scoopy putih Vinta atau bahkan beberapa kali Frisna berada di urutan pertama.

Sekarang Frisna meraih bagian belakang motor Vinta. Tangannya sengaja ia kaitkan di jok belakang.

"Hai cantik," goda Frisna sengaja.

"Kyaaa Catur ada setan belakang gue!!!" teriak Vinta hiperbola. Karena kaget Frisna terpaksa melepas pegangannya.

Hampir sepuluh menit mereka kejar-kejaran tidak jelas. Lalu sekarang ketiganya sudah ada di depan gerbang rumah Vinta. Catur dan Frisna cengengesan sementara gadis itu cemberut. Percayalah dua cowok itu berpontensi membuatnya terkena serangan jantung.

Pak Joko—satpam rumah Vinta— sadar akan kepulangan si anak majikan langsung membukakan gerbang. Vinta mengajak Catur dan Frisna masuk, tapi mereka kompak menolak.

"Kenapa gak masuk dulu sih? Gue bisa bikinin minuman hangat buat kalian," kata Vinta.

Mereka menggeleng bersamaan.

"Kita langsung aja," jawab Frisna.

"Iya masih ada urusan soalnya," tambah Catur.

Vinta mengangguk lalu melepas jacket Catur. Setelah terlepas ia berniat menyerahkannya pada Catur. "Ini punya lo."

Catur menggeleng. "Buat nemenin lo malem ini."

Vinta mengerutkan dahi. "Cuacanya dingin. Nanti lo kenapa—"

Catur menggeleng. "Gue gapapa, Vinta. Gue ini cowok kuat, tahan banting."

"Tahan banting gigi lo gimbal. Kena ujan dikit besokannya demam juga," sahut Frisna.

"Eh kumis Kadoor diem lu!"

Fokus Catur kembali ke Vinta. Senyum ia terbitkan. "Malem ini lo tidur pake jaket itu ya. Biar anget dan anggap lo lagi dipeluk sama gue. Jhiakkh!"

Vinta menggeleng. Ternyata masih ada stok Hamba model Catur. "Gila."

"Gila-gila gini bisa bikin lo jatuh cinta."

Muak dengan keromantisan Catur dan Vinta, Frisna mengajak Catur untuk pergi.

"Gue balik dulu ya, Vin," pamit Frisna.

Vinta mengangguk. "Iya."

"Mang ucapin kata-kata terakhir sebelum perpisahan sebelum beneran pergi," perintah Frisna.

"Anjing dikira gue mau mati apa," jawab Catur mengetok helm Frisna.

Tapi setelah itu Catur menuruti perintah Frisna. "Gue balik ya, Vinta. Lo baik-baik."

Vinta tersenyum. "Lo juga."

"Satu sebelum gue pergi. Pastiin lo selalu tersenyum kayak gini. Jujur gue suka banget kalo lo senyum gitu. Berasa disenyumin bidadari Nirwana."

"Si tolil emang lo pernah ketemu bidadari Nirwana?" sahut Frisna lagi.

"Bacot lo. Vin, gue balik dulu ya. See you."

Kemudian Catur dan Frisna pergi.

Vinta menatap kepergian keduanya. Penuh dengan kesadaran Vinta mengangkat jaket Catur hingga ke hidung. Ia hirup aroma parfum khas cowok itu dalam-dalam.

Dan entah kenapa tiba-tiba Vinta merindukan seorang I Komang Catur Damara.

"See you and miss you."

Tbc.

#sasaji

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top