Gelang Catur

Hujan menguyur kota Malang. Waktu menunjukan pukul sembilan malam ketika semua anggota keluarga bahkan asisten rumah tangga menunggu kedatangan si tuan muda.

Hal-hal negatif berkeliaran bebas dipikiran Bunda. Wanita itu dilanda cemas. Sudah malam begini Catur belum juga kembali.

Ingin Bunda menangis karena khawatir yang teramat. Tapi apa gunanya menangis? Menangis tidak akan membawa raga anaknya pulang ke rumah. Bunda meremas pelan baju gamis biru yang dipakainya.

Suara mobil mengintrupsi telinganya. Dengam segera Bunda, Adzra, Mbok Mina beserta anaknya berlarian kecil menuju pintu depan. Erfan dan Dena berlari untuk menghindari ribuan hujan yang datang menerjang.

"Gimana, mas?" tanya Bunda memegang tangan Erfan.

Pria itu menggiring Bunda dan semua orang masuk ke dalam rumah. Erfan menyuruh Bunda  duduk. Ia tau istrinya tidak tenang sejak tadi siang setelah dirinya dipanggil ke sekolah Catur.

Bunda menatap Erfan penuh harap.

"Dia nggak ada dirumah Rican atau Sirro," ucap Erfan.

Rasanya sesak.

"Di rumah Frisna?"

Erfan menggeleng. "Aku sama Dena udah ke rumah mereka bertiga. Hasilnya nihil."

Kali ini Bunda sudah tidak bisa menahan air matanya. Ia menangis untuk yang pertama kalinya di hadapan Erfan dan semua orang—kecuali Dena. Sebelumnya Bunda dikenal sebagai wanita tegas dam tegar. Ia tidak pernah mau melihatkan sisi lemahnya, tapi kali ini untuk pertama kalinya Bunda meneteskan air mata.

Adzra memeluk Bunda begitu pula dengan Dena. Keterlaluan, pikir Erfan. Ia tidak bisa tinggal diam. Ia harus bertindak tegas nanti.

"Mungkin dia lagi neduh. Bunda kan tau kalau Catur nggak bisa kena air hujan." Dena berusaha menenangkan.

Bunda menggeleng lalu berdiri. "Nggak mungkin sampai semalam ini. Harusnya dia udah pulang sore tadi," katanya menyeka air mata.

"Sini kunci mobilnya. Biar aku cari anakku sendiri," kata Bunda.

Dena dan Erfan berdiri.

"Kamu lagi hamil. Aku nggak akan biarin kamu nyetir mobil di saat hujan. Belum lagi kamu lagi banyak pikiran. Aku nggak mau ambil resiko," ucap Erfan.

"Tapi mas—"

"Nggak ada kata tapi. Tolong dengerin aku. Jangan hanya karena dia kamu sampai se-nekad itu."

"Dia yang kamu maksud itu anak aku! Kamu nggak tau—"

"Jangan hanya karena anak itu kamu lupa kalau lagi hamil anak aku! Anak kamu udah gede, tau jalan! Dia nggak mungkin kenapa-napa karena udah bisa jaga diri!" bentak Erfan.

Apa yang dikatakan Erfan ada benarnya. Bagaimanapun Bunda sedang hamil muda. Di usia kandungannya yang baru memasuki bulan ketiga masih rentan keguguran.

Bunda kembali duduk. Tangisnya semakin pecah. Dena mengusap punggung Bunda sementara Adzra ikut menangis bersamanya.

"Maaf udah bentak kamu." Erfan berlutut sembari mengusap tangan Bunda. "Aku nggak mau terjadi apa-apa sama calon anak kita. Kamu sendiri yang bilang sama aku kalau mau jaga anak kita kan?" lanjutnya menyusap air mata Bunda.

Bunda mengangguk.

"Percaya Catur akan baik-baik aja." Tenangnya lagi.

Mereka kembali menunggu. Satu jam berlalu, tapi remaja itu belum juga pulang. Dan tak ada yang menyadari jika satu motor juga mobil sudah  memasuki halaman rumah.

Catur berlari setelah menutup mobil Frisna. Ia berdiri menanti Frisna yang bertugas mengendarai motornya.

"Thanks buat hari ini," ucap Frisna memberikan kunci motor Catur.

"Iya sama-sama."

Mereka bertukar kunci.

"Masuk dulu, Fris," tawar Catur.

Frisna menggeleng. "Gue langsung aja. Thanks sekali lagi ya."

Setelah berjabat tangan dan berperlukan akhirnya Frisna pergi. Catur memasuki rumah. Pemandangan pertama yang ia lihat saat memasuki rumah adalah semua mata tertuju padanya.

Bunda beranjak, Catur mendekat. Baru ingin menyalimi tangan Bunda, tapi tiba-tiba...

Plak.

Wanita itu menampar putra bungsunya.

Panas. Hati dan tangannya sama-sama panas. Bunda mengepalkan tangan kanannya. Merasakan sesak yang teramat. Matanya kembali berair. Ia tak sadar dengan apa yang barusan dilakukan. 

Catur diam. Pipinya mulai terasa. Tangan Bunda itu tidak terlalu besar, tapi bisa menyebabkan nyeri.

Bunda mengatur napas. Lalu melayangkan jari telunjuknya ke wajah Catur. "Kamu keterlaluan!"

Dena maju karena melihat tubuh Bunda yang sedang bergetar. Bunda menepis tangan Dena kasar.

"Dari mana aja kamu jam segini baru pulang? Kenapa nggak sekalian tidur dijalanan!" Bunda maju, menatap Catur. "Punya mulut kan? Jawab pertanyaan Bunda!" lanjutnya menggoyangkan tubuh Catur.

Catur pikir yang ada di hadapannya sekarang bukanlah Bundanya. Bunda yang dikenalnya tidak sekasar ini. Remaja itu hanya bisa menunduk. Tetapi bunda mendongkakan wajah Catur kasar.

"Tatap dan jawab Bunda!"

"A—aku tadi ada kerja kelompok—"

Plak.

Satu tamparan kembali dilayangkan dipipi kanannya. Catur limbung dan hampir terjatuh jika Dena tak segera membantunya. Bunda memejamkam matany. Dadanya kembali sakit.

"Jangan berlagak lemah! Ayo lawan Bunda, jagoan." sarkas Bunda.

"Kamu pikir Bunda nggak tau kamu bohong? Sudah berapa kali? SUDAH BERAPA KALI KAMU BOHONGIN BUNDA, HA?"

"Kamu bolos. Kamu ngerokok. Kamu gebukin anak orang!  Apalagi yang kamu sembunyikan dari Bunda?"

Erfan maju menggelus lengan istrinya. Napas Bunda terengah. Erfan mengajaknya duduk.

"Kamu pikir Bunda nggak tau semua itu? Kamu pikir Bunda sebodoh itu?"

Catur tau ini semua pasti ulah Erfan. Pasti pria itu yang sudah memberitau semuanya pada Bunda.

"Licik!" kata Catur menatap Erfan.

"Dia yang ngasih tahu Bunda?" tanyanya. "Sekarang Abi puas? PUAS UDAH BIKIN BUNDA MARAHIN AKU? TAMPAR AKU?"

Erfan tak tinggal diam. Pria itu sudah bersabar selama ini. Dan untuk kali ini dia tidak ingin diam lagi.

Bugh.

Satu tonjokan berhasil membuat tubuh Catur tersungkur di lantai. Seketika itu Bunda tak sadarkan diri. Adzra, Dena, dan Mbok Mina menggotong tubuh Bunda ke kamar. Tinggalah Erfan dan Catur.

"Bunuh aku sekalian!" kata Catur menantang.

"Kamu tau keadaan bunda kamu? Dia lemah." Erfan mendekat.

Catur mengubah posisinya menjadi duduk. "Abi yang bikin bunda seperti itu! Harusnya abi nggak usah kasih tau—"

"Bundatau sendiri! Dia tau kamu suka bolos pelajaran, suka nongkrong di warung, dan gebukin Alan! Bunda tau sendiri."

Catur menggeleng, tidak mungkin. "Mustahil!"

"Akhir-akhir ini aku belajar nerima Abi dan bisa. Terus sekarang abi main curang dengan membocorkan semua keburukanku." Cowok itu menggeleng kuat dan tersenyum kecut. "Abi hancurin kepercayaan aku—"

"Bunda kamu tau sendiri!" potong Erfan cepat. "Bunda tadi ke sekolahan karena panggilan kepala sekolah kamu!"

Pria dewasa itu menceritakan apa yang terjadi tadi siang. Saat dirinya dan Bunda datang menghadap kepala sekolah. Pak Yudis—sang kepsek— memanggil wali murid dari Catur. Kebetulan tadi siang Erfan sedang ada di klinik bersama Bunda. Setelah mendapat panggilan itu, mereka pergi ke SMA Dratayuda.

Pak Yudis menceritakan semua. Tentang Catur yang tidak masuk tiga belas hari dalam sebulan terakhir. Tentang Catur yang memilih bolos di Warla, seseorang merekam kegiatannya. Dan yang terakhir soal pengroyokan Alan di parkiran gedung belakang. Semuanya diceritakan oleh pak kepala sekolah, tanpa terkecuali.

Yudis memberikan surat pengeluaran siswa kepada Bunda dan Erfan. Seketika Bunda lemas sementara Erfan tidak terima. Ia membela Catur habis-habisan. Erfan bilang tidak adil. Disaat siswa atau siswi yang lain menerima surat peringatan lebih dulu sebelum dikeluarkan kenapa anaknya tidak?

Erfan marah dan berakhir dengan Pak Yudis yang mengalah. Catur diberi kesempatan kedua dengan catatan tidak boleh mengulanginya lagi.

Catur hanya bisa terdiam setelah mendengar cerita Erfan. Ucapan Alan tadi pagi tidak bisa dianggapnya gertakan.

Erfan mendekat lalu meninju wajah Catur hingga ia kembali tersungkur. Sudut bibirnya berdarah.

"Itu untuk rasa kecewa dan sakit hati Bunda kamu," ucapnya meraih kerah seragam Catur.

Bugh.

Pria yang pernah menjuarai karate semasa SMA itu murka.
Satu tonjokan berhasil membuat wajah Catur menyentuh dinginnya lantai. Sekarang hidungnya yang berdarah.

"Itu untuk air mata Bunda," katanya pergi meninggalkan Catur.

...

Semalaman Catur terjaga. Menikmati rasa sakit disekujur tubuhnya. Setiap detik cowok itu meringis menahan perih yang melanda. Tidak ada yang mengobati lukanya. Tidak ada Adzra, Bunda, ataupun Dena. Mereka seakan tutup mata dengan keadaannya.

Catur menyesal sudah membuat bunda menangis. Dulu sebelum dirinya pindah ke Malang, Ayah berpesan agar ia menjaga bunda. Jangan sampai ada air mata. Dan nyatanya? Cowok itu tidak bisa menepati amanah pak komandan.

Jam menunjukan pukul 06.15 pagi.

Catur harus pergi sekolah.

Tertatih, Catur berusaha menuju kamar mandi. Lima belas menit setelah mandi dan memakai seragam, Catur bersiap pergi. Ia berdiri diambang pintu yang belum tertutup sepenuhnya. Melihat seisi kamarnya dan merasakan sesuatu yang janggal.

Rasanya ada yang menahan untuk tetap tinggal.

"Selamat tinggal," entah bisikan darimana dengan sadar Catur mengucapkan kalimat itu. Ia menutup pintu kamarnya perlahan.

Tepat bersamaan pintu kamar tertutup gelang suci yang melingakar di tangan kananya terlepas.

Dan Catur tidak menyadarinya.

...

Niatnya ingin mengisi perut karena sudah kelaparan. Mengingat semalam ia tidak makan. Tetapi saat melihat anggota keluarganya tersenyum bahagia tanpa kehadirannya membuat Catur mengurungkan niat. Lebih baik ia pergi daripada menganggu suasana.

"Mau kemana?" Itu suara Bunda.

Catur diam.

"Ajak adikmu sarapan. Bunda ke kamar dulu," kata Bunda beranjak pergi.

Wanita itu berjalan melewati Catur. Sempat ia menatap wajah sang putra. Hatinya seakan teriris. Biasanya Bunda yang mengobati luka Catur, tapi kali ini ia membiarkannya.

Setelah bertatap muka beberapa detik dengan Catur akhirnya Bunda memilih mempercepat langkahnya menjauh.

Bunda berbohong. Ia tidak pergi ke kamarnya. Entah dorongan darimana ia berjalan menaiki lantai dua. Sampai di anak tangga teratas, Bunda berhenti. Menatap pintu kamar Catur.

Wanita itu berjalan mendekat ke pintu kamar Catur. Ia berhasil meraih gagang pintu dan bersiap membukanya. Tetapi, Bunda merasakan sesuatu. Kakinya menginjak sesuatu.

Bunda menunduk dan mengangkat kakinya supaya tau benda apa yang diinjaknya.

Bunda meraih gelang berwarna hitam, merah, dan putih. Ia menggengamnya. Secepat mungkin ia harus menemui anaknya lalu memakaikan kembali gelang Tridatu milik Catur.

"Bunda aku sama Mas Radka dapet gelang ini!" Seru anak berusia enam tahunan.

Bunda yang tadinya asik membuat adonan kue langsung menghentikan aktivitas dan beralih menatap wajah putra kecilnya.

"Gelang apa ini? Siapa yang kasih?" tanya Bunda.

Catur kecil mendekat. "Gelang Tridatu. Hadiah karena aku dan Mas Radka rajin ke Pura," jawabnya antusias sembari memperlihatkan gelang barunya.

Dena bergabung ikut melihat gelang milik adiknya. "Kakak pinjam boleh?" tanyanya bersiap membuka gelang Catur.

Lalu Radka berlari dan melindungi adik kecilnya. "Tak boleh! Kata ayah tidak boleh dilepas!" jawab Radka tegas.

"Kenapa tak boleh? Catur mau bagi pinjam ke aku," kata Dena tak mau kalah.

Kemudian Ayah datang lalu Dena mengadu pada sosok yang sangat diidolakannya itu.

Ayah mengelus rambut panjang Dena. "Jangan dipinjam. Itu milik adikmu."

Gadis itu menangis kemudian.

"Nanti ayah belikan. Yang bagus kembaran sama bunda ya?" Tenang Ayah kala itu.

Dena mengangguk lalu mereka bertiga pergi keluar untuk bermain. Bunda yang dari tadi hanya melihat sekarang mendekat dan bertanya.

"Kenapa tidak boleh dipinjam?"

"Dari mereka bayi aku rajin ajak mereka ke Pura. Itu hadiah," jawab Ayah.

Waktu itu Bunda tidak mengerti dan ia kembali bertanya. Ayah dengan sabar memberi sedikit penjelasan.

"Apapun yang terjadi nanti jangan sampai gelang mereka lepas atau dilepas. Aku gabisa menjaga mereka sepenuhnya, tapi dengan itu Tuhan selalu menjaga mereka."

"Itu gelang suci. Gelang perlindungan. Tapi jika Tuhan menghendaki, gelang itu akan terlepas dengan sendirinya. Sekali lagi aku ingatkan, jangan pernah melepas gelang itu. Kamu harus pastikan itu selalu dipakai mereka. Mengerti?"

Ingatan itu...

"Catur."

#sasaji

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top