Di Depan Pura Besakih (END)

Mata hitam bening itu menatap  bentangan langit gelap. Berulang kali mencoba menghitung banyaknya bintang. Tapi, selalu gagal dan harus mengulang dari awal.

Vinta merasa dirinya adalah orang konyol dan tidak masuk akal. Untuk apa menghitung puluhan atau bahkan ribuan bintang di atas sana? Seperti orang yang tidak punya kerjaaan saja. Sialnya memang Vinta sedang tidak punya kerjaan apa-apa.

Saat ini Vinta sedang duduk di salah satu beag bean chair, La Planca, Bali. Di bawah payung berwarna pink di barisan depan sembari menikmati hembusan angin malam. Sayangnya semilir angin Pantai yang menembus wajahnya sama sekali tidak bisa membuatnya sejuk.

Vinta sedang berada di tempat ramai. Tapi, ia tidak bisa menikmati keadaan sekitar. Vinta merasa ada yang kosong dan hilang. Ia kesepian di suasana seramai ini. Aneh bukan?

Huh... Bali.

Pulau kelahirannya tak lagi mampu membuat Vinta tenang dan nyaman. Kenyataanya setelah kembali ke Bali, rindu Vinta bukannya terobati malah semakin meninggi. Mendesak ingin dikeluarkan sesegera mungkin.

Vinta memejamkan mata perlahan. Merasakan hembusan angin malam yang membelai kulitnya lembut. Vinta kedinginan. Tapi, ia tidak butuh jacket, hoodie, ataupun sweater untuk menghangatkan. Vinta butuh sebuah pelukan. Bukan sembarang pelukan. Tapi, Pelukan hangat dari seorang I Komang Catur Damara.

Ya Tuhan...

Vinta benar-benar merindukn remaja yang tumbuh dewasa itu. Dewasa? Haha! Vinta tidak bisa membayangkan Catur versi dewasa. Yang ada dalam benaknya hanya seorang remaja dengan seragam SMA dengan motor trail pinknya.

"Vinta." sapa seorang laki-laki yang sudah berdiri tepat di hadapannya.

Terlalu sibuk merasakan rindu yang teramat Vinta sampai tak sadar jika Bli pertamanya ada di sekitarnya.

Cewek itu membuka mata. "Iya Bli?"

Sanaswara menggelengkan kepala. Adik bungsunya itu menggemaskan sekali. Ingin rasanya Wara mengantongi Vinta ke dalam saku celana karena saking gemasnya.

Kakak tertua Vinta mengulurkan tangannya. "Balik sekarang ya?" ajaknya.

Vinta hanya mengangguk lalu meraih tangan Wara. Mereka berdiri dan bersiap meninggalkan La Planca yang semakin malam semakin padat saja. Sepasang kakak adik itu meninggalkan pantai dengan kemerlap lampu yang menyala. Ia meninggalkan tempat yang tanpa diketaui ternyata ada seseorang yang sedang dirindukannya berada di sini. Tepatnya di bawah payung warna kuning yang baru saja Vinta lewati.

...

Catur merasakan sinar matahari menusuk indera pengelihatannya. Suara gorden terbuka terdengar oleh kedua telinganya. Dan tunggu dulu... Matahari dan suara gorden terbuka? Jangan bilang kalau ini sudah pagi?

Catur menegakkan tubuhnya. Menatap jam dinding yang menempel di atas televisi. Ya Tuhan... Bagaimana bisa ia bangun kesiangan?

Mengabaikan Bunda yang mengucapkan selamat pagi, Catur segera berlari ke kamar mandi.

Tidak seperti pagi-pagi biasanya hanya dalam waktu dua menit Catur selesai mandi. Sekarang ia berganti pakaian lalu dengan segera menyambar ponsel dan kunci mobil yang tadi tergeletak di atas nakas kamar.

"Pagi Mas Catur!" Bocah berusia lima tahun itu muncul tepat dihadapan Catur. Senyumnya terukir lebar hingga memerlihatkan gigi putih susunya.

Biasanya Catur akan berbasa-basi dengan Panca. Biasanya ia membawa bocah itu dalam gendongan sembari menjawab pertanyaan-pertanyaan ajaib yang terlontar dari mulut adiknya. Tapi, pagi ini Catur tidak bisa melakukan hal itu. Ia terlalu terburu-buru dan dikejar waktu.

Setelah menjawab sapaan Panca seadanya, Catur berjalan menuju meja bar. Menghampiri Erfan dan Bunda beserta Adzra-Sirro.

Ya, semalam Catur memilih ikut tinggal di Villa sewaan Erfan. Karena itu juga Catur lupa kalau hari ini ada acara di Pura.

Cowok berkaos kerah V itu mendekat lalu mencium pipi Bunda. "Aku terlambat ke Pura," katanya menyalimi tangan Bunda.

"Ada acara?" tanya Erfan dijawab dengan anggukan.

Fyi, hubungan Erfan dan Catur sudah jauh lebih baik. Catur sudah  bisa menerima ayah tirinya seratus persen. Berkat cambukan Erfan juga Catur bisa kembali seperti semula.

Catur mengangguk. "Iya, Bi. Aku lupa tadi malam nggak minta bangunin Bunda," jelasnya menyalimi tangan Erfan.

"Aku berangkat dulu ya." Pamit Catur bersiap berjalan meninggalkan mereka semua. Tapi, tiba-tiba saja datang menatap melas wajah sang kakak. Tangannya terulur, minta digendong.

Catur mengacak rambut adik bungsunya gemas. Ia juga mensejajarkan tubuhnya dengan Panca. Catur menangkup wajah adiknya.

"Nanti ya mainnya. Mas Catur pergi dulu."

"Ke mana?"

"Ke Pura. Mau sembahyang bersama."

Panca kecil memeluk tubuh Catur. "Aku ikut," rengeknya.

Panca manja mode on. Kalau begini Catur tidak bisa bergerak. Cowok itu menatap Bunda dan Erfan bergantian. Bergerak cepat Erfan mendekati anak bungsunya.

"Sama Abi dulu. Nanti kita susul Mas Caturmu."

Panca menggeleng sembari melingkarkan tangan di leher Catur.

"Sama Mas Sirro aja yuk, Ca. Kita main sama Benu." Sirro ikut turun tangan.

Biasanya Panca akan bersemangat empat lima saat mendengar kata bermain bersama Benu. Tapi, pagi ini semua tidak berlaku. Panca hanya ingin bersama Catur saja. Mau tidak mau Catur terpaksa mengajak adiknya ke Pura. Dan akhirnya satu keluarga itu pun ikut mengantar Catur pergi ke Pura.

...

Catur sudah ada di Pura Besakih. Beruntung ia tidak terlalu terlambat untuk mengikuti acara sembahyang bersama.

Catur sudah selesai sembahyang. Ia keluar dari Pura untuk menghampiri anggota keluarganya. Senyumnya mengembang sempurna ketika sudah sampai di anak tangga terakhir. Ia berjalan menghampiri keluarganya. Diam-diam Catur meraih tubuh Panca lalu mengendongnya.

Bocah kecil yang tengah memakai udeng berwarna putih itu tersenyum geli ketika Catur menggelitik perutnya.

"Mas Catur lama!" potesnya ditengah kikikan tawanya.

"Maaf ya."

Panca mengangguk sembari tersenyum. Lalu Adzra, Bunda, Erfan, dan Sirro beranjak berdiri. Renacanya hari ini mereka akan menghabiskan waktu bersama dengan mengunjungi tempat wisata yang ada di Bali.

"Berangkat sekarang?" tanya Erfan, Catur mengangguk.

Mereka berjalan menuju parkiran. Semua sudah masuk dan duduk di kursi masing-masing. Catur sebagai supir juga siap menjalankan mobil. Tapi, tiba-tiba ia mengingat sesuatu. Catur melepas seatbelt menuat Erfan yang duduk di sampingnya bertanya.

"Kenapa, Tur?"

"Aku lupa ngambil gelang Tridatu-ku," jawabnya.

Setelah menjelaskan secara singkat dan berpamitan, Catur pun kembali ke Pura. Lagipula bagaiman bisa ia lupa mengambil hadiah.

Tak butuh waktu lama, Catur sudah mendapatkan gelang Tridatunya. Gelang itu dipakaikan langsung oleh Pendanda Pura. Beruntung sekali si Catur.

Setelah mendapatkan gelangnya Catur keluar dari Pura. Ia terlalu senang dan bermangat umenunjukan gelangnya ke hadapan semua anggota keluarga sampai tak sadar ketika...

Bugh...

"Aw!" pekik seseorang yang ditabrak Catur.

Satu detik... Dua detik...

"Lain kali kalau jalan hati-hati ya, Bli," ucap gadis yang tak sengaja tertabrak Catur itu.

Catur mengangguk lalu detik selanjutnya ia mendapati sepasangmata hitam bening.

Catur menggeleng. Tidak mungkin pemilik mata itu adalah si gadis masa lalu.

Indera penghelihat Catur terus memandang mata hitam bening itu. Tatapan itu, degup jantung ini. Ya Tuhan... Apa benar itu Rivinta?

Catur kembali menggeleng. Tidak mungkin. Tidak mungkin itu Rivinta kan?

"M-maaf Gek. Sekali lagi saya minta m-maaf," ucap Catur.

Demi Tuhan.. Itu suara cowoknya. Cowok yang dulu meninggalkannya sendiri. Cowok yang membuatnya merasakan rindu setengah mati. Dan cowok yang pernah mengucap kata cinta untuknya.

Cowok itu I Komang Catur Damara?

Air bening mulai mengalir perlahan membasahi pipi Rivinta Yuansyah. Ia diam, bungkam. Berdiri membeku, tak percaya dengan apa yang dilihatnya.

"I Komang Catur Damara?" lirihnya menyebut nama lengkap Catur.

Catur terdiam. Itu benar-benar gadisnya. Gadis yang dulu selalu mewarnai hari-harinya. Gadis yang dulu selalu mengiriminya pesan beruntun. Dan gadis yang dulu ditinggalkannya secara paksa. Ia adalah Rivinta Yuansyah.

Tanpa aba-aba. Persetan dengan tatapan orang-orang Catur membawa tubuh Vinta dalam dekapan. Cowok itu memeluk tubuh Vinta. Erat. Tak hanya itu Catur juga menciumi pucuk kepala Vinta. Berkali-kali.

"Gue kangen sama lo, Vin. Banget," bisiknya ikut meneteskan air mata.

Vinta diam tak menjawab. Ia sengaja  membiarkan Catur memeluknya erat. Membiarkan rasa rindunya hanyut dalam dekap hangat cowoknya. Belum puas berpelukan, Catur sudsh lebih dulu melepas pelukannya. Cowok itu menangkup wajah Vinta. Menatapnya lekat. Mata mereka juga saling bertatap. Mengunci satu sama lain.

Tidak mungkin. Baik Catur dan Vinta masih ragu bahwa orang yang ada dihadapannya itu nyata. Mereka mengangap ini sebuah mimpi indah. Tapi, realitanya? Ini benar-benar nyata!

Catur menggeleng lalu Vinta gantian memeluk tubuhnya.

"Gue juga kangen banget sama lo, Tur," ungkap Vinta tak kalah lirih.

Catur mengangguk. Ia melepas pelukan Vinta.

"Lo ingat kata-kata gue di pertemuan terakhir kita?" tanyanya.

Vinta mengangguk. Bahkan setiap kalimat yang pernah diucapkan  Catur selalu terngiang di kepalanya.

"Gue udah sembuh, Vin. Lihat tangan gue udah bisa buat hapus air mata lo," katanya sembari mengusap air mata Vinta.

Lagi-lagi Vinta kembali mengangguk. Lalu Catur kembali membawa tubuh Vinta dalam dekap hangatnya. Kali ini ia akan membiarkannya lebih lama. Jika perlu tidak akan pernah dilepaskannya.

"Jangan pernah tinggalin gue lagi, Tur," ucap Vinta.

Catur mengangguk. "Iya gue janji. Gue gak akan ninggalin lo lagi. Gue janji," jawabnya.

Tepat di depan Pura Besakih, sepasang manusia itu kembali dipertemuan lagi.

Tepat di depan Pura Besakih, Catur dan Vinta mengucap janji untuk tidak saling meninggalkan lagi.

Dan,

Tepat di depan Pura Besakih, satu cerita cinta dari milyaran manusia berakhir bahagia.

I Komang Catur Damara dan Rivinta Yuansyah...

Semoga cinta kalian abadi sampai selamanya.

Tamat.

Terimakasih sudah membaca cerita mereka.

Sampai jumpa di cerita ogah lainnya.

See yaa~

#SASAJI

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top