Cerita Kelam Frisna
Dua remaja itu berdiri di depan pagar menjulang tinggi. Catur menatap rumah super mewah yang ada di depannya. Katakan ia kampungan, tapi bangunan yang dilihatnya itu benar-benar megah bak istana raja.
Catur pernah dengar kabar jika perumahan ini adalah hunian keturunan konglomerat yang hartanya tidak akan habis sampai tujuh turunan. Terlalu berlebihan, tapi nyatanya seperti itu.
Catur menoleh ke arah Frisna. "Ini beneran rumah bokap lo?"
Yang ditanya hanya mengangguk. Sejujurnya, Frisna juga tidak menyangka kalau bangunan yang ada dihadapannya ini adalah kediaman ayah kandungnya.
Beberapa detik mereka masih berdiri memandangi rumah bercat cokelat emas itu. Tanpa sadar satu satpam sudah berdiri menatap keduanya.
"Woi!"
Berhasil. Dua remaja itu terlonjak bersamaan.
"Kalian ngapain disini? Mau maling?" tanya satpam itu.
Catur dan Frisna menggeleng bersamaan. "Terus mau apa?"
Sempat terjadi adegan sikut menyikut antara Catur dan Frisna. Sampai akhirnya Catur angkat suara, "mau ketemu yang punya rumah ini," jawabnya.
"Siapa? Nyonya Reta, Non Vanya, Non Bella, atau Tuan Krisna?"
"TUAN KRISNA!" jawab Catur dan Frisna bersamaan.
Satpam itu mengangguk. "Tapi semua penghuni rumah ini lagi pergi."
"Kemana? Udah lama? Kapan pulangnya?" tanya Frisna beruntun.
"Lah mana saya tau. Kalian ada perlu apa? Nanti biar saya yang sampaikan."
"Kita nunggu aja," jawab Frisna cepat. Entah kenapa feelingnya berkata bahwa semua harus selesai malam ini.
Satpam bernama Slamet itu menyuruh mereka pulang. Bahkan Pak Slamet sudah meninggalkan keduanya berharap setelah kepergiannya, mereka membubarkan diri. Tetapi dua remaja itu tak kunjung pergi. Catur dan Frisna masih berdiri di depan gerbang.
Pak Slamet yang tadinya bodo amat mendadak iba. Akhirnya pria berumur itu mengajak Catur dan Frisna menunggu majikannya di pos satpam.
Frisna membawa masuk vespanya lalu diparkirkan di samping pos satpam. Setelah itu mereka berdua dipersilahkan masuk ke dalam.
Mereka bertiga memilih duduk lesehan. Pak Slamet yang tidak tega melihat dua bocah itu akhirnya masuk ke dalam rumah untuk membuatkan minuman hangat.
Sepeninggal Pak Slamet, Catur dan Frisna saling berdiam diri. Catur menyaut tas selempang yang ada dipangkuan Frisna, mencari sebungkus rokok bersama korek apinya. Sedangkan Frisna, cowok itu memikirkan apa yang terjadi nantinya. Apakah Krisna yang tak lain adalah ayah kandungnya mau mengakui Frisna sebagai putranya? Atau malah sebaliknya?
Lamunan Frisna buyar ketika Pak Slamet datang membawa nampan berisi dua teh hangat dan satu kopi hitam. Pria itu ikut bergabung bersama dua remaja yang ada dihadapannya.
"Minum," katanya.
Catur dan Frisna mengangguk bersamaan.
"Kalian dalam rangka apa mau ketemu Tuan Krisna? Kalian ini siapanya?" kata Pak Slamet mulai bertanya.
"Ada sesuatu yang harus saya sampaikan," jawab Frisna.
"Sesuatu apa?"
"Ya ada lah pokoknya."
Pak Slamet mengerdikan bahu memilih acuh padahal sebenarnya ia ingin tahu. Pak Slamet membuka topi lalu meniup kopi dan mencicipinya sedikit.
"Saya gak janji Tuan Krisna pulang malam ini," ujarnya.
"Kenapa gitu? Ini kan rumahnya. Ya pasti dia pulang kesini lah." Itu suara Catur.
"Tuan Krisna itu seorang Nahkoda," kata Pak Slamet bersiap menceritakan majikannya.
"Pulangnya satu bulan sekali. Pulang ke Malang cuma dua hari paling pol lima hari, tapi jarang."
"Ini hari ke berapa?" tanya Frisna.
"Kebetulannya sudah hari kelima. Harusnya sih beliau balik hari ini. Saya gak tau Tuan Krisna langsung balik ke Jakarta sekarang atau enggak. Bisa jadi dia langsung pergi, nggak pulang ke sini."
Frisna diam. Semoga ayahnya belum kembali. Hari ini saja. Biarkan ia menyelesaikan semuanya.
Hampir dua jam mereka menunggu akhirnya mobil Alphard bewarna putih datang. Pak Slamet membukakan gerbang, Frisna menstabilkan kegugupan, dan Catur menenangkan.
Seorang wanita berpakaian modis turun dari mobil diikuti oleh dua anak perempuan yang berlarian kecil menghindari hujan. Lalu tibalah giliran pria berperawakan tinggi tegap keluar dari mobil. Pria itu berpakaian santai ditambah kacamata hitam besar masih bertengger di hidung mancungnya.
Krisna berniat masuk rumah, tapi dihentikan Pak Slamet. Satpam yang sudah mengabdi bertahun-tahun itu mengatakan bahwa ada yang ingin bertemu. Sempat melihat ke arah pos satpam sebelum akhirnya Krisna menyuruh Pak Slamet untuk membawa dua remaja itu ke hadapannya.
"Saya sudah bicara ke Tuan Krisna. Kalian ditunggu di dalam," kata Pak Slamet memberi tahu.
Detik itu juga detak jantung Frisna berdetak puluhan kali lebih cepat. Tangannya mendadak dingin. Keringat mengucur di wajahnya.
"Kesempatan nggak datang dua kali. Buru bokap lo udah nunggu," kata Catur sembari menepuk bahu Frisna.
Frisna mengangguk.
"Good luck my bro," ucap Catur mendorong tubuh Frisna.
Frisna melangkah pasti meninggalkan Catur seorang diri. Dari tempatnya berdiri ia bisa melihat samar gerak-gerik Frisna sebelum akhirnya ikut masuk ke dalam rumah.
Catur tersenyum melihat keberanian temannya. Menunggu hasil, Catur memilih masuk dan bergabung kembali dengan Pak Slamet.
Catur dan Pak Slamet kembali berbincang. Sekarang mereka sedang menonton sebuah ajang bernyanyi dangdut disalah satu stasiun tv. Pak Slamet menjadi komentator dadakan begitu pula dengan Catur. Mereka sempat beradu mulut karena perpedaan pendapat, tapi semua terhenti karena ponsel Catur berbunyi.
Bunda calling..
Catur tersenyum lalu menjawab panggilan Bunda.
"Kamu dimana? Pulang sekarang!" kata Bunda disebrang sana. Terdengar ciri nada kekhawatiran suara Bunda.
"Iya nunggu Frisna dulu."
"Bunda bilang pulang sekarang!"
"Iya Bunda sayang. Tapi nunggu Frisna selesai dul—"
"Kamu tuli? Bunda bilang pulang ya berarti kamu harus pulang!"
"Iya, tapi bunda tega kalau aku pulangnya jalan kaki? Ntar kalo aku capek bunda mau mijitin? Nggak bakal mau lah. Bunda kan masih marah sama aku."
"Enggak. Bunda udah nggak marah sama kamu. Tapi kalau kamu nggak pulang sekarang Bunda akan marah dan janji nggak mau sapa kamu lagi. Sebelum semua terwujud kamu pulang ya?"
"Iya bunda, tapi tungg—"
"Bilang kamu dimana biar Bunda jemput,"
"Bunda jangan berleb—"
Catur mendengar tangisan Bunda.
"Kamu nggak tau perasaan Bunda gimana. Bunda khawatir. Bunda mau kamu sekarang juga."
"Iya. Aku gak kenapa-napa Bunda. Aku baik-baik aja," ucap Catur mencoba menenangkan wanita yang ada disebrang sana.
"Gelang kamu tiba-tiba putus dan kamu nggak menyadarinya. Sekarang entah kenapa perasaan Bunda nggak enak. Pulang, Catur, pulang. Bilang ke Bunda kamu ada dimana dan Bunda akan jemput kamu."
Catur tersenyum. "Aku janji akan baik-baik aja."
"Balik sekarang," ajak Frisna tiba-tiba.
Catur mengangkat jempolnya ke udara sebagai balasan ajakan Frisna.
"Iya aku pulang. Aku pulang sekarang," jawabnya untuk perintah Bunda.
...
Tepat jam setengah dua belas malam hujan kembali datang. Deras dan angin berhembus kencang. Demi kesehatan Catur, Frisna ingin berhenti dan menepi. Tetapi kali ini Catur meminta Frisna untuk tetap mengemudi. Ia tidak mau meneduh karena tidak ingin membuat Bunda semakin khawatir. Lebih baik sakit lalu dirawat Bunda daripada harus meneduh lebih lama dan berpotensi membuat Bunda semakin gelisah.
Tepat jam setengah dua belas malam saat turun hujan Catur bertanya bagaimana reaksi Krisna saat tau bahwa Frisna adalah putra kandungnya.
"Dia nggak mau nerima gue. Dia nggak mau akuin gue," jawab Frisna lirih.
Catur bisa merasakan apa yang dirasakan Frisna. Tepat di atas vespa Frisna, dua remaja itu sama-sama meneteskan air mata.
*Flasback on*
Frisna berjalan menuju arah pria yang kini sudah tak memakai kacamata. Dalam hati ia meminta kekuatan pada Tuhan. Ia berharap bisa bercerita semua pada Krisna.
"Kamu siapa?" tanya Krisna setelah remaja itu berdiri tepat di hadapannya.
"Mmh.. Kita bicara di dalam saja ya?" ajaknya lalu mereka ke dalam rumah bersama.
Ruangan bercat putih. Dipenuhi dengan guci-guci mahal, lukisan-lukisan dan banyak foto-foto terpampang menampilkan keluarga bahagia. Frisna iri. Harusnya ia ada di foto keluarga itu duduk bersebelahan dengan Krisna—ayahnya. Atau seharusnya fotonya bisa terpajang diantara foto dua gadis lainnya. Oh atau mungkin Krisna bisa mengandeng tangan Frisna lalu berpose bersama. Tapi sayangnya itu mustahil.
Frisna tersenyum miris.
"Bisa kasih tahu kamu siapa dan apa tujuan kamu menemui saya?" suara berat itu mengembalikan kesadaran Frisna.
Cowok itu membenarkan posisi duduknya lalu menatap Krisna. Seharusnya dari sorot mata dan bibir saja semua orang bisa tau bahwa Frisna sangat mirip dengan Krisna.
Dua bola mata cokelat terang yang tajam dan satu bibir tipis milik Krisna benar-benar tercetak persis di wajah Frisna. Tanpa bertanya seharusnya Krisna menyadari itu.
Menyadari bahwa remaja yang ada dihadapannya ini adalah putranya, putra kandungnya.
"Hei," sapa Krisna lagi.
Frisna tersenyum kikuk. Ia terlalu memuji pria yang ada dihadapannya ini. Sesaat ia menghela nafas panjang.
"Saya Frisna," katanya mengenalkan diri. "Anak Nadinda Vraneda atau lebih dikenal sebagai Dinda."
Nama itu... Nadinda Vraneda. Nama yang pernah diucapkan wanita bibir manis berlipstik merah. Nama yang pernah disebutkan oleh Krisna disela tidur malamnya. Nama yang pernah disebutnya disaat mimpi buruknya.
Nadinda Vraneda, wanita itu yang pernah tidur dengannya enam belas tahun lalu.
Nadinda Vraneda, wanita itu yang pernah mengaku hamil buah hatinya.
Dan Nadinda Vraneda, wanita itu yang pernah berniat bunuh diri karena anak yang dikandungnya tidak diakui.
Krisna mengusap wajah kasar sedangkan Frisna kembali bercerita.
"Saya pikir orang yang saya panggil papa selama ini adalah ayah kandung saya. Bertahun-tahun dari saya bayi sampai sebesar ini," awal Frisna bercerita.
Frisna merasakan sesak yang teramat sangat. Tangannya mengepal kuat.
"Tetapi beberapa waktu lalu setelah saya menghajar orang yang saya panggil 'abang' kenyataan malah balik menghajar saya. Kenyataan bodoh yang selama ini tersimpan apik, tapi tiba-tiba terungkap begitu saja.
"Pria itu bilang kalau saya bukan anaknya. Saat itu juga saya diam menikmati pukulan balik dari papa. Kenyataan sudah menampar saya kemudian papa dan tiga abang saya juga ikut menghajar saya."
Berat. Napas Frisna mulai tidak beraturan.
"Saya sakit pasti. Kecewa jangan ditanya lagi. Semua bersatu saat Mama membenarkan semua ucapan papa."
Krisna menggeleng. Berusaha menyanggah cerita Frisna. Pasti cowok yang ada dihadapannya ini sedang mengarang. Mengarang cerita yang terdengar konyol untuk membohonginya.
Krisna bodoh kalau sampai percaya dengan cerita remaja itu. Tetapi... Frisna benar-benar bercerita tentang kisah nyata. Frisna benar-benar menceritakan sebuah fakta.
Krisna menggeleng kuat. Ini tidak mungkin. "Kamu kira saya akan percaya dengan cerita karangan kamu?" sarkas Krisna.
Pria itu berdiri. "Wanita itu sudah mengarang cerita bebas. Dia menjadikan saya seorang tersangka, tapi kenyataanya tidak begitu. Saya memang pernah meniduri ibu kamu, tapi saya yakin bahwa kamu bukan anak hasil kejadian malam itu."
Sudah Frisna duga. Penolakan yang sudah Frisna perkirakan menjadi kenyataan.
Mana mau Krisna menerimanya? Menerima dia sebagai anak kandungnya. Memangnya apa kelebihan Frisna sampai-sampai Krisna mau mengakuinya sebagai putranya? Frisna hanya cowok urakan yang tidak suka aturan.
Remaja itu sekuat tenaga menahan tangis.
"Dari SMK ibu kamu tergila-gila sama saya. Ngejar-ngejar saya, merayu-rayu saya seperti seorang PSK. Ibu kamu itu nggak lebih dari seorang PELACUR! bahkan pelacur saja lebih terhormat dibandingkan ibu kamu itu!" Emosi Krisna membuncah. Tak tertahankan.
Kesalahan masa lalu yang tak diinginkan. Nyatanya memang begitu. Wanita itu selalu saja menghantuinya. Mengejarnya yang terus berlari. Sampai suatu hari Krisna memilih berhenti berlari dan menuruti keinginan Dinda. Tidur dalam satu ranjang yang sama. Krisna terjebak oleh fans beratnya.
"Tapi anda tetap meniduri ibu saya. Anda tetap mengikuti permintaanya. Anda bermain bersama mama sampai—"
"Saya terpaksa! Ibu kamu itu terlalu terobesi sama saya! Dia terlalu memaksa. Lalu apakah saya pantas disalahkan atas tindakan paksaan itu? Pantaskah? Saya cinta dengan istri saya, tapi pecun itu selalu mengejar-ngejar saya.
"Saya berhenti berlari. Saya terpaksa menuruti. Kamu pikir enak terus-terusan dikejar oleh jelmaan setan?"
"Apa kamu pikir saya nggak bersalah ketika melakukan hal yang nggak seharusnya saya lakukan bersama pelacur itu? Apa kamu pikir saya menikmati malam bersama wanita murahan itu?" Krisna meraih wajah Frisna.
Menatapnya lekat-lekat sampai ia menyadari tatapan itu persis dengan miliknya. Air mata Frisna turun bersama rasa sakit dalam hatinya.
"Saya menyesal! Saya menyesal sudah tidur dengan pelacur itu disaat istri yang saya cintai tengah mengandung. Saya menyesal! DEMI TUHAN SAYA MENYESAL!!!"
Berakhirnya ucapan Krisna, bersamaan pula pria itu menampar wajah Frisna hingga anaknya tersungkur di lantai dingin rumahnya.
"Ini yang saya pikirkan sejak awal. Wanita itu sengaja menjebak saya sampai dia hamil. Dia itu iblis yang licik! Sekarang lihat, kamu datang dan mengaku sebagai anak saya. Saya sudah mengira akam terjadi hal seperti ini.
"Bilang ke saya kamu mau apa? Apa wanita itu nyuruh kamu untuk menghancurkan rumah tangga saya yang sekarang? Iya? Oh atau iblis licik itu nyuruh kamu datang untuk menuntut harta dari saya?"
Frisna menggeleng tidak percaya. Ia tidak percaya dengan apa yang dikatakan ayahnya.
Frisna berdiri. "Cukup," ucapnya.
"Cukup sudah anda menghina mama saya," katanya mengusap air mata.
"Saya datang kesini untuk sebuah pengakuan. Hanya itu tidak lebih. Tapi apa yang saya dapatkan? Yang saya dapatkan sudah lebih dari cukup dan itu membuat saya kenyang."
"Kalau kamu mau tanpa diminta saya akan memberi sebagian harta saya untuk kam—"
"SAYA BILANG CUKUP!" teriak Frisna hingga membuat geger seisi rumah.
Tadinya istri dan anak Krisna tidak tau kalau ada keributan dibawah. Tetapi suara Frisna semakin lama semakin terdengar hingga akhirnya mereka memutuskan untuk datang dan melihat apa yang terjadi.
"Saya akan pergi. Saya akan pergi dari rumah ini dan tidak akan pernah kembali."
Krisna mengangguk. "Bagus kalau gitu. Angkat kaki kamu sebelum saya keluarkan tenaga berharga saya hanya untuk mengusir kamu!"
"Terimakasih," ucap Frisna lirih.
"Terimakasih karena sudah membiarkan saya mengenal anda walaupun sesaat. Sekarang saya sudah tau siapa ayah kandung saya. Dia ternyata cuma seorang pengecut! Pengecut han—"
"PERGI SEKARANG JUGA!"
"Baik saya pamit. Dan satu pesan saya. Apapun kondisinya nanti, saya berjanji tidak akan pernah sudi dianggap anak oleh pengecut seperti anda. Saya tidak akan mau disebut anak sekalipun nanti sampai mati! Jangan datang saat proses pembakaran mayat saya. Jangan menyesal saat abu saya dibuang dilaut. Karena apa? Karena saya sudah tidak mau menganggap anda sebagai ayah saya!"
"YA SAYA PASTIKAN SAYA TIDAK AKAN DATANG! SAMPAI KAPANPUN SAYA TIDAK SUDI MENGAKUI ANAK HARAM SEPERTI KAMU! PERGI KAMU, PERGI DAN JANGAN PERNAH KEMBALI! INGAT JANGAN PERNAH KEMBALI!!!"
Frisna mengingat semuanya. Semua ucapan Krisna yang menolak kehadirannya.
Tepat pukul jam dua belas malam tangis Catur dan Frisna bersatu dengan ribuan air hujan yang berjatuan.
Tepat pukul dua belas malam Catur merelakan tubuhnya dibasahi air hujan yang selama ini menjadi kelemahan terbesarnya.
Tepat pada pukul dua belas malam ia menyaksikan sebuah truk molen menabrak vespa yang ditumpanginya bersama Frisna
Tubuhnya terbanting puluhan meter dari atas Vespa.
"FRISNA!!!" samar Catur mendengar panggilan itu.
Ia sama dengan Frisna yang sudah tak berbentuk. Sebelum benar-benar terlelap ia sempat melihat tubuh temannya hancur terlindas truk.
Kecelakaan maut yang membuat Malaikat pencabut nyawa datang. Tanpa sungkan Malaikat itu mencabut nyawa Frisna tepat di depan mata kepalanya.
Dan sekarang malaikat pencabut nyawa itu melihat ke arah Catur. Mendekat dan seakan tersenyum manis. Catur tak lagi bisa mengucap sepatah dua patah kata lagi. Kesakitan yang teramat membungkam mulutnya.
Catur merasakan kesakitan yang tidak pernah dirasakan sebelumnya. Tepat setelah telah itu semua gelap.
Tbc.
#sasaji
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top