Beri Vinta Kepastian

Gadis itu masuk ke dalam kamar berukuran besar. Mendapati seorang wanita berdiri menatap kaca jendela. Di luar sedang hujan deras, angin berhembus kasar menembus wajah wanita berhijab biru itu.

Vinta mendekat. Bunda yang sadar kehadiran akan kehadiran seseorang langsung menoleh. Tau siapa yang sedang mendekatinya Bunda tersenyum sembari merentangkan kedua tangan bersiap memeluk Vinta.

"Biar bunda tebak," katanya melepas pelukan dan beralih menatap wajah lawan bicara. "Ini pasti Rivinta."

Vinta mengangguk. "Maaf langsung masuk. Tadi Vinta udah ketuk, tapi tante nggak denger."

"Catur panggilnya Bunda. Bukan tante."

Vinta kembali tersenyum. Ia lupa kalau wanita berhijab itu pernah menyuruhnya memanggil bunda saja. Biar seperti Catur, Rican, dan dua teman lainnya.

Bunda mengajak Vinta duduk d sofa yang ada di kamar bercat putih itu. "Kamu kesini sama Catur?"

Vinta menggeleng. Tujuannya kesini adalah untuk mencari cowok itu. Sempat Vinta dengar kalau Catur tadi berkelahi dengan Alan cs. Gadis itu khawatir. Ia juga sudah ke kelas untuk mencari keberadaan Catur, tapi hasilnya nihil. Catur tidak ada di kelasnya sampai jam pelajaran berakhir.

Rasa khawatir Vinta semakin bertambah ketika ia mendengar gossip dari Dida bahwa Catur dan Frisna dikeluarkan dari SMA Dratayuda. Vinta tidak percaya dan sekarang ia akan mencari kebenarannya.

"Catur masih diperjalanan pulang sama Abi kayaknya," kata Bunda.

Vinta hanya mengangguk. Ya, semoga saja.

Bunda beranjak mengambil sesuatu dari laci meja. Kembali duduk setelah berhasil mengambil barang itu. Ia memperlihatkannya pada Vinta.

Gelang Catur.

"Tadi Bunda temuin di depan kamarnya," ucap Bunda.

Vinta tau betul tentang gelang Tridatu itu. "Catur yang lepas?"

Bunda menggeleng. "Kayaknya lepas sendiri."

Deg.

"Kamu tadi lihat dia baik-baik aja kan?" tanya Bunda.

Terakhir Vinta melihatnya saat jam istirahat pertama. Ketika Catur mengenggam tangan Rican, ketika Catur berpapasan dengannya tanpa menyapa. Hanya itu. Setelahnya, Vinta tidak tau.

Bunda mengamati wajah Vinta. Gadis itu nampak cemas. Bunda meraih tangan Vinta. "Dia baik-baik aja kan?" tanyanya sekali lagi.

Terpaksa Vinta mengangguk, Bunda bernapas lega. Vinta tau kalau wanita yang sedang duduk di hadapannya ini tengah mengandung. Catur yang menceritakan-nya beberapa hari lalu. Karena itu Vinta tidak mungkin menceritakan apa alasannya datang kesini dan kejadian di sekolah. Vinta tidak mau membahayakan kondisi Bunda.

"Kemarin bunda tampar dia." Bunda mulai bercerita.

Pantesan. Tapi kalau cuma nampar sekali kenapa muka Catur sebabak-belur itu? Batin Vinta bertanya-tanya.

"Dia terlalu banyak bohongin Bunda. Abinya juga pukul dia. Nggak tau pukul yang gimana, tapi tadi pagi waktu bunda liat wajahnya, bunda jadi menyesal.

"Menyesal udah tampar anak nakal itu."

...

Hujan sudah reda. Itu artinya Catur dan Frisna sudah bisa melanjutkan perjalanan pulang. Sisa-sisa air hujan masih menggenang di jalanan. Catur memaksimalkan kecepatan laju vespa milik Frisna karena ia takut hujan akan turun tiba-tiba.

Tak butuh waktu lama mereka sudah berdiri di depan pintu rumah Catur. Beruntung saat hujan kembali turun, mereka sudah ada di depan rumah.

"Masuk, Fris," ajak Catur.

Frisna ragu. "Gue langsung balik aja deh, Mang."

"Balik kemana?" tanya Catur. Cowok itu tau kalau Frisna sudah tidak lagi tinggal di rumahnya.

Setelah tadi pagi mengembalikan barang-barang pemberian Genta, Frisna pergi dan berjanji tidak akan pulang kembali. Sejak meninggalkan rumah, Frisna tinggal dimana saja. Tiga hari lalu ia tinggal di apartemen Raka.

Dan untuk sekarang jujur Frisna tidak tau harus pulang kemana. Tidak enak kalau terus-terusan numpang di tempat Raka. Walaupun yang ditumpangi tak keberatan sama sekali. Yang ada malah senang mengingat Raka tinggal sendirian.

"Emang sih rumah gue nggak seluas rumah lo. Apalagi disini kagak ada kolam renang kayak di rumah lo, tapi-"

"Hahaha bego bat lo njir. Itu bukan rumah gue. Disana gue cuman numpang. Btw, emang ni rumah milik lo?"

"Hehe bukan sih. Tapi-" Catur belum sempat meneruskan ucapannya karena ia melihat mobil Erfan memasuki halaman rumah.

Pria itu turun dari mobil lalu berlarian kecil menuju rumah. Bahkan ketika wajahnya terlihat lelah, rambut dan bajunya berantakan saja Erfan tetap terlihat tampan. Bunda tak pernah salah pilih orang sebagai suaminya. Tanpa sadar Catur memuji sang Abi dalam hati.

Erfan berhenti ketika melihat Catur dan Frisna. Ini dia anak yang dicarinya.

"Sore, om," sapa Frisna ramah.

Erfan hanya mengangguk seadanya. "Abi tau kamu bikin masalah lagi. Abi tau kalau kali ini kamu benar-benar dikeluarkan dari sekolah," katanya berlalu.

Catur dan Frisna diam. Erfan sudah tau karena tadi ia menjemput Catur. Erfan tau karena tadi ia berbincang dengan Pak Yudis. Tetapi sudahlah biarkan. Yang terjadi, terjadilah. Entah kenapa Catur tidak merasa ketakutan. Ia juga tidak peduli dengan reaksi bundanya nanti.

"Udah, ayo," kata Catur menarik tangan Frisna.

Mereka berdua masuk ke dalam rumah. Seperti yang sudah-sudah. Adzra, Bunda, Dena, dan ditambah Vinta sedang duduk di ruang keluarga.

Catur menghembuskan nafas kasar, berjalan begitu saja melalui mereka. Tapi sapaan Bunda membuatnya menghentikan langkah.

"Catur."

"Iya ntaran. Ke kamar dulu mandi terus sembahyang," jawabnya acuh.

Catur berjalan menaiki anak tangga bersama Frisna. Membuka pintu, melepas sepatu lalu membaringkan tubuh di atas kasur. Frisna juga melakukan hal sama.

Mereka berdua memandang langit-langit kamar. Di atas sana ada bintang tempelan yang jika malam hari tiba dan lampunya dimatikan bintang itu akan menyala. Sama seperti bintang sungguhan. Terimakasih pada Adzra yang sudah membelikan Mas-nya bintang-bintang itu.

"Masa depan gue nantinya gimana ya?" tanya Frisna tiba-tiba.

"Tergantung," jawab Catur tanpa menoleh.

"Ah gue jadi jijik ama diri sendiri. Akhir-akhir ini gue sering galau kek bencong stasiun yang kagak dapet pelanggan." Frisna duduk sembari mengacak rambutnya

"Arggh! Gue kamar mandi dulu lah. Mau segerin pikiran."

"Iya. Gue ke bawah dulu ambil minuman sama snack."

"Eh, Mang," panggil Frisna.

"Yo?"

"Gue udah siap ketemu bokap malam ini. Lo masih mau temenin gue kan?" tanya Frisna.

Catur mengangguk pasti. Frisna ikut mengangguk sebelum akhirnya. melenggang masuk ke dalam kamar mandi. Catur memilih menganti seragamnya dengan kaos kuning kemudian pergi ke lantai satu.

Catur berjalan menuruni anak tangga sembari melantunkan lagu dangdut 'Ditinggal Rabi' yang akhir-akhir ini sering didengarkannya. Salahkan Sirro yang mengenalkan lagu itu pada Catur.

Keadaan di ruang tamu masih sudah berbeda. Sekarang hanya ada Adzra, Bunda, Dena, dan Erfan. Seingat Catur tadi Vinta ada ditengah-tengah mereka. Lalu kemana sekarang perginya?

"Catur duduk sini. Bunda mau-"

"Aku ke dapur dulu ambil minuman buat Frisna," katanya lalu pergi meninggalkan mereka.

Sejujurnya Catur tidak suka mengacuhkan Bunda. Tapi untuk saat ini ia sedang tidak ingin melihat Bunda kecewa. Nanti kalau Catur sudah siap fisik maupun mental, ia akan bercerita. Semua, tanpa terkecuali.

Catur berjalan menuju dapur. Di sana sudah ada Mbok Mina dan Mbak Yuna-anaknya- sedang memasak.

"Mas Catur mau opo? Biar Mbok ambilin," kata wanita yang sudah mengabdi pada keluarga Bunda sejak bertahun-tahun lalu.

"Nggak usah biar aku ambil sendiri," jawabnya sembari membuka kulkas.

Mbok Mina mengangguk. "Iku wajah ganteng Mas Catur kenapa? Wes di-obatin belum?"

Tak usah heran dengan perlakuan Mbok Mina. Wanita paruh baya itu sudah bekerja di keluarga Bunda sejak Bunda memutuskan menikah dengan Ayah Catur.

Dari anak pertama sampai Catur lahir, Mbok Mina selalu di samping Bunda. Setia pada keluarga itu. Tetapi waktu Ayah dan Bunda bercerai, Mbok Mina sempat memutuskan untuk berhenti dan memilih pulang kampung. Hasilnya belum genap satu minggu, Mbok Mina sudah kembali karena di kampung tidak ada yang mau menerimanya.

Singkat cerita wanita paruh baya itu mengalami penipuan oleh keluarganya sendiri. Uang gajian dari Bunda yang selalu dikirimkan ke kampung halaman ternyata tidak digunakan sesuai amanahnya.

Niatnya ingin membangun rumah di kampung halaman dan katanya rumah Mbok Mina sudah jadi layak huni. Tetapi waktu ia kembali rumah itu tidak berwujud sama sekali. Rumahnya hanya imajinasi. Bahkan tanah untuk membangun rumah itu sudah dijual.

Mbok Mina sedih, marah, dan kecewa. Berpuluh tahun kerja, tapi tidak ada hasilnya. Mbok Mina sudah menjelaskan dan meminta haknya dikembalikan, tapi bukannya dikembalikan ia beserta anak semata wayangnya malah diusir dari kampung halaman.

Miris sekali nasib Mbok Mina.

Karena itu ia memilih kembali bekerja pada Bunda dengan membawa Mbak Yuna. Ia tidak peduli jika tidak digaji. Yang penting Mbok Mina bisa ikut Bunda tinggal dimana saja.

"Udah," jawab Catur singkat.

Cowok itu mengambil dua minuman kaleng dan beberapa makanan ringan. Merasa cukup, ia ingin kembali, tapi Vinta memanggil. Terpaksa ia menghentikan langkah.

"Mau bicara sama gue gak?" tanya Vinta, Catur mengangguk.

Mereka berdua berjalan menuju halaman belakang rumah. Ada berbagai tanaman hias milik Bunda dan beberapa katkus mini koleksi Adzra. Catur dan Vinta duduk dikursi kayu menatap rintik hujan yang masih berjatuhan.

"Gue tuh males nanya sebenernya," kata Vinta menoleh ke Catur yang kini sedang menikmati snack rasa barbeque.

"Yaudah sih gausah nanya. Repot amat," jawabnya santai.

Jawaban Catur benar, tapi membuat Vinta geregetan. "Gue gak nyangka lo se-nyebelin ini."

"Eh nyangka sih. Sejak awal ketemu dulu. Duh bisa-bisanya gue ketemu cowok macam lo," ralat Vinta.

Catur tersenyum. Menoleh ke Vinta lalu menoel dagu-nya.

"Ce ileh! Mau ngucap syukur aja pake melantur kemana-mana. Bilang aja gini 'Tuhan Aku bersyukur karena telah kau pertemukan dengan cowok setampan I Komang Catur Damara-"

Catur masih saja berbicara. Sesekali Vinta juga tersenyum karenanya.

"Ucapan gue waktu itu jadi nyata kan? Waktu gue sumpahin lo jatuh cinta ke gye. Lihat sekarang, seorang Rivinta telah jatuh cinta-"

"Ah.. Ahh... Ahhh!!!" Catur mengaduh kesakitan karena cubitan yang dulu pernah diberikan Vinta kini kembali terulang. Sayangnya kali ini lebih menyakitkan.

Catur tak tahan. Ia berkata ampun. Tak tega akhirnya Vinta lepaskan.

"Lo gila ya?" tanya Catur kesal.

"Kebalik. Yang ada lo yang gila."

"Cubitan lo tuh beresiko tau! Gimana kalau susu mini gue putus salah satu? Nantinya juga lo yang rugi karena gak bisa nikm-" Vinta melotot membuat Catur berhenti bicara. "Hehe.. Ampun," cengirnya.

"Dasar penikmat micin!"

Catur nyengir kuda. "Tapi yang gue bilang bener kan Vin? Lo tuh udah jatuh cinta dalam pesona gua. Ya kan? Ngaku lo."

Iya. Tetapi Vinta gengsi mengakuinya.

"Waktu gue ama Rican lo juga cemburu. Bukti udah terpampang nyata, chat yang pernah lo kirim masih ada di ponsel gue. Jadi lo gak bisa ngeles lagi," kata Catur percaya diri.

"Enggak. PD banget lo jadi cowok?"

"Seriusan? Elah tau gitu waktu gue diajak balikan ama Rican mau aja ya. Hm.. Gue kira lo beneran suka ama gue, tapi." Catur memasang wajah sok sedih.

Ia beranjak. "Gue harus kabarin Rican sekarang sebelum dia berubah pikiran! Gue mau balikan ama dia aja! Ya, ya.. Balikan aja! Unch Ricanku, aku padamu~" katanya bersiap masuk rumah.

Vinta ikut berdiri. "Catur, awas aja kalo lo berani ngechat Riviska!"

Catur menoleh. "Kenapa? SSCLY, suka-suka Catur lah yaw," balasnya menjulurkan lidah.

"Catur! Di-php-in itu gak enak. Di-gantung juga sama gak enaknya."

"Lah siapa yang phpin lo? Siapa yang gantungin lo juga? Dih ke-GR-an lo jadi cewek. Udah GR, baperan lagi!" jawab Catur lalu masuk ke dalam rumah.

GR dan baper ya? Batin Vinta.

Vinta kembali ke posisi awal-duduk dan menatap hujan. Ia memikirkan ucapan Catur tadi.

"GR? Baper?" monolognya lalu meraih ponsel dari dalam saku seragam.

Vinta melupakan tujuan awal kenapa ia datang kesini. Sekarang ia malah membuka pesan Catur beberapa hari lalu yang sengaja di-keep-nya. Vinta tidak salah baca, Catur mengatakan bahwa ia telah jatuh cinta.

Jatuh cinta? Tetapi pada siapa?

#sasaji

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top