Chapter 2
Aku segera mengusap air mata di pipiku, terkejut melihat sosok yang berdiri di ambang pintu kamarku. Di sana, Nando tengah menggosok-gosok kedua lengannya. Dengan rasa ingin tahu yang menggelora, aku mendekat.
"Kenapa, De?" Aku menempelkan telapak tanganku di kening Nando.
"Dingin, A." Nando batuk beberapa kali. "Ada selimut tambahan gak, A?" tanyanya kemudian.
"Oh, ini pake selimut aa aja." Aku dengan cekatan masuk ke dalam kamar untuk mengambil benda yang terlipat rapi di ujung tempat tidurku.
"A, ngobrol dulu, yuk?" ajak Nando seraya meraih selimut yang diberikan.
"Ya udah, sini duduk." Aku setuju, penasaran apa yang ingin dibicarakan oleh adikku.
Kami duduk di kasur. Kamarku terletak di ruangan depan, jendela menghadap ke luar. Nando, yang duduk di ujung tempat tidur, menatap tajam ke arah bangunan di seberang. Sesekali, aku melihat adikku menghela napas panjang, tetapi aku masih menunggu dia membuka pembicaraan.
Aku membiarkan adikku berada dalam dunianya sendiri, meresapi momen yang tersisa sebelum segalanya berubah.
Tidak lama kemudian, Nando melihat ke arahku dengan senyuman tipis. "Tinggal seminggu lagi, ya, A?" tanyanya, suaranya seperti melibatkan kami dalam suatu rahasia besar.
Awalnya, aku tidak sadar dengan perkataan adikku itu. Aku agak lama terdiam, mencerna kalimat Nando yang seakan menjadi pintu gerbang menuju dunia yang tak terduga. "Mendak pertama?"
Nando mengangguk pelan. "Gak kerasa, ya. Kita hidup sendiri, gak ada mama sama bapa."
"Dede kangen sama mama bapa, ya?" Aku merasa getaran kehangatan dalam percakapan ini dan menggeser dudukku untuk mendekat.
"A, kalau misalnya dede meninggal duluan, aa sendirian dong?" Mata Nando menatapku tajam, memasuki dimensi kekhawatiran yang tidak terungkapkan sebelumnya.
"Ssst, ah. Jangan ngomong gitu, pamali." Aku memberikan isyarat diam dengan satu jari di depan bibir, seolah merasa bahwa pembicaraan semacam itu dapat merubah takdir.
Hujan yang deras kini menambah dramatisasi di malam itu, memperkuat kehangatan dan keheningan yang tumbuh di antara kami. Tanpa petir yang menyertai, malam itu seolah menjadi panggung yang mempersiapkan sesuatu yang tak terduga, mengikuti irama hujan yang lembut namun intens.
Suasana antara aku dan adikku pun hening, seakan-akan pikiran kami berkejaran dalam ketenangan malam. Hingga tiba-tiba, sebuah suara gemuruh dari perut Nando memecah keheningan itu.
"Lapar?" tanyaku, menyambutnya dengan anggukan. "Haha, mau makan apa? Biar aa pesen lewat GoFood aja."
"Hmmm, lagi pengen nasi goreng, A." Nando membentangkan selimut yang sedari tadi ia pegang, seolah menyelinap ke dalam kenyamanan malam. "Emangnya ada GoFood hujan-hujan gini?"
"Bentar, cek dulu." Mataku tertuju ke layar handphone-ku. "Ada, nih. Nasi goreng, ya? Aa mau kwetiau, biar sekalian di pesen dari satu kedai."
Acungan jempol dari Nando menandakan setuju.
Aku tidak hanya memesan makanan, tetapi juga menambahkan permintaan untuk membeli obat nyamuk dan lilin di warung. Ingin membuat malam ini lebih dari sekadar rutinitas.
Kami memutuskan untuk menunggu pesanan di ruang tengah. Namun, atmosfir yang awalnya sepi mulai berubah. Aku sesekali melihat ke arah Nando yang sibuk bermain game, sementara diriku sendiri terjebak dalam laporan yang harus aku buat.
Terlepas dari rutinitas dan ambisi masa depanku sebagai peneliti, malam ini terasa berbeda. Keheningan itu bukanlah kekosongan, melainkan panggung di mana detil-detil kehidupan sehari-hari kami memainkan peran masing-masing, dan di antara segala kesibukan, tercipta suatu harmoni yang menghangatkan.
Hal ini melatar belakangi sifat dewasaku yang terbentuk lebih cepat daripada adikku. Seolah berkebalikan dengan diriku, Nando adalah anak yang menempuh pendidikan umum sesuai dengan usianya. Ia tidak terlalu suka belajar, sehingga Nando memutuskan untuk tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang sarjana.
Namun, walaupun Nando memilih jalur yang berbeda, saking sayangnya padanya, aku masih belum bisa membayangkan adikku itu bekerja. Menurutku, belum saatnya Nando terjun ke dunia pekerjaan dengan kondisi sifat yang masih kekanak-kanakan seperti sekarang ini.
"A, gak pusing belajar terus? Aa kan udah kerja, kenapa harus sekolah lagi?" Nando, matanya masih tertuju pada layar game, mencoba menyinggung sang kakak.
"Dede sendiri gak pusing main game terus?" Aku membalikkan pertanyaan dengan enteng.
"Main game kan hobi adek, nah kalo belajar—." Belum selesai Nando berbicara, perkataannya terpotong.
"—hobi aa," ujar aku dengan jari yang masih menari di atas keyboard laptop.
Adegan ini membawa kita ke dalam kontras antara kedewasaan dan kekanak-kanakan. Suasana yang tercipta menggambarkan hubungan yang unik dan penuh keakraban di antara kakak dan adik, di mana candaan dan ejekan ringan menjadi bahasa keseharian yang memperkaya keseimbangan di antara dinamika keluarga kami.
Setelah cukup lama menunggu, handphone-ku berdering dengan getaran di dalam saku celana. Suara lelaki dari GoFood yang sedang tersesat terdengar dari seberang sana. Dengan sabar, aku memberikan petunjuk arah hingga akhirnya bapak pengantar makanan itu tiba di depan rumah. Sambil menghampirinya, aku tak henti-hentinya meminta maaf karena telah merepotkan beliau.
Ketika pintu rumah tertutup, aroma menggoda dari nasi goreng dan kwetiau menyelinap di udara, menciptakan suasana yang semakin hangat di dalam rumah. Aku membawa pesanan ke dalam rumah, diikuti oleh Nando yang sudah bersiap dengan sendok di tangan, menyambut diriku dengan antusias.
Kami berdua duduk di meja ruang tengah, memulai persembahan kami terhadap hidangan yang baru saja tiba. Makan dengan santai, sambil terlibat dalam aktivitas masing-masing. Terdengar tawa kecil dan seruan kegembiraan di antara kami, menciptakan momen kebersamaan yang menyenangkan.
"Oh, iya. Tadi itu nenek siapa, A?" Nando bertanya, nasi masih penuh di mulutnya. "Aa belum sempet cerita tadi."
"Aa juga gak tau, dia nyari anting katanya hilang," jelasku singkat, teringat akan cacian perempuan tadi yang membuat diriku kembali merasa muak.
"Anting? Kok bisa hilang?" tanya Nando, rasa penasaran tergambar di wajahnya.
"Ya bisa, kalo gak hilang ngapain dia nyari, De," timpalku.
"Gak, maksudnya ... gimana, ya? Di depan PAUD itu ilangnya? Atau di musala?" Nando yang penasaran sampai berhenti mengunyah.
"Telen dulu nasi itu, kalau gak bisa kesedak kamu." Aku memberikan teguran sambil melihat tingkah adikku. "Tadi aa gak tanya sama ibu itu, sih. Anaknya keburu datang buat jemput. Kayaknya sih itu ibu punya kebutuhan khusus."
Nando melanjutkan mengunyahnya, namun matanya masih penuh pertanyaan yang belum terjawab. Aku merasa senang, melihat betapa sederhana perbincangan kami bisa menyulut kehangatan di dalam rumah yang sederhana ini.
Sesaat setelah kami melanjutkan makan, listrik pun tiba-tiba padam. Bersamaan dengan itu, hujan kembali turun dengan deras, menciptakan suasana yang semakin gelap dan menegangkan.
Tidak salah aku membeli lilin untuk jaga-jaga. Sebelum menyalakan lilin, kami memutuskan untuk menghabiskan sisa makanan dengan bermodalkan cahaya layar laptopku dan lampu sorot dari handphone masing-masing.
Dalam keadaan gelap, ruangan terasa semakin hening. Tidak banyak percakapan yang kami buat ketika itu. Kami sibuk dengan urusan masing-masing, tetapi aku merasakan getaran ketegangan di udara. Suara hujan yang deras menjadi latar belakang gelap yang menyelimuti ruangan.
Aku beranjak dari dudukku dan berjalan menuju meja makan, mengambil minuman sambil hendak menyalakan lilin. "De, mau sekalian minum?"
Namun, tidak ada jawaban dari Nando. Aku menoleh ke arah sofa yang ternyata lampu sorot sudah tidak menyala. Laptopku pun mati dengan sendirinya karena tidak disentuh.
Suara mengecap Nando yang sedang makan masih terdengar, bersama dengan sesekali suara gesekan sendok. Udara yang tadinya hangat dan penuh kebersamaan berubah menjadi dingin dan mencekam. Aku merasa ada sesuatu yang tidak biasa, dan ketegangan semakin terasa di setiap sudut ruangan yang gelap gulita.
Ruangan gelap terasa semakin mencekam di sekitarku. Kegelapan tersebut membuatku tak mampu melihat apa pun di sekitar. Tanpa handphone yang kubawa, indera penglihatanku lumpuh di tengah malam yang gelap gulita ini. Aku mencoba memanggil Nando beberapa kali, tetapi tidak ada respons sama sekali. Suasana hening dipenuhi oleh suara hujan deras di luar.
Alih-alih mendapat jawaban atau tanda keberadaan adikku, suara kecapatan yang tadi sudah terdengar semakin jelas. Hatiku berdegup kencang, menciptakan nada ketidakpastian dalam kegelapan. Aku meraba-raba meja makan, mencari sesuatu yang bisa menolongku.
Saat tanganku menyentuh korek api, ide muncul. Aku segera menyalakan lilin yang tergeletak di atas meja. Cahaya kecil itu memberikan sedikit pencerahan dalam kegelapan. Namun, ketika aku mengarahkan cahaya lilin ke sekitar, terlihatlah wajah Nando yang tiba-tiba muncul di bayangan cahaya itu.
Nando tersenyum dan berdiri sejengkal di hadapanku. "Mau minum juga."
Lilin yang kugenggam hampir saja terlempar karena kaget. "Dede!" seruku dengan nada campuran antara keresahan dan keterkejutan.
Aku mencoba menenangkan diri, tetapi kejadian ini meninggalkan rasa ketegangan yang sulit dihilangkan. Sesuatu yang tak terduga sedang terjadi, dan kegelapan menyimpan misteri yang belum terungkap.
"Dede, ngapain?" tanyaku dengan suara teredam, berusaha menahan kecemasan.
Nando masih tetap tersenyum dengan cara yang tak wajar. "A, aku cuma iseng aja."
Kurasa keringat dingin mengalir di punggungku. Sesuatu tidak beres, tapi aku tidak bisa mengidentifikasi apa. Cahaya lilin menerangi wajahnya, dan aku mulai memperhatikan ekspresi di matanya. Ada kebingungan dan sesuatu yang tersembunyi di dalamnya.
"Ini bukan saat yang tepat, De. Astaga," ujarku, berusaha mempertahankan ketenangan.
Namun, sebelum aku bisa mencerna lebih lanjut, ada suara berdecit di kegelapan yang membuat bulu kudukku merinding. Sesuatu yang tidak terlihat mulai bergerak mendekati kami. Rasa tegang kembali menyelubungi ruangan, dan aku merasa adikku tahu lebih banyak dari yang dia ungkapkan.
"Ada apa, Nando?" desisku sambil mencoba menangkap setiap detail dalam kegelapan. Bahkan aku sampai sudah tidak memanggil adikku dengan sebutan biasanya.
Nando menoleh serius ke arah bayangan misterius itu. "A, kita gak sendirian di sini."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top