Season III: Film Casting

Title: Underground

Writen by: Hanhami

Original universe: Yandere Darlin

Main Cast:

- [Your Name]

- Leo

- Gabriel

Happy reading!

~~~~~~~~~~

"Akhirnya kau sadar," sapa sebuah suara ketika aku berhasil terlepas dari jeratan mimpi.

Namun kurasa, jika dibilang bermimpi pun bukan. Sebab rasanya aku tidak mengalami pengalaman bawah sadar yang ,elibatkan panca indra dalam tidur tersebut. Hanya melihat kegelapan selama yang bisa kuingat, tanpa mampu melakukan apa-apa.

"Di mana?" Suaraku terdengar agak parau. Sudah berapa lama aku kehilangan kesadaran sampai tenggorokanku kering?

Pandanganku segera menyorot sekeliling, mencari petunjuk tentang keberadaanku. Walau cahaya ruangannya lumayan redup, syukurlah hal tersebut tidak menghalangi indra pengelihatanku.

Pipa-pipa tua yang menyambungkan langit-langit dan beberapa mesin bertenaga listrik. Tumpukan barang tua dan ronsok di sudut-sudut. Meja kayu di tengah ruangan berceceran berbagai perkakas.

Dan lantai tempatku terbaring barusan ... lumayan berdebu. Tampaknya tempat ini sudah lama belum pernah dibersihkan lagi.

Membenarkan posisi duduk, kusadari tubuh ini sedang terikat oleh tali tambang. Kedua tanganku tidak bisa bergerak, begitu pula kakiku.

Mengetahui kondisi ini sontak kulirik tajam pemuda yang berjongkok di hadapanku. "Gabriel."

"Tenang dulu, [Your Name]," sosok berkulit pucat dan berambut semerah muda cotton candy tersebut mendadak tegang.

"Maaf mendadak mengikatmu seperti ini," ia mulai menjelaskan, "tapi aku tidak punya pilihan lain. Aku melakukan semua ini demi kebaikanmu. Jadi tolong, kali ini saja, bekerjasamalah denganku."

Mulutku terbungkam, mengerti 'kerja sama' apa yang ia maksudkan. Dia pasti sudah gila.

Maksudku, memang sudah seminggu terakhir ini Gabriel--pemuda yang baru kukenal di kelas biologi--mendadak menyuruhku menjauhi seorang Leo Ratclift. Sayangnya aku selalu mengabaikan imbauannya tersebut.

Maksudku, mengapa pula aku harus menuruti ucapannya? Dapat dikatakan ia hanyalah orang asing di kehidupanku ketimbang Leo. Walaupun aku juga belum sebulan menjalani kehidupan SMA di sekolah kami, tetapi aku lebih lama mengenal Leo dibanding mengenalnya.

"Leo tidak seperti yang kaubilang. Dia orang paling baik diantara semua orang yang dekat denganku," tuturku membela Leo.

Inginku menepis kecurigaan dan tuduhan Gabriel, tetapi entah mengapa pemuda ini bersikukuh sekali.

"[Your Name], kau baru mengenalnya selama beberapa minggu. Namun aku ... aku sudah bertahun-tahun. Jelas kau tidak tahu apa-apa tentangnya," ungkap pemuda ini kemudian terkekeh-kekeh.

"Sebegitu berbisanyakah anak itu sekarang, sampai-sampai kau sudah terjerat hasutannya dalam beberapa waktu saja?" tambahnya.

Mulutku seakan kelu, bingung ingin mengungkapkan apa lagi. Bisa-bisanya ia terpikirkan hal seperti itu. Sebegitunya ia berprasangka buruk pada Leo? Ada masalah apa antara mereka berdua sampai bisa berakhir seperti ini? Berjuta pertanyaan bermunculan di dalam kepala, tetpi tidak ada satu pun yang bisa terlontarkan dari mulutku.

Gabriel mengambil sebuah kain--mirip saputangan--dari saku celananya. Benda yang kemudian ia jadikan pengikat mulutku. Suaraku teredam begitu gulungan kainnya menyelip di antara bibirku.

"Aku janji, ini tidak akan menyakitimu. Percayalah. Semua ini kulakukan agar kau bisa terbebas darinya, lalu kau bisa kembali ke kehidupanmu yang damai lagi. Dan ... sekali lagi maafkan aku, [Your Name]."

***

Entah sudah berapa lama kiranya aku duduk terkekang di sini. Ruang bawah tanah antah berantah. Aku bahkan tidak yakin jika ini masihlah di kota yang sama dengan kota kecil tempat aku dan bibiku tinggal. Maksudku, bisa saja Gabriel membawaku ke luar kota, bukan?

Duduk berdiam diri tanpa bisa melakukan apa-apa. Ketika kusadari, pikiranku sudah melayang kepada pertanyaan-pertanyaan mendalam. Mengapa aku bisa berakhir seperti ini?

Saat Bibi membawaku menginjakkan kaki ke kota kecil ini, satu-satunya yang kuharapkan hanyalah memulai awal baru dari kehidupanku yang baru. Di kota yang penduduknya sangat asing kepadaku. Tempat yang sama sekali tidak terikat dengan masa laluku. Aku hanya ingin membuka lembaran baru dalam hidup dan melangkah maju.

Teman-teman baru, sekolah baru, lingkungan baru, tetangga baru, dan juga ... bertemu seseorang yang kurasa akan menjadi sosok sangat spesial di hidupku.

Saat itu juga terlintas wajah Leo di benak. Disusul bayangan Bibi, dan semua teman-teman baruku. Apa yang sedang mereka lakukan sekarang ini, ya? Apakah mereka menyadari bahwa aku menghilang? Apakah mereka akan mencariku?

Rindu lantas menyelubungiku. Aku ingin secepatnya bertemu dengan mereka, tetapi aku masih tidak yakin masa depan apa yang menungguku. Kurasa Gabriel tidak akan melepaskanku begitu saja, atau membiarkanku kembali ke tempatku berada selama Leo masih ada di sana.

Kesal kini menguasai diri. Mengapa semua berakhir jadi seperti ini?

Tiba-tiba suara langkah kaki menuruni anak tangga menyapa pengaranku, merenggut perhatianku, dan membuyarkan pikiranku saat itu. Gabriel kembali?

Rupanya tebakanku salah. Alih-alih sosok Gabriel, sorot pandanganku justru menyambut sesosok pemuda lain. Rambut seputih salju, mata sebiru langit siang yang menyorot hangat hanya kepadaku--Leo.

Jika aku bisa berbicara, mungkin sudah kusebut namanya. Perasaan takut berada di tempat asing perlahan-lahan mulai sirna. Apakah dia mencariku sampai ke sini? Namun, bagaimana bisa? Cepat sekali menemukan tempat persembunyian ini.

Leo meletakkan jari telunjuknya di depan bibir, mengisyaratkanku untuk tetap diam. Kemudian dengan cepat dan tanpa suara, ia menghilang ke sudut ruangan yang tertutup kegelapan.

Aku bahkan sempat ragu jika yang kulihat itu adalah orang asli. Bisa saja saking terlalu lama berada di bawah sini, kekurangan udara segar, otakku mulai memvisualisasikan fatamorgana, kan?

Kemudian kudengar suara langkah kaki lain yang menuruni tangga. Apakah kali ini Gabriel?

Tebakanku benar. Pemuda kurus dan pucat tersebut datang sambil membawa nampan berisikan beberapa makanan dan sebotol air mineral. Senyum tipis ia sunggingkan ketika meletakan nampan itu di sampingku. Tangannya yang jenjang dengan lihai melepaskan ikatan di balik kepalaku.

"Kubawakan makan malam. Apa kau sudah lapar?" tanyanya.

Bohong jika kukatakan tidak lapar sama sekali, sebab kenyataan berbicara sebaliknya. Begitu pula suara keroncongan perutku yang teransang oleh aroma steik dan sausnya.

Gabriel tertawa. "Baiklah, tidak perlu dijawab. Aku sudah paham."

Ia duduk bersila di hadapanku kemudian memangku nampan makanan tadi. Kedua tangannya mengambil pisau dan garpu. Kemudian dengan lihai ia potong daging steik di atas piring seukuran satu gigitan.

Makanan penggoda selera tersebut ia sodorkan kepadaku. Benar-benar menggugah selera makanku. Perlahan mulutku membuka, siap menyambut lembutnya steik dengan cita rasa yang kudamba. Berdiam diri saja pun ternyata dapat membuatmu kelaparan. Namun, ketika makanan tersebut hampir menyentuh mulut, bibirku segera kurapatkan.

Gabriel terkikik-kikik. "Apa kau takut makanan ini beracun?" tanyanya.

Tanpa menunggu jawabanku, ia suapkan potongan steik di garpu itu ke dalam mulutnya. Pemuda di hadapanku kemudian tersenyum manis, "Lihat? Tidak ada apa-apa di dalamnya. Apalagi obat tidur--"

Kedua mata membelalak terbuka, baik aku dan Gabriel, kami sama-sama terkejut. Cengkraman Gabriel kehilangan kekuatan, begitu pula dengan seluruh tubuhnya. Tubuhnya lunglai ke lantai dengan bagian kepala yang berdarah.

Jeritan tak tertahankan, tubuhku gemetar, dan kedua tanganku mendadak dingin. Leo baru saja memukul tengkuk Gabriel dengan botol kaca--mungkin sembarang ia ambil dari tumpukan barang bekas di sudut ruangan ini--sampai pecah.

Kedua mataku terbuka lebar, enggan mempercayai apap yang baru saja kusaksikan. Tidak puas sampai situ, tubuh lemas sang lawan lama ia seret menjauhiku. Melemparnya ke area yang cukup redup, kemudian kembali memukulinya dengan membabi buta.

Meski ia membelakangiku, aku ... masih bisa melihat cipratan darah yang terhasilkan dari belasan hantaman tersebut. Jantungku terasa sedang menggila saat ini. Dan setiap aksi yang dilakukan Leo membuat isi perutku seakan terpelanting naik-turun hingga merasa mual.

Sampai ingin menangis kumenyaksikan Leo juga menendangi Gabriel, tetapi air mataku enggan tumpah. Si pemuda yang pakaiannya mulai lusuh karena darah bersusah payah meringkuk sambil memeluk dirinya penuh proteksi--namun percuma.

Kemudian tidak berlangsung lama, tubuh itu berhenti bergerak. Aku tidak tahu apakah ia masih sadarkan diri ataukah tidak. Mungkin dunia terasa bergerak jadi sangat lambat di hadapanku sebab menyaksikannya kesakitan. Gabriel terlihat sangat lemah, dan rapuh, dan rusak di waktu yang bersamaan. Bulu kudukku berdesir setiap kali kumandang ke arahnya.

Selama kuhabiskan waktu bersamanya, baru kali ini dia terlihat seperti orang asing. Aku tidak pernah tahu dia bisa memiliki sisi semengerikkan itu. Melakukan kekerasan terhadap kawan lamanya dengan ekspresi tenang tak tergubris, seolah sudah terbiasa dengan hal-hal tersebut.

Mendapati gabriel tidak memberikan perlawanan lagi, Leo berpaling kepadaku. Demi Tuhan, kebencianyang terpancar dari kedua matanya sangat membuatku takut. Tidak tampak seperti pandangan penuh kasih yang biasanya selalu ia lemparkan kepadaku. Ke mana perginya si lemah lembut Leo yang kukenal itu?

Tubuhku gemetar tidak terkontrol ketika ia berjalan menghampiriku. Kilas balik tentang bagaimana Leo menyakiti Gabriel beberapa momoen lalu itu terus terputar ulang di dalam pikiranku.

Leo berdiri tepat di hadapanku. Di tangannya, ia masih menggenggam pecahan beling yang masih meneteskan darah. Pandangannya menyorot sangat dingin, enggan memberi ampun. Dan yang kulihat, ia tidaklah tampak seperti manusia, melainkan lebih menyerupai sesosok binatang buas.

Napasku semakin pendek dan susah pada setiap detik yang berlalu. Kututup rapat mulutku, mencegah teriakanku terselip keluar. Aku benar-benar membeku di tempat sapai Leo mulai bicara lagi.

"Well?" ia berbicara dengan suara monoton, "dia mencoba mencurimu dariku."

Leo berlutut di depanku, menatapku dari pandangan yang lebih baik--namun aku masih tidak berani menatapnya--lalu melanjutkan, "Kau milikku sekarang. Dia tidak berhak menjauhkanmu dariku, dan dia tidak akan pernah bisa lai menyentuhmu."

Dia mengangkat daguku supaya pandangan kami bertemu. Aku terhentak, jujur saja sangat terkejut oleh tindakannya.

"Tapi," katanya lalu meninggalkan kecupan singkat di dahiku, "ini belum berakhir."

Ia melihat langsung ke mataku, membelai wajahku dengan tangannya yang bebas. Sentuhan yang terasa sangat asing dan meninggalkan jejak aneh, mendorong keinginanku untuk tidak akan pernah disentuh olehnya lagi, juga tidak akan pernah berada di sekitarnya lagi. Tidak akan pernah lagi ... untuk selamanya.

"Leave me alone!"

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top