Bab 4: Kerusuhan di Perbatasan

***

Pagi ini terdengar kabar cukup buruk dari para penjaga di perbatasan menuju wilayah Vraemor. Perbatasan kerajaan di wilayah Nethilor dan Triump adalah daerah yang rawan konflik. Kedua wilayah ini telah lama bersaing untuk menguasai jalur perdagangan utama, dan ketegangan yang semakin memuncak akhirnya memicu pemberontakan di wilayah perbatasan. Para pemberontak yang berasal dari Triump menyerbu pos-pos perbatasan yang dijaga oleh pasukan Vraemor. Kabar tentang pemberontakan ini sampai ke istana, dan pasukan kerajaan segera diperintahkan untuk turun tangan.

Oleh karena hal itu juga di pagi buta seperti ini mereka mengadakan pertemuan. Di ruang rapat kerajaan, Artemis duduk di antara bangsawan dan penasihat kerajaan, wajahnya tegang mendengar laporan yang datang.

Raja Alarick dengan suara keras dan tegas. "Kita tidak bisa membiarkan pemberontak ini meluas. Ace, aku perintahkan kau untuk memimpin pasukan di perbatasan. Pergi segera dan bawa pasukanmu untuk menumpas pemberontakan ini!"

"Boleh aku ikut?" tanya Artemis.

"Kau menyela pembicaraan, Tuan Putri Artemis," ujar Sang Raja dengan tatapan yang sedikit tak enak. Artemis bisa melihat ada perasaan tak nyaman pada ayahnya, dan ia tahu jika ayahnya memang tak suka jika ucapannya dipotong.

Artemis menunduk sembari membungkuk. "Maafkan aku," ujarnya. Ia kemudian menatap sekilas ke arah Ace yang masih berdiri di sana. "Bolehkan aku ikut, Ayah?"

"Tidak."

"Kenapa? Aku mohon, izinkan aku."

Raja Alarick tampak menggelengkan kepalanya dan dengan tegas berucap, "Tidak, kau tidak bisa ikut. Kau harus menghadiri acara kerajaan bersama ibumu, aku sudah mengatakannya kemarin kepadamu."

Artemis menatap kecewa, dirinya sebenarnya sedikit tak menyukai acara itu, ya walaupun itu acara penting seperti menemui masyarakat sekitar dengan bantuan sosial. Artemis memang suka, tapi ia lebih suka dan tertarik dengan tugas yang diberikan Ayahnya untuk menghadapi masalah-masalah kerusuhan seperti ini.

"Laksanakan tugasmu, Ace. Aku ingin kau segera kembali dengan berita bagus besok," titah Sang Raja. Ace mengangguk patuh dan pergi meninggalkan ruangan itu begitu saja. Sedangkan Artemis masih berdiri di sana, menunggu ayahnya mengucapkan sesuatu. "Kau, tinggallah di kerajaan."

Artemis menundukkan kepala, hatinya berat. Namun, dia tahu perintah ini tidak bisa dibantah, bahkan jika itu berarti Ace akan pergi jauh darinya. Tetapi, dalam hatinya, Artemis merasa terjebak dalam peran yang sudah ditentukan untuknya. Ada acara penggalangan dana yang harus dia hadiri, untuk mendukung rakyat yang tertindas oleh peperangan, namun pikirannya hanya tertuju pada Ace dan pemberontakan itu.

Si gadis dengan gaun berwarna hitam itu menatap kecewa ayahnya dan memilih pergi meninggalkan ruangan tersebut. Ia menatap kepergian Ace yang ada di depan sana, sebuah ide terlintas di pikirannya. Dengan cepat, si gadis kembali ke kamarnya dan mengganti pakaian.

Sebelum Ace dan para prajurit yang lain pergi, gadis dengan pakaian khas seperti prajurit itu tiba, menyelinap dari barisan prajurit kerajaan dan mengikuti intruksi yang diarahkan Ace kepada mereka. Menyelinap dari belakang di pagi buta seperti ini mungkin tak disadari oleh Ace, terbukti pemuda itu masih sibuk dengan persiapan kuda yang akan dibawanya.

"Putri ...."

Artemis dengan cepat menatap lelaki di sebelahnya dengan tatapan tajam, jari telunjuknya menempel di bibirnya, menunjukkan perintah agar prajurit muda itu diam. "Diam dan ikuti perintah atasanmu!" tegas si gadis yang kemudian membenarkan tudungnya.

"Bersiaplah!"

Semua orang termasuk Artemis segera menaiki kuda mereka. Suara berat khas milik Ace terdengar kembali, menunjukkan perintah agar mereka segera berjalan menuju lokasi yang dituju. Artemis tersenyum lebar ketika pemuda itu sama sekali tak menyadari keberadaannya, mungkin pengaruh tudung yang sengaja mereka pakai hingga tak mengetahui identitas dari Artemis yang sebenarnya.

"Aku membutuhkan satu orang untuk membantuku," ujar Ace. Manik tajam itu menatap ke arah Artemis yang berada di barisan belakang. "Kau, yang di belakang! Sementara di sini, aku membutuhkanmu. Yang lain bisa mulai pergi, aku akan menyusul."

Jujur saja, gadis itu sedikit takut jika penyamarannya diketahui Ace. Terlebih, Artemis tahu pemuda itu tak akan membiarkan dirinya ikut serta untuk mengatasi kekacauan ini.

Gudang yang sepi tempat mereka menyimpan beberapa keperluan perang, keduanya berada di sana. Artemis mengikuti langkah Ace, sembari berdoa dalam hati agar pemuda itu sama sekali tak menyadari dirinya.

"Bisa bantu kemari? Siapa namamu?"

"Lucius, Tuan." Artemis memberatkan suaranya agar Ace tak menyadarinya. Kemudian dirinya berjalan mendekat sesuai perintah dari pemuda itu. Ace hanya menatapnya, seperti mengetahui sesuatu yang tersembunyi dibalik jubah dan tudung yang menyembunyikan wajah prajuritnya.

Pemuda itu menarik tangan Artemis dengan cepat. Satu gerakan yang Ace lakukan berhasil membuat Artemis terpojok. Tubuh gadis itu terdorong ke dinding di belakangnya. Pemuda itu bahkan menahan kedua tangan Artemis di dinding. Kini posisi mereka benar-benar sangat dekat.

"Kau pikir aku tak menyadari penyamaranmu, Putri Mahkota?" tanya si pemuda sembari tersenyum puas menatap wajah pasrah dari gadis di depannya. Tangan kanan Ace bergerak, menurunkan tudung berwarna cokelat itu dari kepala Artemis.

"Ya, terlalu terlihat jelas, huh?"

Ace tersenyum. "Apa alasanmu melakukan hal ini? Sampai menyamar?"

"Apa lagi? Aku ingin ikut denganmu, jika dipikir-pikir aku bosan dan ingin secara langsung melihat kekacauan itu."

Pemuda itu menghela napas. "Jangan membuatku kehilangan banyak waktu hanya demi kau, Artemis. Kembalilah ke kamar dan jadilah Putri Mahkota yang baik," jelas Ace yang masih tak melepaskan kuncian tangannya pada Artemis, entah mengapa pemuda itu masih nyaman dengan posisi mereka. Karena dengan jelas ia bisa melihat wajah cantik Artemis secara dekat.

"Ini sedang kulakukan," balas si gadis.

"Apa?"

Artemis menghela napas. "Dengan ikut serta menyelesaikan kekacauan di perbatasan. Ace, aku mohon berikan aku kesempatan sekali untuk ikut denganmu."

"Apa yang aku dapatkan—"

Belum sempat pemuda itu menyelesaikan ucapannya, gadis di depannya itu dengan cepat melakukan pergerakan tiba-tiba dengan mencium pipi si pemuda. Hal tersebut sontak membuat Ace terkejut sekaligus menahan perasaan aneh yang tiba-tiba muncul di dirinya.

"Apa ... apa yang kau lakukan?"

"Lepaskan aku." Si gadis berusaha menggerakkan kedua tangannya yang mulai kendur dari cengkraman Ace. Tapi dalam sekejap pemuda itu justru menahannya lebih kuat. "Ace!" pekiknya yang kaget sekaligus merasa sedikit kesakitan.

"Kembalilah ke kamarmu dan ganti pakaian," ujar Ace yang kemudian melepaskan gadis itu. Artemis menatap kesal pemuda di depannya, dia tak mungkin mudah diperintahkan begitu saja apalagi itu adalah sosok Ace.

"Oke, cepatlah berangkat, fajar akan segera tiba, aku tidak ingin terlambat!" tegas si gadis yang kemudian mengangkat kembali tudung kepalanya yang sempat dilepas oleh Ace tadi. Ia berjalan terlebih dahulu mengabaikan tatapan aneh dari Ace.

Pemuda bermanik hazel itu mengernyit, kenapa justru Artemis yang memerintah. "Hei, aku tidak ingin mengambil resiko dengan mengajakmu. Jadi kembalilah."

Artemis menghentikan langkahnya, ia menghela napas panjang. Sebenarnya ia tak ingin mengucapkan ini, tapi keadaan seakan menyuruhnya untuk melakukannya hal tersebut. "Aku adalah Putri Mahkota dari Vraemor, calon pemimpin masa depan, jadi turuti perintahku, Ace." Si gadis menoleh, menatap pemuda itu dengan tatapan tajam. "Mengerti?"

Jujur saja Ace sedikit kaget dengan penegasan yang diucapkan Artemis tepat di depannya. Selama ini ia tahu gadis itu enggan menegaskan statusnya jika bersama dirinya. Si pemuda menundukkan kepalanya sekilas dan menatap kembali Artemis. "Baik, Tuan Putri Artemis."

"Perihal ayahku, aku akan mengurusnya sendiri nanti," lanjut si gadis yang segera menaiki kudanya. Keduanya segera pergi, melewati gerbang utama kerajaan Vraemor dan menuju pusat kerusuhan terjadi.

***

Nethilor adalah sebuah wilayah perdesaan yang menjadi ujung dari Vraemor di sebelah barat laut. Wilayah ini cenderung dingin karena berbatasan langsung dengan Triumph, yaitu sebuah wilayah terpisah yang memiliki pemimpinnya sendiri. Sejak lama Triumph selalu membuat kerusuhan dengan Vraemor, terutama Nethilor.

Masyarakat Triumph terkenal dengan sifat mereka yang enggan tunduk dengan pemerintah, terlebih sejak raja ketiga menjabat, lebih tepatnya kakek dari Artemis. Sejak pergantian raja, mereka membuat kerusuhan dan memilih memisahkan diri dari Vraemor dengan membentuk wilayah sendiri dengan pemimpin sendiri.

Awal dari alasan mereka memberontak dulu tak lain dan tak bukan karena pemimpin ketiga di masa itu melakukan hal yang cukup keji. Peraturan-peraturan kerajaan yang semula menguntungkan rakyatnya, justru diubah secara keseluruhan dan hanya menguntungkan pihak kerajaan. Hal tersebut lah yang memicu terjadinya pemberontakan besar di wilayah beriklim dingin tersebut. Meskipun setelah masa pemerintahan raja ketiga usai dan sebagian peraturan kerajaan telah diubah, mereka tetap enggan bergabung kembali dengan Vraemor.

Ace dan Artemis baru saja tiba ditempat tersebut, semua orang tentu menyambut mereka dengan senang karena akhirnya datang bantuan. Rumah-rumah di sekitar tambah sebagian hancur dan rusak.

"Ini ulah mereka?" tanya Artemis pada sosok di sebelahnya. Gadis itu menatap sekitar, benar-benar kacau.

"Mereka melakukan ini sejak lama," balas Ace yang turun dari kudanya, kemudian menghampiri Artemis yang masih mengamati dengan teliti. "Ayo." Pemuda bermanik hazel itu mengulurkan tangannya guna membantu si gadis untuk turun.

"Terima kasih," ucap Artemis.

"Aku akan membantu yang lain untuk memasang pembatas baru di area sungai. Tetaplah di sini," perintah Ace kepada Artemis. Gadis itu hanya mengangguk, membiarkan si pemuda pergi dengan beberapa prajurit yang lain. Sedangkan dirinya memilih untuk menghampiri korban yang terluka.

Gadis berambut hitam itu mengambil alih beberapa karung pangan yang dibawa prajuritnya, kemudian menghampiri seorang anak yang tampak duduk ketakutan dipangkuan ibunya. "Hei, siapa namamu?" tanya Artemis dengan penuh kelembutan.

Gadis kecil itu tampak ketakutan, ia menatap Artemis dengan manik cokelat yang berkaca-kaca. Dengan sedikit terbata dirinya mengucapkan sebuah nama, "Lana."

"Hai, Lana. Ini untukmu." Artemis memberikan sebuah roti kepada gadis kecil itu. Dirinya juga sempat membelai lembut rambut Lana. "Jangan takut ya, kita akan segera membuatmu aman."

Si gadis kemudian tersenyum lebar dan bangkit. Dirinya berjalan dari satu tempat ke tempat lain guna membagikan makanan dan obat kepada mereka. Bahkan tak segan Artemis mengobati beberapa korban yang terluka akibat serangan dari Triumph.

Dari jauh, sosok pemuda dengan seragam lengkapnya tampak menatap gadis bertudung hitam itu. Senyum tipis di wajahnya muncul, melihat apa yang dilakukan si gadis berhasil membuatnya sedikit terpukau. Sejak kedatangannya ke sini, tampaknya Artemis belum sempat istirahat. Bahkan ketika tengah hari yang panas, gadis itu masih berusaha membantu para rakyatnya.

"Istirahatlah sebentar, kau tampak cukup lelah." Suara berat itu datang dari seorang pemuda yang berdiri di belakangnya, pemuda bermanik hazel dengan rambutnya yang tampak berantakan.

Artemis menoleh. "Ya, sebentar lagi," balasnya sembari membersihkan sisa obat-obatan herbal yang ia buat. "Istirahat yang cukup, obat ini akan menyembuhkan mu," ujar si gadis kepada sosok pria yang sempat ia rawat. Selesai, Artemis bangkit dan berjalan melewati pemuda itu tanpa mengucapkan sepatah katapun.

"Apa aku ada salah padamu?" tanya Ace yang menyusul kepergian Artemis.

"Tidak," balasnya.

"Serius?" Tak ada jawaban sama sekali dari gadis berambut hitam dengan sedikit keabuan itu. "Hei, lalu kenapa mendiamiku seperti itu?" tanya si pemuda yang merasa tak nyaman dengan sikap cuek dari Artemis.

Gadis berambut hitam yang tampak diikat itu menghentikan langkahnya dan menatap Ace. "Aku tidak mendiami mu, Ace." Artemis tersenyum melihat kelakuan temannya itu yang sedikit aneh. "Aku ingin istirahat sebentar."

"Baiklah." Ace masih di sana, berdiri menunggu gadis itu untuk masuk ke dalam kamar.

Artemis yang hendak masuk pun menghentikan langkahnya dan kembali menoleh menatap pemuda bermanik hazel yang masih berdiri dengan wajah santainya. "Kenapa masih di sini?" tanyanya.

"Tidak boleh? Ya ya ya, aku akan pergi." Ace menatap sebentar Artemis, kemudian berbalik dan pergi begitu saja meninggalkan si gadis dengan tawa kecilnya.

"Dia benar-benar aneh," gumam Artemis sembari menggelengkan kepalanya heran. "Sebenarnya ada apa dengannya hari ini?"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top